[Sin 2]
Tap. Tap. Satu per satu anak tangga dilewati dengan tergesa-gesa. Peluh yang menetes berpadu dengan debu kotor, saksi kesendirian tempat ini. Tidak ada yang menjamah, tidak ada yang merawat. Sunyi, pantas untuk dijadikan pelarian. Derap dari bawah itulah yang menyelematkan keangkeran atap gedung utama sekolah. Doni segera merebahkan tubuhnya setelah sampai.
Napasnya kembang kempis tak karuan. Ia berdecak, mengumpat, lalu mengernyit dan menutupi wajahnya menggunakan siku kanan. Panas sore ini belum merasakan amukannya. Sial, rutuknya lagi. Ia akan menyalahkan apa dan siapa pun yang mendidihkan tubuhnya. Sosok yang ia pikir ikut mati dua tahun lalu ternyata masih berani muncul.
Lelaki itu lekas duduk. Alisnya bertaut seiring dengan kepalan tangan yang menguat. Lelah, ia seolah dikejar masalah. Bukan tidak sadar diri, melainkan sebaliknya. Doni sangat memahami kehendak mana yang mengaturnya.
"Lo ngapain, sih, Don?"
Sang empunya nama menoleh. Syukurlah, batinnya sekejap. Ia berdiri lalu berkacak pinggang, menatap dua lelaki yang berjalan santai menghampirinya. Ck, mereka mungkin bisa demikian karena porsi rasa bersalah yang berbeda. Doni meludah kemudian duduk di satu-satunya sofa tak terpakai yang ada di sana.
"Mata lo nggak liat pas di BK tadi?"
"Siapa? Ari?"
Sam, lelaki berambut klimis dan berkacamata ikut duduk sambil membaca buku. Doni hanya mengangguk, masa bodoh apakah sahabatnya melihat atau tidak. Sejujurnya, ia malas menyebut nama itu di sini.
"Ya terus kenapa? Paling cuma magang. Tiap semester genap, kan, pasti ada mahasiswa yang datang."
Hah ….
" 'Kenapa' lo bilang?" gertak Doni pada Luis, lelaki yang sibuk membenahi model rambutnya.
"Kok sewot? Santai aja kenapa, sih?"
"Iya, bener kata Luis. Mending lo fokus belajar aja, Don. Bentar lagi ujian sekolah."
"Oh, jadi sekarang lo khawatir sama nilai gue, mentang-mentang udah dapet rekomendasi?"
Sam mencengkeram halaman 128 hingga kusut dan robek. Hidupnya sudah cukup rumit dibanding istilah filosofis yang ada di buku ini. Lantas, atas dasar apa Doni menginjak pencapaiannya? Jelas tidak ada kaitannya.
"Shit, gue ngomong baik-baik, ya."
"Kenapa?" Doni malah tertawa saat kerahnya ditarik dan tubuhnya sedikit terangkat. "Bukannya ini yang lo mau setelah Fanstrio bubar dulu? Lo bisa fokus sama subjek-subjek nerd lo itu dan dapet tempat spesial dari kepala sekolah."
"Gue bilang 'gue masih ngomong baik-baik'. Gue tau lo panik, tapi bukan berarti lo boleh ngadu nasib buruk lo begini," ucap Sam penuh penekanan.
"Udah, udah. Jangan kayak bocil gini, lah." Luis segera memisahkan dua sahabatnya, menuntun mereka untuk kembali duduk.
Doni mengusap seragamnya lalu memalingkan wajah. Deru napasnya masih sama, cepat. Panas juga terasa saat tubuhnya menegang. Berulang kali ia mendengkus, sebelum akhirnya menenggak air minum kemasan yang disodorkan Luis.
"Puas?" Sam menatap Doni yang menggigit bibir.
"Sori," ucap lelaki itu, akhirnya.
"Nggak masalah. Sekarang, gue tanya. Apa yang lo takutin sampai panik begitu? Lo sendiri yang bilang ke kita kalau semuanya udah beres."
"Lagian mau ngarep apa sama kejadian dua tahun lalu, Don?"
Doni tak segera menjawab. Ia justru menoleh ke tepi rooftop sekolah--yang sebenarnya lahan kosong karena tidak ada bangunan lagi. Tepat di ujung dan di pembatas itu, dua orang siswa pernah berdiri memperebutkan benda berharga yang telah dilenyapkan. Doni refleks memejamkan mata saat suara gedebuk terngiang-ngiang. Genangan darah yang memenuhi ingatan turut membuatnya panas-dingin.
Sungguh, jangan seperti ini lagi.
Lelaki itu bangkit tanpa sadar. Perlahan, ia berjalan menuju ke tempat yang sama, tempat yang pernah ia pijak, tempat yang kini membuatnya teramat kotor dan tak layak. Namun, kakinya terhenti dan ia pun terduduk. Terus menggeleng dan memukul kepala berkali-kali sampai Sam menarik dan menjauhkan tangannya.
"Kalau bego jangan nyakitin diri sendiri, Don."
"Terus? Lo mau gue nyakitin siapa?"
Sam bergeming, sedangkan Luis hanya mengamati dari jauh. Doni langsung menghempaskan tangan sahabatnya lalu mendorongnya agar bisa berdiri. Berdiam menunggu jawaban pun untuk apa? Mereka bertiga sama bodohnya.
Lelaki bermata sipit namun tegas itu berniat turun lalu pulang, tetapi wajah familier yang tertangkap penglihatannya menunda segala hal. Meski sekilas, Doni yakin siapa sosok tersebut. Ia lekas menuju pembatas depan dan melongok ke bawah. Sam dan Luis yang penasaran masih saling pandang sebelum Doni bersuara.
"Itu Ari sama Rama. Mereka, mereka ngobrol."
Luis mendekat. Ia mengabadikan momen itu dalam ponselnya. "Cuma sebentar."
Doni mengiakan. "Kira-kira apa yang mereka bahas?"
"Lo nggak perlu menebak-nebak, Don. Beneran. Overthinking cuma bikin fokus belajar lo berantakan."
"Terus menurut lo gue masih bisa belajar kalau kepikiran ginian?"
"Ya jangan dipikirin," sambung Sam.
"Ngomong doang, mah, enak."
"Udah, lah." Lama-lama Luis muak dengan adegan sinetron di hadapannya. "Rama nggak bakal ngomong apa-apa. Lo tau itu, kan."
Doni berbalik badan, bersedekap lalu menggigiti kuku tangannya. Kalau dipikir-pikir, jawabannya hanya 'iya'. Ia tahu itu, semua tahu itu. Ia pun mengangguk.
"Iya, dia nggak mungkin ngaku."
🍃
Gue nggak ngerti, gue nggak salah, gue bukan pelakunya. Bukti itu lenyap …. Gue nggak bisa berbuat apa-apa.
Tinta pada kertas tersebut pudar, meninggalkan bekas tetesan air mata pada tulisan 'salah'. Ari menelan kepahitan yang ia ciptakan sendiri. Beribu kata andai menyiksanya setiap malam selama dua tahun ini. Nyenyak dan gembira yang bisa dirasakan hanya bertahan sekian detik lalu sirna oleh fakta yang menyesakkan. Ia mengingkari janji.
Siang ini ia kembali menginjak kelas yang sama. Kelas yang dulu pernah ia datangi untuk mencari pelaku penyebaran fitnah atas status ibunya. Kelas yang menjadi saksi perundungan adik tirinya. Kelas yang mencatat bahwa ia tidak mempercayai orang yang menaruh sejuta kepercayaan padanya.
"Jadi, mulai hari ini ada kakak-kakak dari Petra yang akan membantu Ibu mengawasi kalian …."
Lelaki itu terus melangkah ke belakang, tak peduli dengan ocehan pengantar yang harusnya ia sambut dan dengarkan baik-baik. Pandangannya tertuju pada loker bekas milik Rey. Tentu, pemiliknya sudah berganti. Bahkan, gemboknya sudah berbeda. Seiring bertambahnya tahun, Kemuning memang makin luar biasa.
"Materi hari ini tentang …."
Sayang, sejauh mana pun mata Ari mengedar, bagian atas kiri-kanan kelas ini tetaplah sama. Hanya terpasang AC, proyektor dan ornamen tak penting lainnya. Kamera pengawas yang ia damba sejak dulu belum juga terwujud. Hah, tak ada respons lain selain dengkusan panjang.
"Mungkin saking luar biasanya, mereka sudah memikirkan hal ini," monolognya pelan.
"Hah? Maksud lo apaan?"
Seketika Ari mendongak. Ia baru menyadari keberadaan kawan seangkatan itu setelah sekian lama menganggap kelas ini dunianya sendiri. Toni buru-buru menarik kursi--dengan pelan tentunya--lalu duduk di sebelah Ari, yang sudah duduk terlebih dulu. Wajahnya berbinar antusias seolah baru mendapatkan gosip hangat.
Masih mengusap dada--karena kaget, Ari menggeleng dan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, gue ngomong sendiri."
"Ya iya, tau. Wong gue baru masuk. Mereka siapa? Mikirin apa?"
"Jangan kepo, deh, Ton. Tuh, dengerin Bu Monik."
"Kalau mengalihkan pembicaraan, berarti ada apa-apa. Lo bukan tipe yang ngeles begini, Ri."
Ari memutar bola matanya. "Bukan sesuatu yang harus lo tau."
Diam adalah teman sejati yang tidak pernah mengkhianati. Begitulah kata Konfusius. Ari tak bermaksud menutupi segala hal, tetapi orang di sampingnya bukan sosok yang tepat. Ia cukup belajar dari apa yang terjadi pada almarhum adiknya.
"Oke, lah. Yang jelas, kalau lo butuh tempat, gue siap menampung. Hitung-hitung, bayaran nebeng nama di makalah kemarin."
"Makasih, tapi masalah itu lain lagi. Minimal lo bayar fotokopian-nya, Ton."
Lelaki jangkung itu terkikik sambil menutup mulut, sedangkan Ari hanya menggeleng lalu beralih fokus. Sambil memperhatikan cara penjelasan guru PKN di depannya, ia menatap layar ponsel yang menampakkan kontak seseorang.
Orang yang sulit dihubungi sejak kematian adiknya.
Ari tak tahu-menahu dendam apa yang Rama miliki hingga datang ke pemakaman pun tak dilakukannya. Padahal, sejauh ia membaca diari Rey, dua bocah kelas sepuluh--dua tahun lalu--itu terbilang sangat dekat. Terlepas dari insiden patah tangan, ia masih tak habis pikir.
Namun, Ari tak berhak menghakimi kesakitan orang lain. Ia tidak boleh menganggap remeh luka yang Rama lalui. Ia hanya boleh mencoba mendekati lelaki itu untuk kali kedua, setelah sebelumnya ditolak mentah-mentah. Kini, nomor telepon yang ia inginkan sudah berada di genggaman.
"Lo mau ngehubungi siapa, sih? Sumpah, ya, udah seperempat jam lo mantengin nomor itu."
"Baru lima belas menit, nggak usah hiperbola pakai satuan jam segala."
"Nominanya sama, nggak usah diprotes. Jawab aja."
"Nomor anak kelas dua belas. Adik kelas gue dulu."
"Ooh, mau ngapain? Jalan bareng, ya? Ciyee."
"Dia cowok."
"Eh," Toni menggaruk kepalanya, "temen adik lo?"
Dada Ari sontak terasa sesak. Ia memang pernah mengatakan memiliki saudara laki-laki pada Toni, tetapi ia tak membicarakan hal lain mengenai kepergian Rey. Karena bagi Ari, adiknya tidak ke mana-mana. Ia masih terjebak di sini, bersama kebenaran yang tertutupi.
"Sahabat adik gue."
"Ooh. Kalau lo mau ngehubungi dia buat ketemu pas istirahat, mending di luar aja. Nggak enak sama siswa di sini. Kan mereka nggak boleh pegang gadget pas pelajaran."
"Oke, lo perhatiin belajar-mengajarnya. Biar kita nggak sama-sama bego."
"Bangke!"
Ari mengendap-endap keluar setelah mendapat izin dari wanita yang sibuk memainkan spidol. Semula ia mau bersandar di dinding, tepatnya di bawah jendela kelas, tetapi tidak nyaman dan beralih duduk tanpa alas di tepi lorong. Jam belajar yang masih berjalan membuat sekitarnya sepi tanpa hiruk-pikuk warga sekolah.
Lelaki itu lekas mengirim pesan untuk Rama. Hanya berupa sapaan dan ajakan makan siang. Ari tak perlu terburu-buru. Ia masih memiliki banyak waktu. Namun, pemikirannya itu sedikit goyah saat tak sengaja mendongak.
Tempat ini tinggi, kokoh, dan bernama. Cara apa yang harus dilakukan struktur paling kecil sepertinya agar bisa meruntuhkan itu semua?
DAY 2
5 Januari 2022
1530 Kata
Doni, nih.
Kesel sama dia, nggak?
Playlist lagu yg kudengerin selama nulis cerita ini. Isinya sekarang masih satu dan bakal bertambah seiring waktu ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top