[Sin 1]

Aroma hujan di tengah terik matahari diharapkan dapat menebus dosa. Ari tidak ikhlas dan ia merasa bersalah. Andai bisa, ia sudah menggerutu karena libur terakhirnya terusik hanya untuk berbelanja. Meski magang kali ini sangat istimewa, ibunya tak perlu repot-repot seperti itu. Sungguh, ia tak perlu membuang waktu untuk sesuatu yang tidak akan sejalan dengan dugaannya. Ah, belum apa-apa Ari justru mengacak rambut.

Lelaki itu menendangi kerikil di bawah kaki saat berkeliling. Refleks ia mendongak saat Ani berhenti, menepuknya dan bertanya bagian mana yang ia inginkan--berbicara tentang ayam. Terserah, itu saja yang keluar dari mulutnya, sebab papan reklame di seberang jalan lebih menarik perhatian. Ari tanpa sadar maju dua langkah agar dapat melihat lebih dekat, padahal tidak ada yang berbeda.

Get Your Glory!
Kemuning High School Did It Again

Pandangan Ari terkunci. Ia mengepal kuat hingga kuku-kuku panjangnya mengoyak telapak tangan. Perih, bodo amat. Sakit, apalagi. Ia hanya lekat-lekat mengamati sosok pembawa medali, tak lupa nama familier yang tertoreh di bawah foto kejuaraan esport. Sungguh bahagia, pikirnya.

"Mas, alumni sana, ya?"

Pertanyaan tiba-tiba itu membuat raut kusam Ari berubah manis--secara paksa--dalam hitungan detik. Ia lekas mendekat dan mengangguk. Juga menatap ibunya yang sekilas menoleh sebelum kembali memilah bawang. Siapa pun di antara mereka tahu, perbincangan ini tidak akan pernah berakhir baik-baik saja.

"Wah, sekarang lanjut di mana, Mas?"

"Petra, Bu."

Seketika ibu-ibu penjual cabai dan sayur yang berdekatan berebut suara, membuat Ari menelan ludah lalu mendengkus pasrah. Bukan hal baru, baginya. Namun, bukan berarti ia bisa terbiasa. Atau lebih tepatnya, ia tidak akan terbiasa selama sanjungan itu berasal dari mereka yang tahu luarnya saja.

"Kampus gede, denger-denger susah banget, lho, masuk sana."

"Lulusan Kemuning, kan, bagus-bagus, Mbak. Pasti keterima, lah."

"Iya, yang sekolah di sana pasti masuk kampus bergengsi juga."

Ani--ibu Ari--berdeham. Ia mencengkeram rok panjangnya sambil tertunduk diam. Satu per satu kalimat yang jelas terdengar itu kian mempercepat degup jantung, membuatnya bergeming--tak tahu harus melakukan apa. Bawang merah yang digenggam makin tak karuan karena menjadi korban pelampiasan.

Bukannya tak paham, melainkan Ari masih menunggu waktu. Ia biarkan tiga pedagang di hadapannya menyelesaikan ocehan mereka terlebih dulu. Kemudian ia membayar belanjaan, menarik tangan ibunya yang mulai bergetar dan berniat berjalan menuju parkiran yang ada di ujung depan bagian kiri. Semua harus ia lakukan secepat mungkin, sebelum luka yang ada makin menjadi-jadi.

Itu ibu-ibu mantan guru Kemuning, kan, ya? Yang anaknya bunuh diri.

Anak tirinya, Bu.

Nah, iya. Nasibnya jelek. Stres mungkin, ya, sampai nekat begitu, padahal katanya si anak pinter di sekolah.

Tertekan kali, Bu. Orang tuanya, kan, pengajar di sana. Kakak tirinya sukses lagi, pasti dibanding-bandingkan.

Bener.

Duh, kasihan, ya.

Panas. Telinga, sekujur badan, bahkan mata dan hati Ari seakan dididihkan. Sudah bagus ia menahan diri dengan berbaik hati menjawab pertanyaan mereka, malah ini yang ia dan juga ibunya dapatkan. Lelaki itu sontak berbalik badan dengan raut wajah merah padam dan tangan mengepal. Awas saja, batinnya berapi-api. Namun, aksinya terhenti saat kaus oblongnya ditarik paksa hingga Ari kembali menghadap depan.

"Bu?"

"Sudah, biarkan."

"Tapi--"

"Nggak semua hal harus dikatakan, Ri. Kebanyakan orang hanya percaya dengan apa yang ingin mereka percayai. Sudah, ayo pulang. Ibu nggak sabar mau masak terong balado buat kamu."

Ck, Ari berdecak di dalam hati. Senyum itu palsu, belaian lembut pada rambutnya hanya kamuflase. Ia tidak tenang dan tidak bisa menyalurkan amarahnya pula. Apa daya, keberanian sang ibu lebih menuntun untuk menerima dan pulang tanpa kegaduhan apa-apa.

Sesampai di rumah, lelaki itu menurunkan barang dari pikap milik tetangga. Setelah selesai dengan urusan dapur, ia segera masuk ke kamar dan menyalakan kran air. Ia tidak ingin ikut campur dengan masakan ibunya, toh Ani juga tidak pernah mau diganggu. Urusan mobil pinjaman, tunggu sampai empunya peka dan mempertanyakannya.

Bunyi deras air dalam bak yang terkungkung di kamar mandi mengisi kesunyian yang Ari mau. Gema yang menenangkan itu membuatnya tersenyum lega. Setelah penuh, ia mematikan kran, menyalakan musik, lalu berbaring di dalam bak. Sebuah kebiasaan yang menjadi zona nyaman almarhum adiknya. Entah sejak kapan, setiap teringat Rey, Ari akan melakukan hal yang sama. Air seolah menjadi obat rindunya.

Lo udah janji sama gue, Bang. Apa pun yang terjadi, lo bakal percaya sama gue. Iya, kan?

Maaf, Ari mulai menenggelamkan wajahnya.

Maaf, makin dalam dan tubuhnya terasa ringan.

Maaf, berbanding terbalik dengan rasa bersalahnya yang menggunung.

"Hah!"

Lelaki itu sontak bangkit dan mengusap wajah. Ia sibuk terbatuk karena sempat menelan air. Kesal, ia mendengkus dan menendang angin berulang kali. Bodoh, memang, sejak lulus tanpa membawa jawaban apa-apa, ia merasa belum hidup sepenuhnya. Sebagian nyawanya ikut terkubur dua tahun lalu. Di samping Rey. Bersama Rey.

Ari mengambil handuk dari kapstok lalu berganti baju. Berlama-lama meratap tak membuatnya lebih baik. Ia berjalan menuju laci dan mengambil diari Rey yang tersimpan di rak paling bawah, tepatnya di balik triplek cokelat sebagai tempat persembunyian. Lelaki berkulit putih--yang kian pucat karena berendam--itu membuka halaman sekian dan mengambil kunci kecil yang diselipkan di dalamnya.

Papan tulis penuh coretan dekat meja belajar lekas disingkirkan. Fokus Ari tertuju pada lemari dinding yang kini berusaha ia buka. Kumpulan kliping koran dua tahun lalu pun langsung menyambut. Inisial yang tersebar di mana-mana dikaitkan menggunakan benang dan spidol merah.

"Siapa lagi yang lo untungkan hari ini?"

Ari menuliskan data yang ia serap dari papan reklame siang tadi. Kipas angin yang sengaja dinyalakan membuatnya bergidik. Bisa jadi, itu juga yang melengkapi sikap dinginnya saat memandangi wajah adik kelas yang hingga kini dielu-elukan SMA-nya. Andai kejadian lantai empat tidak pernah terjadi, mungkin Rey-lah yang mengambil alih posisi itu.

Atau, tidak juga, berhubung penunjang mereka masih kalah jauh.

Dering ponsel tiba-tiba mengisi ruangan. Tanpa mengunci lemari, Ari beranjak ke kasur dan mengangkat panggilan yang berasal dari kawan jurusannya. Lelaki itu sedikit berdeham untuk menjernihkan suara.

"Besok berangkat jam berapa, Ri?"

Pertanyaan yang sudah diduga sebelumnya. "Jam tujuh nyampek sana. Kenapa? Mau bareng?"

"Kalau lo butuh tumpangan, ya, gue nggak masalah."

Ari menggeleng, meski lawan bicaranya tak tahu-menahu. "Nggak usah, gue naik bus. Ketemu di sana aja. Jangan lupa bawa berkas kampus."

"Oke, deh. Ketemu besok, ya."

"Oke."

Panggilan pun berakhir. Tanpa salam, tanpa pembahasan lain pula. Ari tidak suka basa-basi. Toni, kawannya juga demikian. Ia yakin bukan kebetulan, tetapi memang hanya merekalah yang diterima untuk magang di SMA Kemuning. Sekian ratus mahasiswa Civic Hukum angkatannya harus rela gigit jari karena melewatkan kesempatan (yang katanya) besar ini. Benar, bukan? Pengalaman mengajar di SMA terkemuka itu akan menjadi daya jual mereka kelak.

Malam pun berganti tanpa arti, Ari bangun seperti biasa, tetapi tidak dengan semangatnya. Hari ini ia beribu kali lebih antusias dibanding hari sebelumnya, terlebih saat berhasil menginjak Kemuning setelah dua tahun dinyatakan lulus dan menjadi alumni teladan. Tebak, tentu karena ia masuk kampus terbaik negeri dan membawa nama harum mereka di jajaran penerima beasiswa mahasiswa berprestasi.

Pagi ini, tepatnya setelah Mars Kemuning selesai dikumandangkan, ia dan Toni diarahkan ke ruang guru. Untuk kali pertama, Ari diperkenalkan sebagai mahasiswa magang yang akan mengamati kegiatan belajar-mengajar kelas sepuluh. Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Alih-alih mendengarkan pembimbingnya, Ari lebih tertarik mengedarkan pandangan, mengamati guru-gurunya satu per satu. Ada wajah lama, ada pula wajah baru. Semua terlihat menyenangkan sampai matanya beradu dengan kepala sekolah di ambang pintu.

"Oh, sudah datang. Semoga betah dan harap kerja samanya, ya," ucap lelaki berambut putih yang paling disegani di SMA Kemuning.

Ari menyambut uluran tangan sambil sedikit membungkuk. "Terima kasih, Pak."

"Pas tahu kamu mengajukan proposal magang ke sini, saya langsung ACC, lho, Ri. Selamat, ya, atas beasiswa Twinning Program-nya. Agak telat, memang. Bapak nggak nyangka siswa kayak kamu bisa dapet. SMA kita sempat jadi trending topic di mana-mana waktu itu. Iya, kan, Bu?"

Senyum, tersenyumlah, Ari, batin lelaki yang masih kaku dengan tepukan pada pundaknya. Perlahan ia mencoba bergeser menjauh agar kepala sekolahnya bisa berhenti. Sayang, yang ada justru rangkulan itu kian erat saja.

"Terima kasih, Pak. Semua berkat support sekolah juga," jawabnya sungguh-sungguh.

"Bagus, lah. Dengan itu kamu jadi sadar kalau harus kembali ke sini, kan? Ya sudah, kalian boleh keliling-keliling dulu. Setelah istirahat pertama baru masuk kelas."

"Baik, Pak." Ari dan Toni kompak mengangguk.

Tidak hanya kepala sekolah, tetapi guru-guru juga menyarankan hal yang sama. Meski sudah hafal di luar kepala dengan sekolah ini, Ari tetap mengiakan dan berniat mengenalkan Kemuning pada Toni. Namun, ia berubah pikiran dan hanya berjalan mengikuti ke mana pun kawannya pergi.

"Lo yakin, Ri?"

"Hah?"

Toni tiba-tiba bertanya, "Lo yakin keterima di kampus karena SMA ini?"

"Mungkin."

"Lo yakin kalau dapat full beasiswa juga karena SMA ini?"

"Mungkin."

"Terus yang 'bukan mungkin' dan lo yakini apaan?"

"Hm, masalah pengakuan yang abadi di sini."

"Kumat, lo sok intelek lagi. Dah, lah, cabut ke kantin aja."

Ari tertawa. Raut kesal Toni memang tidak pernah gagal menghiburnya. Ia pun menyusul dengan langkah sedikit tergesa. Namun, kakinya terhenti saat melihat sosok tak asing yang keluar dari ruangan BK.

Dia ….

Lelaki itu menatap Ari dengan mata terbelalak. Ia buru-buru naik ke lantai dua tanpa berbasa-basi lebih dulu. Mengapa? Bukannya dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk berdamai dengan kebohongan?

Namun, ternyata ia belum ingin menyapa. Ari pun cukup melihatnya dari kejauhan. Ia tersenyum lalu menghela napas lega. Setidaknya, anak itu baik-baik saja, pikirnya. Permainan tidak akan menyenangkan jika salah satu di antara mereka tidak dalam kondisi prima.

DAY 1
4 Januari 2022
1560 Kata

Hai, akhirnya ketemu lagi 😍
Ramein, ya 🥳

Aku nulisnya setiap hari, jadi teman-teman nggak perlu nyariin. Semoga nggak oleng, deh. Aamiin.

Gimana bab satu ini?

Hope you like it 🌟

Follow akunku, yuk. Ada trailer dan konten Stepb di sana 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top