5 - Berdamai dengan Masa Lalu
Ify menepikan mobilnya di sebuah pelataran luas nan cantik diujung jalan, sepanjang jalan setapak yang mereka lewati dikelilingi bunga - bunga yang indah. "Wow, Kita mau kemana, sih? kamu mau ajak aku kencan lagi? Iya?" Ify terpesona dibuatnya.
Rio terkekeh, "Kamu yakin ngggak nyesel bilang gitu?"
Ify mengangguk mantap, matanya berbinar cerah. Siapa peduli tempat apa ini jika nyatanya Ia lansung jatuh cinta saat melihatnya. "Yakin seribu persen!"
Rio beranjak turun dari mobil, meringis dalam hati saat menyadari kakinya belum juga membaik, perlahan Ia menoleh pada Ify yang baru saja keluar dari kusi kemudi, wajah cerahnya seolah membaca dimana mereka sekarang. "Ee... sayang, tolong bantuin aku jalan ya, kayaknya keseleo deh abis jatuh tadi"
"Ya ampun, kok bisa sih? Kita ke rumah sakit aja, ya. takutnya kenapa-napa!" ujarnya setengah berlari mendekati Rio yang masih berada di bangkunya, memapah lelaki itu untuk duduk di bangku panjang yang tidak lain adalah tempat pertama kali Rio bertemu Ray sebelum olimpiade ke Berlin.
"Makasih ya, Fy..." ujar Rio setelah mereka duduk, Ia menggenggam jemari gadisnya lembut, "Maaf ... Aku ngerepotin kamu terus hari ini."
Ify mengembangkan senyum termanisnya, menangkup pipi tirus Rio dengan telapak tangannya, tanpa sepatah kata, Ia membiarkan angin membawa pergi penyataan yang terlontarp begitu mudahnya.
---
"Rio..." suara bariton seseorang yang memanggil mengintrupsi pasangan kekasih yang masih duduk dibangku panjang dengan candaan seperti biasa, keduanya menoleh menampakkan Pak Tama dan Bu Manda tengah berjalan ke arah mereka. Rio melambaikan tangan menyambut beliau.
"Yaudah, itu Om Tama udah dateng. Aku tinggal dulu ya" pamit Ify.
Rio mengangguk "Iya, kamu tungguin aku ya, sekalian nitip mama ..." pintanya yang dibalas anggukan oleh Ify.
Ify berjalan lebih dulu menyambut beliau berdua, kemudian mengajak Bu Manda untuk jalan - jalan.
Rio menarik nafas panjang, mengisi kekosongan sepeninggal para wanita. "E... se ... sebelumnya terima kasih Om udah mau datang hari ini"
Diliriknya Pak Tama yang tampak mengangguk samar, menepuk punggungnya pelan sebelum menjawab, "Jadi, sekiranya ada apa kamu memanggil saya kemari?"
Rio mengulurkan sebuket lili putih yang dibelinya bersama Ify di jalan tadi, Pak Tama menerimanya dalam diam.
Rio mencoba untuk bangun namun kakinya masih saja manja, enggan digerakkan. Ia menggigit bibirnya takut, lagi Ia dikalahkan dengan sakit ini dan membuatnya harus merepotkan orang lain, "E... maaf Om, boleh tolong bantu aku jalan, kakiku agak bermasalah sekarang" pintanya pelan, Pak Tama mengangguk. Beliau mengikuti instruksi Rio dalam diam sampai mereka tiba di depan sebuah pusara yang tidak lain adalah milik Pak Marcel, ayah Rio.
Pak Tama diam saja, beliau masih tidak mengerti apa yang akan mereka lakukan disini sampai saat Rio mulai melepaskan pegangannya, berlutut di hadapan pusara sang Ayah. "Pa... ini Rio, Rio kangen Papa."
"Oiya, Pa... hari ini Rio datang sama Om Tama, sahabat Papa sekaligus suami Mama yang sekarang, Papa barunya Kak Iyel" lanjutnya terbata, rahangnya mengeras, Rio berusaha menahan isakan sedemikian kuat namun tidak banyak membantu, dadanya terasa sesak seperti habis dipukuli.
"Maaf, Pa ... selama ini Rio udah nyalahin Papa, Rio marah sama Mama dan Kak Iyel karena mereka pergi, apalagi habis itu Papa juga ninggalin Rio yang bahkan enggak tahu apa-apa"
"Tapi, sekarang Rio udah gede, Pa... Rio udah ngerti yang sebenarnya," Rio membiarkan netranya terpejam, memilih melanjutkan dialognya dengan tuhan, berharap setiap kalimat yang keluar akan sampai pada seseorang yang sangat dirindukannya diatas sana.
"Pa ... Rio mau pamit pulang, sekiranya Papa ngijinin Rio buat tinggal sama Mama dan keluarga barunya, Rio pengen ngerasain gimana punya keluarga yang utuh, kayak dulu. apalagi sekarang Rio dan Kak Iyel udah baikan"
Pak Tama menepuk pundak anak laki-laki yang masih tertunduk disampingnya, Beliau ikut berlutut, mensejajarkan diri dengan putranya yang baru saja mengambil keputusan besar. diletakkannya bunga yang sebelumnya Ia genggam di atas pusara sang sahabat. sungguh, tidak pernah terbayang dalam benaknya Rio mengajaknya bertemu untuk membuat keputusan sebesar ini.
"Cel, ini Aku Tama. maaf aku baru datang sekarang, maaf lagi karena aku belum bisa memenuhi janji kita waktu itu, Aku sudah berusaha menjadi ayah yang baik, tapi bagaimanapun juga aku tetaplah orang lain buat mereka. Oiya, ngomong-ngomong, Rio ini beneran kamu banget ya, kamu udah besarin dia dengan sangat baik, dia kelihatan gagah dan lebih tangguh daripada kakaknya." Pak tama menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya,
"Aku rasa sekarang saat yang tepat buat aku ikut menjaganya, aku ingin jadi ayah yang baik buat dia seperti janji kita, kamu nggak keberatan kalau dia jadi putraku juga kan, Cel?"
Rio menatap Pak Tama sejenak, memandang wajah tegasnya yang mulai dihiasi gurat kepedihan, "Om, ta ... tapi Rio ... "
"Nggak ada seorangpun yang akan menolak memiliki anak seperti kamu, termasuk saya, Mario..."
Rio menahan bibirnya untuk tersenyum meski airmatanya jatuh tanpa bisa Ia tahan lagi, biarkan saja, biarkan langit melihat betapa rindunya Ia akan pelukan seorang ayah, sudah lama sekali tasanya Ia tidak merasakan sentuhan senyaman itu.
Abadikan kebahagiaan ini tuhan, jangan mengambilnya lagi dalam waktu yang lama
---
Bu Manda dan Ify memilih duduk di salah satu kursi panjang lain setelah berjalan-jalan sebentar di sekeliling hamparan luas nan cantik ini. Ify tidak bisa berhenti kagum pada sosok yang kini menggandeng lengannya dengan penuh kasih sayang, wajah beliau seolah menentramkan meski mereka tidak sering bertemu.
"Sepertinya, anak tante sayang banget ya sama Ify..." Kata Bu Manda tulus setelah beberapa waktu mereka duduk.
Ify menunduk malu, "Ah, tante bisa aja. Ify jadi malu, kita jarang ketemu loh, kok tante bisa bilang gitu?"katanya canggung. Siapa tahu kan, Rio sudah sering cerita-cerita pada beliau tentang dirinya, kan tengsin!
Bu Manda menepuk pundak Ify pelan, "Iyadong. Dulu Gabriel sering cerita, jadi tante bisa ngerasain gimana sayangnya anak-anak tante sama Ify, oiya! Makasih banyak ya, Fy... bisa sabar-sabarin Rio, padahal kan anaknya paling nggak bisa diem."
Ify mengangguk mantap, "Ah, ini mah nggak ada apa-apanya dibandingin perhatian Rio sama saya, tante. Saya mah udah kecintaan sama anak tante, jadi susah mau marahnya, eh," Ify meringis diakhir kalimatnya, menyesali aksinya disaat yang kurang tepat.
"Maaf, tante. abis tatapannya ituloh nggak nguatin, apa mungkin mata indah mereka mirip Om Marcel ya?"
Bu Manda mengangguk "Iya, sayang! kamu benar, mata mereka berdua memang mirip ayahnya, cerdasnya, tampannya, dan bakat musik mereka juga dari ayahnya. Sikap lembutnya selalu ngingetin bunda sama Ayah, apalagi Rio, ngeliat dia sama halnya datengin kebiasaan dan bayang-bayang kerinduan Tante sama ayahnya"
"Berarti mereka hadiah yang sengaja dikirim tuhan buat Tante, Om Marcel emang nggak bisa nemenin Tante, tapi beliau bisa nunjukin kalau beliau selalu ada sama Tante lewat Rio, dan Kak Iyel"
Bu Manda tertegun mencerna kalimat panjang Ify, mengeratkan genggamannya pada gadis itu, "Makasih ya, Fy! sekarang tante jadi tahu, kenapa Rio sayang banget sama kamu, selama ini dia nggak pernah ngajak siapapun datang ke makam ayahnya selain Alvin, tapi hari ini dia ngajak kamu" jelas beliau.
"Hah? A... Ap... Apa tante?" Ify tersentak, "Makam? Ada makan disini?"
Bu Manda mengangguk, "Iya. Rio nggak ngasih tahu kamu ya kalau disini itu makam Ayahnya juga Mamanya Alvin"
Ify menggeleng kaku, Perhatiannya teralih pada Rio dan Pak Tama yang terlihat samar dari tempat mereka duduk sekarang.
Apa ini artinya Rio menganggapnya sebagai keluarga juga?
❇❇❇
Gabriel, Alvin, dan Cakka tiba di rumah Rio, lebih tepatnya Rumah Pribadi Rio yang sempat ditinggalkan selama ngekost di rumah petak yang dijaga Bu Maria. kata Alvin, baru beberapa bulan yang lalu Rio memutuskan untuk pulang kesini, bersamaan dengan pindahnya Alvin ke rumah baru yang berada tepat di seberang rumah.
Gabriel menyerngit bingung begitu memasuki halaman depan yang tampak ramai, seperti sedang ada pesta, para pelayan dan anak buah Pak Dedi berseliweran dimana-mana dengan tugas mereka. daripada tambah penasaran, Gabriel memilih untuk masuk kedalam, lagi dia dibuat binggung dengan adanya para gadis termasuk Sivia yang sedang menghias vas bunga diruang tengah.
"Loh, Vi ... kok kamu disini?" koreksinya seraya mendekati Sivia, Alvin dan Cakka memilih duduk di sofa.
"Eh, Yel! udah dateng."
"K... Ka... kamu ngapain disini? katanya ada urusan, kok malah disini?" tanya Gabriel yang masih mencoba untuk mencerna semua ini. Sivia diam saja, menatap wajah panik Gabriel dengan tatapan bersalah tanpa penjelasan apa-apa.
"Vi ... jawab dong!"
"Hai semuanya ..." Rio keluar dari kamar saat mendengar suara-suara berisik di bawah, syukurlah kakinya sudah jauh lebih baik setelah dipijat tadi. Dia berjalan menghampiri Gabriel, Cakka dan Alvin yang tadinya duduk refleks berdiri.
"Jelasin sama gue ini ada apa sebenernya!" todong Gabriel cepat.
Rio membawa Gabriel untuk duduk di sofa, mengikuti Alvin dan Cakka yang sudah disana lebih dulu. "Tadi gue ke makam Papa sama Om Tama." ceritanya yang seketika membuat Gabriel terlonjak.
"Ngapain coba? emang sikap lo selama ini belum cukup, hah! gue tahu lo marah! gue ngerti lo kecewa, Yo! tapi gue berani sumpah kalo Papa Tama nggak bersalah, kalaupun harus ada yang lo salahin, maka semua ini mutlak salah gue, kalo aja gue nggak sakit, nggak mungkin Papa kirim gue sama mama ke paris, it-"
"Kak," potong Rio sebelum Gabriel mencecarnya semakin parah,"bisa nggak lo dengerin gue dulu"
"Kak, gue udah tahu semuanya, gue tahu Papa sakit, gue juga tahu kenapa Papa ngerencanain semua ini. Dan sekarang, gue mulai ngerti kenapa Tuhan ngembaliin kalian ditengah ketidakmampuan gue. makanya, tadi gue kesana minta izin sama Papa buat tinggal sama kalian lagi"
"A... ap ... apa...?"
"Gue mau kita serumah lagi"
"Lo nggak lagi ngeprank kan? Serius lo mau kita tinggal bareng lagi!" Gabriel nyaris berteriak.
Rio mengangguk, bersamaan dengan itu Pak Tama datang dari salah satu sudut rumah. "Eh, Papa?"
"Ini kuping gue nggak lagi siwer, kan?"
"Jadi, mulai hari ini kita semua akan tinggal disini, Papa udah setuju dan gue harap lo juga setuju"
"Pastilah, pasti itu ..." Gabriel semakin mengeratkan pelukannya, lidahnya kelu, salah rasanya jika selama ini dia merasa menjadi satu-satunya korban paling menderita di dunia, karena kenyataannya masih orang-orang terkasihnya yang juga dirundung bersalah.
"Oiya, Yel! ada yang mau gue tunjukin nih sama Lo!" Ujar Rio setelah aksi pelukan selesai. Gabriel mengikuti Rio yang beranjak naik ke lantai dua, Alvin dan Cakka mengekor dibelakangnya.
"Kamar baru, semoga lo suka ya,"
Cleekk...
Rio membuka pintu kamar yang sudah disiapkannya sejak kemarin, Gabriel terkejut bukan main, nuansa coklat pastel bagitu terasa, warna kesukaannya. Netranya menjelajah kesana kemari, mengamati berbagai furniture di dalam ruangan itu, tempat tidur, meja belajar, piano, lemari pakaian bahkan barang-barang pribadinya sudah tertata rapi sebagaimana biasa.
"Amazing, bahkan posisinya sama persis, sejak kapan ngerampok isi kamar gue, hah?" Takjub Gabriel.
"Tadi pas kita berangkat nonton Ray,"
"Biar gue tebak, pasti lo asal ambil gitu aja tanpa persetujuan orang rumah? Iyakan?"
Rio terkekeh, "Apasih sih yang nggak bisa gue lakuin?" pedenya.
Ctaak...
Ctakk...
"Sakit kali, sob!" protes Rio pada dua tersangka yang tahu-tahu sudah ada dibelakangnya.
"Abis pede Lo nggak nguatin sih, kan gue gemes!" sahut Cakka sekenanya.
Alvin mencibir, "Udah... udah, pokoknya malem ini kita cobain kamar baru lo ya, Yel?"
Gabriel mengangguk, merangkul Cakka dan Alvin gantian sebagai ucapan terima kasih kemudian memeluk Rio erat. Bagaimanapun kebahagiaan ini tidak akan sempurna jika Rio tidak membesarkan hatinya, berterimakasih seumur hidup rasanya tidak cukup.
Mereka tertawa bersama, bahagia bersama sampai tiba-tiba ada suara lain yang mengintrupsi kebersamaan mereka.
"RIO, ALVIN, KAK CAKKA, KAK IYEL turun gih, makanannya udah siaaap!" suara cemprengnya sukses membuat mereka menoleh pada gadis berambut panjang yang tengah berkacak pinggang di depan pintu dengan celemek hello kitty di depan pakaiannya.
Cakka mengangguk semangat mendengar kata makanan, segera Ia menarik Alvin dan Gabriel untuk turun. "Kita duluan ya, Lo berdua jangan lama lama disini, keburu di abisin si cakdut..." Pamit Alvin.
Rio merangkul senang pundak Ify setelah memastikan Alvin sudah pergi, "Makasih ya, sayang... Aku bersyukur banget Tuhan udah ngirim salah satu malaikatnya buat aku, dan dia lagi disini sekarang
Ify tertawa "Cie, berarti sekarang kamu udah ngakuin dong ya, kalau aku cantik banget kaya malaikat?" Ujarnya dengan penuh percaya diri.
"Iya, iyaa, Kamu cantik kok, cantik banget malah."
"Ya iyalah cantik, tuh buktinya si Rio aja sampai cinta mati sama Ify." seloroh Ify.
"Iya ya, mati aja cinta, gimana pas hidup coba pasti makin, amat dan sangat cinta syekali Rio ini" Rio tak mau kalah.
"Ahh, Udah ah! Aku kalah terus kalau udah urusan meltingin kamu, pasti aku yang mukanya merah duluan..." Ify menarik tubuhnya dari pelukan lelaki itu.
"Ih kok gitu, aku belum selesai peluk kamunya..."
"Udah ah, ayo makan, aku malu..." Ify baru akan beranjak saat tangan kekar Rio menariknya kembali, memeluk tubuh mungil gadis itu dari belakang.
"Aku mau kamu janji sesuatu sama aku, Fy..."
Ify diam, menunggu Rio melanjutkan kalimatnya.
"Kamu harus janji, kalau seandainya nanti kamu lelah, seandainya hati kamu udah nggak sanggup buat bertahan sama aku, kamu harus jujur, jangan paksa hati kamu kalau dia emang udah nggak kuat lagi, janji?" bisik Rio pelan.
"Aku sayang kamu, Yo!"
Rio mengerutkan keningnya binggung. "Harusnya kamu bilang, Aku janji sayang... bukan Aku sayang kamu..."
"Aku cinta sama kamu..."
"Fy..."
"Itu jawaban aku... aku sayang sama kamu, aku sangat cinta sama kamu, aneh aja kalau dengan semua itu kamu masih ragu. Ya, kalau kamu kayak gini terus, jangan salahin siapapun kalau tiba-tiba aku jadian sama orang lain!"
Rio terbelalak mendengar pernyataan Ify, cepat dia merengkuh tubuh mungil Ify, mendekapnya sepenuh hati. Berbisik lirih agar Ify tidak mengulang kata-kata menyedihkan itu lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top