36 - Akhirnya Bertemu

Debo benar-benar di bikin gila dengan Rio yang mendadak jadi nyebelin padahal mereka sudah membicarakan agenda hari ini sejak tiga hari yang lalu dan Rio sudah menyanggupi. Mereka bahkan sudah menyepakati perjanjian bersama demi kelancaran pertemuan hari ini. tapi, coba lihat apa yang terjadi sekarang? Begitu mau berangkat bocahnya malah ngambek dan tidak mau dibantu turun ke kursi roda.

Setiap di ajak bicara, anaknya malah cengo kayak perawan.

"Mau lo apa sih, Yo!" Debo mengusak rambutnya kesal. ah, ayolah mereka sudah sangat terlambat sekarang. Bisa gawat kalau aksi bujuk-membujuk ini tidak segera selesai sementara Alvin dkk seharusnya sudah sampai di taman belakang rumah sakit.

"Kita udah bahas ini berkali-kali. gue juga udah bilang sama lo kalau gue bakal ngelakuin sesuatu dan ya ini salah satunya, Gue cuma lagi berusaha ngasih ruang buat lo bisa ngomong yang sebenarnya sama mereka, ya paling enggak lo bisa minta maaf lansung ke mereka"

"Iya tapi nggak harus dengan ngobral keadaan gue ke mereka juga dong! Dengan lo bilang gue lumpuh, Gue rasa udah nggak ada lagi yang bisa gue jelasin ke mereka sekarang, yang ada gue cuma bakal nambahin beban mereka doang!"

Debo mendecak kentara, "Lo pikir dengan ngilang kayak gini itu bukan beban? Lo tahu gimana belingsatannya mereka nyariin lo, nanyain lo, nggak usah sok nggak ngerti apa-apa gitulah! Gue cuma nggak mau semuanya makin rumit, lagian apa salahnya sih timbang ketemu doang."

"Ini nggak semudah yang lo pikir, De..."

"Terus mau lo gimana? Hah!"

Debo menghela nafas pasrah, notifikasi dari Cakka yang tampak dari pop up ponselnya semakin membuat pikirannya tak karuan, sementara di sebelahnya Rio masih diam.

"Yo?"

Tidak ada sahutan.

"Oke... oke... kalau lo emang nggak bisa jawab, nggak apa-apa. Biar gue aja yang pergi, secara gue yang gagal ngebujukin lo. So, gue harus tanggung jawab udah minta mereka datang kesini. Yaaa... bonyok dikit nggak apa-apalah, dirumah sakit ini." lirih Debo putus asa. Mau bagaimana lagi ya kan? Dia tidak ada pilihan

"Iya nggak gitu juga, De" Rio kembali bersuara.

"Terus?" Debo menyahut cepat, waktu terus berjalan dan tentu saja Debo tidak akan menyerah membujuk Rio meski membutuhkan lebih banyak waktu hingga gumam persetujuan keluar dari bibir lelaki itu.

***

Debo menatap haru segala yang tersaji di depan matanya sekarang. Sungguh, tidak ada kata yang mampu menggambarkan perasaan apa yang tengah menyelimuti hati orang-orang pilihan yang kini saling peluk satu sama lain.

Masih jelas dalam ingatan saat Rio memintanya berhenti mendorong kursi roda begitu presensi Alvin, Cakka dan Gabriel tampak dalam pengelihatan mereka. Kira-kira dua meter jauhnya. Raganya menjadi saksi saat Rio berusaha memutar roda kursinya guna memangkas jarak yang tersisa, dan sepersekian detik setelah itu tiga serangkai yang sebelumnya duduk di rerumputan berlari mendekati sahabatnya yang duduk diatas kursi roda dan mengisi ruang tersisa dengan pelukan.

Debo menunduk tidak jauh dari mereka, menahan pedih mengingat bagaimana Rio diabaikan hingga dengan bodohnya anak itu sengaja menghilang dalam beberapa minggu ke belakang dan apa yang dilihatnya sekarang adalah kebalikan dari semua situasi itu. Kini, dengan netranya sendiri dia menyaksikan dengan sangat jelas betapa mereka saling merangkul seolah tidak pernah ada hal menyakitkan yang terjadi.

Yaa, inilah seni persahabatan dimana Kita tidak bisa mengendalikannya sendirian.

"S... sorry, gue nggak tahu lagi harus ngomong apa ke kalian semua, permintaan maaf gue juga kayaknya udah nggak ada artinya lagi sekarang" Rio menarik nafas panjang, butuh keberanian lebih dari biasanya hanya untuk mengatakan hal yang sebenarnya sangat sepele dalam obrolan persahabatan.

"Gue juga nggak tahu harus ngomong apa, yaa... selain menyayangkan keputusan lo keluar dari Tim tanpa ngasih tahu kita!" itu suara Cakka. Satu-satunya suara yang terdengar setelah diam cukup lama.

Rio menepuk punggung yang masih terjangkau dengan lengannya sebelum melepaskan rengkuhan mereka. Cakka, Gabriel dan Alvin turut serta dan selanjutnya membantu Rio turun dari kursi roda hingga mereka duduk berdampingan di rerumputan taman belakang.

Hening mendominasi mereka berempat sampai Debo hadir sembari meletakkan kantong plastic berisi air kemasan yang dibelinya di kantin rumah sakit "Nih, Aqua dulu kali ya... biar nggak garing banget," ujarnya sakartis.

Pasalnya Ia sedang kesal. Ini dia yang salah strategi apa memang mereka yang tidak ingin berdamai ya? Susah payah dia mengusahakan agar mereka bisa bertemu berempat, mengobrol seperti biasanya dan ya tentu saja Debo ingin perseteruan ini berakhir.

Tapi apa yang dia dapatkan?

"Sorry sekali lagi, Lo boleh anggap gue nggak berpikir panjang soal keluar dari tim. Tapi sebagai kapten Cakra, gue harus segera ambil tindakan. Jadwal buat pertandingan dan persiapan turnamen tahunan kita udah siap. Timnya Bagas udah setuju buat turun ke pertandingan kualifikasi atas nama Cakra sementara Tim kita persiapan buat turnamen purna bakti nanti sebelum naik kelas 3. Lo sama Iyel juga bakal bebas tugas karena emang udah aturannya kayak gitu, kan?"

Cakka diam.

"Gue bukannya mau lepas tanggung jawab sama kalian semua, tapi lo lihat sendiri gue sekarang payah. Gimana gue bisa ngurusin kalian kalau ngurus diri sendiri aja gue nggak bisa."

"Lo masih punya hak veto buat mimpin kita latihan. Seenggaknya, kalau lo nggak bisa main, lo masih bisa ngasih tahu kita harus ngapain pas pertandingan, kan? kenapa harus keluar?"

"Gue nggak mau lo semua repot ngurusin gue terus."

"Siapa bilang! Gue nggak ngerasa repot, kok. Gue malah seneng bisa bantuin sahabat gue pas dia lagi susah. Lo jangan denial dong, yo! Emang seenggak guna itu apa gue di mata lo!"

"Ya bukan gitu, Kka"

"Ya terus apa! Emang seenggak percaya itu lo sama gue, hah! Kita sahabatan udah lama, ya kali lo nganggep kita kayak orang baru kenal kemarin!"

"Bukan gitu, gue cuma realistis, Cakk. Oke, Soal kaki gue, gue bisa coba terapi. tapi soal pengobatan gue yang gagal, gue bisa apa? Lo pikir gue mau kayak gini! Sumpah, sakitnya nggak main-main, Cakk! Gue takut nggak sanggup, gue takut nggak bisa penuhi tanggung jawab gue sebelum mati. Yang ada malah gue cuma bikin lo semua repot gara-gara gue."

Skakmat.

Cakka tidak tahu harus berkomentar apa. rentetan kemarahan yang tersusun rapi di kepalanya kini kehilangan kekuatan. Entah racun mematikan apa yang bersarang hingga mampu membuat bibirnya kelu dalam sekejap.

"Udah, nggak usah dibahas lagi ya..." Alvin menepuk pundak Rio yang berada disebelahnya. "Buat gue, yang terpenting sekarang lo harus kuat, lo harus inget masih ada kita yang bakal support lo."

"Gue juga kecewa lo keluar dari Tim gitu aja, harusnya lo nggak buru-buru. Lo bisa minta tolong kita kalau emang nggak bisa, biar kita juga ada gunanya sebagai sahabat lo. Tapi ya gimana, semuanya udah terjadi. Dan lagi, kalaupun lo balik sekarang belum tentu juga Pak Duta bakal ngijinin itu, beliau mana mau lihat anak kesayangannya maksain diri!"

Alvin mengulum senyum setelah sebelumnya mengutarakan kalimat panjang yang sejatinya dia sendiri tidak yakin bisa melakukan itu. Sebagai sahabat yang menemani Rio sejak kecil memangkas perdebatan dengan kalimat sok bijak begitu jelas tidak mudah bagi seorang Alvin yang dikenal paling cuek dan paling tidak perhatian.

"Thanks ya, Vin. Tumben lo lucu..."

"Hehe... lucu lo bilang" Alvin mendesis kentara

"Oh... Jadi kita baikan nih?" Cakka kembali bersuara, wajahnya berubah cerah.

"Siapa yang berantem?"

"Ah, sue lo, Vin!" Cakka mendaratkan tangan kanannya di bahu Alvin yang kemudian membuat mereka berlima kompak tersenyum.

Debo yang sebelumnya hopeless mereka bisa baikan turut merangkul dan menepuk punggung teman-temannya sebagai ungkapan kelegaan.

Selanjutnya, agenda berlanjut dengan obrolan unfaedah perihal kedua belah pihak yang sama-sama tidak berani memulai obrolan sejak perang dingin dimulai dan pembahasan lainnya termasuk rencana memberitahu perihal kembalinya persahabatan mereka dan kondisi terbaru Rio ke cewek-cewek terutama Ify.

"Jadi pada mau gimana ngasih tahu ciwi-ciwinya? kayak yang Rio pesan tadi, Kalian ngomongnya harus hati-hati banget..." Debo mengambil alih obrolan setelah acara kangen-kangenan dan segala kerandoman yang menyertainya dirasa cukup. Saat ini mereka sedang berada di kantin Rumah sakit setelah mengantar Rio kembali ke kamar dan beristirahat.

"Ya mau gimana lagi, kalau gue sih palingan ngapel aja pulang dari sini" komentar Cakka.

"Gue juga deh!" sahut Alvin

"Gue... kayaknya harus ngobrol dulu sama Mama Papa, baru ke yang lain. Gue harus perjelas semuanya daripada nanti gue salah ambil tindakan." Gabriel turut buka suara. Sejak tadi Gabriel banyak diam lantaran masih sulit percaya dengan apa yang dilihatnya hari ini apalagi dia dan Rio belum ada space ngobrol berdua selayaknya saudara kandung. Dan sekarang apalagi? Dia harus menyampaikan berita ini juga kepada Sivia dan Ray, bagaimana mungkin?

"Iya sih. Gue paham kondisi lo paling sulit diantara kita. Pokokya lo yang semangat, ya Yel. Kalau ada apa-apa kasih tahu!" pesan Cakka. "Lo juga, De. Kabarin kita terus. Gue nggak mau ya kecolongan lagi kayak yang udah-udah!" lanjutnya Panjang lebar.

Debo menggangguk, lagipula dia tidak punya jawaban lain.

"Oiya, De... Soal Ify, gimana caranya Lo bakal ngasih tahu dia?" tanya Cakka lagi.

"Masih gue pikirin sih, gue pengennya Rio sendiri yang bilang ke Ify, tapi disisi lain gue nggak tega buat ngizinin Ify masuk ke ruangan Rio seandainya mereka memang harus ngobrol berdua. Kalau gue bawa Rio keluar demi Ify takutnya gue nggak bisa jaga kondisinya tetap stabil, ya lo tahu lah! Cinta mereka sekuat itu."

"Iya juga sih... gue yang mau ngasih tahu Agni aja takutnya setengah mati"

"Nah itu, gue nggak mau nyakitin Ify, tapi gue juga ngerasa nggak berhak atas dia"

"Ya iyalah lo nggak berhak, dia kan, ceweknya sohib lo!"

"Yee... serius, ogeb! bercanda lagi lo!"

"Menurut lo gimana, Vin? Yel?"

Alvin menggeleng pasrah. "Gue nggak ada ide lain selain lo pertemukan aja mereka berdua, biarin mereka ngobrol dari hati ke hati"

"Alvin bener, kita mungkin takut kondisi Rio bakal nyakitin Ify tapi kita kan nggak tahu hati mereka gimana, kita nggak tahu sekuat apa perasaan mereka dan setangguh apa mereka menganggung kenyataan ini"

"Gue setuju sama lo!"

"Gue juga"

"Oke, Kul"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top