32 - Demi Seseorang yang Dicintai

Lapangan indoor Cakrawala kembali menjadi saksi permaianan dua manusia yang jiwa basketnya sudah mendarah daging yang tentu saja akan booming jika kabar ini sampai terdengar keluar gedung Cakra. seyogjanya, akan sangat wajar jika kita melihat seorang Kapten basket Sekolah melakukan permaianan One and One dengan salah satu anggota timnya dengan berbagai alasan yang tetap bisa dianggap relevan meski mungkin terdapat beberapa faktor yang tidak masuk akal.

Seperti yang terjadi di lapangan indoor Cakrawala hari ini, siapa sangka saat ini tengah terjadi pertandingan tunggal antara Kapten basket Cakrawala bersama Pelatih kebanggaan sekolah tercinta, siapa lagi kalau bukan Pak Duta.

Bukan tanpa alasan, pertandingan yang dilakukan one and one tanpa penonton apalagi supporter merupakan sebuah harga yang harus dibayar demi kata mufakat dari kedua belah pihak atas permintaan kapten basket cakrawala yang mungkin akan dinilai gila oleh orang kebanyakan.

Sebagaimana pemain professional semakin lama pergerakan keduanya semakin kompleks saja. Berkali - kali Pak Duta menguasai bola dan mencetak angka dalam 30 menit ini sementara Rio yang juga tak mau kalah skor beberapa kali mengecoh perhatian lawan mainnya demi mencetak angka untuknya agar bisa mempertahankan permainan.

Brukk...

Lagi, Rio berhasil mencetak skor meski jaraknya dengan lawan tidak terlalu jauh, strategi yang mumpuni tentu berhasil menghipnotis siapapun termasuk Pak Duta yang beberapa kali dibuat terkesima dengan permainan hari ini.

"Kalau saya bisa memasukkan bola ini sekali lagi, permainan kita selesai. Deal?" dengan nafas terengah dan keringat yang membasahi sekujur tubuh Rio kembali membuka suara. Mata elangnya menyipit tajam, memandangi si oranye dan Pak Duta bergantian hingga anggukan pelan sang lawan main membuatnya menyunggingkan senyum penuh arti. Tidak ingin membuang waktu, segera saja Ia melemparkan si oranye yang masih berada dalam kendalinya dengan hitungan dalam hati semoga usahanya tidak meleset kali ini.

Swwiiing...

Benda bundar itu mulai berputar cepat sesampainya di bibir ring, cukup lama. "Ayolah, pliss... masuk, pliiss... " Rio berdoa dalam hati karena semakin lama putaran di bibir ring mulai memelan dan tidak kondusif sampai kemudian dug...dug...dug... si oranye berdentum merdu ketanah setelah sebelumnya berhasil memasuki ring dengan gerakan yang indah dan mulus.

"Haaah!" Rio memejamkan mata guna menghalau pening yang belum mau hilang meski perasaan lega nampak jelas di wajahnya yang mulai kehilangan rona. bohong, jika dengan kondisinya sekarang dia bisa bermain dengan kekuatan prima seperti dulu, apalagi menghadapi lawan sekelas Pak Duta yang mana beliau adalah pelatih yang kompeten di bidangnya.

"Are you okay, Capt?"

Rio mengangguk tak kentara sesaat setelah suara sopran Pak Duta mengisi keheningan yang tercipta cukup lama diantara kedua pemain yang masih berupaya mengembalikan tenaga yang terkuras selama mereka bermain.

"Jadi bagaimana, Pak? Apakah permintaan saya sudah bisa diterima?" Tak ingin membuang waktu, Rio memutar badan pada Pak Duta yang duduk tidak jauh dari tempatnya dan menanyakan kembali keputusan sang pelatih atas permintaan yang sempat dia lontarkan beberapa hari yang lalu kepada belaiu yang juga menjadi wasilah terlaksananya permainan hari ini.

"Dengan pertandingan kita tadi, Bapak bisa lihat strategi dan cara kamu mengendalikan permainan masih sangat dibutuhkan di tim. dan bapak pikir kamu masih bisa menggunakan hak veto untuk tetap memimpin latihan tanpa harus turun kalau kamu mau, gimana?"

"Maaf, Pak. Tapi keputusan saya sudah bulat. saya juga sudah menyanggupi tantangan Bapak. Bukankah seharusnya kesepakatan kita sudah selesai?"

"Iya, tapi..."

"Saya mohon, Pak. Sekali lagi saya mohon pertimbangan bapak sebagaimana pembicaraan kita sebelumnya" Rio berusaha meyakinkan Pak Duta dengan berbagai cara meski tak bisa dipungkiri jika dirinya juga terluka, lebih parah malah. Tidak pernah terbesit sedikitpun di benaknya jika dia harus melakukan hal besar ini.

Tapi dia tidak punya pilihan lain.

"Uhuuk... uhukk" Refleks, Rio membungkuk dengan satu tangan memijit pelan bagian depan tubuhnya yang lagi - lagi terasa nyeri.

"Rio? Kamu nggak apa - apa, Nak?"

Rio menggeleng.

Payah! bahkan belum ada satu quarter penuh Ia bermain dirinya sudah kelelahan. kalau begini terus bagaimana dia bisa menerima mandat hingga masa jabatannya selesai? sungguh, kali ini dia tidak siap mendapati perselisihan anggota tim jika tiba - tiba dia menghilang seperti hari itu, dia sudah tidak punya siapa - siapa, tidak ada lagi pemain ataupun kapten sementara yang akan turut serta dalam latihan seperti yang pernah Cakka lakukan. Dan semua itu terjadi karena kebodohannya sendiri.

"S... saya pamit pulang, Pak."

"Bapak yang antar kamu pulang."

"T... tapi..."

"Saya antar kamu pulang atau saya panggil orang tua kamu untuk menjemput kamu kesini!"

***

Agni menatap pedih siluet tubuh Cakka yang beberapa hari ini tampak tidak secerah biasanya. Bertahun - tahun dia mengenal laki - laki itu, baru kali ini dia melihat Cakka yang begitu rapuh, Cakka yang mudah kalap, Cakka yang emosinya cepat meledak hanya karena hal - hal sepele namun disaat yang sama Ia justru tampak menyedihkan.

Cakka yang dikenalnya adalah sosok yang kuat, tangguh, meskipun agak cuek dan masa bodoh dengan urusan orang lain, baginya Cakka tetaplah laki - laki istimewa yang mampu memberikan kenyamanan dan perhatian yang begitu besar dengan caranya sendiri. Sungguh, Agni tidak menyangka dia akan kehilangan sosok Cakka hanya karena sebuah kesalahpahaman yang bagaimanapun dia coba memikirkannya, seharusnya tidak menjadi sebesar ini.

"Kka..." Interupsi Agni setelah cukup lama diam memandangi Cakka dari pintu samping yang menghubungkan mereka dengan dapur dan ruang makan keluarga.

"Nih, minum dulu" lanjutnya setelah Cakka menoleh tanpa menanggalkan senyumnya, meski tipis setidaknya Agni tahu Cakka berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan kepedihannya meski sejatinya Agni bisa merasakan semua itu karena dia sudah tahu detail masalahnya lansung dari sang tuan rumah.

"Makasih ya, Ag..." Agni mengangguk sebagai jawaban.

Detik berikutnya, Agni memilih duduk di samping Cakka, menepuk perlahan punggung tangan Cakka yang terasa dingin di telapak tangannya. "Apapun yang ada dipikiran kamu sekarang, aku tahu kamu bisa, aku yakin semuanya akan baik - baik aja kok. Aku disini buat kamu, aku tahu kamu kuat. Okey?"

"Apa menurut kamu Rio sengaja ngehindarin aku? Tadi aku lihat dia jalan ke lapangan indoor, udah aku kejar aku teriakin tapi dia nggak ada noleh sama sekali padahal aku yakin banget dia denger, dia tahu aku lagi ngejar ta... tapi... di... dia -"

"Sssst, udahlah nggak apa - apa. Nggak usah terlalu dipikirin ya?"

"Nggak bisalah, Ag. Gimana caranya aku nggak mikir sementara kamu tahu semakin lama masalah ini dibiarin, persahabatan aku taruhannya!" rasanya Cakka ingin berteriak pada semesta, mengadu pada dunia yang dengan mudah mempermainkan hidupnya, Ia dibuat kecewa, putus asa dan hilang kepercayaan hanya dalam satu malam.

"Sabar yaa... Aku tahu ini berat, Tapi sayangnya aku nggak bisa apa-apa. Kamu tahu sendiri Ify juga nggak banyak bicara akhir - akhir ini..." Agni berusaha menghibur Cakka, memberi kekuatan agar lelaki yang dicintainya menjadi lebih tenang.

"Ya, Aku cuma nggak habis pikir aja, kenapa Rio sampai hati ngelakuin ini. Emang salah aku apa? Kurang baik apa aku sama dia? Aku udah pertahanin tim basket selama dia sakit, demi apa coba? Aku susah payah ngenalin dia sebagai kapten basket Cakrawala di depan anak - anak kelas 10 sampai mereka mikir aku nggak kompeten cuma gara - gara dia nggak muncul di pertandingan. Dan apa yang gue dapet sekarang? Dia malah bilang dia mau lupain semuanya! Dia maksa kita buat nerima semuanya gitu aja! Gue beneran nggak ngerti lagi jalan pikiran dia kayak apa!" rancau cakka frustasi. Ia menarik rambutnya kasar, kepalanya terasa mau pecah.

"Kka..." Agni menepuk pundak kekasihnya perlahan

"Gue harus gimana, Ag. Gue bingung, Gue takut... Gue-

"Semuanya butuh waktu, Cakka. Nggak ada salahnya kan, kalau kamu ngasih dia waktu, siapa tahu nanti Rio berubah pikiran"

"Tapi, gimana kalau-

"Positif Thinking, Kka. Kamu harus percaya sama dia. Sama, Seperti aku percaya sama Ify."

"Hah? Gimana, Ag? Aku nggak ngerti"

Astaga! Agni menepuk pundak Cakka frustasi, ini semua orang pada kenapa sih? seberat inikah masalah kali buat Cakka sampai membuatnya tidak bisa berfikir jernih. kemana Cakka dan ide briliannya itu pergi.

'Sekarang gue ngerti kenapa lo mati - matian ngebelain Cakka waktu itu. Gue bisa lihat sendiri sekarang, seberapa fatal efek permintaan lo buat Cakka. gue juga tahu lo sengaja ceritain hal ini ke gue supaya gue bisa datang disaat yang tepat. iya kan? gue nggak nyangka ternyata seperhatian itu lo sama kita, lo bahkan peka dengan sesuatu yang hilang di mata gue'

***

Rio meringis saat lagi-lagi kepalanya berdenyut hebat, demamnya belum turun sejak tadi siang, ditambah sekarang perutnya terasa perih. Dia berguling - guling di kasur dengan tangan sibuk meremas bagian yang sakit, berharap dengan demikian serangan ini bisa berkurang. namun, bukan membaik golakan di lambungnya malah semakin menjadi.

"Ughh..." Rio menutup mulutnya bersamaan dengan mual yang datang tanpa ampun, seperti ada tangan raksasa yang sengaja mengaduk lambungnya hingga dadanya terasa panas dan sakit. Cepat saja dia beranjak turun dan berjalan ke kamar mandi, takut muntah di tempat tidur.

"Hueeek...."

"Hueeekkk..."

"Uhhhuk... uhuuk... huueek..."

"Hueekk..."

Rio membungkukkan badan dengan tangan berpegangan pada dinding, berutung dia sempat menutup pintu sehingga suaranya tidak akan terdengar terlalu keras dari luar.

Bu Manda baru saja pamit keluar untuk menyiapkan makan malam setelah cukup lama menemaninya yang kembali tumbang sejak tadi siang. Dia tidak ingin membuat beliau khawatir, terlebih jika bundanya harus melihatnya kesakitan seperti ini.

Cukup lama dia berjongkok hingga badannya bersandar penuh pada dinding kamar mandi karena kehabisan tenaga. "Aww, kok tambah sakit sih, padahal udah habis semua isi perut gue" Rio kembali meremas perutnya yang nyeri seraya mencoba berdiri, sekuat tenaga dia berusaha menahan bobot tubuhnya diatas kaki yang gemetaran. Perlahan dia melangkah keluar menuju ranjang yang terasa ratusan meter jauhnya.

Dia membaringkan tubuh sesampainya di ranjang, perutnya masih sakit seperti di remas - remas, kepalanya juga memberat, namun masih bisa dia tahan. Serangan kali ini tidak seberapa dibandingkan dengan kondisinya pasca treatmen kedua yang dijalaninya beberapa minggu terakhir.

Setidaknya hari ini dia masih bisa bangun dari tempat tidur.

Sudah seharusnya Ia bersyukur Tuhan masih memberinya waktu untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah dia mulai.

Tok...
Tokk...
Tokk...

"Sayang, Mama masuk ya?"

Rio memiringkan kepala, tersenyum menatap Bu Manda yang berjalan ke arahnya dengan baki berisi makanan dan segelas susu.

"Makan dulu yuk, abis itu diminum obatnya"

"Enggak deh ma, mual..." Rio memasang wajah terbaiknya demi bisa merayu sang bunda. Bisa gawat kalau perutnya jadi tambah sakit dan makanannya malah tidak bisa masuk.

"Ya dipaksa dong sayang, kalau nggak mau makan kapan sembuhnya"

"Tapi...."

"Dikit aja kok, mama suapin ya?"

Rio mengangguk pasrah, bagaimana mungkin dia bisa menolak permintaan perempuannya yang paling berharga, selagi dia masih sanggup kenapa tidak dimanfaatkan saja kesempatan ini untuk bisa bermanja ria bersama sang bunda. iya kan?

Rio menerima setiap suapan dari Bu Manda dengan usaha keras agar bubur itu dapat masuk ke dalam tubuhnya dengan lancar meski hanya bertahan hingga tiga suapan saja. selesai makan dan minum Obat Rio kembali berbaring, memberikan waktu pada Bu Manda yang tengah membasuh wajah Rio dengan kain.

"Sayang?"

"Iya, Ma..."

"Kamu berantem sama Gabriel?"

Rio refleks memejamkan mata mendengar pertanyaan sang bunda. Sekentara itukah masalah yang dia timbulkan hingga Bu Manda bisa dengan mudah membaca suasana yang lebih mencekam daripada film horor yang sering dia tonton. lantas? apa yang harus dia lakukan sekarang? pembelaan seperti apa yang bisa menahan rasa ingin tahu sang bunda jika kini beliau sudah bertanya sedemikian rupa? Rio harus apa?

"E... ee... itu cu... cuma masalah kecil aja kok, Ma. Mama nggak usah khawatir"

"Alvin sama Cakka juga? Sebenarnya ada apa sih sayang? kenapa kalian kompak banget nggak ada yang mau cerita sama Mama?"

"Bukan gitu, Ma..."

Skakmat!

Rio menelan salivanya dengan susah payah, setelahnya dia kembali bungkam. Bagaimana bisa dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi jika hal itu justru akan memperburuk situasi mereka saat ini.

"Rio cuma pengen lihat orang - orang yang Rio sayang bahagia, Ma. Rio mau mereka survive tanpa harus repot ngurusin Rio yang udah mau mati. Udah terlalu banyak yang mereka korbanin buat Rio. Rio cuma mau balas budi, Ma... udah saatnya Rio yang berkorban buat orang - orang yang Rio sayang."

Bu Manda mengelus kening Rio penuh kasih sayang, sengaja beliau tidak memotong perkataan putranya meski sejatinya Beliau sangat ingin melakukan itu. "Kamu jangan ngomong yang aneh - aneh sayang. Sekalipun kamu tidak pernah bikin Mama repot karena sudah menjadi kewajiban Mama untuk merawat anak - anak Mama, terlebih kamu sayang,"

"Mama masih harus menebus ketidakhadiran Mama setelah membawa Kak Iyel ke paris hari itu. sebelum ataupun sesudah Mama tahu kalau semua ini sudah direncanakan oleh Papa Marcel, tetap saja Mama merasa bersalah karena sudah meninggalkan jagoan kecil Mama dan membiarkan dia tumbuh sendirian"

Rio menggeleng pelan menjawab cerita panjang sang Bunda, baginya beliau adalah ibu paling baik sedunia. tidak ada kata yang mampu mewakili betapa bahagianya Rio sebagai anak yang telah dilahirkan dan dibesarkan oleh sosok ibu yang begitu dia banggakan.

Ingin rasanya Rio bisa menunjukkan baktinya sebagai seorang anak dengan senantiasa membahagiakan sang bunda dengan apapun yang dia punya, menemainya hingga Beliau menua, bersama - sama menikmati masa - masa indah sebuah keluarga selayaknya yang orang - orang idamkan. Tapi dengan keadaannya sekarang, dia sangsi bisa melakukan semuanya.

Hhh...

Rio menghela nafas berat, lagi - lagi kepalanya berdenyut sakit, dadanya sesak hingga membuatnya sulit bernafas. bibirnya gemetaran menahan sakit.

"Arrgh..." Rio mengerang tertahan tidak kuat menahannya lagi, dia menjambak rambutnya kuat - kuat, kepalanya sakit bukan main, seperti ada dinamit yang siap meledak di dalam kepalanya, tubuhnya terus bergerak gelisah, mencoba menghalau rasa sakit yang tidak mau hilang."

"Ya allah, Rio. Sayang, Kamu nggak apa - apa, Nak?" Bu Manda yang panik segera mengangkat kepala Rio dan meletakkannya dalam pangkuannya. "Maafin Mama ya, nak. gara - gara pertanyaan Mama yang nggak penting kamu jadi kesakitan begini"

Rio menggeleng tanpa suara, nafasnya memberat. pandangannya mengabur hinga beberapa menit berikutnya dia merasa seluruh tubuhnya seperti diangkat paksa dan setelah itu dia tidak mengigat apa - apa lagi.

Ya tuhan...

Rio capek...

Rio mau berhenti aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top