37 - Ketika Sahabatmu Rapuh

Cakka menghentikan mobilnya di taman dekat rumah, mematikan mesin lalu membuka pintu kemudi disusul oleh Agni, mereka datang bersama setelah Cakka menjemputnya sepulang dari rumah sakit. Tadinya, Cakka ingin membicarakan segala sesuatunya dirumah Agni, namun wajah kusut sang pujaan membuat niatnya urung hingga disinilah mereka sekarang, melewati minggu malam bersama meski sebatas di taman komplek.

"Kita disini aja nggak apa-apa ya, Ag?"

Agni mengangguk. Bukannya apa-apa, pasalnya belakangan Cakka jadi pendiam dan otomatis mereka jadi jarang ngobrol selain membahas hal yang serius. Dan sekarang, melihat Cakka mengajaknya pergi begini membuatnya was-was sendiri.

Kali ini bukan soal tempatnya, tapi lebih pada kembalinya sikap ajaib Cakka yang membuatnya khawatir setelah cukup lama mereka berdua kehilangan momen itu.

"Mau makan atau nyemil sesuatu nggak?"

"Terserah lo aja"

Cakka menggandeng Agni menuju kursi panjang yang kosong lalu memintanya menunggu sementara Cakka menuju beberapa stan makanan di dekat mereka. Tidak perlu waktu lama Cakka kembali dengan kantong plastic berisi jajanan dan dua cup minuman ditangannya.

Agni menatap Cakka sumringah, "Thanks, tahu aja gue pengen boba" ujarnya menerima cup large cappuccino dengan es krim diatasnya, wajah betenya hilang. Netranya menelisik cup berwarna gelap punya Cakka dan hawa panas yang menguar dari minuman itu.

"Tumben?" Agni reflex menyentuh kening dan lengan Cakka gantian, "Nggak demam kok, lo kenapa? Nggak enak badan? Mau pulang aja, nggak?"

Cakka menggeleng. Kali ini bukan soal badannya yang berasa remuk tapi soal jantungnya yang berdegup cepat, binggung harus mulai obrolan dari mana. "Jadi... sebenarnya... gu... gue ngajak lo kesini karena ada yang mau gue omongin..."

"Soal?" Agni terdiam, dia jadi overthinkhing merasakan telapak tangan Cakka yang tengah menggenggamnya bergetar, "Lo nggak lagi ngelakuin kesalahan kan? Lo nggak lagi mau macem-macemin gue, kan?"

"Enggaklah! Nggak mungkin kalau itu."

"Yaudah, terus apa?"

Cakka menghembuskan nafasnya kasar, ini dia kenapa sih. Dia tidak sedang melakukan kesalahan tapi kenapa deg-degannya nggak hilang-hilang ya? Apa iya Karena dia kecintaan sama Agni? yang benar saja!

"Jaa... jadi... gu... gue sama yang lain udah ketemu Rio. Kita udah baikan."

"Hah? Sumpah lo! Alhamdulillah, gue ikut seneng dengernya!" Agni menyahut cepat.

Wajahnya yang berbinar berhasil membuat Cakka ikut tersenyum meski hanya terhitung detik karena setelahnya yang dia lakukan hanya menunduk, mengalihkan perhatian pada teh manis yang terasa hambar.

"Cakk?"

Hening...

"Cakka?"

Masih juga hening.

Agni menggelengkan kepala, baru saja dia mendengar berita bahagia. Tapi melihat Cakka malah diam setelah menyampaikan itu membuatnya sadar jika poin sebenarnya bukan tentang pertemuan atau momen baikan mereka.

"CAKKA KAWEKAS NURAGA!" Agni mengguncang bahu Cakka keras hingga membuat lelaki itu terkesiap.

"Hah? Iya, Ag?"

Agni mengusap wajahnya kasar, "Lo kenapa sih? bukannya kalian udah baikan? Harusnya lo seneng dong!"

Cakka menunduk, "Iya, gue seneng kok."

"Terus?"

"E... ee... sebenarnya, ada hal lain yang lagi gue pikirin..."

"Soal?" Agni menyerngit bingung, hal apa gerangan yang sampai membuat Cakka seolah kehilangan dirinya sendiri, yaah... seingatnya, sebaik-baiknya Cakka, dia bukan orang yang mau repot-repot mikirin persoalan orang lain apalagi sok peduli dan ikut campur kecuali masalah itu penting buat dia.

"Rio keluar dari basket."

"Iya, Kan lo udah cerita,"

"Tadinya gue pikir, dia begitu karena mau ngehindarin gue sama yang lain, tapi ternyata alasan sebenernya adalah... ka... karna saat ini Rio lumpuh, Ag."

Agni terhenyak, tidak tahu harus berkata apa.

Dari posisinya sekarang dia bisa melihat Cakka yang menunduk dengan kedua tangan diatas kepala.

"Awalnya gue nggak percaya, gue pikir Rio duduk di kursi roda cuma sebagai pasien biasa, tapi ta... tadi gue ngerasain sendiri... tangan gue yang udah nahan badan dia, mapah dia bangun sampai duduk lagi."

Cakka menghela nafas berat, "Sumpah, gue hancur liatnya. Sesakit itu Rio sekarang dan gue sebagai sahabatnya nggak bisa ngelakuin apa-apa, dia selalu bantuin gue tapi gue malah nggak ada pas dia butuh, sahabat macam apa gue, Ag!"

Agni memeluk Cakka dari samping dengan wajah yang mulai basah, Rio adalah sahabat yang baik dan sangat perhatian, tidak hanya untuknya dan Cakka tapi juga rekan-rekannya yang lain. Tentu tidak mudah baginya menerima kabar ini tapi disisi lain Agni juga harus menguatkan Cakka, dia tidak bisa membiarkan Cakka jadi lemah. "Lo harus kuat, Cakk. Kita harus sabar... Tuhan nggak akan ngasih cobaan diluar kemampuan hambanya, jadi Lo harus percaya kalau lo mampu!" Agni terisak sembari menepuk-nepuk Pundak Cakka.

Cakka tersenyum, "Makasih ya, Ag..."

Agni menggangguk, "Ify udah tahu?"

"Harusnya iya, Debo udah ada rencana mau ngasih tahu Ify, tapi sementara lo jangan bilang apa-apa dulu ya sama dia, gue bisa bilang ini sekarang juga karena Rio yang minta, dia nggak mau Ify sedih."

"Iya, gue ngerti. Pokoknya kita harus kuat, ya... kita harus terus disamping Rio, kita harus support Rio, support Ify."

"Pasti, Ag. Pasti!"

***

"Dasar, Rio bangsat!"

"Rio sialan!"

"Bisa-bisanya lo ngelakuin ini sama Kakak lo sendiri!"

Gabriel melempar asal barang-barang yang mampu terjamah oleh tangannya, membiarkan kamarnya tidak lebih baik daripada kamar Ray yang terkenal berantakkan. Fakta panjang yang baru saja didengarnya dari Mama dan Papa ternyata lebih menyakitkan dan lebih rumit dari yang dia bayangkan.

Bagaimana bisa Rio tumbuh begitu cepat.

Rasanya baru kemarin mereka berada di atap yang sama setelah lama menghilang, sengaja menghindar dan banyak cara menjauh lainnya hingga semesta memberi jalan agar mereka bersatu.

"Kak... Mama masuk ya..."

Gabriel diam, membiarkan pintu kamarnya dibuka oleh Bu Manda yang datang dan meletakkan air minum di atas nakas samping tempat tidurnya. bahkan saat Beliau mengambil posisi duduk di sampingnya, Gabriel masih juga diam.

"Mama tahu kamu marah, Kamu kesal sama Mama dan Papa. tapi kamu juga perlu tahu, Kak. Mama sama Papa rela ngelakuin apapun buat kamu dan adik-adik"

Hening.

Bu Manda merangkul bahu Gabriel dan menepuknya pelan, "Waktu itu, beberapa hari setelah treatment kedua selesai dan Dokter Andrean akhirnya memutuskan untuk stop karena kondisi Rio ternyata nggak membaik, kita nggak ada yang percaya bahkan Rio sekalipun. apalagi sepengelihatan Mama kondisi Rio baik, adik kamu udah jarang kambuh apalagi sampai collaps. Tapi ternyata Mama keliru, apa yang Mama lihat itu real karena adik kamu kuat aja, dia ngggak mau nunjukin kesakitannya sama Mama dan Papa."

"Maka dari itu, Mama sama Papa mengiyakan aja keinginan adik kamu, Mama nggak mau bikin dia down, apalagi di kondisinya yang sekarang."

"Iya... tapi bukan berarti Mama nggak bisa ngasih tahu Iyel sama sekali, kan? Rio adik aku, Ma. sebagai kakaknya aku berhak tahu! belum lagi soal perusahaan Papa Marcel, aku nggak habis pikir Mama sama Papa bisa ngelakuin hal sebesar ini hanya atas dasar permintaan Rio aja! ini tuh nggak adil tahu, Ma..." Gabriel mendesah keras, bagaimanapun dia mencoba berpikir positif tetap saja hal ini terasa tidak masuk akal.

"Dari awal, Iyel nggak tahu menahu tentang perusahaan Papa, semuanya Rio yang ngurusin. terus sekarang apa? tiba-tiba saham dan aset udah jadi punya Iyel aja! Ini nggak adil dong, Ma! Iyel mana bisa ngurusin perusahaan, lagian juga Iyel nggak mau! Udah bagus Rio yang gantiin Papa, dia lebih jago dalam banyak hal, dia lebih kompeten, dia—

"Mama ngerti, Tapi balik lagi... Mama cuma bantuin ngewujudin apa yang adik kamu mau, ya salah satunya adalah ini."

"Ya tapi, Ma. Iyel mana bisa jadi kayak Rio! Iyel nggak akan bisa gantiin dia! Mau bagaimanapun dan sampai kapanpun juga itu nggak akan pernah terjadi, Ma!"

"Mama ngerti, Sayang. Lagipula, dengan mengambil alih perusahaan, bukan berarti kamu harus menjadi sama seperti Rio. Mama yakin kamu mampu mengurus semuanya dengan cara kamu sendiri." Gabriel bisa merasakan sentuhan lembut Bu Manda di bahunya hingga perlahan kepalanya bergerak turun hingga berada di pangkuan bunda.

"Kak... ada satu momen yang paling Mama syukuri di dunia ini yaitu saat Tuhan mempercayakan dua malaikat kecilnya pada Mama dan Papa. Kalian adalah hadiah paling indah yang dititipkan Tuhan sama Mama. Nggak pernah sedetikpun terbesit di benak Mama gimana hidup kami tanpa kalian. Sampai disaat Mama bawa kamu berobat ke paris dan ninggalin Rio di Jakarta lengkap dengan segala rencana Papa sampai akhirnya Mama menikah dengan Papa Tama. Dari semua situasi itu, satu-satunya hal yang Mama sesali adalah saat Mama tahu adik kamu kesulitan tapi dia nggak sekalipun mau nyusahin Mama." Bu Manda membelai lembut surai hitam putranya, tidak ada kata siap dalam kehilangan, tapi juga tidak ada upaya yang mampu meniadakannya dalam hidup manusia. Tinggal bagaimana cara kita meminta kemurahan tuhan saja.

"Mama percaya takdir Tuhan itu nyata, Mama percaya Rio bisa sembuh. Tapi diluar semua itu, kita manusia biasa yang hanya bisa bertawakkal, minta sama Tuhan akan takdir yang paaaaling baik dari yang terbaik buat adik, buat kita terlepas dari apapun itu nanti namanya, Kak..."

"Ma... Tapi Rio bisa sembuh kan? Iyel yakin Rio pasti bisa sembuh kok, Ma! Rio kuat, Ma!"

Bu Manda merangkul putranya sebagai jawaban, menyelipkan doa dan harapan diatas upaya yang tak lagi mampu diutarakan dengan kata-kata.

***

Debo menunggu dengan cemas didepan ruang rawat Rio, lagi-lagi kondisi sahabatnya itu menurun dan harus mendapatkan perawatan intensif. Sudah lebih dari 30 menit dokter dan paramedis memberikan penanganan tapi belum juga ada kabar yang bisa dia dengar.

Beruntungnya, kali ini dia tidak sendirian, ada Alvin yang bisa diajaknya bicara meski untuk saat ini tidak ada kata yang mengisi kekosongan diantara mereka hingga pintu ruangan terbuka bersamaan dengan munculnya Dokter Andrean.

"Gimana, Pa? Rio nggak kenapa-napa kan? Collapsnya nggak parah kan, Pa?" interupsi Debo tak sabar.

Alvin bangkit dari posisinya, mendekat tanpa suara pada Dokter yang bertugas.

Dokter Andrean tersenyum pada dua remaja di hadapannya. Bersyukur sekaligus terharu melihat bagaimana mereka sangat peduli pada Pasien yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. "Syukurlah, Rio udah stabil sekarang. tapi kondisinya masih lemah, kalian kalau mau masuk boleh, tapi jangan diajakin ngobrol dulu ya, anaknya lagi saya paksa tidur."

Debo menggangguk mantap.

Sepersekian detik setelahnya, dua remaja itu fokus mendengarkan praduga tentang collapsnya Rio hari ini dan beberapa tindakan preventif yang bisa dilakukan jika terjadi serangan lagi sebelum beliau undur diri menyisakan Debo dan Alvin yang masih betah diam.

"Masuk, Vin." ajak Debo setelah membuka pintu.

Alvin menggeleng.

"Lah? Ngapain lo kesini kalau nggak mau masuk?"

"Lo duluan aja. Gu... gue ma... masih mau ke... ke kantin... iya, kantin. Duluan, De" Alvin buru-buru pergi setelah berucap demikian, mengabaikan Debo yang memintanya berhenti.

"Dih, kenapa sih tuh anak!" Debo menggeleng bingung, Selanjutnya dia memilih untuk masuk ke ruang rawat Rio dan merebahkan tubuhnya di sofa. Lagi, dia akan menginap seperti hari-hari sebelumnya dengan harapan segalanya akan membaik.

___

Setelah memastikan Debo masuk dan tidak akan memanggilnya lagi, Alvin menghentikan langkahnya di lorong rumah sakit yang sunyi. mendudukkan diri dengan wajah terbenam di atas lutut. jelas perkara dirinya mau ke kantin hanyalah alibi untuk menghindari Debo dan segala tingkah tidak masuk akal yang mungkin terjadi jika Alvin tidak segera pergi.

Baginya, sudah cukup tadi pagi dia cosplay jadi pengecut di depan Rio, tidak untuk kedua kali meski bagaimanapun Ia mencoba berpikir realistis, tetap saja rasa takutnya kerap kali membuatnya seakan telah kehilangan. ditambah lagi wejangan panjang Shilla yang terasa seperti kaset rusak dikepalanya.

'Vin... Aku nggak tahu, aku berhak ngomong ini sama kamu apa enggak. Tapi, kamu mesti inget satu hal. Rio sahabat baik kamu, kamu kenal Rio lebih dulu daripada aku dan yang lain. Iyel mungkin bareng sama Rio pas mereka kecil tapi lebih dari itu kamu udah nemenin Rio bertumbuh, kalian gede bareng-bareng sampai bisa jadi seperti sekarang. Kamu paling tahu Rio gimana orangnya, kamu paling tahu akan seperti apa Rio menjaga kondisinya demi nggak bikin kamu khawatir. untuk itu, kamu nggak bisa jadi denial kelamaan kayak gini, Vin. Rio butuh kamu, Rio butuh support kamu dan teman-teman yang lain. Aku yakin kalian nggak mungkin ninggalin Rio gitu aja cuma karena dia sengaja ngehindarin kalian belakangan ini, kan? Aku percaya persahabatan kalian nggak sedangkal itu. Tolong, Vin... Tolong tetap disamping Rio sekecewa apapun kamu sama dia, setidaknya lakuin ini demi aku, demi sahabat aku, demi kita semua yang aku nggak tahu gimana cara nyebutinnya...'

Sekali lagi, Alvin termenung.

Apa iya, dia terlalu yang denial?

Apa iya, sebab kecewanya adalah karena dia tidak siap kehilangan?

Tapi, bukankah semua orang tidak akan siap jika dihadapkan pada situasi itu?

Lalu, mengapa rasanya begitu sakit?

Aaaaarghhh...

Alvin terjebak dalam pikirannya. Sekali lagi, Rio membuat dunianya menjadi berantakkan dan sialnya dia selalu saja kalah dari manusia itu.

"Oaaaalah... gue cariin kemana-mana ternyata lo disini!"

"Eh... e... e... lo, De..." balas Alvin kikuk. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga plus dikontenin orang yang nonton.

Debo meringis kentara, "Btw, Sejak kapan kantin rumah sakit ini pindah ke lorong kanan gedung ya saudara Alvin Jonathan?"

"Nggak usah rese, please..."

"Sorry, nggak bisa! Asal lo tahu ya, gue udah panik nyariin lo, mana udah malam gini. Tadinya gue pikir lo udah pulang tapi kata Rio nggak mungkin, jadilah gue nyariin lo kek orang gila!

"Bentar-bentar, barusan lo ngomong apa? kata Rio ya? Lo bilang kata Rio 'kan barusan?" Ulang Alvin tak sabar.

Debo mengangguk.

"Aturan lo biarin dia istirahat dulu, De. ngapain pake ngomong gue dateng segala..." balas Alvin memelas, kalau udah begini terus gimana? Nyari alibi lain sudah tidak mungkin.

"Ya namanya gue keceplosan, lagian apa salahnya coba, orang lo juga masih disini, pakek ngumpet lagi!"

"Gue nggak ngumpet ya, cuma belum siap aja."

"Emangnya lo mau bikin konten prank pakek siap-siap segala!" Debo malah meledek.

"Serius, De!"

Debo reflek diam. Susah payah dia menahan bibirnya untuk tidak meledek apalagi sampai tertawa seperti sebelumnya. Balasan Alvin yang tegas dan padat membuatnya jadi jiper sendiri.
Keduanya saling diam.

Namun beruntungnya situasi itu tidak bertahan lama saat Alvin kembali membuka suara.

"Sorry, gue nggak bermaksud jadi egois. Tapi lo lihat sendiri tadi pagi sikap gue ke Rio kayak gimana. Gue bahkan nggak tahu harus ngomong apa sama dia. Gue terlalu pengecut buat bilang kalau gue nggak siap sama situasi ini, semuanya. Gue terlalu sangsi sama diri gue sendiri. Gimana kalau semua ini gara-gara gue? Gimana kalau Rio collaps tadi itu juga gara-gara gue? Gue yang ngakunya sahabat tapi yang nggak bisa ngelakuin apa-apa buat dia? Gimana gue bisa natap mata dia kalau ngelihat di balik pintu aja gue nggak sanggup" Debo terhenyak dibuatnya.

Baru kali ini Debo mendengar Alvin berujar sepanjang itu, sepedih dan seserius itu hingga Ia merasa kehilangan kekuatan untuk menenangkan si sosok jangkung yang terduduk di sisi lorong.

Bagaimana caranya menenangkan, jika Debo sendiri berada di perasaan yang sama.

Hingga akhirnya, tanpa berkata-kata Debo mengajak Alvin masuk ke ruang rawat Rio untuk beristirahat sejenak karena hari sudah beranjak pagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top