40 - Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini

Jangan pernah pergi saat sahabatmu memintamu pergi. Karena dengan begitu, ia akan merasa sangat diperhatikan. Jangan pernah biarkan sahabatmu pergi, saat ia bilang ingin pergi, paksa ia tetap di sisimu; karena dengan begitu ia merasa sangat dipedulikan. Tapi, jangan biarkan ia tetap tinggal di sisimu saat ia harus pergi darimu―demi kebaikannya. Paksa ia pergi meski ia tak ingin beranjak. Karena dengan begitu ia akan merasa sangat di sayangi.

***

Quotes dari salah satu cerbung yang Ify baca entah berapa kali terasa nyata jika dihadapkan dengan takdirnya sekarang. Saking realistisnya, dia sampai tidak bisa lupa.

Ya tuhan...
Apa yang harus Ify lakukan?

Di satu sisi Ify berharap Rio bisa mendapatkan perawatan maksimal agar kondisinya bisa segera membaik tapi menahannya lebih lama di Rumah sakit juga bukan ide yang bagus.

Pasalnya, dalam dua minggu terakhir Rio bertingkah seperti anak kecil yang kurang kerjaan, jadi gemar bikin ulah dan tingkah luar biasa lainnya hanya agar diijinkan pergi keluar kamar dan jangan lupakan rengekannya yang selalu minta pulang. Emosinya yang tidak stabil juga sering dia jadikan senjata saat keadaan mengharuskannya tetap tinggal.

Seperti yang terjadi saat ini.

Langit sudah mulai gelap tapi Rio yang sejak tadi siang mendapatkan izin untuk menikmati waktu di taman belakang tidak mau diajak kembali ke ruang rawat, katanya masih mau menikmati langit senja sambil melihat matahari tenggelam padahal sudah jelas-jelas langit tengah mendung sekarang.

"Yo, plislah. Jangan bikin repot suster ya, kasihan mereka udah kerja seharian," Ify masih mencoba membujuk sementara Alvin dan Gabriel menunggu dengan sabar.

"Aku juga cuma diam seharian, kamu pikir aku nggak capek?" sahut Rio datar.

Ify menghela nafas, "Iya, aku tahu kamu capek, makanya aku mau ngajak kamu istirahat, kita baringan di kamar ya, nanti aku bacain kamu catatan di sekolah tadi kayak biasanya, mau ya?"

"Bosan."

"Yaudah, terus kamu mau apa?"

"Basket."

Alvin dan Gabriel seketika terbelalak, mereka yang tadinya duduk reflek berdiri namun ditahan Ify dengan gerakan tangan agar tidak mendekat.

"Oke, boleh, tapi kita main basketnya di kamar kamu ya, kita main Chest pass aja nggak apa-apa ya?" Ify mengajak dengan hati-hati, takut Rio salah paham.

Beruntung setelah menunggu cukup lama akhirnya Rio mengangguk dan Ify tidak mau membuang kesempatan untuk membawa lelaki pujaannya kembali ke ruang rawat dengan tenang.

***

"Kamu yakin mau berdiri? Duduk aja deh ya, aku nggak kenceng banget kok nanti lemparnya," Ify masih berusaha membujuk sementara Rio masih keras kepala.

Bukan apa-apa, dia hanya takut Rio jatuh dan itu akan memperparah kondisinya yang saat ini belum bisa di katakan baik. Memang benar Rio bisa berdiri, dia juga sudah bisa berjalan meski agak tertatih itupun hanya jarak dekat. Tapi tetap saja Ify khawatir jika membiarkan Rio terlalu sering memaksakan kakinya.

Takut ada apa-apa.

"Mana ada main chest pass sambil duduk Fy, lagian kamu nggak percaya sama aku? aku bisa kok!"

"Iya, aku tahu kamu bisa. Tapi untuk sekarang kamu harus hemat tenaga kamu, kan katanya mau pulang," Ify belum mau mengalah.

"Halah, cuma lempar-lempar doang ini kok, aku nggak bakal jatuh, janji deh!" pungkas Rio yang diangguki Ify meski berat. Ia sadar, mau berdebat berapa lamapun dia tidak akan menang.

Selanjutnya seperti yang direncanakan mereka berdua bermain basket di salah satu sisi kamar rawat yang lenggang. Ya, tidak bisa dibilang main juga karena yang mereka lakukan hanyalah saling mengoper bola dari kanan ke kiri begitu seterusnya.

"Oke, giliran aku ya," Ify menaikkan bola hingga sebatas dadanya dan memastikan cara melemparnya kali ini benar. Sudah 15 menit mereka bermain dan Ify sudah kuwalahan menghitung skor Rio yang selalu bisa menangkap umpannya. Ah, lord memang beda pesonannya.

Bruk.

Rio menangkap umpan dengan mudah bahkan tanpa merubah posisi, tidak seperti Ify yang sejak tadi sibuk kesana-kemari untuk menangkap umpan balik yang dilempar Rio padanya.

"Gantian, ya?" Rio sudah mengambil ancang-ancang kemudian...

Huupp.

Ify berusaha menangkap dengan memprediksi arah bola tapi kali ini dia gagal sebab terpeleset hingga membiarkan bola menggelinding di sisi lainnya.

Rio berjalan kearah Ify dengan panik. "Ify... Fy, kamu nggak apa-apa? Maaf, aku kekencengan ya sampai bikin kamu jatuh," Rio mengulurkan tangan hendak membantu Ify berdiri namun Ify memilih berpengangan pada sofa yang tidak jauh dari sana dan berdiri setelahnya.

Ify tersenyum lebar seraya mengajak Rio untuk duduk di sofa, "Aku nggak apa-apa kok. Cuma kepeleset soalnya nggak hati-hati. Kita break dulu deh mainnya, kamu juga pasti capek berdiri terus," ajak Ify lembut.

Rio menggangguk saja, seketika mood bermainnya hilang melihat Ify meringis disela bicara seperti itu.

"Sakit banget, nggak? Aku panggilin suster ya, minta salep atau obat gosok buat kamu?"

Ify malah tertawa, "Nggak apa-apa kok, aku bisa minta sendiri nanti. Ee... kamu mau makan dulu nggak? tadi aku liat ada puding di makan malam kamu," ajak Ify mengalihkan pembicaraan agar suasana tidak semakin mellow.

Beruntungnya lagi-lagi Rio mengiyakan ajakannya dengan mudah dan seperti yang kalian tebak Ify tidak mau menyia-nyiakan kesempatan sebelum Rio nanti berubah pikiran dan mereka batal mengukir memori berdua. Yaelah...

Selesai makan puding Ify meminta Rio beristirahat karena memang sudah malam, ada Bu Manda dan Pak Tama juga yang baru datang dan menjaga Rio sementara Ify mengiyakan ajakan Gabriel untuk makan malam di kantin rumah sakit bersama Ray yang katanya masih lapar.

"Setelah ini gue antar lo pulang ya, udah dua hari lo nginep, kasian Tante Gina kangen sama anaknya," ujar Gabriel setelah kegiatan makan mereka selesai.

Ify menggeleng ragu, "Aku mau disini aja, mau jagain Rio, boleh ya, Kak?"

"Boleh kok, tapi seenggaknya lo pulang dulu sebentar, istirahat yang benar. Lo juga butuh tenaga buat ngimbangin adik gue, kan? Apalagi belakangan ini dia maunya sama lo terus. Mau ya, ini Mama yang minta loh, masa lo mau nolak?" Gabriel mengeluarkan rayuan ala nama Bunda berharap dengan begitu Ify akan setuju.

"Tapi Kakak follow up aku terus ya?"

Gabriel mengangguk.

"Tapi nanti eee... pokoknya ada perkembangan atau apapun kasih tahu aku ya?"

"Iya, lo tenang aja," Gabriel menyanggupi. Netranya menangkap wajah tidak rela Ify yang kini justru membuatnya prihatin, Gabriel jadi berfikir, jika dia berada di posisi Ify apa mungkin dia bisa setegar gadis itu?

"Seperti yang lo bilang, setiap manusia punya sisi lemah dan sah aja menurut gue kalau sesekali kita nunjukin itu ke orang lain. Nggak selamanya kita harus kelihatan sempurna, Fy. Kelemahan kita bukan aib yang harus disembunyiin."

Ify membiarkan kepalanya terangkat perlahan lalu tersenyum, dia memang lelah tapi dia juga tidak ingin pergi. "Lo bener, Kak. Tapi terlepas dari itu semua, gue tetap mau kelihatan sempurna, setidaknya gue harus nunjukkin sama Rio kalau gue bahagia sama dia, gue bersyukur bisa punya dia sampai sekarang."

Gabriel mengangguk kaku, "Gue percaya dan gue salut sama lo, dari sekian banyak hal yang kita lalui sama-sama, sekarang gue ngerti gimana kita bisa tetep perhatian sama orang tanpa ngelukain perasaannya."

Lagi, Ify hanya membalas dengan senyuman dan menyampaikan bahwa dia akan pulang sesuai permintaan Bunda dengan catatan Gabriel memberikan laporan perkembangan Rio secara berkala yang lansung diiyakan oleh lelaki itu.

***

Rio membuka matanya saat merasakan perutnya seperti diremas-remas hingga membuatnya guling-guling di kasur, dadanya terasa sesak seperti ditekan padahal disampingnya sedang tidak ada siapa-siapa.

Haaaah...
Haaaaah...

Rio merasakan nafasnya mulai memendek tapi badannya terlampau lemas untuk sekedar meminta tolong. Dia menatap langit-langit kamar yang kosong melompong dengan senyum tipis yang terbit di wajah sayunya.

Rio menoleh kesamping dan melihat Mama dan Papa tertidur di sofa, kepala Ray ada di pangkuan Papa. Ah, dia senang melihat keadaan keluarganya sekarang, seperti potret keluarga kebanyakan yang ada dalam bayangannya, kini baik dia ataupun Gabriel dan juga Ray sudah bisa berdamai dan menerima hubungan mereka yang sempat rumit dan memutuskan untuk meraih bahagia sama-sama. Rio mengatur nafas berharap sakit di perutnya berkurang, bisa batal rencana pulang besok kalau sampai tubuhnya kalah lagi malam ini.

"Rio... Kamu udah bangun sayang?"

Rio mengarahkan atensinya kepada Bu Manda yang tampaknya baru bangun dan kini berdiri dari posisinya di depan sofa.

Rio tersenyum sebagai sapaan, badannya masih terasa ngilu tapi sebisa mungkin dia tidak menunjukkan itu pada sang Mama.

"Kenapa sayang? Kamu mau apa?"

Rio menggeleng pelan, matanya terpejam damai merasakan usapan lembut di keningnya.

"Pusing ya, Nak?"

Lagi, Rio hanya bisa menggeleng meski nyatanya tidak demikian. Dia hanya tidak mau membuat panik orang-orang yang tengah beristirahat setelah seharian menjaganya, sudah cukup semua orang mengorbankan waktu dari hidup mereka untuk menemaninya yang terbaring sakit selama berhari-hari.

"Ma..."

"Iya, sayang?"

"Jalan-jalan, yuk? Bosan di kamar terus..."

Reflek, Bu Manda melirik ponsel di atas nakas yang kini menunjukkan pukul 02.00 dini hari. "Besok pagi aja ya? Sekarang masih gelap banget di luar. lagipula, anginnya juga kurang bagus buat kesehatan kamu."

Rio menghela nafas lelah, "Ke balkon aja deh kalau gitu, boleh ya?"

"Oke, sebentar aja ya."

Rio mengangguk senang. Mereka duduk di sisi kanam balkon yang tidak begitu luas ditemani langit gelap dan kicauan burung dimana-mana.

Rio menyandarkan kepalanya di pangkuan Bu Manda, memejamkan mata menikmati angin menjelang pagi yang tidak bisa dianggap remeh dinginnya.

"Ma..." Rio memegang lengan Bu Manda yang sejak tadi bergerak diatas kepala, tepatnya memijit pelipisnya meski Rio tidak minta.

Semurni itu kasih sayang seorang ibu dan betapa beruntungnya Rio telah dibesarkan dengan kasih sayang melimpah sejak kecil hingga kini.

Dia memang pernah kehilangan masa-masa itu lumayan lama, namun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan takdir lain yang Tuhan siapkan untuknya sekarang.

"Maaf ya, Ma... Rio udah bandel dan ngerepotin Mama sama Papa."

Bu Manda menggeleng sembari mengarahkan jari telunjuknya ke bibir Rio.

"Rio sayaaaaaaaaang banget sama Mama," ujar Rio pelan. Wajahnya yang semula tengah menatap sang ibu menoleh ke kanan dan bersembunyi dibalik pangkuan beliau.

Sesaat kemudian punggungnya bergetar tanpa bisa dia cegah, dadanya terasa sesak menahan tangis.

"Rio pingin banget bisa nemenin Mama, jagain Mama sampai Mama tua," Rio kembali bicara, sebisa mungkin dia menahan isakannya meski dia tahu itu tidak berhasil, "tapi... makin lama, sakitnya suka datang keroyokan, Ma..."

Bu Manda tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis, beliau yang semula hanya ingin mendengarkan keluh kesah putranya seperti ditampar oleh kenyataan tentang sebuah perpisahan.

Hatinya begitu perih.
Sebagai seorang ibu, beliau adalah orang pertama yang merasa sakit melihat anaknya jatuh, begitu pula saat cahaya sang anak meredup, Ibu menjadi orang pertama yang paling tahu dan bisa merasakan keredupan itu.

"Mama juga sayang banget sama Adek, Mama janji akan selalu jagain Adek, Maaf kalau selama ini Mama egois ya, Dek? Maaf kalau selama ini Mama memaksa Adek buat terus kuat."

Rio menggeleng pelan tanpa merubah posisinya. Jangankan memutar kepala untuk menatap Mamanya, membuka mata saja dia tidak punya tenaga.

"Kita berusaha sekali lagi ya, Mama janji setelah ini Mama nggak akan maksa Adek lagi. Mau ya, Dek?"

Rio mengangguk seraya melesakkan tubuhnya di pangkuan sang Mama, bahunya naik turun menetralkan nafas yang mulai berat. Ah, badannya sekarang ternyata memang semanja itu ya, baru diajak santai sebentar saja protesnya luar biasa.

Bu Manda mengelus surai gelap putranya pelan, tidak ada kalimat penghibur yang bisa baliau ucapkan selain harap yang tak berhenti terucap dari hati yang terdalam.

Tidak ada manusia yang siap akan sebuah kehilangan, namun sebagai manusia tentu kita harus sadar jika hidup dan mati bukanlah sesuatu yang bisa ditawar.

"Dek..."

"Adek?"

"Sayang?"

Bu Manda menepuk pundak Rio dan mengguncangnya agak keras karena Rio tidak membalas ataupun menjawab panggilannya. Rio bukan tipikal orang yang susah dibangunkan jika tertidur.

"Dek, bangun dulu yuk? Pindah ke kasur. Mama udah nggak kuat kalau harus gendong kamu dulu."

Tepukan Bu Manda di wajah Rio kian cepat, tidak mendapatkan respon berarti meski sudah dibangunkan cukup lama membuat beliau jadi panik. Namun entah mengapa disaat yang sama suaranya justru tercekat.

"Dek... bangun! Jangan bikin Mama takut!"


***

Hai... Maaf ya, lama updatenya.

Jangan lupa vote dan komen yang seru-seru ya!

Oiya, siap-siap juga bentar lagi bakal ada info giveaway bahasa rasa dan bagi yang mau request hadiah juga boleh banget loh!

Salam Sayang

Miftastevadit

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top