[Sin 17]

Ari keluar dari ruang BK dengan map cokelat yang Ihsan berikan sebelum pelajaran ketiga dimulai. Sejak adanya pernyataan yang dirilis untuk media, ia dan Toni tidak diperkenankan masuk, apalagi menetap di ruang guru. Entah apa yang dibahas di dalam sana, ia tak tergerak untuk mencari tahu. Sekadar lewat atau mengintip pun tak ia lakukan. Toh, asap yang masih tersisa kini perlahan memudar dan diabaikan. Ia sudah paham akan hal itu sehingga memilih memasuki ruangan lain.

Toni yang sedari tadi sibuk menghabiskan jajanan kantin tergopoh-gopoh menghampiri Ari lalu merangkulnya dari belakang. Lelaki itu juga membawa map yang sama untuk dibawa ke kelas. Mereka lantas berjalan beriringan menuju lorong kelas dua belas sambil menunggu guru yang bertugas memberi arahan.

"Sekolah mulai adem, ya," ucap Toni membuka obrolan. Kini mereka duduk di pinggir kebun kecil yang ada di setiap halaman depan kelas.

"Udah diatasi."

"Lo percaya sama klarifikasi Pak Fauzan?"

Ari menoleh, sekilas menatap sorot mata Toni yang selalu terlihat tulus, meski mengandung beribu pertanyaan. Kemudian ia memalingkan wajah dan kembali menatap depan, sesekali melemparkan batu-batu kecil ke sembarang arah. Ia mendengkus, mengangguk, lalu meralatnya dengan gelengan.

"Gue nggak tau," jawabnya datar, "percaya nggak percaya, masalah udah selesai, kan?"

"Keliatannya gitu, sih. Gue lihat-lihat, udah nggak ada artikel yang bahas ini lagi. Lagian, masuk akal, kok. Nama-nama yang di sana emang berprestasi semua."

"Iya, dan kalau logikanya begitu, berarti gue belum bisa dikatakan berprestasi bagi Kemuning karena gue nggak masuk notable."

Toni bergeming. Ia tak lagi bertanya. Lebih tepatnya, ia tidak memiliki bahan untuk mengiakan ataupun menyanggah Ari. Ia bukan alumni Kemuning dan ia juga tidak paham dengan konsep notable. Meski sepupunya sekolah di sini, ia tak pernah mengulik hingga sedetail itu. Justru, menggali informasi dari Ari lebih menyenangkan, walau kadang ia harus mengupas setiap kalimatnya.

"Eh!"

Lelaki yang tengah duduk manis itu tersentak saat banyak siswa berlarian di lorong dan meninggalkan kertas yang telah diremas--membentuk bola--di kepalanya. Ia pun mengaduh sambil mengusap-usap kening, sedangkan Ari mengambil kertas tersebut dan membukanya hingga membentuk lembaran. Meski kusut, sedikit koyak dan kotor, ia masih bisa membaca isi yang tertera di sana. Penasaran, Toni pun mendekat dan mengambil alih yang dipegang Ari tanpa permisi.

"Ooh, ini yang rame dari kemarin, ya?"

"Iya."

"Bukannya lo kenal, Ri, sama anak ini? Si Rama-Rama itu. Temen adik lo, kan?"

Lagi, Ari menjawab, "Iya. Tapi, gue nggak tau urusan keluarga dia kayak apa."

"Ngeri, ya? Ngakunya punya ibu yang jadi manajer artis terkenal, taunya cuma ART. Harusnya jujur aja sejak awal."

"Dan dia nggak bakal masuk Kemuning."

"Eh?" Toni menautkan alis lalu menoleh ke arah Ari yang tak menatapnya. "Kok gitu?"

"Karena sekolah nggak akan nerima siswa tanpa privilege yang bagus. Tanpa uang, tanpa kedudukan, tanpa prestasi pula, apa yang bisa didapatkan dari mereka?"

"SMA ini di mata lo sejelek itu, ya, Ri?"

Ari tersenyum, lalu menunduk. Tanpa menjawab, ia bangkit dan langsung beranjak menuju kelas yang dituju, setelah mendapat panggilan dari guru yang berjalan dari ujung lorong. Toni lantas mengembuskan napas panjang dan mengusap wajah. Lagi-lagi ia tak berhasil menyelami kawannya sendiri. Ia lantas mengeluarkan ponsel dan mengetikkan suatu pesan, sebelum akhirnya menyusul dengan tergesa-gesa.

Siang ini, mereka diminta menjaga kelas dua belas (lagi) yang menjalankan latihan ujian sekolah untuk terakhir kali. Sesuai permintaan, Ari masuk ke kelas Rama, meski tahu kalau lelaki itu tidak ada di ruangan karena izin. Ia sendiri yang menyarankan hal itu.

Ari lebih tertarik dengan dua siswa yang duduk depan-belakang di sisi kanan. Kekompakan mereka dalam menatapnya makin menambah tensi yang sudah cukup tegang. Ia pun segera memulai tes dan berkeliling mengawasi setiap deret.

Sam yang semula tampak santai terlihat membenahi kacamata dan sesekali melirik ke belakang. Ari yang bersedekap dan bersandar di dinding lantas menyeringai, lalu kembali berjalan ke depan. Kali ini, ia melewati bangku Sam dan Luis, bahkan sempat berhenti sejenak guna melihat hasil kerja mereka. Kemudian ia segera melanjutkan langkah setelah mendapati kerutan pada kening mantan adik kelasnya itu.

"Sial, apa maunya?" bisik Luis. Ia terus menendang kursi Sam yang ada di depannya agar lelaki itu menoleh.

"Udah, diem aja. Kerjain soal lo."

Luis berdecak. Degup jantungnya terasa tak karuan dan sedikit mengganggu. Entahlah, ia merasa tidak enak dan ada yang perlu dibereskan. Sayang, ia tidak tahu bagian mana yang perlu dibenahi. Hal yang ia yakini sekarang hanya tentang Ari yang mungkin menjadi salah satu penyebab kegelisahannya.

Rasa yang bergulat di batin dan benak itu benar-benar awet hingga detik terakhir. Luis tak dapat menahan mulutnya untuk mengumpat saat Ari memberitahu mereka bahwa waktu telah habis. Sial, ia sungguh tidak fokus dan kehilangan kesempatan untuk menjawab beberapa soal. Semua itu gara-gara tatapan remeh yang seolah mengajaknya untuk beradu kesekian kali.

"Kok masih hitam, Pak? Mana kunci jawabannya?"

Ketua kelas yang tentu saja ambisius sudah bersuara. Memang seharusnya Ari menampilkan jawaban yang guru terkait berikan untuk dicocokkan dengan hasil latihan mereka. Namun, yang ia lakukan hanya tersenyum dan menopang dagu dengan tangan bertaut. Seketika kelas menjadi hening dan bertanya-tanya, tak terkecuali Sam dan Luis yang tiba-tiba berkeringat dingin.

"Setelah ini, ya. Saya punya sesuatu dulu buat kalian."

Bunyi gesekan kursi sontak memenuhi ruangan, terlebih setelah Ari membuka folder berisi kumpulan video yang diberi nama deretan angka yang belum mereka ketahui. Lelaki yang masih tersenyum itu lantas memutar video pertama yang membuat mayoritas siswa di kelas terbelalak dan menoleh ke belakang, mencari letak kamera yang menjadi sumber utama dari apa yang mereka saksikan.

Akan tetapi, di antara mereka, tetap Sam dan Luis-lah yang paling ternganga.

Ari tertawa kecil, menatap lantai yang seolah turut bahagia dengannya. Kemudian ia mengedarkan pandangan pada siswa yang teramat fokus ke aksi Doni, Sam, dan Luis dalam menempelkan poster tentang ibu Rama di mading, lalu beralih ke video selanjutnya yang berisi perundungan mereka saat di kelas. Raut ketar-ketir yang terukir di wajah mereka mampu membuat senyum Ari makin mengembang hingga tak dapat didefinisikan lagi. Ia pun berdiri dan menghentikan pemutaran video tersebut.

"Maksud Bapak apa? Pengambilan video ini termasuk tindakan ilegal yang melanggar privasi. Kami bisa melaporkannya pada pihak yang berwajib sesuai hukum yang berlaku."

Bukannya tersudutkan, Ari justru bertepuk tangan, membuat seisi kelas saling pandang dengan kening yang berkerut. Lelaki itu kemudian berjalan menuju depan papan tulis, berdiri tepat di depan seluruh siswa. Ia mengusap wajah lalu menyilangkan tangan. Sebelah kakinya sedikit menekuk dengan santai dan ia pun berdeham dengan senyum yang tak luntur.

"Kalian berbicara masalah hukum seperti saya tidak tahu hukum sama sekali," jawabnya singkat.

"Kalau begitu, kami benar, kan?"

Ari mengangguk pelan, masih dengan senyum yang sama. "Kalau kalian nggak mau, saya nggak akan bawa ini ke pihak sekolah atau yang lebih besar lainnya, seperti kementerian pendidikan. Tapi …."

Lelaki yang mengulur kalimatnya itu kembali ke depan laptop dan mengganti pemandangan layarnya dengan media sosial yang menampakkan kolom komentar warganet. Ia memperbesar tampilan yang berisi hujatan atas kemungkinan adanya hal-hal tidak beres di SMA Kemuning, termasuk keraguan atas potensi para siswanya.

Tak sedikit yang menatap proyektor dengan mata terbelalak dan mulut terbuka. Terlebih Sam dan Luis, yang sibuk mengepalkan tangan dan menggerutu. Mereka juga terlihat mengirim pesan melalui ponsel, entah untuk siapa, Ari belum memedulikannya. Ia lantas menutup laptop tanpa mematikannya terlebih dulu, lalu menggebrak meja agar seluruh fokus tertuju padanya.

"Sekarang pilihannya cuma dua: kalian mau bekerja sama buat melaporkan bullying terhadap Rama secara anonim atau video ini saya sebarkan ke media sosial tanpa sensor sedikit pun, lengkap dengan identitas kalian."

Ari menyilangkan kaki dan bersandar pada meja. Para siswa di depannya sontak saling pandang dan berbisik untuk pertama kali--selama yang Ari tahu. Setelahnya mereka kompak menatap Sam dan Luis yang memalingkan muka. Kaki kedua lelaki itu tampak gemetaran dan pandangannya terlihat kosong namun juga kebingungan di sisi lain. Sontak Ari pun mendekat dan berdiri menghadap mereka berdua.

"Jadi, mana yang kalian pilih?"

Luis mendongak dan menyeringai. "Kita bukan orang yang bisa diberi pilihan begitu. Sebarin aja, toh masih ada seribu cara buat ngalihin isu konyol kayak gini. Lagian, berapa lama, sih, masyarakat betah ngeladenin kelakuan bocah SMA? Paling langsung hilang kalau ada skandal artis terbaru."

"Oo, jadi itu kelakuan kalian selama ini?"

"Iya, kena--"

"Luis!" Sam lekas menepuk lengan sahabatnya. "Jaga mulut lo."

Ari terkekeh sambil menutup mulut. Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan perekam suara yang masih berjalan. Sial, batin Sam yang telah menduga. Luis seketika menoleh dengan sorot mata penuh penyesalan.

"Direkam oleh pihak yang ada dalam percakapan." Ari memainkan ponselnya di depan Sam dan Luis. "Gimana? Penawaran gue masih berlaku."

"Sialan lo!"

DAY 19
22 Januari 2022
1410 Kata

Let's see, mana yg akan mereka pilih 🤝🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top