33 - Biarkan Semesta Bekerja
Sebagaimana pujangga yang mengatakan bahwa waktu tidak bisa berdamai dengan siapapun di dunia ini. Terlepas dari kejadian itu baik atau buruk selagi titimangsa telah melalui garis takdirnya maka apapun yang sudah terjadi tidak bisa dihindari atau diperbaiki dengan menarik mundur garis tersebut lalu memasangnya kembali.
Mustahil.
Karena itu, meski berat dan harus berdebat dengan ego yang seringkali tidak toleran pada akhirnya semua harus kembali pada tugas masing – masing, melanjutkan hidup yang tidak semudah itu bisa berhenti.
Seperti yang tengah Alvin lakukan hari ini, menjalankan rutinitas sebagai pelajar yang berhak memperoleh Pendidikan di sekolah. Dia mencoba memusatkan perhatian pada Bu Winda yang tengah menjelaskan tentang operasi bilangan matriks dan sifat - sifatnya yang pasti akan menjadi bahasan pokok pelajaran beliau dalam satu bulan kedepan karena sub bahasan matriks yang super duper banyak belum lagi operasi perkalian dan lainnya.
Namun, sebaik apapun Alvin ingin memfokuskan hati dan pikirannya, tetap saja dia merasa usahanya sia - sia. obsidian gelapnya masih saja bergerilya pada sosok tegap di hadapannya tanpa berpaling sedikitpun sepanjang pembelajaran berlansung.
'Yo...'
'Apa yang sebenarnya terjadi?'
'Apa yang lo sembunyiin dari gue?'
'Kenapa persahabatan kita jadi kayak gini?'
'Kenapa lo tega ngehancurin semuanya?'
Alvin merapal dalam hati, banyak pertanyaan yang bergelayut dalam pikirannya tapi lidahnya kelu untuk mencoba menemukan jawaban dari semua itu.
Wiiiiing...
TUUKK
"Aduh..." Alvin meringis menerima hadiah kesayangan dari Bu Winda, lemparan spidol yang mendarat mulus di kepalanya. Ini dirinya yang sial apa memang Bu Winda yang terlalu peka melihat gerak – gerik muridnya hingga dari sekian banyak siswa yang dia jamin tidak sepenuhnya mendengarkan materi beliau, tetap saja Alvin yang jadi sasaran.
"Alviiin Jonathan!"
"I... Iya, Buk..."
"Sudah tahu apa kesalahan kamu?"
Alvin menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal, meringis menahan malu di depan teman - temannya yang sukses menjadikannya pusat perhatian, terlebih kekasihnya Ashilla yang sibuk menahan tawa dibalik wajahnya yang menunduk. Tuh kan? Memangnya dia salah apa? dia masih menyimak pelajaran tadi kok, Bu Winda saja yang terlalu sayang padanya hingga ada saja tingkahnya yang salah dimata beliau.
"Bawakan buku tugas ini keruangan saya sebagai hukumannya"
"Ba... baik, Buk"
Astaga...
Alvin baru sadar kalau ternyata kelas sudah selesai dan sebentar lagi adalah jam istirahat, pantas saja tatapan teman - temannya horor sekali, rupanya mereka kesal jam istirahatnya terganggu gara - gara dia.
Alvin melangkah kedepan kelas, merapikan buku tugas teman-temannya yang menggunung sebelum memindahkannya ke kantor guru sesuai perintah. disela kegiatannya ditemani grusak grusuk penghuni kelas yang hendak meluncur ke kantin interupsi Bu Winda sebelum keluar kelas berhasil membuat Alvin terhenyak.
"Oiya, Rio. Kamu bantuin Alvin ya, Pastikan dia mengerjakan hukumannya dengan baik!"
"Makasih loh, Buk!" Alvin menyahut cepat begitu tersadar dari keterkejutannya tepat sebelum Bu Winda meninggalkan kelas mengacuhkan teman - temannya yang mulai berhamburan keluar kelas.
Wuuaah...
Alvin menampakkan wajah cerah disela aktifitasnya menumpuk buku tugas yang banyaknya naudzubillah, buku paket dengan kapasitas nyaris 300 halaman yang tengah dirapikannya ini sejumlah anak yang artinya jika harus bolak balik ke ruang guru dan kelas untuk membawa buku - buku ini dengan aman karena jika ditumpuk terlalu banyak lengannya mungkin bisa patah.
'halah lebay lo, Vin'
Alvin menatap siluet tegap Rio yang kini berdiri dalam diam disampingnya, membantunya merapikan buku yang kemudian dialihtangankan pada lengan sebelah kiri.
"Eh, biar gue aja, Yo!"
"Tugas lo kan cuma ngawasin gue doang..."
Alvin mendekat, hendak mengambil alih tumpukan buku yang berada ditangan Rio hingga desisan kesal seseorang di sampingnya menginterupsi dengan tajam.
"Buruan, tinggal jalan ae ribet!"
"Tapi..."
"Dibantuin apa gue tinggal?!"
"Oke, oke..." Alvin meremas rambutnya pasrah, mengambil tumpukan buku yang tersisa sebelum menyusul Rio yang sudah jalan duluan.
Sepanjang perjalanan ke ruangan Bu Winda dua most wanted Cakrawala betah saling diam. Alvin yang ragu memulai pembicaraan dibuat jiper dengan presensi Rio yang mendadak jadi dingin bahkan 10x lipat daripada dia. Demi Tuhan! Ini kenapa jadi Rio yang marah? Bukannya seharusnya kebalik ya? Kenapa malah Rio yang jadi nyebelin?
"Tungguin!" Alvin mengatur nafas setelah berhasil mensejajarkan diri dengan Rio yang tidak memelankan ritme berjalannya sedikitpun seolah sengaja menghindari situasi ini. Dalam hati Alvin bersyukur Bu Winda menghukumnya berdua dengan Rio yang mau membantunya mengangkat buku - buku itu sehingga dia tidak harus bolak - balik kelas dan ruang guru untuk menyelesaikan hukuman. Namun disisi lain dia kesal karena Rio tidak bisa diajak bicara.
***
Ify menelusuri setiap sudut kantin namun sosok yang sejak tadi dinanti kedatangannya tak kunjung terlihat, padahal mereka sudah janjian untuk bertemu setelah tugas dadakan sang empunya nama itu selesai. tapi ini sudah lebih dari 30 menit dan pemuda itu belum datang juga.
"Ini si Rio kemana, sih? Ngawasin hukuman doang emang selama itu ya? mana si Alvin nggak kelihatan lagi" gumamnya gusar, mengingat kondisi Rio sekarang tentu Ify khawatir, namun sebisa mungkin Ia menahan diri demi melukai perasaan kekasihnya.
Masih di suasana yang sama sampai kemudian Shilla yang baru selesai makan menghampiri Ify yang belum beranjak dari mejanya. "Kenapa, Fy? kayak panik gitu?"
Ify menggeleng, "Nggak apa - apa. Gue lagi nungguin Rio aja nih, tapi ini udah setengah jam dan dia belum dateng juga. gimana gue nggak panik coba!"
Shilla mengangguk mengiyakan, menepuk bahu sahabatnya beberapa kali. "Sabar, palingan bentar lagi. Si Alvin juga belum kesini kok"
"Coba lo telepon Alvin deh, Shill. Ya kali mereka nganterin buku doang sampe ngabisin jam istirahat sih!"
"Oke oke"
Shilla mencoba menghubungi Alvin sesuai perminataan Ify, Handphonenya berdering lama tanpa jawaban berarti.
"Yaaah, nggak di angkat, Fy..." lapor Shilla.
"Emmm... mungkin nggak sih kalau mereka lagi ngobrol serius, sekarang? Yaa... siapa tahu aja, hukuman Alvin kali ini bisa buat mereka baikan lagi?"
"Amin banget kalau itu," tanggap Ify penuh harap "Gue kasihan ngelihat Rio kayak kehilangan jati diri sejak para cowok berantem," lanjutnya sendu.
"Gue juga. yaudah kita ke kelas aja yuk? udah mau bel nih..."
Ify menggangguk setuju.
***
Hukuman Bu Winda sudah selesai.
Masih dalam misi yang sama, Rio mempercepat langkahnya melewati koridor kelas sepuluh tanpa mempedulikan panggilan Alvin yang belum menyerah untuk mengajaknya bicara meski sudah ditolak secara gamblang. Dia paham Alvin sama kerasnya dengan dia ketika menginginkan sesuatu, namun untuk saat ini dia tidak boleh lengah apalagi sampai kalah dari sahabatnya itu, tidak sedikitpun.
"Yoo... tunggu dong! Kita nggak bisa kayak gini terus!"
"Gue tahu lo nggak beneran kan sama rencana lo itu!"
"Cara lo basi asal lo tahu!"
Suara Alvin terus menggema di belakang namun Rio berusaha tidak peduli.
Sudah cukup Alvin mengorbankan banyak hal demi dia, sudah cukup Alvin mengabiskan masa remajanya dengan kepedihan yang Rio ciptakan, begitupun Cakka dan Gabriel.
"Berhenti, Yo!"
Rio memejamkan mata merasakan genggaman Alvin dilengannya begitu kuat, seolah tangannya akan patah jika dia memaksa melepas genggaman itu.
"Please... de... dengerin gu... gue dulu"
Pasrah menjadi jalan keluar terakhir. Tidak ada jalan lain yang bisa dipikirkannya sesaat setelah membiarkan Alvin membawanya pergi, menepi di ujung koridor lalu masuk ke lorong menuju taman belakang sekolah yang tampak lenggang, Alvin menggenggam lengannya begitu kuat.
---
Alvin mendudukkan dirinya di bawah pohon dengan nafas terengah, genggamannya pada lengan Rio sudah terlepas namun sebisa mungkin dia memperhatikan gerak gerik Rio disebelahnya, takut anak itu menghindar lagi seperti terakhir kali.
"Sorry, Vin"
Alvin menatap lirih Rio yang kini tengah memandang lurus ke udara, mengabaikan permintaan maaf yang terucap dari bibir sahabatnya, Alvin memilih untuk ikut berbaring, menikmati kumulus indah kemanapun netranya memandang.
"Gue nggak lupa, terakhir kali kita kayak gini itu.... Kejadian di danau kapan hari yang pas Cakka salah paham sama lo dan bikin lo bonyok parah, coba waktu itu gue telat datang, pasti udah jadi perkedel lo sama emosinya Cakka!" Alvin berujar lirih, tak peduli Rio akan menanggapi atau tidak, yang jelas dia ingin memperbaiki semuanya.
"Waktu itu... Ngeliat lo bonyok, gue ngerasa lucu. Gue bingung kenapa lo nggak ngelawan Cakka? Padahal gue tahu lo mampu!"
"Sampai suatu hari gue sadar lo sengaja ngelakuin itu demi persahabatan kita, lo nggak mau ngelawan Cakka karena nggak bisa biarin Cakka ngerasa kalau lo beneran menghianati dia dengan ngelawan dan membuat perhabatan kita buyar. Gue sadar persahabatan ini sebegitu pentingnya buat lo, buat kita semua."
"Itulah kenapa gue keukeh kalau lo nggak serius mau ngelupain persahabatan kita, Yo!"
Alvin memejamkan mata, mencerna kalimat panjang yang diucapkannya sambil geleng – geleng kepala, entah kesetanan atau apa sampai seorang Alvin Jonathan bisa berbicara sepanjang itu?
"Tapi belakangan ini lo menghindar, lo bersikap seolah kita nggak pernah sedekat nadi padahal lo tahu baik gue, Cakka bahkan Gabriel nggak ada yang mengiyakan permintaan gila lo itu!"
Tidak ingin berhenti di tengah jalan, Alvin memilih melanjutkan monolognya setelah menghela nafas berulang kali, "Gue tahu lo nggak bodoh, yo! Makanya gue nggak bisa berhenti mikir sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa lo bersikeras buat ngelupain semuanya? Apa lo udah bosen sama gue? atau mungkin lo udah punya yang lain? Dia yang bisa ngertiin lo lebih baik dari gue?"
"Bu... bu... bukan gitu!"
"Terus kenapa? Ada masalah apa? Nggak mungkin lo bertingkah aneh gini kalau nggak ada apa - apa!" Sentak Alvin keras. Amarahnya turut keluar melihat respon Rio yang tak ubahnya batu karang.
Sudah lebih dari tiga puluh menit mereka bicara yang itu artinya keduanya telah melewatkan waktu istirahat hingga bel pelajaran kedua namun rasanya pembicaraan ini tidak mendapatkan hasil berarti.
"Gini deh, coba kasih gue alasan kenapa gue harus nurutin permintaan lo. Satu aja" ujar Alvin lagi setelah diam cukup lama.
"Nothing"
"Oke, kalau gitu gue juga nggak butuh alasan buat nolak permintaan lo kan? Kita satu sama!"
"Ya ta... tapi nggak bisa gitu, Vin..."
"Kenapa enggak? Lo jangan denial gitu, dong! Lo sendiri yang bilang kalau lo nggak ada alasan khusus buat ngelakuin semuanya. Kenapa giliran gue balik kenyataan itu lo kayak nggak terima? Kenapa kesannya lo malah maksain kita buat ngelakuin apa yang lo mau? Gue nggak sebodoh itu kalau lo lupa!" Alvin membiarkan tubuhnya jatuh ke tanah, ternyata bicara serius dengan Rio seperti ini cukup menguras tenaga dan pikiran.
"Lo nggak bisa maksa gue ataupun yang lain buat ninggalin lo, sama kayak gue sekarang yang nggak bisa maksa lo buat cerita apa yang mendasari kelakuan ajaib lo meskipun gue udah memohon mati - matian" tutup Alvin yang lagi - lagi harus menelan pil pahit lantaran sosok yang diajaknya bicara tidak menunjukkan respon berarti bahkan saat Ia akhirnya memilih untuk beranjak dari posisi mereka sekalipun.
Seketika, Alvin merasa setengah dunianya runtuh di depan mata.
Rio jelas mengacuhkannya.
Rio bahkan tidak menahannya seperti yang biasa dia lakukan.
***
"Malam, cantik..." Rio tersenyum senang mendapati Ify yang beru turun dari kamarnya dengan setelan baju tidur bergambar kelinci kebesaran yang membuat gadisnya terlihat sangat menggemaskan.
"Kamu kemana aja sih? janjian di kantin kok malah ngilang sampai jam pulang, nggak tahu orang panik apa!" Ify mengeluarkan unek - unek yang disimpannya sejak tadi dengan mengomel panjang, mengacuhkan Deva yang tengah menonton televisi tidak jauh dari posisinya sekarang, yaa salah dia sendiri memilih nonton disitu bukan?
"Maaf ya, tadi ada urusan mendadak sama Pak Dedi dan Tim."
"Ke Kantor Ayah Marcel?"
Rio mengangguk, lebih tepatnya mengiyakan alibi yang diyakininya mampu membuat gadis itu tidur nyenyak malam ini. Mau bagaimana lagi, dia tidak sampai hati jika harus jujur pada Ify perihal serangan fajar di sekolah tadi dan apa saja yang harus dilakukannya seharian ini di rumah sakit.
"Ih, gimana sih. Bukannya kata Pak Dedi kamu udah bisa cuti mulai bulan ini, kenapa malah jadi sok sibuk begitu! bukannya isi kontrak udah deal?" Ify ngomel lagi.
"Namanya juga mendadak, sayang. Mana bisa di prediksi dan lagi aku masih ada tanggung jawab di proyek itu, jadi aku harus turun tangan bareng yang lain" Rio mencoba menjelaskan dengan harapan Ify akan percaya dan tidak memperpanjang obrolan. Ia menghela nafas lega melihat gadisnya mengangguk.
"Oiya, ini aku bawain pangsit goreng Mang Ujang, tadi ketemu di jalan depan" Rio meraih bungkusan yang sebelumnnya dia letakkan di bawah meja, menyodorkannya pada Ify yang diterimanya dengan wajah cerah, tahu aja kan dia kalau Ify belum makan gara - gara mikirin pacarnya yang nggak bisa dihubungi.
"Wuuah, tahu aja aku lagi laper, kamu tunggu sini ya, aku mau siapin dulu kita makan bareng" sahutnya semangat.
Rio meraih lengan Ify saat gadis itu hendak beranjak meninggalkan sofa kemudian menggeleng pelan, "Kamu ajak Mama, Papa sama Deva aja ya, aku sekalian mau pamit pulang. Udah malem juga..."
"Yaah, makan dulu dong"
"Aku masih kenyang, sayang. kasihan juga Pak Dedi udah nungguin, tadi aku cuma pamit sebentar nganterin makanan."
Ify merengut ditempat "Lo pacar gue apa abang ojol sih, dateng nganter makanan doang! ngajakin kencan kek, jalan - jalan kek!"
"Multitasking, sayang"
"Terserah deh!"
"Besok aku jemput deh, terus siangnya kita jalan - jalan kemanapun kamu mau, gimana?"
"Bukannya besok jadwal kamu radiasi? jangan ngaco ih!"
"Jadwalnya kan malam, Fy. Jadi masih bisa lah kalau nganterin kamu beli eskrim dulu biar kamu nggak ngambek"
Ify menggeleng tegas, "Nggak, nggak ada. kamu harus save tenaga kamu biar pulihnya cepet. nggak ada ya jalan - jalan segala macem!"
Rio menyentil dahi Ify gemas, memberantakkan poni yang menjuntai di depan wajah gadisnya yang belum berhenti merajuk. "Iya, Iya. kamu udahan dong ngambeknya, kasian tuh si Deva nahan ketawa liat kamu kayak gini" lanjutnya sambil melirik Deva yang sudah mematikan televisi dan kini berjalan kearahnya.
"Emang nasib gue kali ya, kak punya sodara udah SMA tapi kelakuan masih kayak bocah, doyan ngambek, doyan marah - marah. Kok lo bisa betah sih pacaran sama dia, Kak?"
"Ngomong lagi gue sambel lo!" Itu suara Ify.
Rio menahan diri untuk tidak tertawa melihat perdebatan kakak beradik itu.
"Ah, kamu belain aku dong!" Ify merajuk lagi.
Tuh, kan?
Rio merangkul Ify yang hendak menyusul Deva lalu memainkan surai hitamnya sejenak, "Udah, udah. Aku pulang ya, kamu ajak yang lain makan nanti keburu dingin"
Ify mengangguk sebagai jawaban meski sebenarnya dirinya tidak rela Rio pulang secepat itu, "Bilang Pak Dedi hati - hati bawa mobilnya, kabarin kalau udah sampai rumah"
"Iya"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top