[Sin 11]

Lagi, sudah kesekian kali, para guru menerima panggilan yang mempertanyakan hal yang sama. Entah dari wali murid, pewarta, maupun sesama rekan pengajar yang sekadar ingin tahu. Tidak sedikit dari mereka yang mengumpat, mengeluhkan penelepon yang seolah meneror mereka. Sayangnya, jawaban yang bisa disuguhkan hanya berupa sanggahan, tanpa penjelasan lebih lanjut.

Hari masih pagi, tetapi kekacauan ruang guru SMA Kemuning kali ini benar-benar tak terbendung. Bahkan, para humas yang biasanya bekerja di ruangnya sendiri, kini berada di antara mereka untuk memberi arahan. Tidak hanya itu, kepala sekolah yang biasanya datang terlambat sudah sampai dan berkacak pinggang sejak sejam yang lalu. Tak terhitung berapa kali ia berteriak dan menunjuk lalu lalang pegawainya.

Semua berkat postingan tak bertuan--belum diketahui siapa pengunggahnya--yang mencuri perhatian banyak orang, sampai memenuhi pencarian tertinggi di berbagai media sosial. Kalau saja positif, tentu Kemuning tidak akan kalang kabut. Isi yang berbanding terbaliklah yang memanaskan ruangan ber-AC ini. Semua terjadi dalam sekejap, layaknya peristiwa dua tahun lalu.

"Gimana? Sudah terlacak?"

"Sudah, Pak. Postingan itu diunggah di sini."

Fauzan, orang terpenting di Kemuning menautkan alis. "Maksudmu?"

"Lokasinya di Lab. Komputer sini, Pak."

"Kamu sama kamu!" Fauzan menunjuk dua lelaki yang bertugas di bagian keamanan, "cepat cek CCTV di sekitar lokasi!"

"Baik, Pak."

"Heh, humas! Kenapa media-media ini masih meneleponku? Kalian ini bisa kerja, tidak?"

"Masih kami usahakan, Pak."

"Lambat! Nggak guna." Fauzan lekas mencari nomor telepon salah satu wali murid yang bisa menyelesaikan hal ini. Namun, aksinya terhenti saat mendapati sosok yang tak seharusnya ada di dalam ruangan tengah berdiri tegak dan menatapnya bingung. "Kalian ngapain di sini? Keluar sana!"

Baik Toni maupun Ari mengangguk. Semula, mereka saling pandang sekian detik dan bertukar isyarat, haruskah mereka benar-benar keluar? Namun, Toni tak ingin berlama-lama di sana. Suasana di dalam sangat tidak menyenangkan. Pagi yang biasanya disambut dengan briefing kecil sebelum masuk kelas lantas diisi dengan hiruk-pikuk tidak jelas yang belum ia pahami sama sekali. Lelaki bertubuh jangkung itu lantas menarik tangan Ari dan mengajaknya ke kantin.

Sebenarnya, Ari tidak ingin mengiakan. Ia masih mau melihat apa saja yang kepala sekolah dan para guru lakukan di ruangan berdosa itu. Namun, bagaimanapun juga, ia tidak mau dicurigai. Lama menetap padahal sudah diusir hanya akan menuntunnya ke dalam masalah.

"Mau pesan apa?" tanya Toni, mengusik lamunan Ari.

"Samain aja sama lo."

"Oke, deh."

Ari menyatukan kedua tangan dan menopang dagu. Matanya lurus menatap lorong yang mengarah ke gedung ketiga, tempat kelas dua belas berada. Ia mendengkus, menyatukan potongan-potongan yang baru saja didapatkan di ruang guru. Harusnya, apa yang terjadi di depannya tak jauh berbeda dari sebelumnya. Toh, permasalahan mereka sama, berhadapan dengan isu negatif perusak citra sekolah.

Setelah ini, kalau jalannya mulus dan tetap sasaran, ia akan memasuki babak kedua.

"Huh, pagi-pagi udah nggak karu-karuan."

Untuk kali kedua suara Toni muncul secara tiba-tiba. Ari berdecak dan memutar bola matanya malas. Namun, setelahnya ia menggeleng dan mengusap wajah. Tidak seharusnya ia kesal dengan sosok yang diam-diam ia manfaatkan keberadaannya.

"Mau gimana lagi."

"Lo tau masalah ini nggak, Ri?"

"Masalah apa?"

"Ya yang dibahas di dalam dari tadi."

Toni mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan salah satu unggahan yang mendapat ribuan respons dari masyarakat. Ari hanya melirik lalu membuang muka, kembali fokus pada es jeruk yang ia aduk berulang kali. Kemudian ia menggeleng tanpa menatap mata Toni.

"Masak lo nggak tau? Kan lo alumni sini, Ri."

"Malah aneh kalau gue tau. Itu bukan rahasia umum. Kalau bukan hoaks, ya, nggak seharusnya diketahui banyak orang, kan?"

"Iya juga, sih. Tapi, lo percaya, nggak?"

Ari mengangkat bahu. "Antara iya dan enggak."

"Iya-nya kenapa? Dan enggak-nya juga kenapa?"

"Ada nama siswa yang seangkatan sama gue di dokumen itu dan dia emang berprestasi. Sering ikut lomba dan menang sana-sini gitu, lah."

"Terus, terus?"

Toni memajukan kursinya agar lebih dekat dengan Ari. Rautnya tampak berbinar antusias. Hal yang justru membuat Ari menghela napas panjang.

"Gue nggak ada di nama itu, tapi sering lomba dan bisa dikatakan cukup berprestasi, lah."

"Jadi, menurut lo notable bisa aja cuma dokumen biasa?"

Ari mengangguk, mencoba terlihat netral. "Mungkin, gue nggak mau menduga-duga."

Toni tak lagi bertanya. Ia memilih untuk menghabiskan soto ayam yang dipesannya sebelum bel masuk kelas berbunyi, sedangkan Ari hanya mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Seketika perhatiannya teralihkan saat ponsel yang tergeletak di samping wadah sambal bergetar konstan. Ia pun beranjak tanpa pamit terlebih dulu. Nama yang tertera di layar cukup untuk membuatnya tergesa-gesa mengangkat.

"Iya, Bu?"

"Apa yang kamu lakukan, Ri?"

Sudah ia duga, malah terbilang lambat dari perkiraan Ari. Awalnya, ia mengira sang ibu akan menyadari unggahan terlarang itu saat di dapur pagi ini. Ternyata, butuh waktu hingga tiga jam, padahal semua data yang ia peroleh dari komputer ibunya telah mengudara sejak tengah malam.

"Ibu nggak perlu khawatir," ucapnya lirih sambil berjalan menghindari jangkauan kamera pengawas.

"Gimana bisa kamu bilang begitu ke ibumu? Nggak ada orang tua yang biasa aja kalau anaknya membuat ulah, Ri."

"Ari nggak sendiri, Bu."

Terdengar desahan dari seberang. Ani mulai terisak. "Siapa yang kamu libatkan? Jangan main-main, Nak. Cepat hapus postingan itu. Kalau bisa, hilangkan juga jejaknya."

"Nggak perlu, Bu."

"Ari--"

"Dulu, saat Rey melakukan hal yang sama, sekolah juga sepanas ini, ya, Bu? Mereka memanggil siapa pun yang bisa menyelamatkan nama Kemuning dan mencari pelakunya sampai ke akar-akar."

Ani mengembuskan napas panjang saat sang anak justru mengalihkan pembicaraan. "Ri--"

"Ari sengaja ngelakuin ini biar mereka semua kepancing, Bu. Lihat? Nggak jauh beda dari sebelumnya, kan? Sekarang, Ari punya celah buat memulai dari mana."

"Lalu? Kalaupun tau, kamu mau apa lagi, Nak? Cukup, Ibu nggak mau ada yang bernasib seperti Rey dulu."

"Nggak akan ada yang kenapa-napa, Ari janji. Ari sayang sama Ibu." Lelaki yang memejamkan mata itu menjeda kalimatnya sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia lekas melanjutkannya dengan berkata, "Ari juga sayang sama Rey, jadi biarkan masalah ini mengalir dulu."

Tanpa mengucap salam, Ari menutup telepon. Ia takut, ia khawatir akan goyah kalau mendengar tangisan ibunya. Ia tidak ingin lengah. Ia sudah bertekad, mau siapa pun menghalanginya, ia akan terus melanjutkan langkah. Tak peduli dengan ratusan duri yang tersebar di jalanan. Tak peduli dengan ratusan batu yang dilempar dari berbagai arah. Ia benar-benar tak peduli dengan apa pun, selain keselamatan Rama.

Itulah mengapa matanya sontak terbelalak saat melihat lelaki yang ingin ia jaga mati-matian tengah dirisak di lorong kantin. Seseorang terlihat menarik rambut Rama dari belakang hingga ia terjungkal dan refleks berteriak. Ari lantas mengantongi ponselnya dan berlari menghampiri mereka. Tidak salah lagi, orang yang sama dengan kasus dua tahun lalu-lah yang melakukan itu pada Rama.

"Hei! Apa yang kalian lakukan? Berhenti!"

Doni tak mengindahkan, bahkan ia makin menjadi-jadi dengan menyeret Rama lewat tarikan rambut yang sangat kuat. Lelaki yang terduduk dan mengernyit hanya bisa memegangi tangan sang perundung, tanpa bisa melawan karena Sam terus-menerus menekan tubuhnya saat hendak bangkit.

Ari mempercepat langkah sampai berhenti tepat di depan mereka. Ia berusaha menyingkirkan Sam yang mengadangnya, tetapi lelaki itu tak menyerah dan ia tak mungkin menyakiti siswa di wilayah sekolah. Suka tidak suka, ia masih terikat magang dan perlu menjaga martabat kampusnya.

"Lepasin dia, ngobrol sama gue. Lampiasin ke gue. Oke?" tawarnya memelas.

"Emang lo tau alasan kita ngelakuin ini ke dia?" Doni menatap Ari dan Rama bergantian.

"Apa pun alasannya, perbuatan kalian ini nggak bisa dibenarkan, Don. Lo mau gue teriak manggil guru BK?"

"Ck, lakuin aja, Bang. Gue nggak takut. Lo nggak liat postingan semalam, yang ada nama kita di dalamnya? Mau dia rusak di tangan gue pun, gue nggak bakal kenapa-napa. Paham?" terang Doni seraya mengencangkan cengkeramannya pada rambut Rama.

Ari mengepalkan tangan. Amarahnya memuncak, menyentuh ubun-ubun yang sempat dingin sekian menit. Ia lantas menggeleng dan mendorong Sam sekuat mungkin. Bodo amat, batinnya ketika mantan adik kelasnya itu tersungkur dan mengumpat. Masalah teguran yang bisa saja ia dapatkan biarlah diurus nanti.

Lelaki itu segera beralih meraih tangan Luis lalu menghempasnya ke belakang. Energi dari segelas es jeruk mampu membawa dua sahabat tersebut terkapar di tempat yang berdekatan. Ari kemudian mendekati Doni yang kini telah menyingkirkan tangannya dari Rama dan beringsut-ingsut mundur.

Namun, tak seperti yang Doni pikirkan, Ari tak menyakitinya sama sekali. Ia hanya memeluk Rama sebentar, lalu membantu lelaki itu untuk berdiri. Setelahnya, mereka beranjak menjauhi tiga siswa berseragam abu-abu dengan pin emas di kerah sebelah kanan yang mengerutkan kening.

"Oiya, gue lupa." Ari mengehentikan langkah, "makasih, ya, informasinya. Kalian cukup membantu."

"Maksud lo?"

Lelaki yang menyeringai lantas mengangkat bahu dan melambaikan tangan. "Sampai jumpa besok di ruang BK!"

DAY 13
16 Januari 2022
1415 Kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top