[20.03 · 04] - babak keempat

[ 20.03BABAK KEEMPAT ]
derus tidak sengaja ]

***

Sepasang kaki berbalut celana bahan hitam berderap pelan. Matanya melirik arloji di pergelangan tangan kiri, menunjukkan pukul setengah enam sore. Nada mengembuskan napas pelan ketika mengetahui bahwa lingkungan kampus hanya tampak satu dua mahasiswa yang tertinggal di sana, itu juga berderap ke arah yang sama dengannya, menuju gerbang keluar kampus. Ketika mendongak, menatap langit di atas kepala, gadis itu mendapati bahwa awan berwarna keabu-abuan.

Nada tidak tahu mesti bersyukur agar berdecak kesal. Seharusnya kelas terakhir gadis itu telah usai sejak pukul setengah empat sore. Namun, teman sekelompoknya meminta untuk mengerjakan tugas lebih awal dari tenggat yang diberikan. Beberapa teman sekelompok Nada yang lain juga menyetujui dengan alasan agar mereka bisa mengerjakan tugas yang lain. Alhasil, mereka masih berada di kampus hingga saat itu.

Tugas mereka selesai hari itu juga. Makalahnya juga bahkan telah dicetak. Namun, sayang sekali Nada ketinggalan bus yang menuju rumahnya. Gadis itu ingat sekali bahwa pengumuman di pintu bus mengatakan bahwa jam operasional bus hanya sampai pukul lima sore. Tentu saja, maknanya menunggu di halte setelah lewat setengah jam sama saja dengan sia-sia.

Sejak sehabis mereka memutuskan untuk pulang, Nada sebenarnya sudah berusaha untuk memesan kendaraan secara online. Namun, entah mengapa selalu gagal padahal ia sangat yakin kalau prosedur yang ia lakukan sudah benar. Pasalnya ia juga tidak memesan layanan itu hanya sekali dua kali.

Nada tidak tahu bagian mana yang salah; sinyalnya yang tidak baik, kuotanya yang habis, atau memang tidak ada yang mau menerima pesanannya mengingat hari sudah hampir gelap dan langit tampak akan menangis. Namun, Nada hanya ingin pulang.

Dari halte, gadis itu berjalan pelan-pelan sembari masih terus mencoba melakukan pemesanan melalui gawainya. Ia tahu barangkali tidak mungkin berjalan kaki ke rumahnya, belum lagi dengan mendung di atas kepala. Namun, Nada juga tidak tahu hendak meminta bantuan siapa. Teman-temannya tadi barangkali sudah sampai—karena rumah yang cukup dekat, ia juga tidak punya teman yang memiliki motor. Barangkali, memang hari ini sepertinya ia akan berjalan kaki ke rumah, lalu esok ia akan membolos dengan alasan sakit.

Nada sungguhan akan pasrah kalau memang tidak ada pesanannya yang berhasil atau ketika hujan deras mengguyurnya saat itu juga. Baru saja hendak menyebrang di persimpangan jalan, suara klakson dari sepeda motor membuatnya mengurungkan niat. Pada awalnya, Nada berpikir bahwa pengendara itu hanya memperingatinya untuk berhati-hati, tetapi ternyata malah berhenti tepat di depannya yang berdiri di bahu jalan.

Pengendara itu tampak seperti laki-laki dewasa. Pakaiannya seperti mahasiswa, barangkali berkuliah di kampus yang sama dengannya. Ketika kaca dari helm yang dipakai lelaki itu dibuka, Nada baru mengenali siapa pengendara itu.

"Nada, mau pulang, kan? Kok jalan kaki?" Novan bertanya setelah mematikan mesin sepeda motornya. Ada kerut di dahinya yang tampak agak samar.

"Iya, Kak, baru selesai kerja kelompok, jadi nggak dapet bus buat pulang." Nada tersenyum seadanya.

Saat melirik lagi sepeda motor yang lelaki itu kendarai, Nada berpikir untuk meminta Novan mengantarkannya pulang. Namun, ia berpikir ulang kalau tidak enak rasanya meminta begitu saja. Walaupun Putri adalah sahabatnya, meskipun mereka dulu juga pernah berteman, tetap saja rasanya canggung.

"Ayo naik, Kakak anterin kamu pulang."

Entah tampaknya Novan bisa membaca pikiran, atau ia yang memang menganggap Nada seperti adiknya sendiri, atau justru lelaki itu hanya kasihan saja karena melihatnya berjalan kaki, Nada tidak tahu yang mana yang pasti. Yang ia tahu, bahwa ia barangkali memang tidak perlu berjalan untuk pulang atau menunggu ketidakpastian dari aplikasi layanan yang tampak eror itu.

"Ayo naik." Novan menyadarkan gadis itu dari lamunan sekaligus keterkejutannya. "Udah mau hujan, nih, nanti kamu kejebak di sini terus."

Nada mengangguk bersemangat. Dengan senyum tipis, ia menaiki jok di belakang Novan. Sebelum lelaki itu benar-benar melajukan kendaraannya membelah jalanan yang semakin ramai, Nada sempat memberitahu di mana rumahnya sehingga barangkali Novan dapat menjadi jalan pintas agar mereka terhindar dari kemacetan.

Sayangnya, meskipun Nada merasa kalau kakak dari sahabatnya itu sudah berkendara cukup cepat sampai mendahului banyak sekali sepeda motor dan mobil. Namun, memang tampaknya ada beberapa hal yang prediksinya meleset. Di pertengahan jalan, hujan deras tiba-tiba mengguyur, Novan segera menepi dan memberhentikan sepeda motornya tepat di depan penjual putu bambu yang menempati bangunan yang tidak terlalu besar.

"Kita mampir di sini bentar, ya. Nunggu hujannya agak reda dikit." Begitu kata Novan setelah mereka turun bersamaan dari sepeda motor.

Kedua muda-mudi itu berderap berdampingan, memasuki kios penjual putu bambu itu. Nada mencium aroma pandan dan kelapa yang familiar di hidungnya—aroma yang biasanya hampir setiap sore ia baui saat masih kecil. Sebelum menempati salah satu meja yang ada di sana, Novan menyempatkan untuk memesan dua porsi putu bambu yang dimakan di tempat dan dua porsi untuk dibungkus.

"Orang tua kamu nggak marah, kan, kalau kamu pulangnya telat?" tanya Novan ketika mereka sudah duduk di salah satu meja, menunggu pesanan mereka selesai dibuat. Nada memilih duduk berhadapan dengan lelaki itu.

Sebelum menjawab, Nada menyempatkan diri untuk melirik sepasang muda-mudi lainnya yang memasuki kios itu. mereka tampaknya sedang berteduh juga sembari menikmati makanan khas daerah Sumatera Barat itu.

"Papa Mama nggak ada di rumah, Kak. Mereka lagi di luar kota."

Novan mengangguk beberapa kali. "Terus sendirian di rumah?"

Kali ini Nada yang mengangguk beberapa kali. Saat itu pula, bersamaan dengan sang penjual yang membawakan dua porsi pesanan milik mereka. Makanan berwarna hijau dengan bentuk tabung dan taburan kelapa parut itu asapnya mengepul-epul, pertanda baru saja matang.

"Makanya kemarin Putri ngotot banget nginep di rumah kamu." Novan lanjut berucap lagi setelah mencicip satu suap dari miliknya. Nada menanggapinya dengan tertawa saja.

Saat makanan itu masuk ke mulunya, Nada mendadak merasakan nostalgia masa kecil yang sempat terlupakan itu. Dulu, ia pernah merengek pada mamanya untuk jangan mandi sebelum penjual putu bambu melewati rumahnya. Mamanya akan langsung mengiyakan, baru setelah memakan putu bambu, Nada baru akan bersedia mandi sore hari itu.

Sayang sekali, sejak ia menginjak kelas tujuh sekolah menengah, penjual putu bambu itu tidak pernah lagi lewat di depan rumahnya. Nada juga tidak pernah lagi memakan putu bambu sejak saat itu.

"Kalau besok kamu sendirian lagi, mending nginap di rumah aja, biar Putri ada temennya, Kakak juga bisa jagain kalian berdua langsung."

Sejujurnya, kalimat yang dikatakan oleh Novan sama hangatnya seperti putu bambu yang baru saja masuk ke mulutnya, sama seperti lelehan gula merah yang sengaja diselipkan di dalam makanan itu. Nada tersenyum canggung sembari mengangguk saja. Sejenak ia merasa bahwa Putri sangat beruntung memiliki sosok kakak seperti Novan.

"Thank you so much, Kak." Nada masih memangku senyum yang sama, tetapi lebih tulus. "Kapan-kapan aku nginep di sana."

Bertepatan dengan makanan mereka yang habis, hujan juga ikut mereda—tersisa jarum-jarum tipis saja, tetapi langit sudah cukup gelap. Kedua muda-mudi itu sepakat untuk melanjutkan perjalanan pulang.

Ternyata, dua porsi putu bambu yang sebelumnya Novan pesan untuk dibawa pulang adalah untuk Putri dan satunya lagi untuk Nada. Gadis itu sempat menolaknya karena tidak enak sudah diantar pulang dan diberikan satu porsi lagi. Namun, Novan yang memaksa membuat Nada akhirnya menerima dengan agak canggung.

Sepeda motor milik Novan sampai di rumah Nada yang keseluruhannya gelap gulita. Rumah Nada berada di komplek perumahan dengan banyak gang. Gadis itu turun dari jok belakang, tersenyum hangat lalu berterima kasih pada Novan.

Dengan helm yang menutupi kepalanya, Novan mengangguk. "Kakak pulang, ya. Jangan lupa kunci semua pintu sama gerbangnya."

Pengendara itu menarik gasnya sembari berbelok lalu menghilang di ujung jalan. Singkat saja, Nada merasa tengah mendengar kalimat dari orang tuanya yang selalu memperingatkannya sesaat sebelum berangkat ke luar kota untuk urusan bisnis.

Nada melirik jam di pergelangan tangan kirinya, menerka-nerka berapa lama waktu yang ia habiskan di perjalanan pulang. Jam di tangannya menunjukkan pukul delapan lebih tiga.

***

[ BABAK KEEMPATselesai ]
[ next » BABAK KELIMA ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top