31 - Sebuah Salam Perpisahan
Gabriel mengganti boxer tidurnya dengan training panjang, meraih jumper army dibalik pintu dan memakainya tergesa, masa bodoh jika sekarang dia tanyang tampak kebesaran di badannya pintu lalu memakainya tergesa. Selesai bersiap Ia meraih daun pintu kemudian melangkah keluar sebelum Ray mengomel lebih panjang lagi dari ruang tamu.
"Mau jongging apa kencan buta sih lo! Lama banget!"
Tuh, kan?
Gabriel menyugar rambutnya sambil berjalan menuruni tangga, mengacuhkan Ray yang semakin gondok karena aksi protesnya tak dianggap.
"Selamat pagi, Mama sayang..." Gabriel memeluk Bu Manda dari belakang sesampainya di bawah, menghadiahkan kecupan lembut di telapak tangan beliau yang tengah membantu Bi Inah merapikan meja makan.
"Kak, gue lagi ngomong sama lo ya!" tak mau kalah Ray ikut mendekat kearah meja makan, melanjutkan aksinya yang masih tanpa balas.
"Aku sama Ray pergi dulu ya, Ma... keburu ngambek tuh perawannya mama" pamitnya kemudian yang seketika mendapat protesan kedua dari Ray yang belum beranjak dari posisi semula.
"Awas lo!" Ray melanjutkan aksi protesnya
Gabriel tergelak seraya mengarahkan perhatian ke meja makan yang pagi ini tampak lebih penuh dari biasanya, ada nasi goreng telur, bakwan, tumis kangkung, udang rica - rica, buah - buahan, kue dan hidangan lain ala Mamanya dan Bi Inah semakin menggugah selera, rasanya tidak sabar untuk bisa menggoyang lidah bersama selepas olahraga nanti. "Woah, Mama masak besar nih ceritanya, mau ada tamu ya, Ma?"
Bu Manda menoleh sebentar, tersenyum penuh makna kemudian melanjutkan aktifitas beliau membantu Bi Inah di dapur. "Adadeh, pokoknya Mama tunggu kalian di rumah ya, oke?"
"Siap, komandan"
___
Rencana jogging pagi Ray dan Gabriel berubah menjadi sesi curcol lantaran sepanjang jalan ke taman komplek Ray malah sibuk bercerita sementara Gabriel pasrah menjadi pendengar, beberapa kali keduanya terlibat obrolan seputar basket, pelajaran sekolah dan yang pasti soal cewek alias percintaan.
Gabriel menanggapi obrolan searah dari Ray dengan santai dan alakadarnya sampai kemudian pembicaraan mereka berubah serius saat Ray tiba - tiba teringat tentang DVD yang ditemukannya di tumpukan buku pelajaran beberapa hari lalu.
"Gue nemu itu DVD pas lagi beresin buku sekolah, karena nggak ada sampulnya ya gue pikir nggak penting jadi gue simpan gitu aja di laci. sampai kemarin gue iseng buka DVD itu di laptop dan isinya kek dokumenter gitu"
"Seinget gue sih, gue nggak punya kaset begituan" Gabriel tampak kebingungan.
"Apa mungkin punya Kak Rio? Kak Cakka sama Kak Alvin kayaknya nggak mungkin masuk kamar gue, apalagi sampai ninggalin barang gitu aja" Ray kembali mengingat kebiasaan kecil yang sering mereka lakukan saat ada waktu senggang. "Gue nggak nonton sampai selesai sih, jadi binggung juga sebenernya itu kaset punya siapa, yang jelas sih itu punya lo berempat"
"Tinggal tanyain aja kan?"
Ray mengangguk polos.
"Gue sms si Alvin sama Cakka deh suruh kerumah, biar jelas semuanya" tutup Gabriel setelah terdiam cukup lama, memainkan ponselnya sebentar untuk menghubungi Cakka dan Alvin sesuai rencana.
"Ide bagus, yaudah balik yuk? laper gue" ujar Ray mengalihkan pembicaraan setelah di rasa pembahasan ini tidak bisa dilanjutkan sekarang.
"Hayuk lah"
___
Bu Manda menuangkan air putih di masing - masing gelas yang sudah beliau siapkan sambil mengobrol ringan dengan sang putra yang akhirnya kembali setelah beberapa waktu disibukkan dengan berbagai urusan. sesekali Pak Tama ikut tertawa saat Bu Manda menceritakan beberapa peristiwa konyol yang terjadi selama Rio tidak pulang sampai langkah seseorang menginterupsi obrolan mereka.
"Assalamualaikum, anak ganteng pu- Kak Rio? Wuuah, lo udah balik!" Ray lansung heboh begitu membuka pintu dan menemukan Mama dan Papanya sedang mengobrol dengan sang kakak yang sudah seminggu lebih tidak pulang karena ada urusan pekerjaan.
Setidaknya itu yang Ray dengar dari Pak Tama beberapa waktu lalu.
Beres menyalami kedua orang tuanya Ray beranjak memeluk Rio sebentar yang dibalas tepukan pelan dari sang empunya badan. "Kok gue kangen ya sama lo, biasanya juga enggak" ujar Ray menggoda. Hatinya berdesir merasakan tepukan pelan di punggung yang entah kenapa kali ini terasa lain.
"Gue juga kangen kok" Rio tersenyum sebagai jawaban, fokusnya kini beralih pada Gabriel dan dua orang yang mulai masuk ke dalam rumah, menyalami Papa dan Mamanya kemudian duduk di bangku yang kosong setelah dipersilahkan sang tuan rumah.
"Pagi tante..." sapa Cakka ramah
"Pagi ganteng, pas banget Tante abis masak banyak nih, awas loh kalau nggak dihabisin"
"Siap, Tante. Kebetulan Cakka juga belum sarapan... Iyel dadakan sih nyuruh kesininya" Cakka malah curhat yang seketika mendapatkan jitakan mulus dari Gabriel
"Modus lo!"
"Suka - suka dong"
"Yaudah, nanti dilanjut lagi ngobrolnya, sekarang kita makan dulu yuk, keburu dingin" Intrupsi Bu Manda setelah menyiapkan peralatan makan tambahan untuk Cakka dan Alvin yang baru datang, selanjutnya beliau mulai menuangkan nasi dipiring Pak Tama dan lima jagoan yang kini berkumpul di meja makan, menanyakan lauk apa yang mereka mau sebelum mengambil piring lain untuk dirinya sendiri, sinaran bahagia terpancar dari wajah beliau, menikmati kebersamaan yang tidak setiap saat dapat dirasakan membuat hubungan mereka terasa begitu dekat sekarang.
Detik berikutnya suara logam terdengar saling beradu, menciptakan harmonisasi yang mengisi diantara kekosongan obrolan karena masing - masing tengah menyantap hidangan mereka dengan nikmat.
Rio berusaha menikmati sarapan bersama pagi ini meski tidak seindah biasanya, jarak yang semakin jauh terasa semakin sulit untuk dihancurkan.
Dia sadar, waktu tidak akan mau berdamai dengan siapapun dan dia tidak ingin menyesal karena melewatkan momen yang akan dirindukannya suatu hari nanti.
Selesai sarapan, Bu Manda membantu Bi Inah membereskan meja makan, Pak Tama melanjutkan pekerjaan di ruangannya. Sementara Gabriel mengajak empat orang tersisa ke movie room setelah menjelaskan sekilas perihal DVD yang di temukan Ray dan tujuannya memanggil Cakka dan Alvin kemari.
Rio turut berangkat demi mengikuti permintaan Ray meski sejatinya dia sudah tahu DVD apa yang dimaksud Gabriel.
Bagaimana tidak?
DVD itu memang sengaja dia tinggalkan disana dengan harapan Ray akan menemukan pesan itu nanti, saat dia benar - benar tidak mampu lagi menembus jarak yang semakin sukar setiap harinya. Akan tetapi kenyataan berkata lain, Ray menemukan benda itu lebih cepat dari perkiraannya yang artinya mau atau tidak Rio harus siap dengan apa yang akan terjadi setelah mereka melihat isi di video itu.
Ah, khusnudzon aja! mungkin ini cara Tuhan agar masalah diantara mereka cepat selesai termasuk keinginannya untuk pergi demi tidak menambah penderitaan orang - orang yang dia sayang.
Setidaknya, jangan biarkan mereka bersedih terlalu lama. Tuhan...
---
Hening mendominasi ruangan kedap suara bernuansa pastel yang berada diujung lorong sejak Layar hitam besar disana mulai menampakkan isi video yang di awali dengan munculnya Cakka di sepanjang koridor Cakrawala dengan langkahnya yang khas sambil sesekali menggoda para gadis yang sibuk bersalting ria saking terpesonanya. Ah. dia baru sadar jika semakin hari fansnya semakin bertambah.
"Anjir, ini siapa sih yang iseng? kalau si Agni liat bisa gaswat nih rumah tangga" komentar Cakka menggebu.
"Agni mah udah khatam lo kayak gimana, Cakk!" sahut Gabriel seadanya.
"Palingan diputusin" sela Alvin cepat.
"Diam nggak lo, Vin!"
"Hhahahah..." Alvin yang hari ini memilih duduk di sofa tergelak melihat respon Cakka yang malah mencak - mencak. pasalnya belakangan ini hal seperti itu jarang sekali terjadi.
Namun sayang, keseruan mereka bertiga tidak berlansung lama karena beberapa menit berikutnya slide yang muncul di layar cukup untuk membuat semuanya terdiam.
Kolase foto berdurasi kurang dari 5 menit itu seolah membawa mereka semua kembali dimana saat itu persahabatan mereka sedang indah - indahnya, saat pertama kali Rio memutuskan untuk kembali percaya pada sang kakak dan berusaha menerima keluarganya yang baru. Kembalinya tim basket Cakrawala, olimpiade bersama ke berlin dan banyak kebersamaan lain yang tidak akan cukup meski diwakilkan oleh jutaan foto sekalipun.
"Ini siapa sih yang ngiris bawang disini, so sweet banget. ada yang mau ulang tahun apa ya?" Interupsi Ray yang seketika membawa atensi para cowok ada terutama Cakka yang reflek melempar bantal ke si empunya suara.
"Kebanyakan nonton youtube ya lo!" Komentar Cakka sakartis.
"Ini tuh lagi ngetrend, tahu nggak lo!"
"Ya, iya. Tapi jadi ngeri kalau lo yang ngomong!"
"Yaudah sih, jadi intinya video ini punya siapa? siapa yang niat banget bikin ginian? Udah kayak salam perpisahan aja!"
Jleb...
Tanpa komando dua manusia yang sejak tadi betah diam menoleh kearah Cakka yang tampak tidak jauh berbeda. Ketiganya saling tatap tanpa suara, mengacuhkan Ray yang masih terkesima dengan potongan video itu. Keheningan kembali menjadi teman hingga dentingan piano mulai terdengar bersamaan dengan munculnya siluet seseorang dari layar.
Berjanjilah wahai sahabatku
Bila kau tinggalkan aku
Tetaplah tersenyum
Meski hati pedih dan menangis
Ku ingin kau tetap tabah
Menghadapinya...
Alvin memandang siluet seseorang yang tengah berdiri menyamping di kamera, meski gelap mendominasi ruangan dimana video itu diambil namun suara dan gestur tubuh itu tentu dapat dikenalnya dengan baik.
Persahabatan mereka memang sedang renggang, tapi bukan berarti Rio bisa bertindak sejauh ini. Setelah satu minggu menghilang dan kembali dengan sikap berbeda, ditambah pertunjukan video dokumenter begini? apa - apaan sih dia! kurang kerjaan apa gimana?
Bila... kau harus pergi
Meninggalkan diriku
Jangan lupakan aku...
Gabriel paham, bukan hanya dia yang sakit hati disini. Alvin, Cakka dan bahkan Rio pasti merasakan hal yang sama saat keadaan memaksa mereka untuk bertingkah seolah tidak peduli. Gabriel paham, idenya mengacuhkan Rio demi membuat sang adik menyadari kesalahannya tak berdampak baik. Bukannya apa, tapi menghilangnya sosok itu dalam beberapa minggu terakhir cukup untuk menjawab akan di bawa kemana persahabatan mereka saat ini.
Sulit untuk merelakan, namun maksud dari video itu tak bisa dinafikan begitu saja. Bagaimanapun juga satu - satunya cara adalah mereka harus bicara dari hati ke hati sebelum semuanya terlambat.
Semoga dirimu disana
'Kan baik - baik saja
Untuk selamanya
Disini aku kan selalu
Rindukan dirimu
Wahai sahabatku...
Cakka yang berada paling dekat dengan Ray segera mengkode adik sahabatnya itu untuk memberi mereka waktu bicara, beruntung Ray tanggap dan menuruti permintaan Cakka tanpa bantahan. Cakka berjalan dibelakang Ray, menguci pintu sesaat setelah Ray benar - benar meninggalkan movie room.
"Brakk!" Gebrakan di meja utama sejatinya tidak begitu keras, namun keheningan yang tercipta sepersekian detik lamanya membuat gerakan tak seberapa dari Cakka sukses mengalihkan atensi tiga pemuda yang masih betah diam.
"Mau sampai kapan kita kayak gini terus?"
"Lo semua nggak capek apa hah!"
Cakka melangkah cepat mendekati tempat dimana Rio duduk lalu dalam satu gerakan Ia memaksa badan itu untuk bangkit dengan menarik kuat ujung kaos sahabatnya.
"Bangun!"
"Gue butuh penjelasan lo!"
"Jangan kasar dong, Cakk!" Alvin meraih lengan Cakka guna melepaskan cengkraman lelaki itu pada kaos Rio yang bahkan tidak melawan saat ini.
"Ini orang pikirannya udah nggak bener, Vin!"
"Kita bisa bicara baik - baik, oke." putus Alvin kemudian.
Cakka menghela nafas pasrah, mengambil tempat duduk di seberang Rio bersama Gabriel yang baru saja beranjak dari posisi sebelumnya.
___
"Yo..."
"Sampai kapan kita harus nunggu."
Rio memandang datar tiga wajah lain di hadapannya, apa lagi yang harus dijelaskan? bukankah semuanya sudah sangat gamblang, dia sudah mengutarakan semuanya di atap Cakrawala siang itu, apakah masih belum cukup?
"Gue rasa semuanya udah cukup jelas. nggak ada lagi yang perlu gue omongin" Rio membuka suara.
"Nggak! nggak bisa! gue butuh penjelasan lain. Gini deh, coba lo kasih tahu gue kenapa lo harus berhenti. kenapa lo harus ninggalin kita" Cakka menyahut cepat begitu Rio membuka obrolan. baginya semua yang sedang terjadi dalam persahabatan mereka hanyalah salah paham, jadi sudah seharusnya Rio tidak bertindak sejauh ini bukan?
"Lo marah sama kita? lo marah karena kita nyuekin lo waktu itu? kan gue udah jelasin semuanya! gue juga udah minta maaf, nggak usah baperanlah, Yo! serem tahu nggak!"
"Bukan soal itu, gue emang salah banget sama kalian, gue tahu. jadi wajar kalau kalian marah atau mungkin benci sama gue"
"Terus?"
"Gue nggak mau ngecewain kalian lagi, udah cukup gue bikin semuanya berantakkan gara - gara kejadian kemarin..."
Alvin menghela nafas keras. "Iya, Oke. Tapi nggak harus kayak gini kan caranya! kemarin kita cuma emosi dan gue pikir kita masih bisa mulai semuanya dari awal."
Rio menggeleng sebagai jawaban.
"Kenapa?"
"Gue mau ngelupain semuanya"
Bug...
"Brengsek!" Cakka meninju rahang lawan bicaranya hingga badan yang tidak siap di serang itu nyaris terhuyung kebelakang. Cakka memejamkan mata, menyembunyikan wajah basahnya berharap tidak ada yang menyadari hal itu saat ini, beku yang kian mendekap membuatnya tidak tahu harus merespon seperti apa, menepuk pundak sahabatnya yang lain pun begitu susah dilakukan.
"Lo pikir persahabatan kita apaan, hah!? gampang banget lo bilang lupa!"
"Gue rasa udah saatnya kalian fokus ke masa depan, udah cukup gue ngerepotin kalian selama ini, gue--"
"Bacot!"
"Otak lo kemana sih hah? bisa - bisanya lo mikir kayak gitu?!" Cakka meluruhkan badannya frustasi, bagaimanapun dia mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang Rio lontarkan rasanya sama saja, yang ada kepalanya malah mau meledak.
"I... i... ini serius? Lo nggak lagi ngerjain kita kan? Kalau iya mending bilang sekarang sebelum gue salah paham" Gabriel menginterupsi setelah cukup lama diam. Keruhnya wajah Cakka serta diamnya Alvin seolah memperjelas akan dibawa kemana obrolan ini jika tidak segera diselesaikan.
"Apa menurut lo gue lagi bercanda?"
Jleb...
"Tapi ini nggak adil buat kita, Yo! Lo nggak bisa mengakhiri semuanya gitu aja. Ini namanya egois tahu nggak!" Alvin turut menyahut meski pelan.
"Gue tahu. Tapi gue ngelakuin ini buat kalian juga. Jadi mulai sekarang, please nggak usah repot - repot jagain gue, nggak usah peduliin gue lagi meski itu nggak sengaja sekalipun, deal ya?" Rio beranjak dari posisinya setelah mengatakan kalimat panjang yang dia sendiri tidak yakin bisa melakukannya atau tidak. Tapi sekuat tenaga Ia berusaha bersikap tenang, berbeda dengan tubuhnya yang mulai berontak.
"Lo gila, ya! Gue nggak nyangka lo sedangkal itu menilai persahabatan kita selama ini!" tanpa sadar Alvin tersulut, kata - kata Rio berhasil membuat pikirannya semakin berantakkan. Kecewa sudah pasti, marah apalagi. Tapi bagaimanapun juga dia tidak bisa menuntut apa - apa apalagi jika keadaannya sudah seperti ini. Mereka semua seolah terjebak di jalan buntu sampai tidak tahu bagaimana cara untuk keluar.
"Demi kita semua, Vin..."
"Gue nggak ngerti jalan pikiran lo! Permisi" Alvin menggelengkan kepalanya sebagai jawaban kemudian berlalu meninggalkan movie room tanpa menunggu persetujuan tiga tubuh lain yang sibuk dengan pikiran mereka masing - masing sampai bantingan keras terdengar seiring dengan menghilangnya Alvin dibalik pintu.
"Sumpah ya, Baru kali ini gue benci sama orang yang gue berat banget ngakuinnya karena orang itu adalah sahabat gue sendiri!" Tidak lama sepeninggal Alvin Cakka turut beranjak tanpa mengindahkan suara Gabriel yang meneriakkan kata tunggu berulang. satu - satunya hal yang dia inginkan sekarang adalah meninggalkan ruang yang membuatnya sesak, dia butuh udara, dia butuh tempat bicara.
Keheningan di movie room kembali mengurung dua lelaki yang tersisa sepeninggal dua sahabatnya yang lain.
"Lo yakin dengan semua ini? Kita masih bisa ngomong baik - baik kalau lo berubah fikiran." Gabriel membuka suara, atensinya mengarah penuh pada Rio yang hendak beranjak dari posisi semula.
"Yo..."
"Gue rasa ini yang terbaik, yel"
Gabriel berjalan mendekat, tepat didepan wajah adiknya yang menunduk tanpa suara, ditepuknya pundak lelaki yang bahkan lebih tinggi darinya itu perlahan. "Gue nggak ngerti harus ngomong apa sama lo, tapi yang jelas masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Bukannya gue ngebelain mereka atau gimana, tapi menurut gue ini sama sekali nggak logis buat kita."
"Kita udah tahu lo sakit, kita tahu proses pengobatan yang lo lakuin sampai lo radiasipun kita dateng, nggak adil rasanya kalau tiba - tiba lo jadiin sakit lo alasan untuk minta kita pergi karena dari awal kita udah tahu dan nggak pernah tuh kepikiran di otak gue Lo bakal ngomong kayak tadi"
"Oiya, satu lagi sesuatu yang menurut lo baik bisa jadi boomerang buat orang lain. Kita nggak tahu jalan pikiran orang dan gue nggak mau lo nyesel sama keputusan yang udah lo buat sendiri"
Gabriel memutuskan untuk beranjak dari sana setelah cukup lama menunggu Rio yang tak juga merespon meski mereka saling berhadapan sekarang. Gabriel pikir Rio butuh waktu untuk merenungi semuanya, lagipula dia juga harus memastikan sesuatu, buru - buru dia memainkan ponsel, mengirim pesan singkat pada dua rekan lain yang mungkin sudah pulang dirumah masing - masing.
Blammm...
***
Hai, makasih buat yang selalu stay ya...
Nggak kerasa udah sampai sini aja, boleh banget Play lagu di mulmed apalagi buat yang nggak tahu lagunya ya :)
Makasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top