[Sin 15]

Meski tak seperti biasanya, akhir-akhir ini, di mana pun itu, aura yang memenuhi ruangan terasa engap dan seakan mengatakan bahwa penghuni di dalamnya tak memiliki jalan keluar. Tiga lelaki yang mengernyit dengan raut muka memerah makin berkeringat setelah membanting ransel sekolah mereka ke sembarang arah, tak peduli dengan ponsel dan benda elektronik lain yang ada di dalamnya. Kekesalan mereka tak dapat dibendung dengan apa pun. Semua berkat Doni, itulah yang ada di pikiran mereka, termasuk Doni sekalipun.

"Sialan! Bisa-bisanya dia kepikiran ngerekam obrolan di kantin."

"Berarti udah jelas dia yang unggah perkara notable ke medsos."

"Dan lo yang bikin tambah runyam, Don."

Sang empunya nama melirik dan menatap Luis sinis. Sungguh, tanpa diberitahu pun, ia sudah menyadarinya. Lagi pula, siapa yang menyangka kalau satu kalimat bisa berakibat begitu fatal? Apa yang Ari lakukan benar-benar di luar pemikirannya.

"Itu juga berarti dia hati-hati banget sama kita. Dia bener-bener udah paham permainannya." Sam menghela napas panjang lalu bersandar di pinggiran sofa.

"Terus, kita harus ngapain?"

"Kenapa bukan lo yang mikir? Lo yang bikin ulah, ya, lo yang benerin, lah, Don."

"Shit, bisa ngerti keadaan dikit, nggak, sih? Nggak usah sok bocil begini. Tau tempat. Gue juga nggak akan mohon-mohon ke lo kalau nggak kepepet."

"Bener, lo begini karena nggak mau dibonyokin bokap, kan? Makanya lo milih bonyokin kita."

"Lo nggak usah ngomporin!"

Luis berdecak dan menyeringai. Ia berjalan ke meja dan mengambil minuman yang disuguhkan asisten rumah tangganya. Kali ini mereka bertiga memutuskan untuk berkumpul di rumahnya karena rumah Doni masih panas, begitu pula dengan rumah Sam. Sebagai tambahan, orang tua mereka juga sedang tidak akur hanya karena masalah ini.

Doni tidak ingin menyalahkan siapa pun--dalam konteks orang tua sahabatnya. Melihat tabiat sang ayah, ia sedikit paham dengan pemikiran orang dewasa. Selama anak-anaknya tak disentuh, mereka tak akan merepotkan diri untuk mengeluarkan tenaga. Itulah mengapa ia berharap kedua lelaki di sampingnya kini mau bersusah payah mencari jalan keluar karena hanya itu yang ia miliki sekarang.

"Gue paham, kalau kasus ini terus-terusan dibahas, nggak menutup kemungkinan bakal ada antek-antek pendukung non-notable di medsos. Tapi, gue nggak ngerti kudu gimana."

"Bokap lo nggak ngomong apa-apa?" tanya Sam.

Doni menggeleng. "Dia cuma minta gue buat ngalihin perhatian, sama kayak dulu."

"Ck, nyuruh doang, nggak ngasih solusi. Lagian lo nggak mungkin bawa-bawa aib keluarga si Ari lagi, kan? Dia udah bukan siswa Kemuning. Statusnya di sekolah cuma magang, nggak lebih. Nggak ada impact-nya ke kita." Luis tidak mau kalah.

"Ya itu dia yang gue bingungin dari tadi."

Sam bangkit, menegapkan duduknya. Kemudian ia merogoh ponsel dari kantong dan mengeluarkannya, mengetikkan sesuatu di kolom pencarian sembari membenahi letak kacamata. Doni yang melihat hal itu lantas mendekat dan duduk di sampingnya.

"Nggak ada celah buat mainin dia. Kariernya bersih, paling perkara ibunya aja yang ngundang omongan orang. Itu pun udah pernah kita pakai."

"Ya kalau gitu jangan fokus ke Ari-nya. Kan pas sama Rey dulu juga kejebak di permasalahan yang sama, terus nemu titik terang di keluarga dia."

"Mau fokus ke mana, Lu? Kita nggak punya Pak Geri yang bisa ngasih info-info kayak gitu."

"Ngapain sampai nyari Pak Geri? Kan kita masih punya Rama."

Doni yang semula menopang dagu seketika berdiri dan bersedekap. "Iya, juga. Kenapa nggak kepikiran ke anak itu?"

Luis menyeringai puas, merasa bangga karena bisa memberi jalan keluar saat kedua temannya berpikir terlalu jauh. Ia kemudian berjalan menuju ruang tamu setelah mendengar suara mobil ibunya. Lelaki itu bersiap merentangkan tangan dan tersenyum semanis mungkin untuk menyambut satu-satunya ratu di rumah ini.

"Akhirnya Mama pulang juga," ucap Luis saat Melani sedikit merunduk--karena menggunakan high heels--dan memeluknya.

"Syutingnya baru kelar, Sayang. Gimana sekolahnya? Masih ada masalah?"

Ibu satu anak itu menyerahkan tas jinjingnya pada asisten yang mengikuti di belakang. Luis yang dirangkul terlihat melirik sosok yang membungkuk dan berjalan terlebih dulu ke ruang kerja ibunya, saat ia dan Melani memilih bersantai di ruang tamu. Pandangannya belum terlepas, meski pintu yang terbuka telah tertutup rapat.

Melihat gerak-gerik putranya yang tak wajar, Melani celingak-celinguk. "Kenapa, Lu? Rama bermasalah lagi sama kamu?"

"Wih," Luis refleks menoleh, "Mama jago amat nebaknya."

"Iya, dong. Masak sama anak sendiri nggak peka. Emang ada apa? Mama nggak suka, ya, kalau kamu nyakitin dia lagi cuma karena masalah orang lain."

Luis menggeleng. "Kali ini dia yang ngajak ribut beneran, Ma."

"Iya?" Melani memicingkan mata.

Luis tak segera menjawab. Ia beralih mengeluarkan ponsel dan meminta kedua sahabatnya untuk ke ruang tamu. Pesan yang harusnya tak perlu disampaikan melalui internet itu segera mendapat jawaban, dengan datangnya Doni dan Sam di hadapan mereka.

Sejenak, tiga sahabat itu saling pandang, terlebih Doni dan Sam tidak tahu apa-apa tentang maksud Luis membawa mereka ke sana. Namun, setelah lelaki tersebut menjelaskan pengantar yang berisikan kesulitan Doni akhir-akhir ini--yang sebenarnya sudah Melani ketahui dari Pram, mereka memutuskan untuk duduk dan menyimak.

"Jadi, Luis mau minta bantuan Mama lagi. Kali ini kita janji nggak bakal ada ekstra scene tutup mulut kayak kemarin."

Melani mendengkus dan memalingkan muka. Percuma saja menghindari Pram kalau putranya sendiri masih loyal dengan sahabatnya. Ia pun mengangguk dan membiarkan Luis memeluknya erat sebagai tanda terima kasih.

"Tapi janji, nggak boleh sad ending, ya."

"Oke."

🍃🍃🍃

Langkah Rama lebih ringan dari biasanya. Meski senyum yang lenyap dua tahun lalu belum bisa pulih, paling tidak ia dapat mengangkat kepala yang selama ini disembunyikan di balik topi. Namun, kemajuan itu tak menghindarkannya dari kemalangan. Baru saja masuk kelas, ia sudah tersandung seutas tali yang melintang di ambang pintu.

Tak dapat dihindari, ia pun tersungkur. Kedua telapak tangan yang dijadikan tumpuan seketika perih dan memerah. Entah kebetulan, sengaja, atau apalah itu, lantai kelas pagi ini masih dipenuhi kotoran dan kerikil halus. Ia lantas mendongak, mengedarkan pandangan pada siswa kelasnya yang sudah duduk manis di tempatnya masing-masing. Namun, tak satu pun di antara mereka yang menjual ekspresi bahagia. Semua terlihat sama, datar dan setengah meremehkan.

"Kenapa masih di situ? Lo betah, ya, hidup di bawah?"

"Ya iyalah, anak pembantu letaknya mau di mana?"

Rama terbelalak saat Sam dan Luis berkata demikian. Mungkin kalau Luis masih masuk akal, tetapi kali ini Sam juga turut andil. Sayangnya, lelucon mereka tetap tak mengundang tawa siapa pun. Tak acuh, ia segera berdiri seraya membersihkan debu di telapak tangan dan sekitar celana, lalu berjalan ke tempat duduknya.

Namun, baru juga sekian langkah, ia kembali tersandung berkat kaki seseorang. Bukan Sam, bukan Luis, melainkan gadis berkacamata yang selalu duduk di depan di sepanjang tahun. Ia pun menoleh dan menatap sinis yang dibalas dengan sorot yang sama.

"Mau lo apa?" Rama bertanya lirih dengan menekan setiap suku kata.

"Orang munafik kayak lo nggak pantas di sini. Manajer artis terkenal? Ck, pembantu doang belagu."

Rama masih meraba situasi di sekitarnya sampai ia menyadari berbagai macam foto sang ibu telah terpampang di mading kelas. Ia pun berlari dan memastikannya sendiri. Tidak salah lagi, semua yang tertempel di sana memang wajah ibunya saat bekerja di rumah aktris terkemuka, Melani Rahma.

Lelaki itu menoleh, mencari sosok yang besar kemungkinan menjadi biang paparazi semua ini. Kemudian ia meremas salah satu foto hingga tak berbentuk saat melihat Luis tengah tertawa puas bersama Sam. Perlahan, ia mengatur napas agar bisa menjernihkan pikiran dan tidak melakukan hal-hal yang akan merugikannya.

Tak seperti yang Sam dan Luis pikir, Rama hanya menyingkirkan foto-foto ibunya di mading kelas, lalu duduk di meja yang sudah mereka sulap menjadi super-kotor. Padahal, masih banyak aib yang tersebar di sekitar lorong tiap angkatan, kantin dan ruang guru. Namun, lelaki itu benar-benar tenang dan hanya menggerutu sambil mengeluarkan mata pelajaran pertama, mengingat bel sudah berbunyi dan Mars Kemuning sebentar lagi akan berbunyi.

Seraya berdiri--sebelum bernyanyi--Rama membuka kunci ponselnya dan mencari kontak Ari. Ia mengetikkan sebuah pesan singkat yang dikirim secepat kilat, sebelum guru pengawas berkeliling untuk mengecek ketaatan mereka dalam menjunjung sekolah. Setelahnya, ia dapat tersenyum tipis dan menghela napas lega.

Sungguh, permainan ini jauh lebih mudah karena mereka telah kalah sebelumnya.

DAY 17
20 Januari 2022
1327 Kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top