[Sin 19]

Sudah Ari duga, malah lebih cepat dari yang dikira, ia akan duduk di tengah-tengah para guru layaknya sekarang. Tidak ada senyum manis yang tertoreh di raut mereka seperti biasa, hanya ia seorang yang cengar-cengir menahan tawa. Katakanlah ia gila karena tidak memahami situasi, tetapi posisinya tidak terlalu buruk. Meski semua orang telah mengetahui bahwa ia pelakunya, Ari tetap tenang dan bersikap baik-baik saja.

Hal itu membuat Fauzan makin geram. Sejak melacak alamat IP dari unggahan perundungan kemarin dan berhasil menemukan dalang atas segala hal--yang sebenarnya sudah ia duga, ia tak sabar ingin mendudukkan Ari dan menginterogasinya. Namun, bukan merasa bersalah atau tersudutkan, lelaki berkemeja hitam dengan rambut super-klimis itu justru meremehkan gertakannya.

"Jadi benar, kan, tuduhan saya kemarin? Kalau sejak awal kamu-lah yang mengunggahnya."

Ari menyeringai lalu menggeleng. "Yang pertama benar-benar bukan saya pelakunya, Pak. Kalaupun itu saya, Bapak nggak punya buktinya, kan?"

"Sekarang saya punya bukti kalau kamu yang mengunggah postingan itu."

"Lalu? Memangnya kenapa kalau saya yang mengunggah? Bapak mau melaporkannya ke pihak yang berwenang? Silakan, dengan senang hati saya siap bekerja sama."

Sial, batin Fauzan dalam hati. Rasanya seperti berdiri di antara dua pilihan yang sama-sama memberatkan. Ia tidak mungkin gegabah dengan melaporkan Ari atas pencemaran nama baik karena tadi pagi saja sekolah sudah mendapat peringatan dari lembaga pendidikan. Mereka harus mempersiapkan kontroling dadakan dan juga bersiap menerima evaluasi yang entah bagaimana ujungnya. Hal yang sangat jelas adalah citra Kemuning sedang mengkhawatirkan.

Ari yang tak nyaman dengan keheningan itu lantas beranjak menuju loker para guru yang ada di ujung sisi kiri. Ia tak peduli dengan Fauzan yang berusaha menghalanginya dan terus berjalan. Setelah mengobrak-abrik isi tas, ia kembali ke tengah dengan membawa spidol yang dibawa dari rumah.

"Apa yang mau kamu lakukan?" tanya sang kepala sekolah.

"Saya mau menjelaskan sesuatu."

Lelaki itu lantas melanjutkan langkah ke rak ATK dan mengambil papan tulis mini di bagian bawah. Kemudian ia berdiri di depan, menghadap seluruh guru dan karyawan, dan bersiap menuliskan segala macam yang ada di pikirannya sebelum mengambil keputusan ini.

"Sebelumnya, saya mohon maaf ke Bapak-Ibu yang terganggu atas masalah ini. Tapi, saya tentu punya alasan untuk itu. Mungkin, bagi yang belum tau, atau sebenarnya tau dan memilih pura-pura tidak tau, dua tahu lalu saya memiliki adik yang sekolah di sini."

Perlahan, Ari menuliskan nama lengkap Rey di papan. Jantungnya seketika berdegup kencang dan hawa dingin merasuki tubuhnya. Ia lekas berbalik dan menatap Ihsan yang tengah memandanginya dengan sorot teduh dan menenangkan. Ia pun menghela napas panjang lalu berusaha tersenyum.

"Rey memergoki salah satu dari tiga siswa yang melakukan kecurangan saat ujian. Mereka bertiga ini mendapat bocoran dari guru Kemuning yang juga mengajar di bimbel ternama di daerah ini. Setelah ketahuan menyebarkan berita tersebut, dia mendapat peringatan dari sekolah karena mencemarkan nama baik."

"Jangan terlalu dramatis! Kamu tau kalau kami melakukannya sesuai aturan."

"Oh, ya?" Ari kembali menghadap papan dan menuliskan beberapa pasal yang tak asing di mata guru-gurunya. "Menurut aturan yang sama-sama berlaku di sini, harusnya siswa yang melakukan kecurangan itu dikeluarkan dari sekolah. Bapak lupa tentang hal ini? Atau sengaja menegasikannya?"

"I-itu karena mereka berprestasi, jadi mendapat keringanan."

"Hm, gitu?" Lagi, Ari menyuguhkan nomor beserta kalimat yang cukup panjang. "Padahal, dari ayat ini saja sudah jelas bahwa tidak ada perbedaan tentang keringanan siswa berprestasi. Mereka hanya mendapat rekomendasi sekolah yang lebih bagus atau sesuai standar yang Kemuning tentukan. Yang itu berarti, mereka tetap harus dikeluarkan. Tapi, nyatanya?"

Fauzan tak lekas menjawab. Ia sibuk mengepalkan tangan guna menetralisir amarah yang meletup-letup. Besar inginnya untuk menghubungi siapa saja yang bisa mengatasi makhluk menyebalkan di depannya itu. Namun, sesuai permintaan Ari, seluruh penghuni ruang guru--termasuk dirinya--diminta untuk mengumpulkan ponsel mereka di salah satu meja. Katanya, sebagai antisipasi penyebaran pembahasan yang amat sensitif. Mereka juga mencabut akses telepon dan Wi-Fi. Setelah waktu berjalan, ia baru menyadari kebodohan tersebut.

"Oke, kalau gitu kita lanjut." Ari tidak tahan dengan keheningan ini. "Setelah mendapat peringatan, tiba-tiba sahabat Rey menuduhnya mematahkan tangannya di rooftop sekolah."

"Itu bukan tuduhan! Korbannya sendiri yang melapor."

"Bapak punya buktinya?"

"Tentu tidak, tapi korbannya sendiri yang mengatakan kalau adikmu yang menyakitinya."

"Kenapa tidak ada yang curiga kalau itu hanya rekayasa? Siapa saja bisa mengada-ada, apalagi Rey tidak punya masalah apa-apa sebelumnya."

"Dengan begini, sama saja kamu bilang kalau korban melakukan playing victim, padahal dia benar-benar terluka, Ri." Salah satu guru yang sejak tadi menyimak akhirnya turut bersuara.

"Pak, saya cuma mau mengatakan kalau adik saya di sini tidak didengar. Dia langsung dituduh begitu saja tanpa bukti. Tidak ada yang berdiri di posisinya. Tidak ada yang mencoba mencari tau apa yang sebenarnya terjadi dan lain sebagainya. Apa yang sekolah lakukan? Memberinya hukuman, hanya dengan satu kalimat aduan yang tidak diselidiki."

"Itu asumsi kamu, Ri."

"Menuduh adik saya sebagai pelakunya juga asumsi, Bu."

"Setidaknya itu yang dikatakan korban."

"Apa yang membuat kalian sepercaya itu dengannya dan tidak percaya sama sekali dengan Rey?"

"Ck, ayolah, Ri. Ini masalah dua tahun lalu. Tidak ada hubungannya dengan ulahmu sekarang."

Seketika Ari terdiam, tak lagi menanggapi dengan cepat, membuat para guru berkedip konstan dan berbisik-bisik. Detik berikutnya lelaki itu tersenyum dan menghapus tulisan pada papan, menggantinya dengan nama lengkapnya sendiri. Kemudian ia menghadap depan dengan binar antusias yang lebih terpancar dari sebelumnya.

"Tentu ada hubungannya. Kalau Bapak dan Ibu perhatikan, pola yang terjadi hari ini hampir sama dengan dua tahun lalu."

Ari membuat gambar panah lalu menuliskan kata notable yang dilingkari. Berlanjut menuliskan kata bullying yang diberi tanda tanya. Kemudian berhenti ke sebuah tanda petik yang di dalamnya berisi elipsis (…).

"Secara nggak langsung sekarang kamu mengakui kalau postingan noteable juga perbuatanmu, Ri," ucap guru yang menyilangkan kaki dan bersedekap di sisi kanan.

"Ya, ya, ya, anggap saja demikian, walau bukan sayang yang mengunggahnya."

"Sebagai mahasiswa hukum, harusnya kamu tahu kalau itu termasuk perbuatan kriminal. Dokumen itu bersifat rahasia. Data pribadi sekolah yang nggak boleh diketahui masyarakat luar."

"Kenapa memangnya, Bu? Bukannya hanya berisi biodata siswa yang berprestasi? Ah, iya, saya lupa, salah satu siswanya sendiri sudah mengonfirmasi kalau notable itu istimewa."

"Keistimewaannya nggak lebih dari yang kalian-kalian pikirkan!" Fauzan mencengkeram celananya.

"Begitu, ya, Pak?"

Ari menekan tombol kecil di belakang spidolnya. Tiba-tiba dengungan yang berasal entah dari mana mengusik fokus semua orang yang ada di ruangan. Rekaman suara yang muncul dari speaker--yang entah ada di mana pula--membuat mereka bergeming dan menajamkan pendengaran.

"Sebenarnya Bapak dipecat karena dianggap berbahaya untuk notable, berkat kecerobohan kemarin. Padahal, Pak Fauzan sendiri yang menawarkan bantuan pada Gritama jika mau bekerja sama dalam proyek ujian itu. Tapi, ya, mau gimana lagi, Ri? Masalah adikmu, Bapak cuma ngasih info yang anak-anak itu mau karena tekanan dari salah satu orang tua mereka juga."

Fauzan tidak tahan lagi. Suara Geri yang mengkhianatinya makin membuatnya gusar. Amarah yang susah payah dibendung kian menjadi-jadi dan tak ada gunanya lagi jika terus-menerus disembunyikan. Ia lantas berdiri dan berjalan mendekati Ari, meraih kerah lelaki itu dan menatapnya dengan jarak tak lebih dari satu jengkal.

"Wow, sabar, Pak." Ari terkekeh seraya mengangkat tangan.

"Mau sejauh mana kamu bertingkah, hah?"

"Sampai Bapak mau ngaku ke seluruh dunia tentang kebenaran kematian Rey."

"Kamu pikir kematian adikmu itu salah saya? Apa yang terjadi padanya itu ulahnya sendiri."

"Bapak jujur saja sama saya. Tidak perlu menutup-nutupi seperti itu."

Fauzan tak melepaskan cengkeramannya, sedangkan guru-guru yang lain tak berani melerai. Ari justru menikmati itu dengan membiarkan sang kepala sekolah melakukan apa pun yang ia mau. Ari sama sekali tidak keberatan dan bersikap sesantai mungkin.

"Kamu sudah tau siapa yang mem-bully adikmu, kenapa Kemuning harus terkena imbasnya, hah? Kamu pikir mudah membangun citra sekolah sampai seperti sekarang?"

"Tentu tidak mudah, Pak, tapi yang namanya menjaga pasti lebih sulit dari membangun, kan?"

"Apa maksudmu?"

"Cara menjaga Bapak ini salah." Ari mengusap-usap jas Fauzan dan menatap name tag lelaki itu lekat-lekat. "Walau saya tau siapa pelaku yang bertanggung jawab atas kematian Rey, saya tidak mau menyalahkan mereka sendirian, Pak."

Perlahan, Ari membuka cengkeraman Fauzan yang mulai longgar. Ia menyingkirkan tangan lelaki itu lalu mundur selangkah. Kemudian tersenyum dan sedikit membungkuk--sebagai salam pamit.

"Sadar atau enggak, apa yang mereka lakukan, kan, hasil didikan kalian juga. Jadi, apa salahnya menanggung itu bersama-sama?"

"Sebenarnya apa yang kamu mau, Ri? Doni mengakui kesalahan dan menjelaskan semuanya? Sebutkan, dari mari kita selesaikan hal ini secara baik-baik. Nggak perlu melibatkan media sosial seperti itu. Orang luar nggak perlu ikut campur."

Ari mengangguk pelan dan mendongak, seolah tengah memikirkan sesuatu. "Jadi benar, ya, kalau ada yang perlu dijelaskan dari Doni. Baiklah, nice info, Pak. Saya permisi dulu."

"Mau ke mana kamu?" Fauzan menahan tangan Ari dan menggenggamnya erat.

"Saya mau mematikan kamera live streaming di sana," tunjuk Ari ke arah tasnya yang ada di loker, "terus ngajuin itu ke pengadilan. Maaf, Pak. Sebelumnya, saya sudah konsultasi ke salah satu dosen di kampus. Terima kasih atas waktunya. Lebih baik, sekarang Bapak dan para guru menyalakan telepon sekolah. Wartawan-wartawan di luar sana menanti."

"Sialan memang kamu!"

Mata Ari terbuka lebar saat Fauzan mengambil vas bunga di meja terdekatnya lalu mengarahkan benda itu ke kepala Ari. Sontak lelaki itu mengangkat tangan untuk menghalanginya. Namun, terlambat. Alhasil seisi ruangan dipenuhi teriakan sana-sini. Ihsan yang sedari tadi diam saja langsung mendekat dan mendorong Fauzan untuk menyingkir.

"Ari! Ari!" panggilnya sambil menekan luka yang tampak masih mengeluarkan darah. "Cepat cari pertolongan."

Sayup-sayup Ari dapat mendengar suara tersebut. Hanya saja, ia tidak dapat menanggapinya. Buram yang menghalangi pandangan turut membuat kantuk dan lemas kian mendera. Ia pun menutup mata dan tersenyum untuk terakhir kali.

Ini belum berakhir. Permainan baru dimulai. Semoga, memang demikian.

DAY 21
24 Januari 2022
1600 Kata

Good game nggak, nih? 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top