2. Hujan Yang Tak Kunjung Henti

Tentang hujan, air mata, dan kerapuhan.

===============

Aku terbangun seperti tersadar dari mimpi panjangku. Kurasakan tubuhku pegal dan lelah. Aku mengedarkan tatapan ke sekelilingku. Aku menemukan Kak Iman meringkuk di single sofa. Dan Milly tertidur di karpet. Lalu kemana Max?

Max? Oh, aku baru ingat kembali. Max telah pergi. Entah kemana. Aku membuang tatapanku ke arah jendela yang sedikit berembun karena tetesan hujan pagi ini. Aku beranjak turun dari ranjangku, melangkah keluar menuju ke dapur. Aku mengambil satu cangkir dan teabag. Menyeduhnya dengan gula batu lalu duduk di depan jendela. Mataku menatap kosong setiap tetesan air yang turun seolah aku sedang menghitung tiap tetesan itu.

"Diam! Aku hanya ingin begini. Memelukmu dan jangan ganggu tidurku dengan keras kepalamu. Di luar hujan dan begini akan lebih baik!"

Aku ingat. Teringat saat Max mengunci tubuhku yang meronta ingin lepas dari pelukannya. Dia bersikeras ingin melanjutkan tidurnya dengan tetap memelukku.

Aku merapatkan dekapan tubuhku sendiri. Memejamkan mataku sambil menikmati harum tanah yang merebak karena tetesan air hujan.

Tapi sekarang semuanya berbeda. Tidak ada lagi mimpi dan harapan. Aku -hanya aku yang tersisa. Sendiri dan selalu sendiri. Mereka pergi meninggalkanku. Dan seharusnya memang aku tidak melupakan bahwa yang datang akan selalu pergi.

"Aku salah sudah memberikan kesempatan untukmu? Nggak, aku nggak salah. Aku salah sudah terlalu berharap banyak padamu? Mungkin."

Aku kembali terdiam, menahan tangisku. Aku bahkan tanpa sadar sudah menggigit kuat bibirku. Tanganku mencengkeram kuat gagang cangkir. Sementara nafasku sudah kembali tersengal-sengal.

Kalau ada orang yang mengatakan aku berlebihan, aku bersumpah orang itu pasti belum pernah merasakan bagaimana sakitnya menjadi aku. Orang itu pasti belum pernah mencecap rasanya dikhianati, dicaci-maki, ditinggalkan dan bahkan sekarang? Disaat dia ada bersedia menerimaku apa-adanya pada akhirnya juga pergi. Kali ini bukan karena masa laluku. Tapi kemarahannya pada ayahku dan aku. Aku yang menambah kemarahannya dengan keras kepalaku. Dia pergi tanpa kata. Dan mungkin tidak akan pernah kembali.

"Pada akhirnya aku kembali sendiri. Kalau saja boleh aku bertanya apa yang salah dariku sampai-sampai ayahku sendiri tidak menginginkan kebahagiaanku?"

Aku kembali menatap tetesan air hujan yang semakin deras pagi ini. Mataku menyipit dan pandanganku kabur seiring air mata yang membanjiri pipiku. Tak lama kurasakan sentuhan di pundakku. Aku menoleh tanpa sempat mengusap air mataku. Kulihat Milly tersenyum getir padaku.

"Kenapa?" tanyanya pelan. Mungkin dia takut menyinggungku.

Aku tertawa tapi terdengar sumbang. "Aku nggak apa-apa. Kenapa?"

"Kalau kamu baik-baik saja, kamu pasti ingat sekarang tanggal berapa dan hari apa."

Aku mengerutkan keningku. Hari apa? Tanggal berapa? Dalam diamku aku berusaha mengingatnya tapi --aku tidak mendapatkan apa yang kucoba ingat. Yang kutahu aku baru kemarin mendengar kata-kata menyakitkan itu lalu terbangun dengan tatapan khawatir Max dan berakhir dengan Max yang pergi dariku.

Aku melirik Milly dalam diamku. Dia mengembuskan nafasnya, menatapku prihatin. Tangannya menyentuh tanganku dan menggenggamnya.

"Kamu sudah empat hari seperti orang gila. Hanya diam, menatap kosong lalu menangis meraung-raung. Kamu nggak ingat?"

Aku menggeleng pelan. Mataku terpejam beberapa saat. Dengan susah payah aku menelan salivaku.

"Kenapa? Shanon yang kukenal nggak selemah ini," bisiknya.

"Aku --baik-baik saja."

Tak lama kulihat Kak Iman mendekat, menarik kursi ke sisiku yang masih kosong. Dia menatapku sama seperti Milly menatapku. Sungguh aku benci tatapan ini. Aku benci dikasihani.

"Aku baik-baik saja, please!" tegasku saat Kak Iman membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu.

"Shanon...," Dia menggelengkan kepalanya. "Nggak selamanya orang harus kuat. Ada kalanya orang jatuh terpuruk dan membutuhkan pelukan orang. Lepaskan, Shanon. Kamu --sudah kakak anggap seperti adik. Dan kakak mana yang sanggup melihat adiknya begini? Kenapa? Sharing sama kakak. Nggak semuanya bisa kamu hadapi sendirian."

Memang tidak semua hal bisa kuhadapi sendiri. Memang tidak selamanya aku harus bisa selalu kuat. Tapi keadaan berbeda. Ini bukan sekedar sakit yang kualami tapi juga kematian jiwaku.

"Shanon..," Kali ini Milly yang memanggilku.

"Apa Max yang membuatmu kayak gini?" tembak Kak Iman.

Aku tertawa lirih. "Bukan. Aku baik-"

"Berhenti berkata baik-baik saja, Shanon. Kamu nggak bisa membohongi kami."

Aku menyipitkan mataku, menatap Kak Iman. Dia menatapku tajam dengan mata hitam legamnya.

"Tapi aku nggak butuh nasihat apapun. Kalau kakak mendengar untuk memberi petuah lebih baik pulang saja," ucapku datar.

Dia nampak sedikit terkejut mendapati responku. Selama ini aku tidak pernah bersikap demikian padanya. Aku selalu mendengar setiap nasihatnya pada masalah yang aku ceritakan padanya. Dia memberiku nasihat yang bisa kusimpulkan untuk sebuah keputusan yang harus kuambil. Tak lama kemudian aku melihat dia mengangguk meskipun sedikit ragu.

"Shanon yang kalian kenal sudah mati," ucapku lirih dan --dingin.

Dua orang di sisiku nampak sangat terkejut.

"Kenapa kamu --"

Aku memotong kalimat Kak Iman dengan mengangkat tanganku.

"Aku tahu Tuhan membenci orang yang menyerah. Aku tahu --tapi kali ini aku benar-benar nggak bisa lagi. Aku benci dia. Aku membencinya."

Aku mengatupkan rahangku keras. Dadaku seperti kembali terhimpit. Aku menundukka kepalaku, menggenggam kuat cangkir tehku yang tidak lagi panas.

"Dia? Siapa yang kamu maksud?"

"Ayahku."

Dengan terbata aku menceritakan apa yang pria tua itu katakan padaku. Bagaimana dia membunuhku dengan kalimatnya. Aku tidak bisa memaafkan itu sekalipun dia ayah kandungku. Sekalipun orang-orang menyalahkanku, menentang apa yang kuputuskan.

"Bagaimanapun dia itu ayahmu, Shanon...,"

"Aku tahu!!! Tapi apa kakak pernah merasakan apa yang kurasakan? Dia nggak pernah menganggapku dan aku harus menganggapnya, menghormatinya?!!" Aku berteriak memotong kalimatnya. Ini yang kumaksudkan tidak semua orang bisa menerima keputusanku.

"Shanon, tenanglah."

"Aku bukan orang yang sebaik itu. Aku nggak bisa membohongi diriku sendiri. Aku nggak bisa memaafkan apa yang sudah dia lakukan padaku dan --aku nggak akan bisa menganggap semuanya baik-baik saja seolah nggak pernah terjadi apapun yang menyakitkan di hidupku. Aku --nggak sebaik itu," tekanku padanya.

Biar saja orang menilaiku anak durhaka. Tapi mereka tidak akan pernah tahu bagaimana hancurnya aku. Bagaimana sakitnya aku saat dia berdiri dengan angkuhnya. Sampai di sini apa aku masih dilarang membencinya? Bagaimanapun dia ayahmu? Lalu bolehkah aku berteriak padanya, bagaimanapun aku adalah anaknya yang seharusnya dia sayangi?

Kenapa aku tidak boleh? Sementara dia boleh melakukan apapun padaku tanpa ada yang menyalahkannya? Apa dimana-mana orang tua itu selalu benar dan anak selalu salah? Apa iya demikian?

"Shanon yang dulu sudah nggak ada. Sudah mati beberapa hari lalu. Dan itu karena laki-laki yang mengaku ayahnya. Apa Shanon masih harus tetap kuat? Menghargainya, menghormatinya?" lirihku pada Kak Iman lalu berganti menatap Milly.

Keduanya kini terdiam. Tidak ada kata lain yang terucap, hanya pelukan yang kini mengurung tubuhku.

"Kalau saja membunuh itu dihalalkan, aku ingin membunuh pria tua itu," desisku. Mereka mengeratkan pelukannya padaku.

"Kamu masih punya Tuhan, Shanon," bisik Kak Iman.

Aku menarik nafasku panjang agar sesak di dadaku tidak begitu menyiksa. Aku tersenyum kecut. Memangnya aku tidak boleh mengambil keputusanku? Kenapa? Kenapa mereka selalu membawa nama Tuhan untukku? Kenapa mereka tidak meneriakkan kalimat itu pada pria tua itu untuk segera menundukkan kepalanya, melepas mahkota keangkuhannya?

"Menangislah. Tapi berjanjilah hari ini terakhir kamu membiarkan dirimu gila. Kamu harus cepat kembali. Untuk mama. Untuk adik kamu, Prastya," bisik Kak Iman.

"Kak Iman benar, Sha. Jangan takut. Dan --Max pasti kembali untukmu."

"Untuk apa kembali?"

Kulihat keduanya mengembuskan nafasnya panjang lalu tersenyum singkat.

"Kita bicarakan nanti saja kalau kamu benar-benar sudah baikan. Sekarang kamu harus mandi. Shanon yang kakak kenal orangnya cantik. Nggak kucel begini."

Aku mengedikkan bahuku lalu beranjak meninggalkan mereka menuju ke kamarku. Tidak untuk mandi. Tapi berdiri di ambang pintu kamar mandi, menatapi keadaan ruangan sempit itu.

Aku tersenyum getir. Tidak ada yang berubah. Botol shampoo miliknya, sabun, deodorant dan perlengkapan mandi lainnya --milik Max masih tertata rapi di dalam rak bercampur dengan milikku. Harum tubuhnya pun masih tertinggal di sini. Semuanya masih tampak sama. Dan kalau pria tua itu tidak mengacaukan segalanya, Max pun pasti masih di sini, bersamaku menikmati sejuknya udara yang dihasilkan oleh guyuran air hujan. Bersatu dalam selimut.

Aku bersandar luruh. Mataku sudah tidak jelas lagi menatap ketika aku menyadari keadaan sudah berbeda. Kalau saja aku tidak keras kepala. Kalau saja aku menahan langkahnya mungkin aku masih bisa sedikit menegakkan kepalaku karena ada dia menggenggamku.

Aku melangkah pelan memasuki kamar mandi dan duduk di closet. Tanganku kini sudah menggenggam handuk putih miliknya, mendekapnya dengan erat. Aku sudah gila mungkin. Aku menciumi handuk itu, merasakan sisa-sisa harum tubuhnya.

Kamu tahu aku, sugar. Aku nggak akan pernah melepaskanmu sekalipun kamu berlutut memohon kepadaku untuk pergi dariku.

Aku teringat kata-katanya. Tubuhku semakin menggigil. Aku luruh kembali.

Nyatanya kamu sudah pergi tanpa aku berlutut.

Kenapa? Kenapa semuanya jadi sesakit ini? Tangisku semakin mendalam. Aku tidak peduli lagi dengan handuk yang kupegang. Dia menjadi basah. Tanganku bergerak meremas dadaku. Bahkan sesekali memukulinya.

Aku kembali meratap. Aku tidak pernah meratap separah ini sebelumnya. Tanganku kemudian bergerak di luar kesadaranku memutar keran dan aku merosot ke lantai. Ini aku dengan segenap frustasiku.

Bolehkah aku menuntut keadilan, Tuhan? Atau bolehkah aku meminta sedikit saja kebahagiaan untukku? Setidaknya untuk sebuah pesta melepas kematian jiwaku agar dia pergi dengan sedikit senyum di bibirnya. Lalu Kau boleh membiarkan aku di sini kosong.

Aku bergerak menekuk lututku dan menumpukan kepalaku di sana. Kedua tanganku meremas kepalaku. Membiarkan tubuhku bergetar karena dingin dan isak tangisku. Tidak lama karena setelahnya aku menyunggingkan senyum tipisku kala kurasakan kehangatan menyelimuti tubuhku. Dan selanjutnya aku seperti ringan melayang, meski sempat aku mendengar teriakan histeris menyebut namaku dan menyuruh Kak Iman untuk cepat melangkah.

Selamat jalan Shanon Cannadia, jiwaku yang terlebih dulu mati meninggalkanku. Kau pergi bersama hujan yang mengiringimu tiada henti.

***

Tbc..

selamat malam... semoga masih bisa dipahami. kalau ada yang bertanya ini tentang hayalan shanon? bukan, tentang dia dan kematian jiwanya, bukan pula curhatan dengan diary. Intinya depresi.

26 Nov 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: