[Sin 6]

Tepat saat senja meninggalkan langit, tiga lelaki yang belum menanggalkan seragamnya berkumpul di ruang tengah. Hari belum larut, keadaan rumah masih sepi. Mereka bisa bersantai, memanfaatkan keadaan sebelum waktunya datang. Hanya seorang asisten rumah tangga yang menghampiri mereka, menawarkan minuman dan makanan ringan.

Sam mengucap terima kasih dan meminta mbok-nya untuk istirahat di belakang. Ia tidak ingin diganggu oleh siapa pun, termasuk orang tuanya. Salah satu satpam yang berjaga siang ini sudah diberitahu untuk memperingatkan mereka kalau nanti sang pemilik rumah pulang. Sam tidak ingin mencari gara-gara dengan ayahnya, terutama jika sudah menyangkut masalah dua tahun lalu.

Lelaki itu berjalan menuju sofa kosong sambil membawa segelas jus anggur. Ia lekas menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh, sedangkan Luis yang betah berdiri dan menatap layar ponsel hanya sesekali memperhatikan Doni, lalu kembali tak acuh. Keduanya belum membuka suara, sebab sosok yang meminta mereka untuk berkumpul masih sibuk menggigiti kukunya.

"Mau sampai kapan lo begitu? Bokap-nyokap gue keburu balik," ucap Sam kesal seraya memutar bola matanya.

"Kalian lihat sendiri!"

Doni menyodorkan ponselnya pada Sam. Luis spontan mendekat dan mereka lekas membaca pesan yang tertera di dalam hati. Hanya sebuah foto yang cukup buram dan tak jelas, batin Sam mulanya. Namun, setelah melihat lekat-lekat, ia baru sadar akan kekhawatiran Doni. Tanpa sadar, Luis menoleh ke arahnya dan mereka saling pandang sekian detik.

"Jadi, selama ini Ari udah tau kalau kita yang ngefitnah Rey masalah cederanya Rama?"

"Kayaknya gitu." Lelaki bermata minimalis itu memotong kalimat Luis dengan napas kembang-kempis. "Rey mungkin nulis semuanya di buku diarinya."

Tak mau ambil pusing, Sam lekas meletakkan ponsel yang digenggamnya di meja, lalu mengangkat dagu. "Terus kenapa?"

"Hah?" Kening Doni berkerut. "Udah kayak gini dan lo masih nanya? Ari tau semua kelakuan kita dulu, Sam. Jangan bego, deh."

"Yang bego di sini, tuh, lo, Don. Ngapain lo pusing masalah beginian? Lo pikir diari itu bisa jadi bukti? Buku begituan bisa ditulis siapa aja, bahkan kalau terbukti Rey yang nulis, tetep nggak ada yang bisa buktiin tulisan itu. Mikir, dong!"

Doni bergeming, menelan kata bisa yang berulang kali Sam tekankan. Meski sudah tahu dan paham sejak ayahnya mengatur segala hal, ia tetap saja dihantui, seolah ada utang yang sangat besar menunggu untuk dibayar. Utang yang jumlahnya tidak dapat ia bayar menggunakan apa pun.

"Ta-tapi, Sam, seenggaknya dia udah tau siapa lawannya, nggak perlu capek-capek nyari dulu. Pasti, pasti, dia sekarang punya rencana buat ngungkapin itu."

"Pakai apa?"

Sam menatap sahabatnya dengan sinis. Ia sampai melepas kacamata agar ketegasannya terlihat jelas. Suatu momen yang cukup langka, mengingat lelaki yang mengencani buku itu tidak suka banyak bicara, apalagi membuang waktu untuk masa lalu seperti ini.

Sementara Doni tak segera menjawab. Hawa panas yang bercampur dengan keringat dingin membuatnya gelisah, tak nyaman. Ia kemudian mengambil segelas minuman dan menghabiskannya sekaligus. Melihat itu, Luis segera duduk dan menepuk-nepuk punggungnya lembut.

"Tenang, Don. Nggak ada yang bisa mereka lakukan. Toh, Rey dulu jatuh sendiri. Lo nggak dorong dia, apalagi gue dan Sam. Itu kecelakaan."

"Bener kata Luis. Tangan kita nggak kotor." Sam menambahkan.

Doni mendongak, menatap dua sahabatnya bergantian. Tidak ada keraguan sedikit pun yang terlihat. Hanya ia yang gemetaran dan berkali-kali bermimpi buruk. Ia segera berdiri dan menendang kaki sofa yang tak berdosa, mengacak rambut serta menjambaknya tak karuan--berusaha melampiaskan kekesalan.

"Nggak kotor, ya? Oke, emang nggak ada yang dorong dia, tapi lo yang bikin dan nyebarin rumor masalah Bu Ani, Sam."

Lelaki yang sedari tadi menahan amarahnya lantas berdiri dan berkacak pinggang. "Waw, jadi sekarang lo mau nyalahin gue?"

"Salah?"

"Terus siapa yang ngubah kecelakaan itu jadi dugaan bunuh diri, hah? Siapa? Siapa yang sore-sore nelpon, nyuruh buat tutup mulut dan lupain semuanya? Siapa?!"

"Udah, udah, Sam!" Luis menahan sahabatnya, merangkul erat sebelum kepalan tangan melayang ke rahang Doni.

"Kenapa diem? Gue bener, kan?"

Doni memalingkan wajah. Ia mendengkus, mengiakan pernyataan itu di dalam hati. Sial, umpatnya.

"Udah, dong. Gue nyumbang, deh. Kemarin Mami yang ngurus pengalihan isu di media. Pas, kan?" ucap Luis, tak menjernihkan situasi.

Para lelaki itu saling tatap satu sama lain, bergilir. Setelah cukup hening, ketiganya duduk berhadapan dengan napas yang lebih tenang dari sebelumnya. Luis menawarkan minumannya yang masih utuh pada Doni dan Sam, tetapi tak ada yang menjamahnya. Kikuk, ia pun menggaruk tengkuk dan berdeham.

"Intinya, kita semua terlibat dalam porsi masing-masing. So, nggak usah main tunjuk begini, kayak bocil, tau. Satu lawan satu jauh lebih mudah dari satu lawan tiga, jadi jangan sampai kita kepecah-belah gini. Oke?"

Samar, Doni mengangguk, diikuti dengan Sam. Luis pun menghela napas lega. Meski setelah ini masih memerlukan waktu untuk berbaikan sepenuhnya, ia sudah lumayan tenang.

"Semua ini cuma kita dan mereka yang tau. Selama nggak ada yang berulah, nggak bakal ada yang tau."

Luis menutup pidatonya, kemudian beranjak menuju dapur untuk mengambil minuman baru. Itu alasan saja, ia hanya ingin mendinginkan kepala di sela-sela pintu kulkas. Sam yang masih canggung dengan Doni pun mengikutinya dari samping.

Lelaki yang tersisa di ruang tengah mengembuskan napas panjang dan merebahkan tubuhnya di sofa. Ia menatap langit-langit kosong, lalu mengusap wajah. Terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak hanya membuatnya kurang fokus.

Belum sampai dua menit, Doni dikejutkan dengan dering ponselnya sendiri. Getar yang bergesekan dengan meja kaca cukup mengganggu hingga ia mengelus dada. Ia langsung bangkit dan menjawab panggilan tanpa melihat nama atau nomor pada layar.

"Iya?"

Suara ini ….

Doni menjauhkan ponselnya dari telinga lalu mematikan telepon tanpa berbasa-basi. Ia juga menon-aktifkan simcard-nya agar tidak ada yang menghubungi lagi. Lelaki itu pun luruh, jatuh terduduk dengan napas tak teratur.

🍃

Walau yakin, langkah Ari tetap tak percaya diri. Pasalnya, dari dua tahun lalu, ia sudah biasa menelan pahitnya kekecewaan. Entah sudah berapa tempat les yang ia kunjungi hanya untuk mencari Geri, mantan gurunya, sosok yang sempat berurusan dengan almarhum adiknya. Berbekal uang saku yang tidak seberapa, ia jauh-jauh kemari setelah mendapat info dari Ihsan, guru BK yang mendampinginya di tempat magang--SMA Kemuning.

Seakan Tuhan menjawab kegelisahannya, orang yang tengah dicari tampak baru keluar kelas dan hendak menuju ruang pengajar. Mata mereka sempat bertemu. Jarak yang tak begitu jauh cukup untuk saling mengenali wajah satu sama lain.

Ari refleks menelan ludah. Ia pun mendekat dan tersenyum tipis. Geri yang sepertinya tak keberatan akan kunjungan dadakan itu juga melakukan hal yang sama. Keduanya kini berhadapan dan saling sapa, seadanya.

Melihat betapa santainya Geri berjalan menghampiri, Ari cukup terpaku. "Sore, Pak."

"Iya, sore. Udah lama nggak ketemu. Ke taman aja, ya."

Tidak ada jawaban lain, selain mengangguk. Ari mengikuti ke mana pun Geri melangkah hingga akhirnya berhenti di kursi panjang ujung taman. Ia langsung duduk saat gurunya itu mengeluarkan korek dan sebatang rokok.

"Kamu mau?" tawar lelaki berkemeja kotak-kotak.

"Udah, Pak. Terima kasih."

"Oke, lah." Geri merentangkan tangan pada sandaran kursi, lalu mengembuskan asap yang ia isap sebelumnya. "Gimana kabarmu?"

"Baik, Pak." Ari masih menikmati basa-basi ini. "Tapi bisa jauh lebih baik lagi kalau adik saya bisa di sini."

"Iya, Bapak turut berduka atas kepergiannya."

"Terima kasih."

"Kamu nggak mungkin ke sini tanpa perlu, kan? Ada apa?"

Beberapa kalimat di halaman kesekian dalam diari Rey-lah yang menuntun Ari untuk tak berhenti mencari Geri. Sebuah keluh tentang ulah mantan gurunya itu selalu membuatnya terngiang-ngiang. Ari ingin tak percaya, tetapi melihat kecurangan Geri dalam memberi jawaban ujian pada Doni, ia makin memiliki alasan untuk berdiri di sisi adiknya.

Pak Geri yang nyebarin rumor tentang Tante Ani. Gue tau, gue salah. Mungkin, dia balas dendam gara-gara unggahan itu. Tapi, kenapa dia harus nyebarin rumor kayak gini? Seharusnya cukup gue yang kena imbasnya.

Ari menggeleng cepat, mengusir memori itu agar bisa fokus menghadapi sosok di sampingnya. "Maaf, Pak. Saya masih penasaran sama sesuatu dan mau nanya ke Bapak."

"Apa?"

"Dulu, kenapa Rey berniat nyuri laptop Bapak di Gritama?"

Geri tertawa sebentar. Ia kemudian mematikan rokoknya dan meletakkannya di samping. "Kok kamu nanya saya?"

"Ya, barangkali--"

"Almarhum adikmu nggak ngomong apa-apa pas ditanya polisi. Terus saya tau dari mana? Harusnya kamu nanya orangnya langsung."

Ari tertegun. Ia mengepalkan tangan, lalu beralih mencengkeram celana.

"Tapi kalau diliat dari sini, masalah kamu nanya ke saya sekarang, saya bisa ngira-ngira kalau hubungan kalian nggak sedekat itu. Atau mungkin malah bermasalah?"

"Bapak nggak perlu menyimpulkan demikian. Saya cuma bertanya," ucap Ari dingin dan penuh penekanan.

Lagi, Geri tersenyum lalu menatap siswa yang dulu sangat dikaguminya. "Apa yang saya lakukan dulu memang salah dan saya pantas untuk dipecat. Mungkin, kesannya saya punya motif buat ngapa-ngapain adik kamu, tapi dugaanmu itu nggak akan mengubah apa-apa, Ri. Rey udah tenang di sana."

Lelaki itu lantas berdiri, menepuk dan memijat pundak Ari yang kaku, sedangkan sosok yang tak berkutik di tempatnya hanya bisa meredam emosi. Ari benar-benar diam, menunggu Geri menyelesaikan kalimatnya. Ia masih menatap rerumputan, takut jika bertatapan malah memancingnya untuk menimbulkan keributan.

"Udah, ya. Kamu hati-hati. Ingat, putra Bu Ani sekarang tinggal satu, yaitu kamu."

Setelahnya, Geri meninggalkan tempat seraya melambaikan tangan pada rekan pengajar yang menyapa. Ari lekas mendongak, memperhatikan punggung kawan sejawat ibunya, dulu. Ia menelan ludah, memikirkan kalimat yang menutup perbincangan mereka. Bukan nasihat yang asing, apalagi salah, tetapi batin Ari terus mengulangnya, seolah ada yang telah ia lewatkan.

Sayangnya, apa?

DAY 7
10 Januari 2022
1530 Kata

Maaf, ya, kemarin nggak nongol.
I've a bad day 🍃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top