[Sin 14]
Lembap dan dingin tak membuat lelaki yang mendekam selama setengah jam mengubah pikirannya, lalu enyah dari sana. Setelah mengirim pesan singkat, ia masih menatap layar ponsel, menunggu balasan yang harusnya sudah ia dapatkan. Sesekali ia menoleh ke pintu dan menelan ludah, seolah takut kalau tiba-tiba ada yang mendobrak dan menariknya keluar, walau hal itu tidak akan pernah terjadi. Napasnya masih kembang-kempis seperti tengah bermaraton, dengan keringat yang tak sedikit di sekitar pelipis.
Rama menunduk setelah mendapati ponselnya bergetar. Ia tersenyum tipis saat Ari berterima kasih kepadanya. Perlahan, ia dapat bernapas lega, meski sebenarnya ini belum bisa membalas rasa bersalahnya. Ia sudah berusaha, setidaknya itulah yang tertanam. Lelaki itu lantas mencuci muka untuk terakhir kali, kemudian keluar dari kamar mandi. Tak lupa mengedarkan pandangan untuk memastikan kondisi.
Sebelumnya, ia telah melakukan hal yang sama, tepatnya saat Ari memintanya untuk mengakses komputer sekolah dan mengunggah sebagian data notable ke media sosial. Dengan penuh risiko, ia tetap tinggal di laboratorium sampai waktunya tiba dan enyah dari sana dengan kunci replika yang Ari berikan. Bahkan, pakaian yang ia kenakan pun bukan miliknya. Kakak dari almarhum sahabatnya itu memastikan bahwa ia tidak akan dituduh atas hal ini.
"Oke, gue tunggu di rumah, ya, Bang."
Rama menutup panggilan yang hanya berjalan sekian detik. Ia memang tidak tahu-menahu dengan rencana lengkap Ari, tetapi ia yakin atas apa yang lelaki itu jalankan. Sehingga saat kembali disakiti Doni pun, ia tetap berpikir jernih untuk tidak menyalahkan siapa pun--selain Doni, tentunya.
Waktu itu, tepatnya ketika Fanstrio merundungnya di kantin karena Ari masih menghubungi mereka, Rama tak melakukan pembalasan apa pun. Selain karena kedudukan lawan yang sulit disentuh, ia mengingat pesan Ari bahwa lelaki itu akan melindunginya, jadi Rama tak harus mengotori tangannya--bila benar-benar tidak ingin. Meski sudah mau bekerja sama, ia belum percaya seratus persen, sampai akhirnya Ari sungguh berdiri di depannya, di sampingnya, dan juga di belakangnya.
"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Ari ketika mereka sudah jauh dari jangkauan Fanstrio, saat di kantin.
"Gue oke, mereka nggak ngapa-ngapain, kok, Bang."
Ari mengusap rambut Rama dan merapikannya lagi. "Lo tenang aja, ya, waktu bakal ngobatin semuanya. Makasih, berkat lo, kita punya senjata baru."
"Maksud Bang Ari?"
"Gue tadi sempat nge-record omongan Doni perkara notable." Ari mengeluarkan ponsel dan memutar fail rekaman terbaru. "Sekarang, hape ini lo yang bawa dan gue minta lo unggah failnya di waktu yang tepat."
"Waktu yang tepat?" Rama menautkan alisnya.
"Iya, saat mereka mulai curiga kalau gue pelakunya."
Rama hanya mengangguk. Hal yang ia lakukan saat para guru kalang kabut adalah menyimak ponsel pribadinya dan menunggu kabar dari Ari. Bahkan saat siswa dibubarkan dari pembelajaran pun, ia memilih mengunci diri di toilet guru yang jarang dipakai. Sampai menit demi menit berlalu dan Ari belum keluar dari kecurigaan Fauzan, ia memutuskan untuk memberitahu dunia atas apa yang Doni katakan pada mereka.
Tubuh Rama masih gemetaran. Hingga di perjalanan pulang pun, ia terus menyatukan kedua tangan dan menggigit bibir. Ia tak peduli dengan hiruk-pikuk penumpang angkot yang tampak prihatin dengan tampangnya. Pucat, berkeringat, rambut acak-acakan, dan napas terengah-engah. Mungkin kalau dapat berkaca, Rama juga akan miris dengan wujudnya sendiri. Sayang, yang bisa ia lakukan sekarang hanya menjawab baik-baik saja.
Setelah sampai di rumah, ia cukup terkejut. Bukan sang ibu, melainkan Ari-lah yang menyambut. Lelaki itu tergopoh-gopoh menghampirinya lalu memeluk erat. Tanpa sadar, Rama membalas dekapan itu lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Ari. Sekejap, ia seolah menopangkan seluruh bebannya pada lelaki tersebut.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Ari kesekian kali. Sepertinya, kalimat ini akan menjadi pertanyaan abadi darinya.
Rama mengangguk, meski tak terlihat demikian. Ia lantas mengajak Ari untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Hunian yang sangat sederhana itu terasa hening karena tidak ada siapa pun sebelumnya. Rama hanya tinggal berdua dengan ibunya dan ini belum jam pulang bekerja.
"Maaf, ya, Bang. Cuma ada air putih."
"Lo nggak perlu repot-repot. Tadi gue sempet beli makanan. Lo makan, ya?"
Rama terdiam, menatap bungkusan yang diletakkan di atas meja. Kemudian ia beralih memandang Ari yang tersenyum tulus padanya.
"Gue beli dua, kok. Kita makan bareng, oke?" ucapnya lagi seraya mengeluarkan nasi bungkus dari kresek, berusaha meyakinkan Rama untuk mengiakan.
Alhasil, sang pemilik rumah lekas beranjak mengambil piring dan sendok. Mereka terlebih dulu menikmati santapan dari warung kaki lima, tanpa satu pun percakapan, sebelum membahas hal-hal yang menyesakkan. Ari hanya sesekali menawarkan lauk lalu kembali diam, sedangkan Rama masih canggung karena tidak terbiasa. Ia lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri.
"Makasih, ya, Bang." Rama mengemasi piring kotor di hadapannya lalu membawanya ke belakang.
"Harusnya gue yang bilang gitu. Postingan lo tepat waktu banget. Andai lo di dalem, pasti puas ngelihat tampangnya Pak Fauzan."
Rama tersenyum paksa saat berjalan dari dapur dengan tangan basah. "Jadi beneran mereka ada main di sana, ya, Bang?"
"Begitulah," Ari mendengkus, "gue tau lo kecewa, tapi jangan nyerah di sini, ya."
"Gue nggak bilang gitu. Cuma kaget aja."
"Syukurlah. Perjalanan masih jauh, Ram. Gue masih belum tau apa yang bakal terjadi ke depannya."
"Emangnya, apa rencana mereka, Bang?"
"Biasa, kayak yang gue bilang kemarin-kemarin, ngundang pers dan jelasin dari sudut pandang mereka."
Rama mengangguk. "Jadi sekarang tergantung medianya?"
"Iya, gue yakin arah angin bakal berubah buat nggak mempermasalahkan hal ini, lagi. Entah apa yang mereka lakuin di belakang, yang jelas kita kudu siap, terutama lo, Ram."
"Lo masih ragu sama gue, Bang?"
"Enggak, nggak gitu." Ari menggeser tempat duduknya lalu menepuk punggung tangan Rama. "Gue mau lo siap sama apa pun dan tetep percaya sama apa yang lo yakini sekarang, kalau lo percaya sama gue. Jangan kayak gue dulu, yang awalnya percaya sama Rey, tapi nyatanya berpaling di tengah jalan."
Rama merenung. Ari tak seharusnya mengatakan itu karena ia pun sama jijiknya. Ia juga tak lebih baik dari siapa pun. Sebagai sahabat Rey, ah bahkan menyandang kata ini saja ia serasa tak pantas. Rama benar-benar merasa rendah. Namun, Ari lekas mengangkat dagunya lalu menatap lekat dengan sorot yang meyakinkan.
"Ram?"
"Iya, Bang."
"Oke," Ari mundur dan memalingkan wajah, "gue nggak akan maksa lo. Gue tau ini berat dan lo berhak buat mundur. Apa yang lo lakuin sampai detik ini udah lebih dari cukup."
Eh!
"Gue belum bilang apa-apa, kok, lo udah pasrah aja, sih, Bang?"
"Gue takut terlalu membebani lo," jawab Ari sedikit tersenyum karena Rama melakukan hal yang sama.
"Gue oke. Stop mikir kalau gue paling tersakiti di sini. Andai nanti Doni dan temen-temennya bener ngelakuin yang enggak-enggak, gue bakal kabur ke lo, bukan kabur dari lo."
"Sip. Deal?"
"Deal!"
Menutup hari, Rama kembali memeluk Ari. Ia sedikit mendongak, melihat senja yang sebentar lagi hendak menyapa. Senyumnya makin merekah saat mendapati ibunya turun dari motor--milik tukang ojek--dan berjalan ke rumah.
Kini, dua dunianya dipertemukan dan ia harus berusaha dengan maksimal.
DAY 16
19 Januari 2022
1118 Kata
Harusnya hari ini udah 16 bab, tapi aku masih panas-dingin nggak karuan. Mungkin nanti kalau udah fit n sempet, aku bakal cek ulang karena nggak yakin kalau rapi 🤧
Ingatkan aku kalau ada kejanggalan, ya, teman-teman 🙏🏻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top