[Sin 22]
Dua sosok yang baru keluar dari ruang penyelidikan lekas menepi dan menjauh dari hiruk-pikuk sekitarnya. Sesekali mereka menoleh ke kanan-kiri, mengecek keheningan ujung kamar mandi laki-laki tempat ini. Setelah benar-benar sepi, salah satu di antaranya menawarkan sebatang rokok, sekaligus membantu menyalakannya menggunakan korek api tak bermerek.
"Maaf, ya, Pak. Lagi-lagi saya harus merepotkan."
"Bukan masalah, Pak Pram. Urusan seperti ini tidak perlu memerlukan usaha besar untuk menyelesaikannya."
Pram mengangguk sambil mengembuskan kepulan asap dari mulutnya. "Syukurlah kalau begitu. Pencalonan saya bisa kacau kalau Pak Fauzan diadili lebih jauh dan membawa-bawa nama saya. Nanti tambahannya akan ditransfer. Bapak nggak usah khawatir."
"Tenang saja, Pak. Tapi, hanya ini yang bisa saya lakukan. Untuk denda, peringatan dan pengawasan lebih lanjut, itu sudah menjadi prosedur yang berlaku."
"Nggak masalah," Lelaki yang menepuk pundak rekan di sampingnya itu lantas tersenyum, "ini saja sudah cukup."
Setelah membuang puntung ke tempat sampah, Pram keluar toilet. Ia disambut banyaknya wartawan yang menunggu. Dengan senyuman yang menyamarkan kepanikannya selama Fauzan diinterogasi, ia mengajak mereka yang haus berita ke tempat yang lebih luas. Masuk televisi dengan background kamar mandi tentu tidak elite, pikirnya.
"Bagaimana hasil penyelidikannya, Pak? Apa benar Bapak bekerja sama dengan Pak Fauzan atas kasus ini?"
"Pelan-pelan, ya. Masalah ini nggak perlu dibesar-besarkan. Saya di sini sebagai salah satu tim pengawas yang mengevaluasi Kemuning, tidak ada kerja sama apa-apa. Semuanya selesai. Kementerian sudah turun tangan," jelasnya dengan nada pelan dan tenang.
"Lalu, tindakan apa yang dilakukan selanjutnya, Pak?"
"Selama penyidik menggali lebih dalam tentang permasalahan di Kemuning, kementerian pendidikan akan turut memantau sekaligus meluncurkan program baru sebagai bentuk pengawasan."
"Program baru apa, Pak? Bisa dijelaskan?"
Tanpa keberatan, lebih tepatnya ia memang menginginkan demikian, Pram menjelaskan setiap detail rencana yang sudah ia susun sebelumnya. Agenda yang seharusnya diluncurkan mendekati pemilihan kabinet baru kini harus menyeruak lebih awal untuk menyelamatkan reputasinya. Dengan berbunga-bunga, ia memaparkan bahwa adanya program baru ini akan menyamaratakan perlakuan tiap sekolah terhadap siswanya, yang dianggap menjadi jawaban kasus SMA Kemuning.
Seluruh wartawan yang berkerumun di depan Pram tampak antusias hingga lupa dengan poin utama keberadaan mereka di sana. Permasalahan yang sempat panas di mana-mana seketika bergeser dengan aksi pemerintah ke depannya dalam menanggulangi hal ini. Mereka melihat nilai yang lebih menarik dari itu dan menjadikannya headline di berita terkini.
Ani yang duduk tidak jauh dari sana hanya bisa mencengkeram roknya. Jauh-jauh ia datang untuk memenuhi permintaan Ari, tapi yang didapat tak lebih dari harapan kosong yang dibawa semilir angin. Ia pun beranjak, mendekati Pram yang telah menutup wawancaranya. Meski marah, kalut, dan terkhianati, ia masih punya muka untuk menunggu orang lain menyelesaikan urusannya. Tidak seharusnya ia mengganggu pekerjaan orang lain, bukan?
"Boleh saya minta waktunya sebentar, Pak?" tanyanya setelah berhenti tepat di depan Pram yang semula sedang berjalan.
Tentu, Pram tidak melupakan wajah guru yang pernah mengajar putranya. Atau redaksi lain, ia tidak melupakan wajah ibu yang kehilangan buah hati karenanya.
"Bu Ani? Boleh, mari kita cari tempat duduk."
"Tidak perlu, Pak. Di sini saja."
Pram mendengkus dan melirik ke beberapa orang yang menatap mereka. "Nggak enak, Bu. Di sini ramai. Mari!"
Ani segera melepas tangan Pram yang menggenggam pergelangannya. Ia mundur selangkah lalu mendongak, seolah menantang lelaki yang tak dapat berkata-kata. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengeluarkan berkas yang ada di map cokelat. Ia kemudian melemparkan lembar-lembar itu ke muka Pram hingga membuat limbung, tetapi tidak sampai jatuh.
"Baca! Itu semua kebusukan yang sudah Kemuning lakukan dan Anda bilang tidak perlu dibesar-besarkan?"
Pram mengusap wajah, khususnya bagian pipi yang terkena klip kertas. Ia menggigit bibir, berusaha menahan amarah yang mulai menjalar dari kepalan tangannya. Namun, sorot mata Ani membuatnya ingin mendekat dan mencekik wanita tersebut saat itu juga. Sayang, masih ada sisa-sisa wartawan yang memilih mengamati mereka berdua.
"Tenang, Bu. Ini semua hanya salah paham."
"Salah paham bagaimana, Pak? Yang salah adalah pembebasan Pak Fauzan, ketika harusnya beliau dijatuhi hukuman karena memanfaatkan dana orang tua siswa notable untuk kepentingan terselubung Kemuning dan dirinya sendiri, sedangkan yang perlu dipahami di sini adalah Bapak merupakan salah satu dari pemasok dana itu."
Pram berpura-pura tertawa dan menahan penjaganya yang ingin mengusir Ani. "Drama macam apa yang Bu Ani katakan sekarang? Itu tuduhan yang sangat besar, lho."
"Iya?" Ani menyeringai. "Lalu bagaimana dengan kelakuan Bapak yang memanipulasi kematian putra saya agar nama Bapak dan nama anak Bapak bersih dari kriminalitas?"
"Bu," Pram mendekat dan berbisik, "jaga bicara Anda di sini."
"Kenapa? Bukannya memang demikian? Anak Bapak membunuh anak saya dan Bapak yang membersihkan aksinya."
"Saya bilang jaga mulut Anda!"
Geram, Pram pun menampar Ani. Rautnya memerah, tidak tahan dengan ucapan-ucapan wanita itu. Satpam yang sejak tadi menunggu perintah lekas membawa Ani keluar ruangan, menjauhkannya dari wartawan yang mulai tertarik. Namun, Pram segera mengatasinya dengan permohonan maaf dan meminta mereka untuk tidak menayangkan kejadian tadi. Ia juga mengatakan akan menghubungi redaksi pelaksana setiap media agar tidak ada kesalahpahaman.
Sayangnya, kebungkaman media tidak sepenuhnya menyelamatkan Pram, juga Fauzan. Setelah video aksi Ari berteriak-teriak di lapangan SMA Kemuning merajai pencarian media sosial, video penamparan itu turut naik guna mendukung kejanggalan yang masih tersisa. Warganet ramai-ramai mempertanyakan apa yang terjadi. Mereka turut prihatin dengan kefrustrasian Ari dan Ani dalam rekaman tersebut. Nama Rey sontak menjadi salah satu trending topik berkat kesabaran keluarganya yang telah di ambang batas.
Di hari berikutnya, saat Ari menonton video Ani dan merasakan sakit yang ibunya rasakan, ia kembali ke sekolah lewat gerbang dekat kantin. Rama telah membantunya untuk menyelinap ke kolam renang baru Kemuning yang ada di samping belakang gedung utama, tempat bekas ditemukannya tubuh rentan Rey dua tahun lalu.
Lelaki itu lekas menghempaskan sosok yang sedari tadi ditarik dan diseret dari kantin. Ia berdiri di depan Luis yang masih sempat mengumpat dan mengeluh di tengah situasi seperti ini. Rama yang diminta mengelabui anak dari majikan ibunya itu langsung menepi dan mengalihkan pandangan. Ia tidak sanggup menatap sorot mata Luis yang seolah ingin membabatnya habis-habisan.
"Hubungi dua temen lo!" perintah Ari setelah menyerahkan ponsel Luis pada sang empunya.
Tak menunggu lama, Doni dan Sam berlari menghampiri Luis. Rama lantas enyah dan mengunci pintu dari luar, membiarkan Ari berurusan dengan tiga lelaki itu sebebasnya.
"Asli, ya. Kudu banget lo kayak gini, hah? Ini nggak mencerminkan anak hukum banget. Tau, nggak?" Sam berbicara sambil menunjuk-nunjuk muka Ari.
"Terus menurut lo, apa yang kalian lakukan selama ini mencerminkan seorang siswa gitu?"
"Nggak usah ngalihin pembicaraan, deh. Sebenarnya apa lagi, sih, yang lo mau? Lo udah tau kebenarannya, kan? Kelar, dong?" Luis perlahan berdiri dan menyuarakan perasaannya.
"Gue belum denger kebenaran itu dari mulut kalian sendiri."
"Hah? Lo mau kita ngomong terus terang? Sori, kita nggak sebego itu. Kelicikan apa lagi yang lo lakuin sekarang? Ngerekam pembicaraan? Live streaming? Apa?"
Doni masih terdiam. Ia menatap Ari dan kedua sahabatnya bergantian. Embusan napas panjang keluar dari mulutnya. Ia lantas memijat pelipis dan tak sengaja mendongak. Sontak mulutnya ternganga saat melihat wajah yang tak asing berada di papan loncat tertinggi. Tanpa sadar, ia mendekat dan mengamati wajah itu lekat-lekat. Hal yang membuat Sam dan Luis ikut menoleh. Mereka tak kalah terkejutnya.
"Kak Toni?"
"Gue udah denger semuanya dari Ari," ucapnya sambil tersenyum.
"Dan lo percaya?"
"Sahabat gue punya buktinya."
"Bukti apa? Diari itu? Kan bisa aja--"
"Dalam pengadilan, kemungkinan itu emang bisa terpikirkan, Don. Tapi, sebagai Kakak, gue tau bekas air mata di kertas itu bukan karangan orang lain. Kenapa lo lakuin ini semua?"
Doni menggeleng. Giginya bergeretak. Jantungnya berdegup cepat. Ia mengacak rambutnya kesal.
"Gue udah diem aja lihat lo deket dengan Ari, tapi kalau kenyataannya gini, mending dari awal gue pisahin kalian."
"Lo nggak lakuin itu karena nggak mau ketauan, Don. Lo tau kalau gue bakal securiga itu kalau lo main larang gue deket sama orang lain."
"Kak--"
"Don, tatap Ari. Bilang, kenapa lo lakuin itu semua?"
Mata Ari berkaca-kaca. Ia tidak bermaksud mengusik kehangatan keluarga angkat sahabatnya sendiri. Namun, Toni-lah yang mendekat dan meminta penjelasan. Ia, yang selama ini hanya tahu kebaikan ayah dan adik angkatnya, ingin mencoba terbuka dengan fakta yang terselimuti kekuasaan. Tentu, ia tidak percaya semua itu, pada awalnya. Namun, lama kelamaan, ia sadar benang-benang yang ada dapat terlihat dengan mata telanjang, jika tidak ditunggangi siapa-siapa.
"Kak, gue nggak bermaksud. Sungguh, gue nggak berniat membunuh siapa pun. Gila, apa? Gue nggak mungkin ngelakuin itu. Semuanya terjadi begitu aja. Nggak ada yang pengin Rey meninggal. Mau itu gue, Sam, Luis, atau Papa. Nggak ada, Kak."
"Terus, kenapa lo nutupin fakta kalau dia nggak bunuh diri?"
"Waktu itu kita berdiri di ujung pembatas rooftop. Tiba-tiba dia oleng dan gue nggak sempet narik tangannya. Gue dan temen-temen gue lari karena nggak mau dijadikan tersangka, Kak. Toh, kenyataannya emang bukan kita pelakunya, kan? Itu cuma kecelakaan. Sisanya itu Papa yang nyuruh. Gue dipaksa, Kak."
Air mata Ari jatuh saat mendengarnya. Ia ingin luruh, memeluk dinginnya lantai dan menumpahkan tangis sejadi-jadinya. Namun, ia memilih untuk tetap berdiri dan menelan kepahitan yang baru saja ia dengar.
"Nggak gue sangka, sampai detik ini pun, lo nggak merasa bersalah sama sekali." Toni menggeleng tak percaya. Ia merasa hina setelah mendengar pengakuan malaikat yang telah menyelamatkan hidupnya dari jurang kesepian.
"Kak, gue--"
"Don," Luis menepuk lengan kawannya, "pintunya udah kebuka. Ayo pergi dari sini."
"Tapi--"
"Ayo!" Sam menarik tangan Doni, lalu melepasnya setelah mereka berhasil lari.
Melihat itu, Ari tak melakukan apa pun. Sorot matanya kosong, hanya relung hatinya yang terisi untaian kata-kata Doni. Tak ia duga, lelaki yang ingin melarikan diri dari mereka tersebut berhenti sejenak dan memandangnya tulus. Ari lantas menoleh dan menatapnya.
"Bang, gue minta maaf, ya," ucap Doni lirih.
Setelahnya, ketiga siswa itu benar-benar enyah dari kolam renang. Rama yang kecolongan karena harus berhadapan dengan teman sekelasnya lekas menghampiri Ari. Tampangnya kusut dan terdapat beberapa lebam. Napasnya kembang-kempis tak karuan hingga tidak dapat berkata-kata.
"Apa gue kejar mereka lagi, Bang?"
Ari menggeleng. "Lo ke UKS aja. Obati luka lo."
"Tapi--"
"Udah," Ari menoleh ke belakang, tepatnya melihat Toni yang masih duduk manis di atas, "nanti gue nyusul, kok."
Rama mengangguk. Dengan langkah yang berat, ia meninggalkan Ari yang berjalan menuju papan loncat yang penyangganya setebal dinding kelas. Ia lekas duduk di samping Toni dan ikut memeluk lutut seperti sahabatnya.
"Tinggi, ya," ucapnya diiringi tawa kecil.
"Lumayan."
Hening. Dua lelaki bersahabat itu pun tersenyum. Detik kemudian, setetes air mata turun membasahi pipi. Ari menghirup udara dari ketinggian sambil memejamkan mata. Ia kemudian berdiri dan merentangkan tangan, merasakan semilir angin yang membawa hawa dingin. Gemuruh panas di tubuhnya perlahan mereda.
"Lo tau, Ri? Meski gue dan Doni nggak serumah, kita deket banget dan sering main bareng. Sampai akhirnya gue masuk Petra dan itu bikin Papa naruh harapan yang besar ke dia."
Ari menoleh dan duduk kembali. Ia mendengarkan cerita dengan saksama Toni tanpa menginterupsi.
"Gue nggak pernah nyangka kalau adik kecil gue itu harus ngelewatin semua ini karena tuntutan Papa." Toni mendengkus. "Gue nggak berniat membenarkan atau nyari pemakluman, tapi gue minta maaf."
"Bukan salah lo."
Ari berbaring dan menatap langit-langit yang jaraknya terasa dekat. Masih dengan air mata yang menetes perlahan, ia tersenyum dan mulai bercerita, sedangkan Toni memandangnya dari posisi duduk.
"Lo tau, Ton? Meski Rey adalah adik tiri gue, gue belum sempet deket sama dia. Ayah lebih dulu ngasih gue sebagai standar yang harus dia capai. Sampai pas dia lihat kecurangan adik lo, dia nggak bisa diem aja."
Toni lantas ikut berbaring. "Nggak jauh beda, ya."
"Iya," jawab Ari sambil mengangguk. "Kalau udah begini, menurut lo siapa yang salah? Di mana akar dosanya?"
"Semua orang, kecuali anak yang harusnya bisa hidup di atas kakinya sendiri. Tentang dosa …."
Ari bangkit, mengikuti Toni yang sudah berdiri. "Biar mereka yang menilai."
Setelahnya, ia ingin beranjak turun. Namun, tiba-tiba tangan Toni menariknya dan mereka lompat bersamaan ke kolam renang dari ketinggian tiga meter. Suara air yang muncul dari beban berat mereka pun menggelegar.
Dua sosok yang berpegangan tangan itu merasakan betapa ringannya jiwa di dalam air. Kesejukan yang menenangkan membuat mereka enggan untuk berusaha naik. Perlahan, tubuh mereka makin menuju dasar dan tak terlihat lagi.
Di sisa-sisa kekonyolan itu, Ari tersenyum. Bayangan Rey yang menangis di depannya membuatnya ikut merasakan hal serupa. Ia pun membuka mata dan menyadari bahwa semua telanjur jauh untuk tenggelam tanpa arti. Ia lantas mengingat pesan yang keluar dari mulutnya sendiri pada sang ibu bahwa selama mereka bersama masih di sini, ia bisa memperbaiki situasi. Kalaupun harus nanti, ia akan menunggunya. Toh, pendosa di luar sana tidak akan berubah rupa hanya karena lolos kedua kali.
DAY 24
27 Januari 2022
2090 Kata
Sebenarnya tamat di sini, tapi ada penutup lagi di bab sebelah ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top