⭕Four⭕
✴Siksaan terpedih hanyalah kehilangan✴
"Lepaskan aku!" teriakku entah pada siapa. Karena tidak seorang pun yang tertangkap indera lihatku. Tapi, tali keemasan di leherku semakin kuat menjerat.
"Daniel!" teriak Mrs. Napkin. Ia berlari ke arahku.
Sementara aku menggelepar di aspal menahan kesakitan di leher. Semakin kuat tanganku berusaha melepaskan tali ini, semakin kuat pula ia menjerat. Aku mulai kekurangan oksigen. Pandanganku mengabur.
Mrs. Napkin berjongkok di dekat kepalaku. Tangannya membantuku untuk melepaskan jerat tali ini. Tapi, detik berikutnya, samar-samar kulihat sosok makhluk bertudung tadi tepat di belakang Mrs. Napkin.
Jerat di leherku terlepas. Aku tersedak karena lesakan oksigen ke paru-paruku.
Namun, tubuh Mrs. Napkin kejang-kejang, kakinya mengenai sisi tubuhku. Kulihat mulut si makhluk bertudung berada tepat di leher Mrs. Napkin. Cairan merah kental mengucur di sana, membasahi mantel Mrs. Napkin dan sebagian kerah bajunya.
Jerit kengerian bergema dari orang-orang yang melihat kami di kejauhan. Jeritan itu bergema di telingaku, menembus langsung ke otak. Rasanya ngilu, mengiris, dan menusuk jadi satu.
"LEPASKAN DIA!" teriakku. Kuhantam makhluk bermata merah itu dengan telapak kaki.
Makhluk itu terpental ke belakang dan mendarat di aspal. Saat itu juga kuterjang makhluk jahanam itu. Kupukul wajahnya hingga tudungnya terbuka dan menampilkan wajah pucat kebiruan dan kepala pelontos, lengkap dengan urat-urat kebiruan. Aku terus saja menghajar wajah makhluk itu, mengabaikan muncratan darah dari mulut segarisnya.
Satu kakiku di pergelangan tangannya, sementara satu kaki lainnya menindih dadanya. Sedang kedua tanganku terus menghajar wajahnya. Sesaat kupikir, aku akan membunuhnya. Tapi, detik berikutnya makhluk itu hilang. Membuat tangan kiriku memukul aspal.
Aku segera menegakkan diri. Menyisir sekitar dengan mataku. Tidak ada lagi makhluk itu, hanya ada Mrs. Napkin yang tergeletak bersimbah darah.
"Mrs. Napkin!" teriakku. Aku berlari ke arah Mrs. Napkin, kupangku kepalanya yang terkulai lemah.
Kurasakan denyut nadinya melemah. "Mrs. Napkin!" seruku. Kemudian, denyut nadi itu berhenti. "Tidak! Tidak! Tidak! Mrs. Napkin! Buka matamu!"
Tidak ada respon apa pun. Tubuh gempal Mrs. Napkin benar-benar lemas. Meski cairan hangat berwarna merah terus mengucur di lehernya yang berlubang.
"MRS. NAPKIN!!!"
🎭
Mrs. Napkin, wanita biasa saja. Ia teman dekat mom. Apartemen tidak jauh dari apartemen kami. Nyawanya direnggut paksa di depan mataku. Kenyataan bahwa ia pergi karena menyelamatkanku, teramat menusuk nuraniku.
Kenyataan yang lebih pahit lagi adalah saat aku tidak bisa hadir di pemakaman Mrs. Napkin. Bahkan aku dipaksa dad meninggalkan jasad Mrs. Napkin di dekat Monumen Columbus, pergi dari Barcelona, dan kini hanya menonton berita kematian Mrs. Napkin di televisi.
Rahangku mengeras saat pembawa berita menyebut kematian Mrs. Napkin dan William sebagai serangan binatang buas. Kugenggam jemariku hingga buku-buku tanganku memutih, saat kulihat di televisi patung Columbus kembali berdiri di tempatnya. Seperti sedia kala.
"Daniel," lirih mom seraya menyisir rambutku dengan jemari tangan kirinya. Entah sejak kapan mom duduk di sampingku.
Kulirik pergelangan tangan kanan mom, masih dibalut perban. Bukti nyata kehadiran makhluk bertudung itu. Lagi pula memar di buku tanganku masih berdenyut dan luka bakar di leherku pun masih perih.
"Entahlah apa yang terjadi, semua wilayah La Rambla gelap gulita setelah semua orang berlari. Aku dan anakku ini," tutur seorang wanita bermantel hijau toska. Ia menunjuk ke bocah perempuan yang menggenggam tangannya, kamera pun menyorot wajah polos bocah itu. Aku ingat, bocah itu menunjukku saat aku berlari menyelamatkan pacar William. "Kami bersembunyi di etalase pakaian berdesakan dengan orang-orang," lanjut wanita itu.
"Sudahlah, Nak," ujar mom. "Dad sudah membereskan ingatan semua saksi. Jadi, tidak akan ada yang ingat apa yang terjadi di sana."
"Apa sebenarnya kita, Mom?" tanyaku datar.
"Kita Hybrida," jawab mom. Membuatku sontak memberinya tatapan menyelidik.
Mom menghela napas berat. "Kita harus tinggal di sini untuk sementara. Satu minggu lagi kita akan kembali ke apartemen kita di La Rambla. Kalau ada yang mempertanyakan keberadaan kita selama seminggu, kita harus mengatakan liburan keluarga."
"Mom," aku menyela. "Hybrida?"
Mom menurunkan tangannya, ia mengelus perban yang melingkar di tangan satunya. "Hybrida itu anak hasil pernikahan Vampir dan Manusia," jelas mom. "Kedua Kakekmu dari pihak Mom dan Dad, Vampire. Sementara kedua Nenekmu Manusia, keduanya pergi setelah melahirkan kami."
Aku tercekat. Lidahku kelu. Jadi, selama ini aku salah? Kupikir aku ini manusia aneh.
"Jadi," sambung mom. "Daniel, kamu Hybrida murni. Hasil pernikahan dua Hybrida. Kekuatanmu lebih dari kami berdua. Makanya Tuanku tidak bisa melawanmu."
"Tuanku?"
"Makhluk yang kau hajar itu ... dulu kami menyebutnya Tuan."
"Maksud, Mom?"
"Dia Lucifer, Daniel." Mom menarik napas dalam-dalam. "Lucifer itu makhluk kegelapan, Mom pernah berpikir telah membunuhnya dengan harpa kiri milik Mom." Ia mengelus bekas luka yang tampak melintang di pergelangan tangan kirinya.
"Apakah harpa itu yang berwarna keunguan?" tanyaku.
Mom mengangguk. "Sekarang Mom sudah tidak memiliki keduanya lagi."
Dengan suara berdesing, dua bilah pedang kebiruan melintang di leherku. Aku tersentak dan tidak bisa bergerak dari tempat dudukku.
"Milik Dad warna biru, Daniel," bisik dad. Ia terkekeh.
Aku mendongak menatap wajah jail dad yang berdiri di belakangku. "Lucu sekali, Dad," ujarku dengan nada sarkasme.
Dad terbahak. Ah, bagaimana bisa dad berlaku sebiasa ini. Padahal semua yang terjadi kini menusuk batinku.
Kulihat harpa dad seakan ditarik kembali ke pergelangan tangan dad. Saat harpa itu benar-benar hilang, saat itulah kupegangi tangan dad. Tidak ada apa pun. Semuanya tampak seperti tangan biasa dengan suhu biasa, sedikit lebih dingin dari kulitku.
"Aku tidak tahu apakah kau punya harpa juga, Kawan." Dad melompati sofa untuk duduk di sebelahku.
"Mungkin Cheiron punya jawabannya," timpal mom.
Dad mengedikkan bahunya. Kemudian ia mengambil remot di meja dan memindah saluran televisi. Dad berhenti di saluran yang menampilkan sekelompok wanita seksi nyaris tanpa busana di pinggir pantai. "Wow!" serunya.
"Wooo ...!" sahutku.
"Hei!" protes mom. "Kau mau mengotori otak anakmu, heh?" Tangan mom berusaha merebut remot dari dad.
Namun, dad memindahkan remot ke tangan satunya. "Ayolah, Daniel sudah remaja," ujarnya.
Saat para wanita itu nyaris mencopot pakaian dalamnya, saat itulah mom berdiri di depan kami berdua dengan gelas kaca di tangannya. "Pindah salurannya atau gelas ini berpindah ke monitor dengan kekerasan!"
"Aaah ... Mom," protesku dan dad bersamaan.
Mau tidak mau kami harus mengalah. Ratu di rumah ini memang tidak pernah bisa diajak berkompromi soal pendidikanku.
"Nanti kita tonton di HP Dad saja, Daniel," bisik dad.
"Aku mendengarnya, Juan Alves!" teriak mom yang berjalan menuju dapur. Mom selalu menyebut nama lengkap dad untuk memenangkan perdebatan.
"Ya, Linda Reyes!" balas dad yang kontan mendapat pelototan mom.
Aku terpaksa terbahak melihat tingkah kedua orang tuaku. Mereka tidak hanya tampak masih berusia muda. Tapi, sikap mereka pun tampak masih sama kekanakannya.
🎭
Sebenarnya aku tidak suka tempat baru ini. Hanya di ruang keluarga, aku bisa melepas headphone. Kaca mata pun dua puluh empat jam kukenakan, karena kaca jendela di sini biasa saja. Hanya kaca transparan yang menampilkan pemandangan sungai Manzanares. Ditambah lagi suara tangis dari pacarnya William yang tidak berhenti kalau dia tidak tidur.
"Sesekali lepaslah kaca matamu, Daniel," ujar mom yang tiba-tiba berdiri di sampingku yang tengah mengamati penduduk yang beraktifitas di pinggir sungai Manzanares.
"Kenapa Mom membawa gadis berisik itu?" Aku mengalihkan topik.
"Karena rasa kemanusiaan," jawab mom.
"Bukankah kita bukan manusia, Mom?"
"Daniel," tegur mom. Ia memberiku tatapan sudahlah.
"Mom, bagaimana kalau keluarganya mencari? Terus, menemukan dia bersama kita. Kita pasti akan diduga komplotan penculikan," protesku.
"Mom sudah meminta ijin pada Ibunya Fleur," timpal mom.
"Ijin untuk menculik?"
"Ijin membawanya liburan," tambah mom.
"Apa?"
"Bukan hal yang aneh bukan kalau Mom mengajak liburan calon menantunya."
Aku meneguk saliva. "Jangan bilang kalau ...." Aku menunjuk diriku sendiri.
"Ya, kamu benar, Anakku yang tampan."
"Mom," kali ini aku yang protes.
Mom terkekeh jail. Kemudian meninggalkanku begitu saja.
Aku berbalik untuk menatap sungai Manzanares lagi. Tapi, seketika aku tersentak melihat seorang lelaki berdiri di balkon, terlalu dekat dengan jendela kaca di depanku. Membuatku nyaris terbirit-birit karena mengiranya hantu. Ia bahkan menjulingkan netra birunya.
"Dad!" seruku.
Dad justru terbahak melihat ekspresiku. "Wajahmu lucu, Nak." Ia menunjuk ke arah kunci jendela.
Meski detak jantungku masih belum teratur, kubukakan pintu untuk dad. "Pergunakan pintu saja, Dad," sindirku.
Dad masuk begitu saja, ia mengalungkan lengannya ke leherku. "Ini waktunya Ayah dan Anak," ujarnya.
Aku memutar bola mataku. "Oh ayolah, Dad." Kurasa ide gila dad kambuh.
"Daniel, dengar." Raut dad berubah serius. "Ini soal pembicaraan para lelaki, oke?" Dad mengedik ke pintu utama apartemen.
"T-tapi ...."
"Sayang, kupinjam Anakmu," ujar dad ke arah dapur.
"Ya, jangan lama-lama. Segera kembalikan ke tempatnya," jawab mom. Suara mom nyaris tenggelam oleh isakan Fleur yang meringkuk di sofa.
Kulihat warna kehitaman membekas di pelupuk mata Fleur. Ada rasa iba terbersit di hatiku. Aku ingin membantunya. Tapi, bagaimana?
Diam memang caraku untuk memberi jarak pada sesuatu yang tidak bisa kulakukan. Karena dengan diam aku bisa melihat banyak hal dari sudut berbeda. Tanpa melakukan apa pun.
"Ayo!" ajak dad. Ia melemparkan mantelku yang tergantung di balik pintu ke arahku.
Aku mengenakan mantel hitam itu. Sesekali kulirik Fleur. Netra kami pun bertemu pandang sesaat. Ada kekosongan di retinanya.
"Daniel, aku tahu gadis itu memang cantik," seloroh dad.
Kontan saja aku menyusul dad ke luar apartemen. Malu rasanya kedapatan dad tengah menatap Fleur.
🎭
Langkah dad dan aku menyusuri jalan setapak di pinggir sungai Manzanares. Kulirik raut wajah dad tidak seceria tadi. Aku ingin bertanya. Tapi, tidak tahu harus berkata apa. Hingga kufokuskan pendengaranku pada lagu New Devided-nya Linkin Park.
"Sebenarnya Dad hanya ingin berbicara padamu tanpa ketahuan Mom," dad membuka kebisuan.
Kutatap lekat netra biru dad. Sorot matanya menunjukkan keseriusan.
"Lucifer telah bangkit," sambung dad. "Kurasa, ia tengah menyusun kekuatan dari kegelapan."
Aku mengernyit. "Maksud, Dad?"
"Aku menemukan tanda-tanda keberadaannya di hulu sungai Manzanares."[]
LA, 16 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top