⭕Two⭕
✴Kegelapan menyembunyikan banyak hal, termasuk kebaikan✴
🍁
Desing hujan anak panah terus bergemuruh di sekitarku. Tapi, aku masih bisa mendengar dad bergumam, "Daniel ... kenapa kamu ke sini?"
Aku tidak bisa menjawabnya. Kupikir aku ke sini karena permintaan dad.
"Seharusnya kamu bisa membedakan bagaimana suara Dad, kenapa kamu bisa ditipu dengan begitu mudahnya?" bisik dad.
Aku memberanikan diri mengintip ke arah dad. Kupicingkan mata sebelah kiri. Saat itulah aku merasa hujan anak panah tidak mengarah pada kami berdua, melainkan melengkung dan berbelok di sekitar kami.
Sontak aku berdiri melihat siapa pemanah-pemanah kurang kerjaan yang nyaris menghentikan jantungku. Tapi, yang kulihat hanya kegelapan. Ini tidak biasanya, padahal indera lihatku sangat tajam. Kenapa aku tidak bisa melihat apa pun yang menerbangkan anak panah-anak panah ini?
Barulah kusadari sulur hitam yang menyiksa kaki kiriku tadi telah lenyap. Mataku memindai keberadaan Willy di tengah danau. Lelaki berambut putih itu melayang di udara dengan beberapa anak panah menusuk tubuhnya. Mata Willy membelalak menatap langit, mulutnya mengeluarkan cairan merah kental, dan hampir sekujur tubuhnya dilumuri cairan merah kehitaman. Tidak hanya itu, kulit di balik cairan merah kehitaman itu meletup-letup menyemburkan cairan serupa nanah.
Detik berikutnya tubuh Willy meledak dengan cairan menjijikkannya yang menyebar ke mana-mana. Tidak terkecuali tubuhku dan dad.
Namun, tidak halnya dengan Charmen. Penyihir itu justru menghilang bak ditelan gulita. Pengecut! Kurasa baru beberapa menit yang lalu kudengar suaranya menggemakan keinginan membunuhku dengan mudah.
Dad menyentuh pundakku, membuatku tersentak. "Dad, apa kau baik-baik saja?" pertanyaan bodoh itu meluncur dari mulutku.
"Kamu tampak seperti Mom saja, Daniel." Dad terkekeh. Tentu saja ia tidak baik-baik saja, melihat seberapa banyak luka yang diterima dad.
"Cheiron!" teriak dad ke arah kegelapan hutan.
"Ya, Juan!" jawab suara bariton di sana.
Sial! Aku tidak bisa melihat apa-apa. Ini terlalu tidak biasa bagiku. Ke mana penglihatan tajamku? Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Kemudian, menyipitkan mata ke sumber suara bariton tadi. Tapi, hasilnya sama saja. Aku tidak melihat apa-apa.
Dad terkekeh sembari menggandeng bahuku dengan sikap mengajakku menyusuri jembatan. "Kamu tidak melihat apa-apa, bukan?"
Sontak aku menatap mata dad yang sewarna denganku. "Sejak kapan Dad bisa membaca pikiran?"
Dad justru tertawa geli seolah rasa sakit tidak lagi menyiksa tubuhnya. "Karena ada tameng sihir di ujung jembatan itu."
Aku membentuk mulut corong, berusaha memahami kalimat dad.
🍁🍁🍁
Aku mendengar suara berdebum keras di lantai semen, diiringi rasa nyeri luar biasa di sekujur tubuhku.
"Aaawww ...!" ringisku.
"Daniel!" teriak mom.
Aku membuka mata dan mendapati mom berjongkok di sisiku.
"Makanya jangan tidur terlalu larut, kesiangan, kan," omel mom. Tangan lembutnya membantuku bangun dari lantai.
Kuabaikan keadaan kamarku yang tidak ubahnya kapal perang. Kutatap manik cokelat mom dalam-dalam. "Mom sehat? Mom baik-baik saja?"
"Seharusnya Mom yang bertanya seperti itu. Bukankah kamu yang baru saja mendarat di lantai?" Mom mengajakku duduk di pinggiran ranjang dengan tangannya.
Padahal semalam aku yakin melihat mom di rumah sakit, meminum darah, dan ... ah, entahlah.
"Mau berangkat sekolah sama Dad, Daniel?" Dad berdiri di ambang pintu kamar.
"Dad!" Aku menghambur ke arah dad. Tapi, dad tampak biasa saja. Tidak terluka sedikit pun seperti dad semalam.
"Apa? Jangan bilang minta uang jajan lagi?" Dad menatapku dengan tatapan penuh intimidasi.
Aku menggeleng dengan kuat. "Semalam Dad di mana?"
"Dad pulang telat karena lembur, Daniel."
"Tapi ...."
"Tampaknya kamu habis bermimpi buruk, Nak," ujar mom.
Dad mengacak-acak rambutku. "Waktunya sarapan, Kawan!" Dad memang selalu memperlakukanku seolah temannya. Asal kau tau saja, dad masih seperti berusia dua puluh tujuh tahun. Artinya, ia tampak seperti kakakku. Sama seperti mom, entahlah ... mungkin karena mereka hybrida.
🍁🍁🍁
Partikel-partikel hingga atom hasil dari mulut orang-orang yang berbicara di sini bisa kulihat. Ah, memang sih aku sudah terbiasa dengan semua ini. Suara berisik mulut mereka tidak kalah berisik dengan suara kaki, detak jantung, dan deru napas.
Gadis-gadis di sini menyebutku dengan sebutan 'cowok kulkas'. Yeah ... aku tidak bisa menyalahkan pendapat mereka. Aku memang jarang memakai pita suara. Kau tahu, suara berisik mereka saja sudah mengganggu gendang telingaku, haruskah aku mengusik gendang telingaku sendiri?
Bagiku berteman dengan headphone jauh lebih manusiawi, rasanya jauh lebih menyenangkan mendengar suara musik-musik dari Linkin Park, Black Veil, Coldplay, sampai band rock lama seperti Bon Jovi. Berisiknya musik yang kuputar sepanjang hari membuatku hidup, daripada mendengar celoteh orang-orang di sekitarku.
Tidak ada yang salah memang dari kebiasaan mereka berbagi banyak hal dengan sesama lewat pembicaraan . Tapi, yang salah hanyalah inderaku. Aku pernah jatuh sakit sejak inderaku menajam. Aku lupa kapan tepatnya, yang kuingat hanya mata merah di Monumen Columbus. Setelah itu aku mengalami mimpi buruk berhari-hari. Dad nyaris sinting karena tidak ada satu dokter pun yang bisa menyembuhkanku. Seorang dokter berkepala botak bahkan menyebutku berhalusinasi. Oh, ayolah ... aku tidak gila.
Sampai mom menemukan cara untuk membantuku. Mom memberiku hadiah sebuah headphone dan kacamata tebal. Menurut dad, kacamataku aneh dan buram. Tapi, bagiku kacamata ini membantuku menurunkan ketajaman indera lihatku.
Sejak itu dad membuat apartemen kami kedap suara dan mengganti kaca rumah dengan lapisan tebal yang buram. Jadi, hanya di apartemen aku merasa aman. Aman dari suara dan pandangan yang mengganggu.
Aku masih asyik menikmati In The End-nya Linkin Park, saat seseorang membuka headphone-ku.
"Hei, Kulkas!" sapanya membuat gaung di telingaku. Gadis berambut pirang, lincah, dan agresif yang sejak setahun lalu mengaku menjadi sahabatku.
"Heeemmm ...?" Aku berusaha menetralisir suara-suara yang melesak ke telinga.
"Makanan itu dimakan, bukan dipandang, ganteng." Ia menjawil daguku.
Aku melesakkan daun selada dan daging bersamaan ke mulut, kemudian membuat mulutku berisik oleh kunyahan.
"Ish ...!" Gadis itu duduk semaunya di sampingku. "Siang ini kamu masuk ke kelas Mr. Napkin, Daniel?"
"Hemmm ...!" Aku mengangguk.
"Bisa enggak sih kamu tuh ngomong, bukannya hem ... hem ... terus. Kayak ngobrol sama patung," gerutunya.
Aku tersenyum miring. "Lagi makan," ujarku sembari melesakkan lembaran daging yang kubungkus dengan selada lagi ke mulutku.
"Hello ... di sini ada gadis cantik loh, namanya Clara," ia menjentikkan jarinya di depan wajahku.
"Katanya makanan buat dimakan, bukan di ...."
"Dipandang! Iya deh," potong Clara, ia memonyongkan bibirnya menyerupai paruh unggas.
Kuakui Clara memang manis dan tidak ada atom atau partikel yang menyertai ucapannya. Yang paling utama, kulitnya tampak hangat dan wangi. Wangi yang berbeda dari wewangian gadis kebanyakan. Seperti teh hijau.
Hari ini Clara lebih cantik dari biasanya, ia mengenakan dress warna biru, dan riasan sederhana. Rambut pirang tergerai menutupi bahu indahnya.
"Akhirnya si Kulkas senyum juga!" seru Clara. "Nah, kalau begitu kan kadar kegantengannya bertambah."
Sial! Dia memergokiku yang sedang terbuai dengan keindahannya. Kontan saja seisi kafetaria menatap ke arahku.
"Masa sih si Kulkas bisa senyum, ngaco," bisik gadis tukang gosip yang kutahu bernama Gwenn. Baginya itu cuma bisikan. Tapi, bagiku itu teriakan.
Kemudian, beberapa suara sumbang tentangku pun bergema di segala penjuru kafetaria. "Clara itu naksir berat sama Daniel."
"Kupikir Kulkas bisu," sahut suara Jorge botak sialan.
Ah, ini mulai mengusik ketenangan.
Kupakai lagi headphone yang sudah memainkan lagu show you milik Shawn Mendes. Kumasukkan buku catatan yang tadi kugunakan sebelum Clara datang ke ransel.
"Hei, mau ke mana?" cegat Clara, saat aku berdiri.
Aku hanya memutar bola mata dan berlalu meninggalkannya.
"Daniel! Flashdisk-mu!"
Aku mengindahkan teriakan Clara. Bagaimana pun caranya, aku harus keluar dari zona gosip di sini.
🍁🍁🍁
Kunikmati satu cup es krim di Monumen Columbus. New devide milik Linkin Park masih bergaung di telingaku. Aku melihat orang-orang berlalu-lalang dari La Rambla menuju pelabuhan, maupun sebaliknya. Kebanyakan dari mereka warga negara asing yang berwisata ke negaraku.
Aku merasa ada yang memerhatikanku. Kuedarkan pandangan ke kiri dan ke kanan. Tapi, kurasa semua orang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada tiga remaja perempuan tidak jauh dariku sedang berfoto selfie di patung singa. Di belakangku ada sepasang muda-mudi yang sedang tidak tahu tempat untuk bermesraan. Mungkin ini hanya perasaanku saja.
Kusibak lengan mantel untuk melihat arloji, baru jam tiga siang. Dad pasti belum pulang dan acara arisan mom baru akan bubar tiga puluh menit lagi. Aku terlalu malas pulang kalau di rumahku penuh dengan ibu-ibu cerewet yang sering menjodoh-jodohkanku dengan anak mereka.
Aku melihat seorang pelukis di ujung La Rambla. Pelukis abstrak itu tengah asyik menumpahkan cat air di atas kanvas yang ia gelar di jalanan La Rambla. Aku tertarik untuk memerhatikannya lebih dekat. Aku pun berjalan ke arahnya sambil menghabiskan sisa es krim dalam cup-ku.
Kubuang cup es krim ke tong sampah tidak jauh dari si pelukis. Pelukis itu menumpahkan cat air seenaknya. Tapi, lukisan yang dihasilkannya bernilai seni tinggi. Kuperhatikan satu persatu lukisan abstraknya yang sudah selesai dan siap dijual, warna-warni yang kaya akan imajinasi.
Namun, Hari yang tadi begitu cerah tiba-tiba menjadi gelap. Aku melihat ke langit, awan hitam menggumpal di langit La Rambla. Aku pun tidak mau membuang waktu, aku berlari ke sisi jalan La Rambla. Melewati pertokoan yang sejak dulu tampak kuno. Kemudian, berbelok menuju gang sempit ke arah apartemen.
"Hai, Daniel," sapa Mrs. Napkin. Wanita gendut itu tersenyum ramah padaku.
"Hai, Mrs. Napkin," balasku. Aku bisa mendengarnya dengan jelas, walau Bruno Mars sedang menyanyikan lagu whats I like di headphone. "Arisannya sudah selesai?"
"Sudah sekitar satu jam yang lalu," sahut Mrs. Napkin.
Aku membuat mulut corong. "Biasanya jam tiga lewat tiga puluh," gumamku.
"Entahlah, ibumu bilang kurang enak badan," kata Mrs. Napkin lagi.
Suara pekikan wanita terdengar di depan gang menuju La Rambla. Aku dan Mrs. Napkin sontak menoleh.[]
Linda Alenta, 25 Oktober 2018
😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top