[20.03 · 01] - babak pertama
[ 20.03 — BABAK PERTAMA ]
[ desau yang hilang hadirnya ]
***
Rak-rak menjulang dan mengular menyambutnya di setiap langkah. Keranjang merah di tangan kiri seperempat penuh, secara umum hanya berisi minuman instant dan beberapa kotak minuman siap santap. Lelaki dengan jaket abu-abu itu memandangi rak-rak yang disesaki dengan berbagai macam makanan ringan yang kebanyakan di antaranya adalah keripik. Ia menggaruk puncak kepala dengan kening berkerut—bingung memilih di antara banyaknya merek hanya untuk keripik dengan bahan baku utama yang sama.
Novan, lelaki jangkung dengan pipi sedikit chubby itu berakhir memasukkan makanan ringan secara asal ke keranjang milik minimarket itu. Dari keripik kentang dari merek yang berbeda, wafer cokelat, biskuit, kacang, pilus, bahkan sampai permen warna-warni.
Si putra sulung dari dua bersaudara itu melakukannya dengan alasan bahwa ia telah menghabiskan lebih banyak dari yang adiknya lakukan. Padahal awalnya, hanya mengambil beberapa sebagai teman untuk memeriksa laporan praktikum mahasiswa di kamarnya. Ia tidak menyangka beberapa baginya berarti habis oleh Putri. Adiknya itu sempat marah-marah sebentar tadi, tetapi kemudian memilih memangku kebisuan sembari menatapnya tajam di setiap langkah yang dijejak lelaki itu.
Tidak ingin menyebabkan rumah menjadi arena perang dingin, di sinilah Novan berakhir, sebuah minimarket berjarak satu kilometer dari rumahnya. Ia memilih berjalan kaki saja karena ingin menikmati suasana malam sebelum bergumul lagi dengan seluruh tugas-tugasnya di sudut meja.
Lelaki dengan jaket serupa abu pembakaran itu berderap pelan menuju kasir. Sesekali menatap keranjang belanjaan sembari menimbang-nimbang apakah seluruh makanan dan minuman itu sudah cukup atau belum.
Terdapat dua kasir dengan dua orang lelaki yang kira-kira usianya tak jauh dari Novan. Ia memilih salah satu kasir dengan satu antrian, sedangkan kasir lainnya memiliki dua antrian.
Kasir yang melayani Novan tampak hampir selesai ketika ia melirik keranjangnya yang hanya tersisa beberapa bungkus makanan ringan. Namun, gerakan pelayan kasir itu terhenti ketika seorang gadis yang berpakaian hampir sama sepertinya menghampiri dan membisikan sesuatu.
Air muka lelaki yang tengah memegang salah satu makanan ringan milik Novan tampak getir. Sembari berdecak, ia memeriksa kemasan yang dipegangnya lalu berlanjut ke kemasan tersisa dan melakukan hal yang sama. Sedangkan gadis yang baru datang tadi tampak meringis, lalu berlanjut berbisik dengan pelayan kasir yang satunya.
Novan hampir saja beranjak pergi setelah membayar dan mendapat sebungkus plastik besar makanan ringan untuk sang adik ketika pelayan kasir yang tadi menghitung seluruh belanjaannya berucap.
"Mas, Mbak, boleh tunggu bentar, nggak?"
Meskipun tidak berucap apa-apa, Novan mengerutkan keningnya dalam sekali. Gadis yang tadi memberi bisikan pada pelayan kasir juga beranjak keluar minimarket, menemui dua orang gadis yang juga tampak bingung sepertinya. Sedangkan gadis lain—mengenakan hoodie yang penutup kepalanya diikat ketat—yang ikut mengantri di kasir yang satunya tampak mengusap wajah sembari berkacak pinggang.
"Boleh belanjaannya kami periksa kembali, Mas dan Mbak?" Pelayan kasir satunya berucap dengan suara agak bergetar. Meskipun ia berupaya tersenyum, Novan tahu kalau lelaki itu ketakutan. "Kami ingin memeriksa apakah ada barang yang masa berlakunya sudah habis dan menggantinya dengan yang lebih baru."
"Loh, kok nggak dari awal, sih, Mas? Kan saya buru-buru."
Gadis yang dari luar mengomel, diangguki oleh gadis yang masuk bersamanya tadi. Novan diam-diam juga menyetujui kalimat tersebut. Namun, gadis itu juga menaruh plastik belanjaannya di meja kasir, diikuti dua gadis sisanya, dan Novan yang paling akhir.
"Maaf sekali, Mbak, atas ketidaknyamanannya." Satu-satunya karyawan perempuan di sana mengatupkan kedua tangannya di dada. Air mukanya penuh kekhawatiran. Ia menarik salah satu plastik belanjaan yang menganggur dadn memeriksa isinya satu persatu.
Novan menunggu agak jauh dari kasir. Sembari melipat tangannya di dada, ia melihat tiga karyawan itu sibuk memeriksa barang satu persatu. Di matanya, beberapa makanan ringan minuman siap saji dijauhkan letaknya dari belanjaan para pelanggan. Barangkali, memang barang tersebut yang sudah kadaluarsa.
Salah satu di antara tiga gadis itu tak henti mengomel, mengenai pelayanan minimarket tersebut yang tidak terlalu baik. Satu-satunya karyawan perempuan di sana tak henti mengucapkan maaf dengan air muka takut. Sesekali juga, gadis itu bolak-balik mengambil barang baru dari rak untuk mengganti barang milik pelanggan.
"Sebagai permohonan maaf, kami telah menambahkan tisu wajah ke dalam belanjaan Mas dan Mbak secara gratis sebagai permintaan maaf kami," kata salah satu karyawan lelaki di sana.
Gadis ber-hoodie adalah pelanggan yang selesai lebih dulu. Ia hanya menyahut dengan dehaman singkat ketika para karyawan meminta maaf padanya lalu berderap pergi begitu saja seolah ia memang sangat terburu-buru.
Plastik belanjaan milik Novan adalah yang terakhir diberikan. Saat memeriksa apakah barangnya sudah sesuai atau belum, ia malah mendapati bahwa hal-hal yang ada di dalamnya adalah barang-barang yang tidak pernah ia masukkan ke keranjang.
Dua bungkus pembalut dan dua botol kaca yang tampak berisi obat herbal pereda nyeri datang bulan.
"Mas, belanjaan saya ternyata ketuker sama pelanggan lain. Ini gimana, ya?" Novan menatap pelayan kasir di depannya bergantian dengan kantong plastik di tangannya.
Karyawan di depannya hampir saja menjawab ketika salah seorang dari dua gadis yang masih ada di sana menyahut. "Kayaknya belanjaan Mas ketuker sama Mbak yang tadi, deh. Soalnya belanjaan kami udah pas."
Novan mengembuskan napas lelah. Tadi masalah barang yang kadaluarsa, sekarang barang yang tertukar. Sepertinya memang sedang dikata-katai oleh adik yang kesal karena makanannya dihabiskan.
"Maaf sekali, Mas, tapi sepertinya kami tidak bisa membantu karena Mbak tadi tidak berbelanja melalui aplikasi." Salah satu karyawan lelaki di sana mengungkapkan permintaan maafnya entah yang keberapa malam itu.
Novan menanggapinya dengan senyum seadanya lalu berderap keluar dari minimarket melalui pintu kaca. Ia mendudukkan diri di salah satu kursi yang memang disediakan di depan minimarket tersebut. Barangkali, gadis yang bertukaran belanjaan dengannya akan kembali. Tidak tahu kapan, tetapi ia yakin saja kalau si gadis akan kembali.
Arloji digital di pergelangan tangannya dilirik. Pukul delapan lebih tiga. Barangkali kalau Novan menunggu sekitar lima belas atau dua puluh menit, ia akan mendapati gadis berlari dari ujung jalan di sana. Namun, perkiraan Novan ternyata lebih cepat, karena sepuluh menit setelahnya ia melihat seorang gadis ber-hoodie berlarian kecil menuju minimarket tempatnya menunggu.
Memang, selama di pemeriksaan barang di dalam sana tadi, Novan tidak terlalu memperhatikan wajah-wajah yang ada di sana. Namun, begitu keremangan hilang karena tubuh gadis itu mendekati penerangan di minimarket tersebut, Novan makin menyadari bahwa wajah itu memang ia kenal.
"Nada, kan?"
Gadis itu tampak terkejut dengan bola mata membulat. Dengan napas yang terengah, ia menjawab. "Iya, Kak. Kak Novan?"
Lelaki jangkuk itu mengangguk. Gadis itu memang gadis yang sama. Gadis yang dulu adalah tetangganya dan suka sekali bermain dengan Putri. Ia sesekali juga bermain dengan Nada, tetapi lebih sering melemparinya dengan buah jambu muda yang berjatuhan di halaman depan rumah Nada.
"Belanjaan kita ketuker," kata Novan.
Novan tahu bahwa Nada tampak canggung karena ia hanya membuka dan mengatupkan mulut berulang kali. Barangkali masih cukup terkejut dengan pertemuan tidak terduga ini setelah beberapa tahun tidak bertemu. Padahal, Novan tahu sendiri bahwa Putri masih berteman baik dengan Nada walaupun gadis itu sempat pindah.
Namun, Novan tidak tahu bahwa gadis itu pindah tidak terlalu jauh dari rumahnya dan Putri.
Nada mengangguk canggung. Ia berupaya tersenyum tipis. "Aku baru tau pas udah sampai rumah."
"Mungkin ini punya kamu, coba diliat dulu."
Novan mengulurkan plastik belanjaan yang dipegangnya sedari tadi. Nada juga melakukan hal yang sama. masing-masing dari kedua muda-mudi itu memeriksa kembali barang-barang miliknya. Lelaki itu mengembuskan napas lega saat mengetahui bahwa barang-barang di plastik itu memang miliknya.
"Iya, Kak, ini punyaku." Nada mendongak setelah kantong plastik itu ditutup kembali. "Thanks, by the way. Kalau gitu aku pulang duluan, ya, Kak."
Tanpa mendengar sahutan dari Novan, Nada berderap menjauh begitu saja. Kembali dalam keremangan malam, lalu menghilang di persimpangan ujung jalan. Gadis itu seolah memang tampak tak nyaman dengan suasana kecanggungan di antara mereka.
Kalau saja tadi Novan membawa sepeda motornya, lelaki itu akan langsung menawarkan tumpangan pada gadis yang pernah menjadi teman masa kecilnya itu. Nada tampak tidak terlalu baik melihat bagaimana gadis itu memegang pinggangnya. Melihat isi dari belanjaan yang gadis itu bawa, Novan yakin apa yang sedang dialami gadis itu.
Masalah perempuan, karena Novan juga punya adik perempuan.
***
[ BABAK PERTAMA — selesai ]
[ next » BABAK KEDUA ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top