39 - Brother Talk

Gabriel terduduk lemas di samping kolam renang di rumah Sivia. butuh waktu beberapa hari hingga akhirnya Ia berani membicarakan semua fakta yang baru-baru ini diterimanya pada sang gadis pujaan. Sesuai ekspektasi, Sivia tidak menampik fakta itu dan justru membenarkan sebagaian besar tindakan Rio meski Gabriel sudah menjelaskan rasa ketidakadilan yang dialaminya, tapi Sivia tidak peduli.

Gabriel jadi bingung, sebenarnya Sivia ini pasangannya apa bukan? kenapa gadis itu seolah sangat mendukung Rio dan menyetujui semua ide gila yang telah digagas adiknya itu.

"Aku kenal kalian tuh, udah lamaaaa banget. dan dimata aku, kalian berdua masih manusia yang sama yang dulu pernah berdiri disini berdampingan cuma demi nunggu jawaban aku. Lagian nih ya, sekarang kita nggak lagi ngomongin siapa yang lebih kompeten dari siapa, kita cuma lagi realistis aja sama apa yang ada di depan. Aku cuma lagi berusaha ngerti apa yang mungkin Rio pikirin sebelum dia nyerahin kepemimpinan perusahaan Ayah Marcel sama kamu! dan ya aku pikir keputusan Rio ini udah tepat, banget. untuk sekarang."

"Iya tapi aku ngerasa nggak mampu, Vi! Ini semua terlalu tiba-tiba buat aku!"

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini kalau kita mau berusaha, Aku aja percaya kok kamu bisa, masa kamu nggak percaya sama diri kamu sendiri"

"Ya... tapi... aku nggak bisa kayak Rio. Dia jago di banyak bidang sementara aku..."

Sivia menepuk pundak Gabriel pelan, "Nggak ada yang minta kamu jadi dia, Yel. Kamu cukup mengusahakan yang terbaik versi kamu. Selebihnya biar para karyawan yang nilai kamu sudah pantas atau belum."

"Kalau aku gagal?"

"Huus! Ngomongnya!" potong Sivia cepat.

"Aku cuma bicara fakta, Vi" Gabriel menunduk, pikirannya seruwet benang kusut yang meski berhasil diuraipun bentuknya tidak bisa sesempurna yang asli.

"Kita nggak akan tahu hasilnya kayak apa selagi kamu stuck disini aja!"

"Tapi aku nggak siap"

Sivia menghela nafas kasar, bingung harus berkomentar seperti apa terhadap pemikiran Gabriel saat ini, "Kamu udah ngomong sama Rio tentang ini?"

Gabriel menggeleng.

"Deep talk berdua coba!"

"Jiper, Vi."

"Astaga! takut apaan coba? ngobrol sama adik sendiri nggak bakal bikin pamor kamu turun kok!"

"Nggak usah diperjelas bisa kali!" Gabriel merengut sementara Sivia terkekeh puas melihat wajah terintimidasi sang kekasih.

"Jangan melulu takut sama sesuatu yang kamu sendiri belum tahu kedepannya akan seperti apa. Kalau Rio aja bisa percaya sama kamu, kenapa kamu nggak bisa percaya sama diri kamu sendiri?"

Skakmat!

***

Rio menyandarkan punggungnya di tepi ranjang, badannya masih lemas, pusingnya belum hilang dari tadi siang. Tapi sebisa mungkin dia tidak menunjukkan itu pada Gabriel yang katanya akan menginap malam ini.

Agak speechless sebenarnya.
Mengingat pertemuan terakhir mereka belum bisa dikatakan sebagai titik balik dan hubungan keduanya saat ini juga bisa dikatakan belum baik-baik saja.

Persahabatan yang mereka banggakan memang tidak berakhir hari ini, tapi kesenjangan yang mereka ciptakan di dalam rumah tentu belum sepenuhnya selesai karena waktu lebih dulu merenggut kesempatan dimana Rio hendak memperbaiki situasi itu.

Dan parahnya, kesenjangan itu mengisi kekosongan ruang rawat ini sekarang.

Rio tidak tahu harus memulai darimana, yang bisa dilakukannya hanya menatap dalam diam kakaknya yang sejak tadi hanya duduk di sofa tanpa melakukan apa-apa.

Lama.

Rio membiarkan hening mendominasi hingga atensinya menangkap pelan langkah Gabriel mendekat dan duduk di kursi samping tempat tidur dengan wajah kikuk yang entah kenapa kali ini membuat Rio ingin tertawa, tapi dia tahan.

"Sori..." Gabriel membuka suara.

Sebuah kalimat pembuka yang begitu berat untuk disampaikan setelah perdebatan panjang yang terjadi beberapa waktu ke belakang. perihal maaf-memaafkan tentu menjadi hal yang sangat krusial bagi mereka berdua.

"Kak Iyel... rasanya udah lama banget gue nggak manggil lo begitu, apa masih boleh?"

Gabriel mengangguk.

Rio mencoba membangunkan tubuhnya. Gabriel bergerak membantu, menyandarkan badan Rio lebih tinggi di ranjang dan seketika Ia membeku merasakan sensasi panas yang keluar dari tubuh adiknya. Entah berapa derajat tapi yang jelas dengan suhu setinggi itu pasti sangat tidak nyaman.

"Badan lo panas banget, nggak mau baringan aja, ntar lo pusing kalau kelamaan duduk..." tawar Gabriel yang di balas gelengan pelan oleh sang lawan bicara.

"Kali ini aja, tolong lihat gue sebagai Rio adik kecil lo yang gemesin dan nggak penyakitan kayak sekarang. Gue mau ngobrol sama lo selayaknya Kakak dan adik kayak waktu kita kecil"

Gabriel mengiyakan permintaan Rio sambil tersenyum meski hatinya bergetar. Lidahnya terasa kelu oleh rasa bersalah. Begitu banyak hal berlalu saat mereka kecil dan saat dewasa mereka bertemu, Rio menganggapnya seperti orang asing.

Banyak sekali masa yang Gabriel lewatkan saat itu, terutama dia tidak menemani Rio bertumbuh, dia membiarkan Rio menelan kenyataan pahit seorang diri dan parahnya hingga saat ini perasaan bersalah itu tidak bisa hilang.

"Kita mau ngobrol dari mana dulu?"

Rio menggeleng, "Terserah Kak Iyel aja, gue lagi nggak bisa mikir."

"Oke. Kita mulai dari kenapa lo anggep gue orang asing setelah sekian lama lo ngilang dan nggak bisa gue temuin, bahkan disaat Ayah Marcel meninggal"

Rio memejam sejenak, "Klise sih kalau dibahas sekarang, Waktu itu Ayah ngajak gue ke paris, tepat di hari Mama dan Papa Tama menikah, disitu gue ngeliat lo perhatian banget sama Ray sampai suapin dia kue sementara gue manggilin lo sampai nangis-nangis di jendela tapi nggak lo denger, lo nggak ngeliat gue. Ya gue marahlah! gue benci waktu itu lo pergi, lo ninggalin gue, ngelupain gue, nggak pernah ngasih kabar apalagi tepatin janji lo buat balik"

"Gue minta maaf, waktu itu gue..."

"Jangan diterusin, gue capek ngebahasnya."

"Oke, gue ganti pertanyaan. Kali ini tentang perusahaan Ayah dan berkas yang lo minta gue tanda tangani. Jujur aja, gue ngerasa lo terlalu buru-buru. kenapa lo nggak tanya gue dulu? Ya setidaknya lo kasih tahu gue rencana lo apa, nggak tiba-tiba kayak sekarang. Gue ngerasa nggak mampu nanggung tanggung jawab segede itu kalau seandainya gue jalanin, apalagi untuk sekarang." Gabriel berujar serius.

Gabriel sudah memikirkan hal ini berulang kali tapi tetap saja dia tidak bisa menemukan jalan keluar selain ya, membatalkan semua itu dulu kalau bisa.

"Sorry, lo jadi ikutan repot ga-

"Bukan, bukan itu jawaban yang mau! Lo ngerti maksud gue apa. So, tell me why? What should I do?" Gabriel menghela nafas kasar, banyaknya spekulasi yang masuk membuat pikirannya tak karuan.

Ditambah dengan Rio yang kini kembali diam.
Gabriel yang awalnya mengharap kekuatan meski sudah takut duluan semakin ciut.

"Kak..."

Gabriel menatap Rio yang memanggilnya setelah cukup lama mereka saling diam. hanya melihat, tanpa berniat membalas.

"Kalau lo tanya kenapa, jawabannya ya karena kita anak ayah. Kalau bukan lo terus siapa? Gue kan udah trial lama dari Ayah meninggal dan sekarang udah saatnya gue berhenti."

Gabriel meremat tangannya kuat, ingin menyanggah, menyangkal spekulasi tidak penting yang baru saja Rio utarakan tapi lidahnya kelu untuk bicara.

"Gue tahu lo butuh waktu, maka dari itu gue nggak presure lo buat buru-buru ke kantor. Gue juga udah bilang Pak Dedi dan beliau siap dampingin lo, bakal diajarin sampe bisa. Lo tenang aja, Pak Dedi luar biasa ngarahin gue dan dia akan ngelakuin hal yang sama buat lo, bahkan lebih."

"Lagian berkasnya udah ke notaris semua, nggak bisa asal batal. Jadi, lo mau kan? Mau ya? Please..."

Gabriel menghela nafas pasrah, kemudian mengangguk samar. "Bukannya gue mau maruk nih, Tapi bisa nggak kalau lo aja yang ngajarin gue?" Ujarnya kemudian.

Rio mengangguk. "Bisa sih harusnya, semoga bisa..."

"Harus dong, Lo hebat, lo kuat, lo pasti bisa selesaikan semuanya. Gue yakin lo bisa!"

Rio tersenyum simpul.
Menyemogakan takdir baik tuhan yang dinantikannya hingga nanti Tuhan memintanya berhenti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top