[20.03 · 07] - babak ketujuh
[ 20.03 — BABAK KETUJUH ]
[ diksi yang serupa ]
***
"Nada kalau manis gitu, bagusnya emang jadi pacar Kakak, nggak, sih, Put?"
"Kalau nanti Kakak pacaran sama Nada, kamu nggak masalah, kan?"
"Tipe cowok idamannya Nada gimana, sih, Put? Kakak mau memantaskan diri."
Sejak sehabis mereka bertemu pertama kali di rumahnya, hampir di setiap kesempatan, Novan melontarkan kalimat-kalimat tersebut kepada adiknya. Ia tahu bahwa Putri tidak pernah benar-benar menganggapnya serius, Novan juga hanya mengucapkannya atas dasar menghibur diri dengan kepenatan tidak berkesudahan.
Namun, suatu hari Novan sadar, seluruh candaan yang ia ucapkan ternyata bukan hanya sekadar candaan. Ia sungguhan ingin sesuatu yang sama seperti yang selalu dia ucapkan pada adiknya.
Novan masih ingat kalau waktu itu pukul sembilan pagi. Novan tidak datang terlalu pagi ke kampus karena jadwal mata kuliah pertama di hari itu digeser hingga pukul sepuluh. Ia duduk bersama Nada di taman Fakultas Ekonomi. Gadis itu sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya karena hari itu adalah giliran kelompoknya untuk melakukan presentasi.
Taman itu tidak terlalu ramai, hanya terdapat sekitar lima mahasiswa yang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Novan menghela napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya.
"Nada," panggil Novan. Begitu mendengar dehaman sebagai sahutan, laki-laki itu melanjutkan kalimatnya. "Kakak suka sama kamu."
Bunyi dari mesin ketik laptop mendadak berhenti. Dengan gerakan pelan, Nada menatap padanya. Dahi gadis itu berkerut banyak sekali. "Hah?"
Novan menghembuskan napas lagi. "Kakak suka sama kamu," katanya lagi, memperlambat ucapannya agar gadis yang duduk di depannya itu dapat mendengar dengan jelas.
Namun, tampaknya Nada masih betah membisu—atau barangkali membeku—atas apa yang baru saja didengarnya. Novan tentu tidak terkejut atas respons seperti itu, tetapi respons selanjutnya yang diberikan gadis itulah yang membuatnya terkejut sekaligus bingung.
"Kakak nggak lagi praktek buat perasaan sama cewek, kan?" Nada menatap Mahasiswa Kimia itu dari kelopak matanya. Kerut-kerut di dahi gadis itu seolah menyatakan bahwa ia tengah menaruh curiga.
"Hah?" Giliran Novan yang mengerutkan keningnya, bahkan tampak lebih bingung dibanding Nada sebelumnya. "Why should I?"
Kerut curiga di wajah Nada menghilang. Gadis itu beralih menggedikkan bahu sekali sebelum akhirnya kembali berkutat dengan lapotopnya. "Biasanya cowok suka gitu."
"Itu cowok yang mana?" tanya laki-laki itu dengan kerutan di dahi yang bahkan lebih banyak.
Sekilas saja, Nada meliriknya. "Aku kemaren baru baca novel, cowoknya begitu." Seolah, apa pun yang dikatakan gadis itu tidak lebih dari sebuah kenyataan umum yang sudah diketahui semua orang yang ada di bumi.
Untuk waktu yang cukup lama, Novan berusaha mencerna seluruh kalimat dari gadis yang setahun lebih muda darinya itu. Ia memandangi Nada lama sekali tanpa berucap sepatah kata pun. Apakah Novan terlalu banyak melontarkan lelucon sampai-sampai Nada pun tidak percaya? Laki-laki itu masih tidak menyangka kalau Nada malah menyangkutpautkan fiksi dan kenyataan tanpa pikir panjang.
"I thought that ...," Novan akhirnya dapat menemukan suaranya yang sempat hilang karena tidak habis pikir—meskipun berucap dengan suara yang cukup pelan, ia menyela dengan embusan napas yang terlalu panjang, " ... was real."
"Of course that's real!" Nada menyahut denganmenggebu-gebu. Ia justru sampai meninggalkan tugas yang harusnya dikumpul tidak sampai dua jam lagi. "Biasanya, kan, penulis itu bikin karakter inspirasinya dari manusia nyata. Berarti nggak menutup kemungkinan kalau cowok begitu emang ada di dunia nyata." Mahasiswi Bisnis Digital itu bahkan sampai menggerakkan tangannya ke sana-kemari seolah memang seluruh ucapannya adalah hal yang wajib dipercayai.
"Tapi, kakak beneran suka sama kamu, Nada. Nggak lagi praktek untuk apa pun." Novan mencoba menjelaskan pernyataannya sekali lagi, bahkan dengan wajah tanpa senyum. Karena ia berharap kalau Nada tidak menganggapnya hanya sekadar bercanda.
"Oh, nice info," sahut Nada ringan, tanpa melirik ke mana-mana kecuali pada laptopnya saja.
"What, just ... that?" tanya laki-laki itu dengan suara pelan, hampir bergetar—karena bahkan seluruh percakapan mereka hari itu sangat jauh berada di luar dari harapannya.
"What do you expect from me?"
Tidak seperti Novan yang menjeda sahutannya cukup lama, Nada malah merespons dengan sangat cepat. Percakapan mereka tampak seperti percakapan umum biasanya, dan bahkan gadis itu tidak perlu menatap lawan bicaranya.
Sayangnya, memang situasi tidak selalu seperti yang diharapkan, atau barangkali memang Novan yang tidak pernah mengantisipasi situasi seperti saat ini. Walaupun begitu, tetap saja rasanya ... dadanya terasa agak nyeri.
"Nothing, just ... just forget about it." Novan mengibaskan tangannya, lalu beralih memijat pangkal hidung. Kepalanya mendadak terasa pening, belum lagi dadanya yang terasa berdenyut-demyut.
"Okay." Lagi, Nada menyahut ringan, membuat Novan mau tak mau merasa sangat rendah.
"I'll go. Talk to you later."
"Bye, Kak."
Bahkan ketika Novan menarik tasnya dari atas meja keramik dan berderak terburu-buru, suara Nada masih sama ringan dan tenangnya. Lelaki itu tahu salahnya ada di mana—entah pada dia yang meletakkan perasaannya atau pada dirinya yang terlalu suka memberi lelucon aneh—ia tidah tahu. Namun, rasanya nyeri dan menjengkelkan sekali.
"Kak Novan tunggu." Si Mahasiswa Kimia menghentikan langkah sembari menahan napas, sedang harap-harap cemas kalau Nada menghentikannya hanya untuk meminta maaf atau hal lain yang harusnya sesuai dengan harapan Novan. "Kalau kakak ke kantin, aku nitip jus alpukat, ya." Sayangnya, memang tampak tidak semudah itu. ekspektasinya dipatahkan lagi.
"Okay." Novan menyahut tanpa berbalik. Tanpa diketahui Nada yang barangkali masih nyaman berada di tempat duduknya, lelaki itu berkali-kali menghela dan mengembuskan napas panjang. "Anything else?"
"Sama," sahut gadis itu dengan riang."
Di tempatnya berdiri, Novan mengerutkan dahi kembali yang entah keberapa hanya dalam kurun waktu setengah jam saja. Mau tak mau, si Mahasiswa Kimia berbalik badan. "Sama?"
Sembari mengangguk dengan senyum percaya diri, gadis itu beranjak dari tempatnya, menghampiri Novan yang masih berair muka kebinguangan. "Sama."
"Sama, what do you mean?"
"What do you mean? Oh, oh, oh. When you nod your head, yes, but you wanna say no—"
Bukannya menjawab, Nada malah sibuk menyenandungkan lagu dari salah satu penyanyi terkenal di dunia itu, Justin Bieber. Ia bahkan menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan dengan perasaan yang seolah sedang sangat bahagia. Mungkin memang begitu untuknya, tetapi Novan merasakan bahwa dirinya sedang dipermainkan.
"Okay, Nada, stop!" ucapnya tegas, membuat gadis yang lebih muda di depannya langsung terdiam. "What are you really trying to say. I gotta catch my class."
"Easy." Nada tertawa geli, bahkan menambah intensitas tawanya setelah menatap Novan yang tampak akan menerkam mangsanya. "I like you so."
Novan terpaku untuk sesaat. Kerut jengkel di dahinya sudah hilang, berganti dengan mata yang agak membulat. "Hah?"
"Aku juga suka Kakak. Masih belum jelas, ya?" Nada mengkhiri kalimatnya dengan senyum yang sampai ke telinga, seolah sedang berkata secara tersirat bahwa beberapa waktu lalu ia hanya sedang menjahili.
Oh, sampai di sini akhirnya Novan paham kalau ia sudah dipermainkan sejak awal. Ia lupa, kalau sejak sering menghabiskan waktu bersama, Nada juga suka memberikan candaan-candaan dan lelucon menyenangkan.
"Kamu praktek buat nyatain perasaan sama cowok, ya?" Lelaki itu memandangi dengan ekspresi waspada—menaikkan salah satu alis, hampir sama seperti yang Nada lakukan beberapa saat lalu.
"Iya, cowoknya, ya, Kakak," sahut Nada, bercampur antara kesal dan gemas.
Novan mengangguk sembari menekuk bibirnya. "Okay, nice info."
"Kak Novan!" Nada memekik kesal, tetapi Novan hanya menanggapinya dengan tawa geli.
***
[ BABAK KETUJUH — selesai ]
[ next » BABAK KEDELAPAN ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top