[Sin 10]
Sosok yang terbaring lemah tengah menatap langit-langit tanpa berkedip. Ia menjadikan hamparan putih itu sebagai layar pemutar memori yang memenuhi benak. Sesak, ia mengingat bagaimana luka di sekujur tubuhnya kembali tersayat dan bahkan lebih sakit dari semula.
Sehari sebelumnya, hidup Rama tidaklah berbeda. Ia masih sama, pulang dengan berjalan ogah-ogahan dan menyeret ransel. Ia melewati ibunya yang tergopoh-gopoh menawarkan makan malam--padahal belum waktunya--dan terus melangkah menuju kamar. Ia juga mengunci pintu dan mengabaikan panggilan sang ibu yang terdengar khawatir.
Entahlah, Rama menggeleng. Sejak kematian Rey, ia jauh lebih tertutup, termasuk dengan orang tuanya sendiri. Lelaki itu lebih senang menghabiskan waktu di depan meja belajar, layaknya sepulang sekolah hari ini. Ia mengambil ponsel yang sejak tadi bergetar tanpa suara, lalu membuka layar yang terkunci. Puluhan pesan yang ada di notifikasi tak lantas ia indahkan. Rama lebih memilih menyandarkan kepalanya ke kursi dan menghela napas panjang.
Doni minta gue ke atap, kayaknya berhubungan sama Pak Geri dan gue mau ke sana sekarang, Ram.
"Bodoh!" umpatnya lirih.
Rama kurang tahu untuk siapa kata itu dilayangkan. Untuknya? Untuk almarhum sahabatnya yang dibutakan ambisi? Atau malah untuk mereka yang memancing Rey dan berakhir dengan kejadian fatal yang tak pernah ia--juga mereka--bayangkan?
Siapa pun itu, Rama hanya dapat mengusap wajah dan melupakannya. Sayang, segala usahanya tak serta-merta menghapus kenangan buruk yang ia lihat dengan sendiri. Saat-saat sahabatnya jatuh tanpa ada tangan yang menawarkan bantuan tetap terjaga dalam ingatan, membuatnya kepanasan dan susah bernapas.
"Shit!"
Rama berlari menuju kamar mandi dan menyalakan kran. Ia lekas meringkuk di dalam bak dan menikmati dinginnya air, berharap rasa itu dapat mengurangi gemuruh menyesakkan di seluruh badan. Ia pun menutup mata, menelan ludah dan menggigit bibir. Salah, ia salah, ia benar-benar salah. Namun, haruskah ia dihukum dengan seperti ini?
Lo harusnya nggak lari, Ram.
Lo harusnya ngelaporin perbuatan mereka.
Sahabat lo nggak bunuh diri, Ram.
Lo tahu kebenarannya, tapi milih bungkam.
Lo emang brengsek, Ram.
Rama menjambak rambutnya. Air yang memenuhi bak sudah mencapai separuh lengan. Ia makin menenggelamkan wajah, menyembunyikan tangisnya dalam genangan yang menyamarkan.
Selama dua tahun, ia dihantui perasaan bersalah yang menyiksa. Namun, apa daya, ia tak memiliki keberanian untuk melawan siapa saja yang ada di belakang lawannya. Sekalipun ia berani, ia sendirian.
Seketika ia membayangkan bagaimana posisi Rey waktu itu. Saat melaporkan kasus kecurangan Doni, saat ia tuduh mematahkan tangannya, saat dirundung siswa di kelas, dan saat difitnah menyebarkan rumor tentang ibunya sendiri.
Semua itu … sungguh, dilewatinya seorang diri..
Tidak ada sahabat yang lebih buruk lagi darinya.
"Uhuk!"
Rama bangkit dari pembaringannya saat air telah menutupi seluruh tubuh. Ia terbatuk berkali-kali hingga menitikkan air mata. Lelaki itu pun beranjak dan mengambil handuk dari kapstok. Meski sebelumnya sempat termenung menatap pintu, ia lekas sadar dan mengganti pakaian.
Tak lama setelah itu, Rama kembali menerima pesan. Masih dari Ari, tetapi dengan isi yang berbeda. Bukan tentang informasi yang mungkin ia miliki dan dapat dibagikan kepadanya, melainkan ajakan untuk bertemu di taman dekat perumahannya.
"Mungkin gue egois, jadi gue pengin minta maaf dan ngobrol sama lo secara langsung. Gue nggak bakal bahas masalah Rey, jadi lo nggak perlu takut. Gue cuma mau lebih dekat sama orang yang paling adik gue percaya."
Rama sontak terduduk. Ia meletakkan ponselnya dengan tangan gemetaran. Rekaman suara Ari membuat jantungnya berdegup kencang.
Benarkah ia sepenting itu dalam hidup Rey?
Sial, Rama mendengkus dan spontan menendang kaki meja. Meski sakit, ia tidak merintih, apalagi mengeluh menyalahkan benda tak berdosa. Ia hanya berdecak lalu kembali meraih ponsel.
"Besok siang, ya, Bang. Gue bakal ceritain apa yang gue tau. Semuanya. Sori, mungkin ini udah terlambat, tapi gue turut berduka atas kepergian Rey."
Memang terdengar datar dan setengah hati, tetapi Rama telah menyalurkan seluruh tenaga yang tersisa untuk mengatakannya. Ia sudah bertekad untuk memberi tahu Ari tentang pesan-pesan yang Rey kirimkan. Walau lelaki itu (mungkin) sudah mengetahuinya dari diari empunya, ia tetap merasa perlu memberikan informasi tersebut.
Sayangnya, saat ia berusaha memenuhi janji, Doni dan kedua sahabatnya datang entah dari mana. Mereka memakai pakaian serba-hitam dengan masker yang menutupi sebagian wajah. Semula Rama ingin berlari, tetapi ia urungkan karena Ari tengah di perjalanan--menuju tempatnya. Alhasil, ia lagi-lagi pasrah saat Doni menyeretnya. Kali itu, ia dilempar ke balik pohon besar yang cukup untuk menutupi aksi mereka.
"Lo ngapain di sini, hah?" tanya Doni basa-basi.
"Harusnya gue yang nanya gitu."
Lelaki yang sering kehilangan kontrol emosinya lekas meraih kerah Rama lalu memukul bagian perut dan dada. "Lo pikir kita nggak ngerti? Kita denger percakapan lo sama Ari lewat sadapan di tas."
Dasar licik, bego lagi, batin Rama.
"Terus, kenapa lo masih nanya?"
"Bangsat!" Doni tak segan mengulangi pukulannya, bahkan kali ini lebih kencang dan berulang.
Sam dan Luis yang melihatnya cukup berjaga di belakang Doni, menutupi lelaki itu dari pandangan sekitar, meskipun harusnya tak perlu karena tempat ini masih sepi. Mereka membiarkan Doni menyelesaikan urusannya sampai sang lawan benar-benar tak berdaya.
Rama tak membalas sama sekali. Buat apa? Posturnya kalah jauh, apalagi posisinya. Berjuang hanya menuntunnya pada fakta yang diputarbalikkan. Setidaknya, itu yang ia pelajari dari kesalahan Rey di masa lalu.
"Kalau sampai lo buka mulut ke Ari, jangan harap lo bisa selamat lebih dari sekarang! Ingat, pekerjaan ibu lo ada di tangan nyokap Luis."
Tentu Rama ingat, malah memang hanya itu yang ia jadikan pegangan untuk bertahan. Namun, rasanya sama saja. Ia tetap runtuh saat Doni mendorongnya.
Perlahan, ia pun bangkit dan berjalan ke kursi taman. Ia meringkuk, menikmati rasa sakit sembari menunggu kedatangan Ari. Ia sudah lelah dengan persembunyian ini. Kalaupun ia harus merasakan luka yang bertubi-tubi, lebih baik luka itu berjalan di jalan yang benar. Jadi, Rama tak merasa sia-sia.
"Jadi, Doni dan temen-temennya tau kalau lo sempet lihat perbuatan mereka di atap?"
Lamunan Rama teralihkan saat Ari membuka suara. Lelaki yang tengah mengupas jeruk itu menatapnya wajar, tak menggebu-gebu seperti sebelumnya. Setelah ia dipindah ke ruang rawat, mereka lebih leluasa untuk mengobrol. Saking santainya, ia sampai memutar memori hari kemarin tanpa sadar.
"Enggak, Bang. Waktu itu gue lari sekencang-kencangnya. Gue syok. Gue nggak ngerti kudu gimana. Gue--gue--"
Ari meletakkan buah di tangannya ke atas keranjang lalu menggenggam tangan Rama yang gemetaran. "Udah, nggak usah diterusin."
"Maaf, Bang. Andai gue jujur dari awal, pasti Rey--"
"Udah, Ram," pinta Ari lembut, "kata 'andai' itu nggak akan pernah terjadi, lo nggak perlu nyusun kalimat setelahnya. Gue udah cukup seneng karena lo sekarang mau jujur."
Rama mengangguk. "Doni ngancem gue karena merasa gue bisa nyalahin mereka atas bunuh diri Rey, padahal gue tau kalau itu kecelakaan. Yang gue nggak habis pikir, kenapa kasusnya bisa berubah gini, Bang? Bahkan hampir semua anak kelas Rey kompak bilang kalau Rey depresi karena nilainya yang berantakan, efek sempat diskors dan segala macam."
"Sebelumnya, lo tau masalah notable, nggak?"
"Notable?" ulang Rama dengan alis bertaut.
Ari mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan tangkapan layar yang ia simpan sebelumnya. Ia juga menjelaskan semua yang ia tahu dari ibunya tentang program itu pada Rama, tanpa dikurangi maupun ditambahi. Dilihat dari ekspresinya, sudah dipastikan Rama tidak tahu apa-apa.
"Gue baru tau ini, Bang."
"Sepertinya, sekolah ikut andil dalam masalah ini. Pasalnya, Doni adalah salah satu dari siswa notable. Jelas mereka bakal berusaha membersihkan nama anak itu. Sekolah pasti juga mikirin citra mereka. Kasus bunuh diri bisa jadi buat nutupin apa pun yang ada di belakangnya."
Rama berkedip konstan dan menelan ludah. Ia perlahan duduk bersandar lalu menggaruk tengkuk. Sungguh, omongan Ari bagai masuk telinga kiri dan keluar telinga kiri pula, alias tidak masuk sama sekali ke otaknya. Entah karena sakit atau karena ia saja yang bodoh, Rama menggeleng pelan seraya meminta maaf. Ia tidak membantu sama sekali.
"Jadi, intinya gimana, Bang?"
"Kecurangan Doni kemarin cuma contoh kecil kejanggalan di Kemuning. Dari Rey saja: fakta kecelakaan yang disulap jadi kasus bunuh diri, penyeragaman saksi, sampai penyelesaian kasus yang terbilang singkat dan tiba-tiba tenggelam. Gue rasa, ada kolusi di sini, Ram."
"Kolusi?"
Ari mengangguk, meski ia sendiri masih meragukan spekulasinya. Bekal yang ia punya terlalu abu-abu untuk memulai langkah.
"Terus, rencana lo sekarang apa, Bang?"
"Gue sendiri bingung, Ram. Kasus adik gue terlalu bersih, nggak ada celah buat nyari buktinya. Rasanya kayak nggak ada harapan kalau pelakunya sendiri nggak ngaku dan itu nggak mungkin banget."
Rama mengiakan tanpa suara. Ia menggigit bibir, memikirkan hal apa yang bisa memancing suara mereka untuk memperbaiki masa lalu. Seketika sekelebat bayangan pesan Rey muncul di benaknya. Pesan yang meminta pendapatnya sebelum melakukan sesuatu, yang nyatanya tak diindahkan sama sekali. Rama lantas menegapkan tubuhnya dan menepuk punggung tangan Ari berkali-kali. Ia menemukan seberkas cahaya.
"Bang, kalau masa depan nggak bisa ngubah apa-apa, kita bisa ngulang masa lalu itu."
"Maksud lo?"
Rama menunjukkan layar ponsel Ari yang belum terkunci. Ia bahkan memperbesarnya agar lelaki itu menyadari maksudnya. Kini mereka saling tatap, telah sepaham dengan rencana yang bahkan belum diutarakan.
"Gue nggak mau ngelibatin lo lebih jauh. Ini berisiko."
"Gue tau, tapi ini patut dicoba. Seenggaknya, gue nggak sendiri. Ada lo, Bang."
Ari menelan ludah dan mengalihkan pandangan. Haruskah ia menerima usulan Rama? Haruskah ia memainkan peran yang berpotensi mengulang kesalahan yang sama?
"Bang?"
Tersentak, Ari menggeleng cepat. Ia lantas menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Setelahnya, ia tersenyum tipis dan mengangguk.
"Oke, gue bakal ngatur postingan-nya setelah lo pulang dari sini."
DAY 12
15 Januari 2022
1542 Kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top