[20.03 · 03] - babak ketiga

[ 20.03BABAK KETIGA ]
dampingan satu meja ]

***

"Kak, ayo nanti makan bareng siang bareng." Itu adalah kalimat yang Putri ucapkan tadi pagi tepat sebelum mereka berpisah di parkiran kampus.

Novan awalnya tidak mau karena ia masih harus menyiapkan diri sebelum memimpin praktikum mahasiswa. Namun, adiknya itu terus merengek seperti anak kecil sebelum akhirnya Novan menyetujui setelah kalimat selanjutnya meluncur dari bibir sang adik.

"Putri traktir, ya. Tapi makannya di kantis FIS."

Mahasiswa tahun ketiga itu keluar dari pelataran Fakultas MIPA pukul setengah dua belas siang. Sembari menyusuri jalanan menuju kantin Fakultas Ilmu Sosial, ia berpikir apa kiranya yang akan diminta Putri setelah acara traktir makan siang itu. sebab, Novan yakin sekali adiknya itu hanya ingin sesuatu kalau sedang baik hati.

"Kenapa, ya, kebiasaan HP silent masih dilanjutkan?" Kalimat dengan nada kesal itu membuat Novan tidak melanjutkan langkah. Ia menoleh ke belakang dan mendapati lelaki jangkung berkacamata berjalan ke arahnya. "Sebenarnya ada apa sama mode silent untuk seluruh anggota organisasi ini?"

Novan tertawa sambil meringis. Ia baru ingat kalau ponselnya memang dalam mode diam sebelum ia masuk ke kelas pertamanya.

"Seketika menyesal jadi humas," lanjut Devan dengan wajah tenang tetapi suaranya ketus.

"Sorry, sorry, Bro. Tadi yang masuk dosennya agak-agak." Novan menggaruk tengkuknya, beralih menepuk bahu teman satu organisasinya itu. "Oh, iya emangnya kenapa? Ada urgent mission?"

Devan menaikkan bahunya singkat. "Ngasih proposal, sama bahas dikit."

"Sambil makan aja gimana? Baru diajakin Putri makan di fakultas dia."

Si mahasiswa Teknik Sipil berpikir sebentar, lalu menatap arloji tangan kirinya cukup lama. Baru kemudian, Devan mengangguk menyetujui.

"Sorry, Kakak bawa temen." Begitu kata Novan saat kedua lelaki itu telah sampai di salah satu meja yang telah ditempati dua gadis. "Dia bayar sendiri, kok." Lelaki itu melanjutkan kalimatnya sambil melirik Devan yang mengahadiahi dengan tatapan tajam, tetapi kening yang berkerut pula.

Novan memperkenalkan temannya itu kepada Putri dan Nada, mengatakan bahwa mungkin mereka akan membicarakan masalah keorganisasian sebentar. Kedua gadis di depannya itu mengangguk saja, lalu pergi dengan alasan memesan makanan.

Novan berpikir sebentar, Putri yang memintanya untuk makan bersama di kantin saja sudah aneh, adiknya juga malah membawa serta Nada. Pasti memang ada hubungannya.

"Eh, cewek itu yang si first love jambu, kan?"

Si mahasiswa Kimia melirik lelaki di sampingnya dengan tatapan tajam. Sejenak, ia merasa menyesal telah tidak sengaja menceritakan Nada kepada Devan.

"Mana proposalnya?" Novan mengalihkan topik pembicaraan mereka dengan cepat seolah itu adalah topik yang memang tidak harus dibahas. Padahal sebenarnya ia hanya takut salah satu di antara gadis itu mendenganya.

Devan mendengkus dengan wajah tidak enak. Ia menunjuk ponselnya seolah memberi isyarat kalau ia sudah mengirimnya melalui pesan.

Selagi Novan sibuk memeriksa soft file proposal yang sudah dikirimkan oleh Devan, Putri dan Nada kembali dengan beberapa piring makanan di tangan mereka. Novan hanya melirik sebentar makanan yang sudah dibawa oleh kedua gadis itu, lalu lanjut mengeser-geser jemarinya di gawai lagi.

"Kok ketua nggak ngehubungin, ya?" tanya Novan yang lebih ditujukan untuk Devan, tetapi lelaki itu bahkan tidak melirik sama sekali.

"Yang suruh silent HP siapa?" Devan balik bertanya dengan suara tajam. Kedua gadis yang ada di depan mereka hanya memandangi saja sembari melahap makanan mereka, seolah tengah menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan ucap.

"Tapi mereka nggak ada ngirim chat, tuh. Cuma nelpon aja."

Namun, pertanyaan Novan tidak disahut apapun. Hanya gedikkan bahu yang bahkan mungkin tidak diliat oleh si Mahasiswa Kimia itu. Devan malah memilih menyuapkan makanan yang sudah dipesankan oleh Putri dan Nada.

"Kayaknya di bagian ini agak kosong gitu." Novan mendekat pada Devan sembari menunjukkan sesuatu di ponselnya. "Tambahin kalimat ini coba." Kemudian lelaki itu mengetikkan sesuatu sembari diangguki beberapa kali oleh si Mahasiswa Teknik Sipil yang seperti lebih memedulikan soal makanan. Tak lama setelahnya, terdengar bahwa gawai milik Devan berdenting pertanda revisi sudah dikirimkan.

Meskipun kantin tersebut hampir dipenuhi oleh mahasiswa yang kelaparan; beberapa berteriak, beberapa berbicang, tetapi meja milik dua pasang mahasiswa itu terdengar senyap. Devan makan tanpa peduli apa pun, Novan masih sibuk memeriksa proposal dari gawainya, sedangkan Putri dan Nada tampak sedang berdiskui selalu isyarat mata.

Pada akhirnya, suara dari Putri memecah hening di antara mereka. "Kak, udah selesai belum rapatnya?"

Kedua lelaki yang ada di meja itu serempak menatap Putri. Devan tampak menggedikkan bahunya sebentar, lalu memilih makan lagi saat Novan memandanginya.

Si mahasiswa Kimia mengembuskan napas, menjauhkan ponsel dari jangkauan dan mulai menatap sang adik yang duduk tepat di seberangnya. "Kamu ngapain pake traktir gini? What do you want?"

Di matanya, Putri meringis pelan. "You know me so well." Tentu saja, gadis itu sudah tinggal bersamanya seumur hidup. Bahkan dari matanya saja Novan tahu apa yang ada di pikiran adiknya. "Sebenarnya Putri mau minta izin buat nginep di rumahnya Nada sehari."

Sebentar saja, Novan melirik Nada yang tersenyum agak canggung. Kamudian beralih menatap sang adik lagi yang memasang wajah memelas. "Lah, kamu nggak punya rumahkah sampai mau nginep di rumahnya Nada?"

Meskipun hanya duduk berdampingan, Novan tahu kalau Devan sedang menahan tawanya. Namun, air muka sang adik tampak kesal dengan bibir mengerut. "Ish, Kak, bukan gitu!"

"So?"

"Putri ada tugas menganalisis tabiat manusia, Kak. Jadi harus wawancara Nada," jelas si Mahasiswa Antropologi itu.

Novan beralih menyuapkan makanan ke mulutnya. Ia tahu sekali kalau itu hanya sekadar alasan agar gadis itu bisa menginap di rumah temannya. "Kakak bukan manusiakah, sampai nggak masuk kriteria?"

Lagi, lelaki itu mendengar bahwa Devan berupaya menahan tawanya. Ketika melirik, ia mendapati si anggota bagian Humas itu tengah menutupi mulutnya dengan kepalan tangan.

Putri berdecak. "Manusia mahasiswa bisnis digital."

"Wawancara berapa lama, sih? Sampai semaleman?" Novan bertanya lagi.

Sebenarnya, ia bisa saja langsung memberikan izin pada adiknya itu. orang tuanya bukan alasan yang terlalu sulit, lagipula sedang ada di luar kota. Selama ini Putri tidak pernah macam-macam, kecuali dekat kembali dengan mantan kekasihnya sewaktu sekolah menengah itu.

Novan pikir, Putri akan melanjutkan aksi membujuk dan merengeknya seperti saat mereka berada di parkiran tadi. Namun, gadis itu ternyata malah menyenggol lengan Nada, mengerutkan dahi dan bibir secara bersamaan seolah meminta bantuan.

Nada tampak menghela napas dalam-dalam sebelum berucap. "Bolehin, ya, Kak? Putri, kan, nggak pernah ke rumah. Kakak juga pasti udah kenal, kan, sama orang tua aku."

Kakak dari Putri itu menatap kedua gadis di depannya bergantian sembari mengetukkan jemarinya di dagu, seolah sedang menimbang-nimbang apakah harus memberi izin atau tidak. Padahal sebenarnya ia hanya ingin bermain-main saja.

"Gimana, Van, kasih, nggak?" tanya Novan masih dengan memandangi Putri yang wajahnya sangat memelas dengan tangan terkatup di depan dada, sedangkan Nada juga menampilkan air muka memohon meskipun masih terlihat canggung.

Devan menoleh dengan dahi yang berkerut. "Lah, kok tanya saya? Kan adiknya Anda."

"Ya udah, deh, boleh." Novan memutuskan kemudian, berlanjut makan santapan makan siang gratis dari adiknya.

Namun, bukannya memasang air muka senang seperti Nada, Putri malah mengerutkan bibirnya pertanda kesal. "Kok Nada yang bujuk langsung mau, sih?"

"Mau, nggak?" Si Mahasiswa Kimia memandangi adiknya lagi.

"Iya, iya!" Putri mengembuskan napas keras-keras, tetapi kemudian memberikan tatapan tajam pada kakaknya. "But I know you want something."

Novan berpikir sebentar sebelum menyahut. "Nada nanti nonton sama Kakak, ya?"

Kalimat itu dihadiahi mata yang membulat oleh Nada, mulut yang menganga oleh Putri, dan tentu saja yang membuat meja mereka sedikit riuh adalah Devan yang mendadak terbatuk-batuk keras sekali.

Sayang sekali, rupanya kalimat Novan sebelumnya masih memiliki kelanjutan. "Nggak, lah." Novan tertawa ringan sebelum meminum es the di depannya. "Bercanda. Have fun, by the way."

Rasanya memang cukup menyenangkan melihat wajah orang-orang yang ada di sekitarnya seperti itu. Andai saja ia memiliki cukup waktu untuk mengabadikan itu semua di gawainya.

"Deal!" seru Putri dengan senyum semringah. Nada yang duduk di sebelahnya menggoyang bahu si mahasiswi Antropologi seolah meminta penjelasan.

Untuk bagian yang ini, bukan Putri yang membulatkan mata dengan mulut terbuka, tetapi Novan. Sayang sekali, Devan terbatuk-batuk keras lagi untuk bagian kedua karena tersedak makanan.

***

[ BABAK KETIGAselesai ]
[ next » BABAK KEEMPAT ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top