[DP8 - Rehabilitasi]

Ruben dan Dhimas berjanji akan mengurus enam anak lain yang ada di sana. Motor Dhika dititipkan di sana untuk sementara, dan pemiliknya diangkut dengan mobil Aditya. Untungnya, Ayah sudah tidur ketika kami tiba di rumah, sehingga setidaknya, tidak akan ada pertengkaran yang hanya akan membuat hari semakin rumit.

Aditya sudah lama pulang ketika aku dan Dhito duduk diam di meja makan, masing-masing dengan segelas teh hangat. Kami sering melakukan ini, apalagi ketika masalah sedang genting-gentingnya. Teh hangat mampu membuat pikiran kami tenang dan jernih. Otakku jadi lebih mampu memproses seluruh kejadian ini dan mencari solusinya.

"Kak...," Dhito menjadi yang pertama merusak sunyi, "menurut lo, Dhika perlu... rehab?"

Aku menghela napas. Pertanyaan itu sudah lama bercokol dalam pikiranku. Apakah rehabilitasi benar-benar diperlukan? Aku sebenarnya tidak yakin. Dhika belum sebanyak itu mengganja, ya kan? Kurasa belum. Dan apakah sudah pantas bila dia direhabilitasi?

"Gue nggak tau." Aku meletakkan gelasku. "Rasanya dia belum separah itu, kan?"

"Tapi... ini udah kali keempat. Dan mungkin hanya Tuhan yang tau berapa banyak lagi yang akan dia konsumsi." Dhito mengusap wajahnya. "Gue rasa, dia harus direhab."

"Bukannya gue nggak mau, Dhit. Gue cuma... nggak tau berapa biayanya." Aku menggigit bibir. Sungguh, aku benci membicarakan soal biaya pada Dhito. "Kita nggak pernah sangat boros. Tapi pemasukan kita pun nggak seberapa. Rehab hanya akan bikin anggaran kita mepet."

"Gue akan bantu lo cari uang."

"Justru itu yang nggak gue suka, Dhit. Lo nggak saatnya mikirin soal itu."

"Kalau perlu, kenapa enggak? Sekarang bukan saatnya lo ngotot soal itu. Gue lebih dari mampu."

Aku menghela napas. Jawaban Dhito tidak mengherankanku. "Nggak, gini aja. Selama liburan, lo bantu Dhika ngelurusin hidupnya. Kita rehab dia sendiri. Gue akan mengurangi lembur. Kita bantu dia sembuh."

Dhito mengangkat bahu. "Oke, kalau menurut lo ini yang terbaik."

"Oke." Aku berdiri. "Gue tau, kita bukan keluarga yang baik. Jauh, jauh banget dari kata baik. Tapi gue butuh lo untuk ngebenerin semua ini. Kita mulai dari Dhika."

Dhito tidak segera beranjak. Aku meletakkan gelas di tempat cuci, terlalu lelah untuk membersihkannya. Kepalaku terasa pusing. Semua ini melelahkanku. Dhika, Ayah, kami semua... apa kami memang terlalu berdosa sehingga harus mengalami masalah berat ini?

"Biar gue yang nyuci." Dhito berdiri di sebelahku. Dia merangkulku erat, memberiku kehangatan dan kekuatan—ini terdengar klise, tapi percayalah. "Thanks, Kak."

Aku menepuk punggungnya. "No need. Kita berjuang bersama."

Dan selagi aku berbalik menjauh, aku yakin Dhito pun akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membenahi semua hal yang terjadi di keluarga kami.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top