Chapter 32 : Kekacauan Bertambah

[ Edwars POV ]

Urgh?! Bagaimana ini?

Aku tatap lapangan akademik yang sudah dipenuh oleh pasak-pasak tanah. Aku tidak percaya bocah yang lebih muda dariku setahun yang melakukan ini semua. Para pemberontakan memang mengerikan.

"Haaah.." semua kejadian ini membuat kepalaku jadi pusing.

Aku pergi mencari jalan keluar yang lain dikarenakan semua pintu keluar tertindih oleh tanah. Dan tanpa sengaja aku bertemu dengan salah satu rekan Ik di kelompok.

Jika tidak salah namanya...

"Hei.!" panggilku, dan ia dengan cepat menatap ke arahku.

Akan gawat jika aku bertemu para pemberontak, sekarang lebih baik bekerja sama bersama sesama murid Astrea untuk dapat keluar dari sini.

"Kau rekannya Ik'kan.? Syukurlah aku bertemu denganmu.."

"Jika tidak salah kau adalah siswa yang bertarung dengan Iksan di babak 1 tadi.?"

"Y-ya.."

"Aku lihat kau lumayan hebat dan imbang melawan Iksan.."

"H-ahah. Ik juga hebat.." aku berjalan duluan untuk menghindari topik itu. "Ngomong-ngomong semua jalur keluar tertutup oleh tanah. Apa kau tahu jalur rahasia, misalnya.?"

"Tidak ada seperti itu di akademi.." jawabnya seraya terkekeh.

"H-ahah. Benar juga.."

Aneh.

"Oh ya... Maxwell. Kita harus berkumpul dengan kelompokmu, b-bisa gawat andai pemberontak menyerang kita..nantinya--"

"......"



Aku sengaja menghentikan bibirku, aku mengelak ke kanan karena merasakan sesuatu yang ganjil. Aku tidak mendengar suara langkah Maxwell mengikutiku.

Saat aku menghindar aku dapat melihat seutas tangan lewat disana. Sudah kuduga ada yang aneh.

Pras.!

Aku berputar dengan sangat cepat membekukan bagian belakangku tadi.

Aah.

Mataku menangkap pergerakan Maxwell yang berhasil lolos dari esku, ia menyusup ke lenganku, aliran halilintar perlahan masuk ke dalam tubuhku.

"Setidaknya hilangkan keraguanmu saat menatapku. Seperti yang Iksan lakukan.." kata Maxwell berbisik.

Bzt.!

Maxwell benar-benar melewatiku. Pada saat bersamaan aku dapat merasakan sesuatu yang panas masuk ke diriku, sebuah tombak petir biru menembus diriku.

Orang ini... Sudah biasa membunuh.

.A.S.T.R.E.A.

[ Author POV ]

Tombak petir Maxwell hilang dan perlahan tubuh Edwars jatuh.

"Sial. Aku ngantuk sekali.."

PRANK!!

Saat Edwars benar-benar jatuh, pasak es tiba-tiba tercipta sangat cepat. Maxwell terluka dan dirinya terpukul ke belakang.

"Apa yang terjadi?" pikirnya.

Edwars kembali bangkit, satu tangannya membekukan darah yang mengalir di perut. "A-aku ceroboh. Bodohnya aku berjalan beriringan dengan musuhku.." gumam Edwars.

"Jadi kau tahu jika aku adalah pemberontak?"

"Dari awal, ya. Saat aku menanyakan jalur rahasia kau menjawab satu kata ambigu. 'akademi' kau bilang. Asal kau tahu saja akademi ini mempunyai banyak jalur rahasia dan kau menjawab seakan kau adalah murid disini padahal kau cuma orang sewaan. Bukankah itu aneh?"

"Aku tertipu ternyata. Memang hebat siswa yang dapat seimbang dengan Iksan.." Maxwell menggeleng-geleng atas kecerobohannya.

"Terimakasih pujiannya.." Edwars berdiri tegak kembali dan darahnya telah membeku. "Aku akan menahanmu untuk menanyakan beberapa pertanyaan nantinya,"

"He~~kau pikir bisa melakukannya?"

"Aku tidak seperti Ik yang asal serang dan tidak menahu, Maxwell. Aku serius soal ini.!"

"Baguslah. Kau akan jadi pemanasanku sebelum pemimpin datang. Majulah, rival-nya Iksan.!"

.A.S.T.R.E.A.

Ata dan anggota kerajaan sampai ditempat evakuasi, banyak para warga serta murid akademi yang terluka. Prajurit berjaga diluar tempat yang adalah gedung olahraga.

"Kita akan aman disini, semuanya. Jadi aku ingin kalian semua tetap tenang.."

"Ratu.."

"Seandainya aku memiliki permataku.." batin Santiaca.

"Kapten, aku dan kelompokku sudah mengamankan pintu masuk. Anak buah anda yang kini berjaga menggantikan para murid.." lapor Brost sebagai ketua kelompok.

"Kerja bagus, anak muda. Ratu, perkenankan bagi saya untuk menjadi pelindung anda.." kata kapten prajurit berjalan ke arah pintu.

"Aku melihat pertandinganmu saat turnamen tadi. Itu bagus.."

"Terimakasih, tuan.." kata Brost mendapat pujian dari Ata. "Yang mulia ratu, tuan puteri," lanjutnya membungkuk.

"Yang Mulia ratu.." seru Heildet tiba-tiba datang berlutut. "Izinkan saya kembali ke istana. Akan saya pastikan istana kembali aman." cetusnya meminta.

"Heildet.."

"Biarkan saja dia.."

"Ata!?"

"Dia adalah pengajar yang mengajari cara bertarung, bakatnya sudah cukup untuk mengamankan istana. Apalagi tempat ini tidak terlalu besar..."

"Dan juga jika rencana mereka berjalan sesuai keinginan maka Astrea dalam bahaya.."

"Pergilah. Ratu dan puteri pertama aku yang menjaga mereka.." seru Ata.

"Tuan Ata.."

"I-zinkan kelompok saya ikut membantu juga!" kata Brost agak berteriak. "Master Heildet, saya tahu kita dalam kondisi bahaya tapi saya tidak mau cuma diam. Saya ingin membantu!"

"Itu adalah keputusan egois.." potong ratu.

"Maafkan saya, ratu. Tapi... Saya tidak ingin kejadian tahun lalu terulang kembali."

"Biarkan saja.." Ata kembali mengucapkan kalimat yang sama.

"Ata?!"

"Dengar Santiaca.!" tekan Ata membuat keduanya menatap terkejut atas panggilan Ata."Kau yang lebih tahu jika Astrea tidak bisa tinggal diam saja!"

Santiaca merengut.

"Aaaah. Baiklah aku izinkan.."

"Ratu.."

"Dengan satu syarat kau tidak boleh memaksakan dirimu, murid Brost.."

"Saya mengerti, ratu.!" Heildet tersenyum dan jadi semangat. "Ayo kita pergi, panggil kelompokmu.!"

Keduanya pergi keluar dari gedung olahraga yang kini menampung lebih dari 200 murid dan 1000 penduduk Astrea. Santiaca serta puteri pertama duduk di ujung gedung bersama Ata yang bertugas sebagai pengawal mereka.

"Entah kenapa.." suara puteri pertama. "Keadaan kita saat ini terlihat menyedihkan, ibunda."

"Aku tidak membantahnya.."

"Aah. Andai ibunda menyetujui rencana ayahanda maka semuanya kita akan jadi seperti ini.."

"Tapi ibu tidak bisa melakukannya. Mereka-- para pemberontak juga penduduk Astrea, ibu tidak bisa.."

"Ibunda terlalu naif dan ini akibatnya.." kata puteri pertama dingin.

Ata menghisap rokoknya. "Bisa paman berhenti merokok?!" tegur puteri pertama yang sedang kesal.

"...?" Ata berhenti merokok sesuai perintah.

"Entah kenapa kau mirip seperti Santica, tuan puteri.."

"Paman suka sekali ya mengulang kata seseorang ya!? Dan apa maksudnya itu.? Aku memang puteri ibunda."

Ata mendengus geli. "Kau mirip seperti anakku.."

"Hah?!"

"Tenanglah. Semuanya akan berakhir tanpa kau sadari.."

"Kenapa paman bisa setenang itu!? Kita dalam keadaan terdesak saat ini. Bukannya saja kita yang terperangkap, mereka juga ingin mengambil alih istana. Apa paman tidak mengerti?!"

"Sudahlah, tuan puteri.."

"......."

"Anakku yang satunya sedang menuju ke sini bersama pasangannya. Dan berhentilah marah-marah, sayang paras cantikmu nanti.."

"Paman Ata." puteri pertama mendesah pasrah, dia sudah kalah beradu argumen, bahkan semua pernyataannya selalu dialihkan Ata ke topik lain membuat puteri pertama kelelahan karenanya.

"Andai saja ibunda--"

Kalian benar... Ini akan berakhir tanpa kalian sadari!

""??!"" Ata, Santiaca, puteri pertama dan semua orang yang ada di dalam gedung terhisap ke lubang dimensi yang tiba-tiba muncul dibelakang mereka semua.

Ata dapat menahan isapan karena kekuatannya, ia menerjang ke Santiaca dan menangkapnya.

"Paman Ata! Ibunda!" teriak puteri pertama yang terhisap.

Ata mencoba menjangkau sampai suatu serangan menghentikannya. Ata memilih membiarkan puteri pertama terhisap dan pergi bersama Santiaca ketimbang terkena serangan.

Kini semua orang yang ada di dalam gedung terhisap semua, hanya tersisa Ata dan Santiaca, serta pria yang.menyerang mereka. Orang itu mengenakan jubah emas Kekaisaran Tangki.

"Kemana kau mengirim mereka semua?" tanya Ata tenang seraya menurunkan Santiaca dari gendongannya.

"Kebanyakan dari mereka aku kirim ke Dimensi Kegelapan sedangkan orang-orang penting aku kirim ke tempat seharusnya.."

"Dimensi Kegelapan, itu'kan.?"

"Itu artinya tuan puteri juga.?"

"Sayangnya aku mengirim puteri pertama aku kirim ke tempat yang sangat buruk.." ia mengeluarkan kepala tengkorak ke tangan kanan. "Siapa peduli. Tugasku disini adalah membunuh Ratu Astrea."

"Sekarang aku berhadapan dengan orang yang menyusahkan.."

.A.S.T.R.E.A.

"Aku dimana? Aku kembali ke istana??"

Seorang gadis berambut emas bergelombang mengenakan gaun seksi yang memperlihatkan belahan dada dan perutnya, ia perlahan bangkit sembari membersihkan debu di pita kupu-kupu besar di samping pinggang dan atas kepalanya.

"Tidak ada penjaga satu pun di istana. Apa maksudnya ini? Sebelum aku terpisah dengan ibunda aku terhisap ke lubang dimensi lalu berakhir disini.." ia melihat keadaan istana yang kosong melompong.

Tap.. Tap..

"Siapa disana?!"

"Sapaan yang dingin dari anggota kerajaan tapi kau tetap manis.."

"Aku tanya, siapa kau yang berani masuk ke istanaku?!" teriak puteri pertama bertanya.

"Maafkan atas ketidaksopanan saya, tuan puteri. Perkenalkan, Siska Parswati.."

"Parswati? Bangsawan Kerajaan Francois yang mendukung pemberontak itu.?"

"Ara~? Mengejutkan anda mengenal nama saya, tuan puteri. Ini bisa gawat.."

"Aku tahu semuanya jika berkaiatan dengan para pemberontak.." balas puteri pertama.

"Ratu masa depan memang hebat, anda bakal jadi ratu yang luarbiasa... Itu pun jika anda masih hidup."

"Grrr...!" lima ekor serigala hitam tiba-tiba datang dari belakang gadis bersurai pirang yang mengenakan gaun merah darah ini.

"Anak-anak, makan tuan puteri tanpa tersisa sedikit pun.!" perintahnya.

"GRR!" kelima ekor serigala hitam itu berlari ke arah puteri pertama.

"Mengejutkan kita memiliki kesamaan, Parswati.."

Juush!

Gelombang emas terhempas dari tempat berdirinya puteri pertama, melewati para serigala. Disaat bersamaan kelima serigala itu berhenti dan berbalik arah menghadap ke majikan sebelumnya.

"Sayangnya level kita berbeda, tuan puteri Francois.."

"Aku kembalikan. Anak-anak, makan.penyusup ini sampai ke tulang-tulang!" kini kelima ekor serigala malah menyerang balik. "Ini akhirnya yang cocok untuk pembantu pemberontak seperti kalian!"

Crash!!

Darah membasahi lantai... Gada besar itu melumat kelima serigala hingga jadi bubur. Sesosok orc setinggi 3,5 meter berdiri di depan Parswati.

"Aku sudah menduganya, tuan puteri Astrea..."

"Dia dapat memanggil monster dari ketiadaan.."

"Hmp. Aku terkejut tapi tetap saja selama orc itu hidup aku bisa menjadikannya milik--Eh?"

Parswati menyeringai. "Anda ceroboh, tuan puteri.."

"K-kenapa aku tidak bisa menggerakkan badanku?"

"Ahahahah. Ini lucu sekali. Betapa bodohnya anda masuk ke dalam jebakan kami.."

"K-kami?"

"Aku tidak sendirian, ada rekanku yang menggunaan sihir pelumpuh padamu agar kau tidak bisa bergerak.."

"T-tapi s-sejak kapan?"

"Orc, tahan dia!"

Drap!

Orc melangkah maju, tangan besarnya mencengkeram puteri pertama.

"Urgh!"

"Misi selesai. Lebih baik aku apakan ya? Benar juga. Aku akan memerintahkn orc untuk memperkosamu lalu aku akan menyiksamu pelan-pelan sampai kau ingin mati, tuan puteri.." kata Parswati tersenyum gila.

"J-jangan harap kau bisa l-lolos setelah ini, P-Parswati--Argh!?"

Orc membanting badan puteri pertama ke lantai dan menindihnya.

"S-sakit. H-hentikan.."

"Ahahahaha. Terus begitu. Berteriaklah, tuan puteri.!"





"Urgh.! Itu menjijikan!"

Zlep!

Darah jatuh disamping wajah puteri pertama, seutas tangan menarik dirinya sebelum mayat orc menindihnya.

Puteri pertama digendong pemuda itu bak tuan puteri. Tunggu, ia sudah jadi tuan puteri.

"Apa kakiku terluka? Bakal menyusahkan jika aku terus menggendongmu seperti ini.."

"K-kau'kan.?!"

"Aku dari kelas 1B, siswa akademi Iksan Hacim!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top