[Sin 13]

Langkah Pram kian dipercepat setelah beberapa wartawan mengerubunginya saat turun dari mobil. Ia menunduk, sibuk menutupi wajah agar tidak disorot kamera. Satpam yang berjaga di depan lantas menutup gerbang dan memberitahu mereka untuk enyah dari sana. Sayang, tak satu pun yang mengindahkan karena belum mendapatkan santapan empuk.

Sejak kemarin malam, banyak berita yang beredar terkait koneksi Pram, selaku salah satu anggota kementerian pendidikan, dengan kepala sekolah SMA Kemuning. Kabar yang meluas itu berasal dari salah satu spekulasi suatu akun yang menautkan hubungan rekaman suara yang beredar pada hari sebelumnya. Sosok yang diduga adalah Doni, langsung mendatangkan kericuhan sebab selain putra tunggal keluarga Pram, ia juga representasi terbaik di sekolah elite tersebut.

Seperti yang Pram perhitungkan, pihak sekolah akan memanggilnya. Ia mengikuti arus dengan datang sesuai kesepakatan tanpa memikirkan hal-hal lain, termasuk sang anak yang belum diketahui keberadaannya. Batin Pram, Doni tidak akan lari jauh dan hanya menghindarinya sejenak saja. Itulah mengapa ia tak terkejut sama sekali ketika mendapati putranya tengah duduk terdiam di samping guru BK.

"Pagi, Pak," sapa Ihsan. "Silakan duduk dulu.

Bukannya mengiakan, Pram justru menatap Doni lekat-lekat. Perlahan, anak semata wayangnya itu mengangkat wajah dengan raut berantakan. Kemudian ia pun mendekat dan berjongkok di depan Doni, mengusap wajahnya yang terasa kasar seperti tidak dirawat sama sekali, lalu menamparnya dengan keras.

"Lagi-lagi kamu membuat ulah!"

"Pak! Tolong, jangan pakai kekerasan di sini."

"Dia anak saya, kamu nggak perlu ikut campur."

Doni menggigit bibir saat Fauzan melarang Ihsan yang ingin membelanya. Ia lantas berdiri--secara paksa--dan memalingkan wajah, tidak mau berhadapan dengan kebengisan ayahnya. Lelaki yang sedari kemarin kehilangan kewarasan lantas kembali memukul anaknya sendiri berulang kali. Rahang kanan-kiri Doni sontak memerah, tetapi ia hanya bisa mengernyit dan menahan teriakan.

Ari dan Toni yang berjaga di luar hanya bisa mematung. Samar-samar mereka dapat mendengarkan seruan Pram, tetapi sesaat kemudian tak ada lagi yang sampai ke telinga. Kali ini, Ari tidak merekam apa pun karena percuma, bukti yang didapat dari pihak ketiga tidak memiliki kedudukan. Ia memilih untuk mengunyah permen karet yang sempat Toni berikan sebelum diminta untuk mengontrol lorong depan BK.

"Lo denger, nggak?" Toni berbasa-basi.

"Kalau lo nggak denger, gue juga nggak denger, lah."

"Percuma, ya, padahal gue kepo banget."

"Ya kalau kedengeran, mereka nggak mungkin minta kita jagain begini. Itu namanya ngasih ikan ke kucing garong."

"Iya juga, sih."

Ari memutar bola matanya malas, lalu menoleh ke sisi kiri. Suara gaduh dari para reporter sangat menyita perhatian. Hanya dengan postingan tak berdasar yang diam-diam mendapat pengakuan dari siswa beranonim, mereka menggila hingga mau menerobos gerbang. Memang tidak banyak yang melakukan itu, berhubung di antara mereka ada yang meluruskan kaki dan mengipasi diri.

"Rame banget, ya." Toni menatap ke arah yang sama dengan Ari. "Pas kasus kecurangan dulu begini juga, nggak?"

"Nggak separah ini."

"Menurut lo kenapa?"

Ari bergeming. Ia menyeringai lalu berjalan ke tong sampah, melepeh permen yang kehilangan perasanya. Lelaki itu bersedekap menatap pintu ruang BK yang tertutup rapat, meneliti dari bawah hingga atas. Matanya sontak berhenti pada slogan di atas papan yang bertuliskan moto Kemuning.

"Karena sebelumnya nggak ada nama yang beredar."

Toni mengerutkan kening, memikirkan jawaban Ari yang singkat namun penuh tanya. Ia lantas mendekati rekannya itu dan turut membaca sekelumit kalimat yang tak ia pahami, mengingat Toni bukan alumni Kemuning.

"Kenapa? Keren, ya?" tanya Ari sembari menoleh.

"Entah, standar keren lo dan keren gue bisa aja beda."

"Nggak salah, kok, kalau mau nilai gitu. Toh, Kemuning emang terkenal keren di daerah sini. Alumninya juga keren, kan? Kayak gue."

"Ck, pede banget."

"Harus." Saking kerennya, Ari memastikan tidak ada yang bisa mengendus ulahnya dan ….

Tiba-tiba kedua lelaki itu tersentak dan menutup mulut saat suara gebrakan terdengar dari dalam. Mereka lantas mendekati pintu dan menempelkan telinga mereka sedekat mungkin. Namun, tentu saja yang didapat hanya hah, heh, brak, bruk, yang tak menuntaskan rasa penasaran.

Sadar pintu ruangan sedikit bergerak, Fauzan menghentikan tangan Fauzan yang lepas kendali. Sebenarnya, ia tak ingin dua mahasiswa itu berada di depan, tetapi Ihsan yang meminta tolong karena para guru sibuk mengurus keluhan wali murid. Jika ia menolak, tentu guru BK yang cukup lama mengabdi di sekolah tersebut akan mencium keanehan.

"Sudah, Pak. Kekerasan seperti ini nggak menyelesaikan apa pun," ucap Fauzan sambil menepuk pundak Pram.

"Kalau nggak gini, dia nggak jera, Pak."

"Sudah, lebih baik kita fokus menyelesaikan masalah. Saya memanggil Bapak kemari bukan untuk menghajar putra Bapak sendiri."

Pram mendengkus. Ia lekas mundur dan berkacak pinggang. "Lalu, apa yang mau sekolah lakukan?"

"Saya sudah berdiskusi dengan humas," Fauzan menunjukkan hasil rapat dadakannya, "sekolah akan mengadakan konferensi pers untuk meluruskan rumor tersebut."

Dengan napas yang lebih tenang dari sebelumnya, Pram membaca poin per poin yang mereka susun. "Jadi Bapak mau anak saya ikut campur dalam konferensi ini?"

"Iya, Pak. Itu pilihan terbaik."

Doni celingak-celinguk. Matanya berkedip konstan, seolah meminta penjelasan. Ihsan pun mendekat dan menyodorkan dokumen yang sama padanya. Seketika lelaki itu terbelalak dan menelan ludah.

"Tapi, Pa, kalau begini, citra Doni yang jadi jelek."

"Itu bayaran atas kecerobohanmu, Don." Bukan Pram, melainkan Fauzan yang menjawab. "Sekolah tidak akan mengiakan tuduhan perlakuan istimewa itu, jadi kamu yang harus membersihkan pernyataanmu sendiri."

"Tapi, yang Doni katakan, kan, nggak ada sa--"

"Sejak kapan kamu yang menentukan benar dan salah, hah?" Pram memotong pembicaraan, membuat Doni menciut dan menghela napas panjang. "Sudah, ikuti saja saran dari Pak Fauzan."

Dengan terpaksa, Doni mengangguk. Ia tidak ingin menambah luka jika berani membantah. Fauzan pun lekas meminta Ihsan untuk mengajak siswanya itu keluar. Namun, saat tepat di depan pintu, Pram menahan lengan putranya dan mencengkeram kuat agar Doni tak meneruskan langkah.

"Setelah ini, Papa mau kamu mengalihkan perhatian siswa Kemuning dari masalah notable. Tapi, ingat, jangan sampai ada yang meninggal lagi."

Ragu, Doni tetap mengangguk. Kemudian ia mencoba melepaskan diri dari tangan ayahnya. Setelah bisa, ia lekas membuka pintu dan keluar, berlari sejauh mungkin menuju gedung tengah, tepatnya menuju lantai empat--rooftop Kemuning.

Ari dan Toni yang menyingkir--menepi di sisi kanan--lekas beringsut-ingsut ke tempat semula ketika pintu kembali tertutup. Pandangan mereka kompak terpaku pada lelaki yang tak menoleh ke belakang sedikit pun. Toni yang merasa drama ini telah selesai lantas izin untuk ke kamar mandi dan Ari mengiakan.

"Saya sudah mencoba menghubungi Bu Melani terkait kasus ini, Pak."

Ari menajamkan pendengarannya. Sedikit celah yang tersisa cukup memberinya kemudahan. Lelaki itu berpura-pura menghadap depan dan mengedarkan pandangan, tetap berjaga-jaga seperti yang Ihsan katakan. Kemudian ia menutup mulut, menyimak obrolan yang kali ini ia rekam, meski tak berguna--dalam ranah formal.

"Apa tanggapannya?"

"Beliau nggak mau ikut campur karena kali ini putranya nggak terlibat."

"Sialan, bisa-bisanya dalam keadaan seperti ini dia masih egois seperti itu?"

Fauzan menuntun Pram untuk duduk, lalu menawarkan secangkir kopi. "Sabar, Pak. Saya sedang berusaha mencari jalan lain."

"Makasih, Pak. Kalau perlu, saya bisa ikut campur. Media sebelah nggak mungkin memberitakan hal-hal buruk tentang saya karena koneksi partai."

"Saya berterima kasih kalau Pak Pram berkenan demikian."

Pram menyicip minuman beraroma kuat di depannya seraya berpikir. "Masalah luar sebentar lagi akan teratasi, jadi Pak Fauzan cukup memantau anak saya saja. Jangan sampai kejadian dua tahun lalu terulang. Saya berjanji akan memberikan kursi terbaik untuk Bapak."

"Dengan senang hati, Pak."

Kedua lelaki itu lantas menenggak minumannya sampai habis, lalu melanjutkan percakapan ke hal-hal lain. Mereka tak tahu-menahu bahwa ada sosok yang mengepalkan tangan dan berdecak berkali-kali saat mendengarkan obrolan sampah tersebut.

Ari mengusap wajah dan memijat tengkuk. Ia lantas mengikuti jejak Doni yang menuju tempat keramat (untuknya). Meski dengan napas berat, ia mencoba menenangkan pikiran dan melanjutkan langkah.

Tidak ada salahnya dua kali mengulik luka.

Namun, belum sampai mencapai anak tangga, ia sontak berhenti dan mengambil ponsel yang terus bergetar dengan nada dering yang sudah ia atur berbeda dari yang lain. Tanpa berlama-lama, ia mengangkat panggilan tersebut. Sekilas, ia tersenyum dan mengangguk, seolah orang di seberang telepon dapat melihatnya. Kemudian Ari berbalik, menjauh dari tujuan sebelumnya.

Makasih karena lo mau bekerja sama dengan gue, walau secara nggak langsung, gumamnya sambil menoleh, mendongak ke lantai empat.

DAY 15
18 Januari 2022
1330 Kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top