[DP2 - Komandan]
Dhika menggantikan Ruben jadi Komandan KVLR. Saat ditanya alasannya, dia bilang, dia tidak mau KVLR bubar hanya karena Ruben dan Dhimas meninggalkannya. Jadilah, dengan beberapa orang yang memang masih setia pada KVLR, juga dukungan sang mantan ketua, Herman, Dhika diangkat menjadi komandan.
Aku tidak bisa terlalu memperhatikan Dhika, karena jujur, aku terlalu sibuk bekerja. Aku jadi tidak bisa begitu memperhatikan Dhito dan Dhika sebanyak yang kuinginkan. Meski begitu, Dhito yang lumayan dekat dengan Ruben dan Dhimas akibat sering mengajari mereka bertiga matematika, selalu memberiku informasi yang lumayan mengenai kegiatan Dhika di Mayapada.
"Lo serius, Dhit?" tanyaku, saat pertama kali mendengar kabar Dhika-lah yang menggantikan Ruben jadi Komandan.
"Nggak ada gunanya juga sih gue bohong," gerutu Dhito. "Gue nggak sengaja denger mereka pas gue balik dari kamar mandi tadi."
"KVLR as in Kavaleri kan? Gila tuh anak. Perasaan baru kemarin lo dipanggil Pak Har gara-gara dia dijeblosin ke penjara. Lo bilangin suruh tobat gih ngikutin temen-temennya."
"Yah, lo tau sendiri dia nggak dengerin gue, Kak." Dia tertawa. "Oh ya, beliin martabak ya. Ruben Dhimas mau main sampe malem entar."
Setelah mengiyakan sambil mengomel, aku menyimpan ponselku. Yah, aku tahu, Dhika tidak seperti kedua temannya. Ruben dan Dhimas, biar bagaimanapun, punya kehidupan yang jauh lebih baik dari kehidupan kami. Jauh lebih mudah bagi mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Keluarga mereka sangat mendukung untuk itu.
Dhika hanya punya aku dan Dhito. Dan kami bukan keluarga sempurna. Kami jauh dari kata itu. Ibu Dhika meninggal saat melahirkannya, dan ayah kami tidak benar-benar melaksanakan perannya dengan baik. Dengan terpaksa, aku menyelesaikan kuliahku secepat yang aku bisa dan langsung bekerja, menjadi ibu sekaligus ayah bagi Dhito dan Dhika.
"Ra, kamu sudah menyelesaikan laporan minggu lalu? Sudah diminta Pak Rama."
Tiba-tiba saja, teman sekerjaku, Aditya, menepuk pundakku. Aku langsung menoleh padanya dengan mata melotot saking kagetnya. Laki-laki itu menyeringai lebar. Cahaya-cahaya yang mengelilinginya tampak menyilaukan—bukan, ini bukan sinetron. Hanya saja Aditya membelakangi dinding kaca kantor yang menyebabkan sinar datang dari arahnya berdiri. Aku langsung menyipitkan mata.
"Ah, sebentar lagi saya selesaikan." Aku balas tersenyum. "Jangan mengagetkan, Pak."
"Kamu tahu kamu bisa memanggil saya dengan nama saja, Dhira." Dia berjalan meninggalkan mejaku. "Selamat bekerja."
Laki-laki itu mendekatiku. Jelas terlihat. Tapi, selagi aku memperhatikan punggung Aditya yang menjauh, aku tahu, punya pacar bukan prioritasku saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top