[Sin 12]


Masih panas dan kalang kabut, lelaki yang berkacak pinggang mencoba menenangkan diri dengan mengusap rambut dan memijat tengkuk. Para guru telah memasuki kelas sesuai perintah, menyisakan ia, dua orang humas dan dua teknisi. Mereka kompak menatap layar yang menunjukkan CCTV di hampir setiap sudut sekolah. Klip demi klip dari berbagai jam dibuka satu per satu dengan teliti, tidak ingin melewatkan momen penting sedikit pun.

"Ini, Pak!" seru salah satu teknisi sambil memperbesar layar.

Gelap. Hanya itu yang Fauzan katakan dalam hati. Tidak hanya lorong di sekitar laboratorium komputer yang menjadi penyebabnya, tetapi juga sosok yang ditatap turut menyumbang alasan. Bagaimana tidak? Pakaian serba-hitam, mengenakan masker dan topi pula. Tak sedikit pun celah untuk bisa mengetahuinya. Bahkan, (yang diduga) lelaki itu menunduk dan berjalan menghindari kamera, seakan sudah hafal tata letaknya.

"Ke mana perginya? Coba cek di sekitar gerbang depan dan belakang."

Satu-satunya lelaki yang duduk di depan komputer segera mengangguk dan mencari fail yang diminta. Ia lantas menunjukkan video yang Fauzan cari. Sayangnya, mereka semua tidak ada yang mendapati gerak-gerik seseorang. Kali ini bukan salah sudut pandang kamera--berhubung mencangkup seluruh wilayah teras--melainkan memang tidak ada tanda-tanda dari si pelaku.

"Masuknya nggak jelas, keluarnya juga nggak jelas. Sialan!"

Fauzan menendang kursi, membuat rekan di sekitarnya tersentak dan mengelus dada. Ia mengacak rambut frustrasi, tidak habis pikir dengan lawannya kali ini. Ia tidak ingin mengakui kemampuan siapa pun yang tengah mempermainkannya--juga sekolah dan pihak lain, tetapi apa yang ia hadapi benar-benar tidak mudah.

Setelah berhasil melacak unggahan yang hingga kini masih memenuhi tagar berbagai media sosial, ia dan seluruh rekan--guru dan karyawan--dikejutkan dengan lokasi yang ternyata tak jauh dari mereka, yaitu laboratorium komputer Kemuning, terletak di gedung ketiga. Sayangnya, fakta tersebut tak sepenuhnya mendukung pencarian. Tentu, batinnya, sosok yang menyalakan api padanya tidak mungkin sebodoh itu.

"Ketemu, Pak. Pelakunya pakai komputer kelima belas dan memakai akun ini untuk masuk dan mengakses internet."

Fauzan lekas mendekat, mengarahkan layar secara brutal hingga membuat lelaki di sampingnya menelan ludah, miris. Ia refleks membenahi letak kacamata saat membaca nama beserta nomor induk siswa yang familier, tetapi tidak mungkin tertera di sana. Keningnya seketika berkerut dan ia pun menggigit jari. Bagaimana bisa?

"Ada yang salah, Pak?" tanya wanita berambut pendek yang mengenakan setelan formal.

"Baca itu!"

"Bukannya ini--"

"Iya," potong Fauzan. "Itu nama lengkap Rey, siswa yang bunuh diri dua tahun lalu."

"Tapi, gimana mungkin--"

"Diem!"

Entah sudah berapa kali Fauzan berteriak, meninggalkan bekas kekesalan yang teramat besar. Ia tidak peduli. Otaknya telah berasap sedari tadi dan menanggapi pertanyaan seperti itu tidak akan mendinginkannya. Ia pun kembali ke layar yang menampakkan rekaman CCTV, mengamati sosok yang tak mungkin merupakan siswa yang telah tiada. Terlalu mustahil untuk dicurigai.

Lelaki itu mendengkus, memijat area pelipis yang berdenyut. Ia lekas duduk dan mengentak-entak kaki. Seketika ia teringat sesuatu, hal yang paling mungkin menjawab permasalahannya.

"Tolong panggilkan mahasiswa magang kita kemari."

"Sekarang, Pak?"

"Iya, cepat, ya!"

"Ba-baik."

Fauzan memerintahkan teknisi yang ia pekerjakan untuk keluar. Salah satu humas pun ikut serta guna membicarakan privasi dan materi. Kini, hanya tersisa sang kepala sekolah dan orang kepercayaannya di ruang guru. Tak menunggu waktu lama, dua lelaki yang dicari--sebenarnya hanya satu--mengetuk pintu dan masuk setelah diizinkan.

Ari dan Toni tak kunjung duduk. Tatapan Fauzan yang memandangi mereka bergantian sungguh tak menyenangkan. Toni, yang sedari pagi merasa kurang nyaman, lantas beringsut-ingsut mendekati kawan jurusannya yang terlihat santai luar-dalam. Bahkan, saat sorot sinis seolah menelannya bulat-bulat, Ari tetap berdiri tegak dengan raut datar sesuai standar.

"Ada perlu apa, Pak?" ucap Ari setelah lelaki yang memanggil mereka keluar ruangan.

Fauzan menunjukkan rekaman CCTV yang dihentikan. "Ini kamu, kan?"

"Maksud Bapak? Saya belum pernah mengenakan setelan hitam seperti itu ke sekolah. Saya menaati peraturan dengan memakai kemeja batik khas Kemuning. Sama seperti Toni."

"Kamu nggak perlu berbohong!" Fauzan refleks berdiri dan menghampiri Ari, membuat Toni mundur beberapa langkah--menjauh. "Siapa lagi yang tau akun anak yang udah mati kalau bukan kakaknya sendiri?"

"Anak yang Bapak katakan mati itu punya nama, Pak. Rey. Reyga Aditya."

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Apa yang kamu mau? Dari mana kamu mendapatkan data itu? Ibumu?"

"Data apa, Pak? Saya tidak paham dengan apa yang Pak Fauzan katakan," jawab Ari lalu menyeringai.

Geram, Fauzan menarik kerah Ari. Humas yang mendampinginya sontak mendekat, tetapi Ari segera mengangkat tangan sebagai isyarat untuk mengabaikannya. Ia tidak apa-apa, justru sangat terhibur dengan pemandangan hari ini. Ia pun tersenyum, sedikit tertawa saat menunduk, lalu kembali menatap mata Fauzan lekat-lekat. Tanpa ragu. Tanpa takut.

"Jangan main-main sama saya! Kamu belum tau sedang berhadapan dengan siapa, hah?" Sang kepala sekolah bertanya dengan suara lirih, tetapi penuh penekanan.

"Tentu, saya tau betul siapa Bapak. Itulah mengapa saya tidak mungkin melakukan hal-hal demikian. Iya, kan? Lagi pula, untuk apa, Pak? Bukannya sama saja bunuh diri, seperti yang terjadi pada almarhum adik saya dulu?"

Fauzan menelan ludah. Ia langsung melepaskan cengkeramannya. Senyum lebar dan binar mata Ari membuat degup jantungnya makin menjadi-jadi. Tidak hanya itu, ia juga berkeringat dan gemetaran. Suatu perpaduan yang sudah lama tak dirasakan. Entah mengapa, beberapa kata yang keluar dari mulut Ari seolah mengetahui kelakuannya di belakang layar.

"Ka-kalau begitu, apa yang kamu lakukan semalam?"

"Semalam? Istirahat, tentu saja, Pak. Apa lagi?"

"Benar kamu di rumah?"

Ari mengangguk. "Saya di rumah dan berangkat ke sini pun dari rumah. Bapak bisa tanya Toni. Iya, kan, Ton?"

Lelaki yang tiba-tiba dilibatkan dalam percakapan itu sontak celingak-celinguk. "Eh? I-iya. Iya, Pak. Saya tadi ke rumah Ari untuk menjemputnya dan kami berangkat bersama."

Lagi, Ari tersenyum, yang membuat Fauzan mengepalkan tangan kuat-kuat. Mahasiswa tahun kedua itu seolah menatapnya dan mengatakan bahwa ia telah kalah telak. Sungguh, permainan apa yang sedang ia hadapi sekarang? Sialan!

"Pak, ada postingan baru!"

"Hah?" Fauzan segera mengambil alih ponsel milik humasnya dan membaca--sekaligus mendengarkan--unggahan baru berisi pernyataan dan rekaman suara. "Cepat lacak!"

Ari masih terdiam, sedangkan Toni perlahan mendekat. Lelaki itu menarik kemejanya, seakan mengajak melarikan diri. Sayang, sosok yang menikmati setiap detik yang berjalan lebih memilih untuk menunggu aksi selanjutnya.

"Pengunggahnya masih sama, Pak, tapi kali ini posisinya di sekitar ruang guru."

Mendengar itu, seketika Fauzan menarik tangan Ari, mencari ponsel atau apa pun yang (mungkin) dipakainya untuk mengunggah status tersebut. Namun, nahas, ia tidak menemukan apa pun. Bahkan, setelah merogoh seluruh kantong di celana dan kemeja, ia masih tak menemukan apa-apa. Tangan Ari benar-benar bersih.

"Katakan! Siapa pelakunya?"

"Kalau Bapak yang punya koneksi sebanyak itu saja tidak tau, lalu saya tau dari mana, Pak?"

"Stop kekanak-kanakan begini. Katakan apa maumu?"

Ari menggeleng sambil tersenyum. "Saya sudah dewasa, Pak. Tidak ada gunanya melakukan hal ini."

"Nggak usah mengelak. Kamu pasti sekongkol dengan orang lain, kan?"

"Pak, harusnya Bapak yang lebih tau masalah ini."

Fauzan menautkan alisnya. "Apa maksudmu?"

Ari sedikit berdeham lalu berbisik di dekat telinga kepala sekolah SMA-nya. "Percuma Bapak nuduh saya macam-macam. Selama tidak ada bukti, saya tidak akan dihakimi."

Toni menggaruk kepalanya. Ia tidak dapat mendengar percakapan itu sedikit pun. Hal yang justru membuatnya bergidik tak karuan adalah saat Fauzan kian bengis dan menakutkan, sedangkan Ari sebaliknya, makin merekah dan cengar-cengir puas.

"Kalau begitu, saya dan teman saya undur diri dulu, ya, Pak. Sebentar lagi istirahat pertama, tidak enak dengan Bu Monik kalau ditinggal sendirian lama-lama. Permisi."

Ari lekas menarik lengan Toni dan beranjak keluar ruang guru, tanpa memedulikan panggilan Fauzan. Lelaki itu makin mencak-mencak setelah diremehkan demikian. Belum selesai sampai di situ, ponselnya bergetar lagi dan kali ini lebih intens dari sebelumnya. Seluruh telepon di meja guru juga kembali berdering, membuatnya spontan membanting setumpuk berkas yang ada di meja sebelah kiri.

"Sialan! Perintahkan semua guru untuk meninggalkan kelas! Kita bubarkan belajar-mengajar hari ini."

"Baik, Pak. Saya umumkan ke bagian tata usaha."

Fauzan mengusir satu-satunya karyawan yang tersisa di sisinya. Ia kemudian meraih ponsel dan menolak panggilan dari nomor asing. Ia lebih tertarik untuk menghubungi orang yang bisa diandalkan.

Sebuah kebetulan, yang bersangkutan meneleponnya terlebih dulu.

"Halo, Bapak sudah melihat postingan terbaru itu? Saya harap, besok Bapak bersedia ke Kemuning." Lelaki yang perlahan mulai tenang itu mengangguk-angguk. "Baik, Pak. Akan saya atur sisanya. Terima kasih banyak."

DAY 14
17 Januari 2022
1360 Kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top