[DP13 - Kelab Malam]

Dhito

Setelah menjemput Kak Dhira di makam Bunda, aku berkeliling kota mencari Dhika. Dia memang kurang ajar, meninggalkan Kak Dhira begitu saja. Tapi saat ini, aku lebih mengkhawatirkan di mana dia sekarang berada—aku tidak bisa membiarkan dia ada di tempat-tempat buruk.

Aku mencari ke semua tempat yang aku ingat—rumah yang waktu itu menjadi tempatnya berpesta, sekolah, warung yang menjadi markas KVLR—semuanya. Tapi dia tidak ada di manapun. Ada tempat lain yang tidak kuketahui. Sedikit putus asa, aku mengontak Dhimas.

"Uh, sebenarnya," ujarnya saat aku menanyakan soal itu, "ada satu tempat lain...."

"Di mana?" aku mendengus.

"Kelab malam di pusat kota. Sekali, dulu, gue, Dhika, dan Ruben pernah ke sana dan minum."

Setelah Dhimas memberiku alamat lengkapnya, aku langsung pergi ke sana. Aku tidak pernah mengira Dhika pernah mengunjungi tempat semacam klub malam ini—senakal apapun dia, tetap saja, aku masih menyimpan harapan bahwa dia akan berubah. Bahwa dia sebenarnya tidak jatuh terlalu dalam. Jebakan ini kuat mencengkeram, dan aku masih ingin menyelamatkannya.

Kelab malam ini lumayan ramai. Gadis-gadis berpakaian ketat dan pria-pria bermata liar. Bar dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk menenggak minuman keras. Aku tampak begitu asing di sini, dan mereka tahu itu—sedari tadi mereka menatapku bingung. Tapi aku tetap mencari ke sekeliling. Tak lama, aku menemukan Dhika di salah satu sudut bar, dengan Herman membisikkan sesuatu padanya.

Sejak dulu, aku tidak menyukai Herman. Dia membawa KVLR menjadi lebih buruk, lebih beringas, dan lebih berani dari sebelumnya. Di bawah kepemimpinannya, geng sekolah ini mendapat berbagai musuh baru—sekolah-sekolah lain, beberapa geng preman, dan entah siapa lagi—juga teman-teman baru—para pengedar narkoba. Salah satunya adalah Mr. V yang kemarin menyediakan ganja. Herman masih sering terlibat dalam urusan KVLR, terutama setelah Ruben dan Dhimas hengkang dan Dhika terpilih menjadi Komandan.

Aku menghampiri mereka. Herman melihatku dan cepat-cepat kabur sebelum aku sampai. Beruntunglah dia, karena tujuanku ke sini adalah Dhika. Dia sedang memegang gelas kecil yang biasa ada di bar itu—entah apa namanya—sambil menunduk.

Aku duduk di sebelahnya, dan seketika aku tidak yakin apa yang harus kukatakan. Memarahinya? Mendampratnya? Tidak, semuanya terasa tidak benar. Karena dia ada di sini karena apa yang dia perbuat, dan rasa bersalahnya sudah lebih dari cukup untuk menghukumnya.

"Gue tahu." Dhika yang memulai duluan. "Nggak seharusnya gue ninggalin Kak Dhira di pemakaman."

Aku terdiam sejenak. Tercekat hendak membawakan topik yang sensitif bagi kami berdua, nyaris 17 tahun setelah kejadian itu. "Dhik... lo mau... bahagiain Bunda?"

Yang ditanya tak kunjung menjawab. Dan saat Dhika akhirnya berujar, suaranya parau. "Gue nggak pantes."

"Yang Bunda liat usaha lo. Bukan pantes atau enggaknya."

Dhika tidak menyahut. Justru semakin menunduk. Entah apa yang membuatnya ragu, apa yang membuatnya merasa tidak layak. Tidak akan pernah ada yang layak, namun jika Dhika mau berusaha, dia akan dilayakkan untuk itu. Untuk membahagiakan Bunda yang tidak pernah dia kenal.

Aku hanya berharap dia menyadari itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top