25 - Lo Bukan Sahabat Gue Lagi

Mentari menyambut riang bersama kicauan burung dari arah balkon kamar, suitan merdunya laksana lagu paling indah yang tengah memanjakan para penikmatnya dimanapun mereka berada. Gabriel membuka mata perlahan saat dirasa wajahnya seperti tersorot lampu pijar besar, panas. Obsidian gelapnya menyipit, memandangi langit-langit kamar bernuansa peach di hadapannya hingga tersadar dimana dirinya berada sekarang. Dengan tenaga seadanya, Gabriel membuka mata lebih lebar, menarik kembali kesadarannya yang sempat terenggut.

Euungghh...
Dia melenguh panjang, kantuk menguasai netranya tanpa ampun seolah tidak ada hari esok untuk tidur. Dia tidak bisa mengalah, menuruti hasrat biasa jelas tidak akan ada habisnya, lagipula sekarang bukan hari libur sehingga dia harus bersiap ke sekolah.

"Vin... bangun, udah pagi" Gabriel menggoyangkan badan lain disampingnya, semalam mereka benar-benar seperti orang kurang kerjaan karena Alvin tidak bisa tidur hingga larut malam. Dia sampai lupa, siapa yang tertidur duluan, tapi yang jelas berantakkannya kamar ini menjadi bukti apa saja yang mereka lakukan semalam.

"Jam berapa sih, Yel?" itu suara Alvin

Gabriel beranjak duduk setelah kesadarannya mulai kembali, bersandar di ujung ranjang, menyempurnakan pengelihatan yang masih berbayang, "Nggak tahu, pokoknya pagi"

Alvin mengikuti gerakan Gabriel untuk bangun, mengucek matanya seperti anak kecil kemudian menarik sembarang selimut yang sejak semalam membungkus tubuh mereka. "Minggir, lo!" suruhnya saat sudah setengah duduk. "Gue mau rapihin selimut"

Seolah baru saja mendapat predikat anak teladan Gabriel beranjak begitu dari tempatnya menjadi duduk diatas ranjang yang ternyata sudah kosong. rupanya, Cakka sudah bangun dan entah dimana anak itu sekarang.

Alvin melanjutkan niat baiknya, merapikan selimut, bantal, guling kemudian menatanya di samping Gabriel, terdiam agak lama hingga kesadarannya mulai kembali. Ah, dia hampir lupa jika semalam mereka menginap dikamar sang putra mahkota, pantas kamar ini tampak jauh lebih besar dan lebih rapi daripada biasanya. masih dengan upaya menghilangkan kantuk yang tersisa, Alvin memandangi seisi kamar. seperti biasa, selain luas dan memiliki balkon yang berhadapan tepat dengan kamarnya, kamar ini selalu enak dilihat, setiap sudutnya memiliki unsur seni yang selalu membuatnya betah, paket lengkaplah istilahnya.

Tapi, tunggu, tunggu dulu...

Apa itu?

Alvin menyipitkan menyisakan sebuah garis tipis dibawah alis, berusaha menajamkan pengelihatan diantara kantuk yang masih mendominasi, karena jarak yang cukup jauh dia memilih untuk mendekat menuju sofa hijau bulat yang kini menyita perhatiannya. Ada gulungan kain besar disana, melengkung di setiap sisi sofa seperti ulat bulu, tapi ini versi besarnya.

"Ngapain coba dia tidur disini, nggak enak banget, pasti!" gumam Alvin menyentuh gulungan besar itu, membukanya asal hingga menampakkan lipatan kaki seseorang, dari postur badannya, Alvin jelas tahu siapa gerangan si ulat bulu raksasa ini, "Woy... bocah, bangun..." panggilnya menggoyang gulungan itu lumayan keras.

Hening.

"Yoooo, bangun kek! pindah kasur, sono!" Dia bergerak membuka gulungan itu sekali lagi, mengoyak selimut yang kini terasa lebih mudah untuk dibongkar, tidak butuh waktu lama untuk membukanya hingga badan si ulat bulu terlihat setengah. Dia semakin yakin dugaannya tidak salah, pundak kokoh yang kini tertelungkup membelakanginya jelas milik Rio, Bukan Cakka atau Ray yang mungkin tidur sambil jalan hingga nyasar ke kamar ini.

"Yoooo... bangun..."

"Yooo, Iyooooo..."

"Yoooo..."

"Bangun nggak lo! kebo banget sih" Alvin menggoyang pundak itu lebih keras, dua agak panik karena Rio tidak merespon apa-apa, tidak biasanya Rio susah dibangunkan seperti ini.

"YO! BANGUN WOI... UDAH PAGI..." teriaknya tak sabar.

"YO... PLEASE DEH, NGGAK USAH BERCANDA!"

--

"Lo ngapain sih, Vin! berisik ah!" Gabriel membuka matanya malas, dia nyaris tertidur sekali lagi saat inderanya berhasil menangkap omelan Alvin entah pada siapa. Dia menyerngit menatap Alvin yang berdiri membelakanginya. 'kesambet apaan sih nih orang, kek anak perawan dah!'

Gabriel beranjak dari kasur, mendekati Alvin yang sibuk dengan selimut diatas sofa.

"Lah—Ri—Rio!" Sentaknya "Kok—kenapa di- dia tidur disini sih?"

Alvin mengedikkan bahu tidak tahu "Mana pules banget lagi"

Gabriel mengambil alih kerjaan Alvin, menarik selimut di lipatan terakhir hingga terlepas, meraba pipi tirus Rio sesekali menepuknya perlahan "Yooo, Rio... Dek, bangun gih. pindah kasur sana!"

"Dek... bangun gih..."

"Riooo..."

"Yo, udah pagi tahu..." Gabriel menggoyangkan pundak Rio agak keras sama seperti yang Alvin lakukan, meletakkan selimut yang tadi dipegangnya sembarangan kemudian beranjak ke sebelah kiri sofa, meluruskan kaki adiknya agar tidak kram saat bangun nanti.

"Bangunlah, yo..." Alvin turut memanggil, menarik badan itu hingga terlentang.

'Glek'

Gabriel reflex menggenggam lengan Alvin yang hendak membangunkan adiknya. Wajah damai yang mereka lihat saat ini seakan mengabarkan jika sang empunya badan sedang mimpi indah disana, wajah tenangnya seolah memberi kabar bahwa dia baik-baik saja. "Biarin dulu, Vin" sanggahnya.

Gabriel ingin menikmati wajah damai adiknya lebih lama, ini memang bukan pertama kali dia melakukan ini tapi diakui atau tidak, Rio terlihat lebih tampan saat sedang diam begini, dia tampak lebih menyenangkan, dewasa, tidak tengil apalagi biang onar seperti biasanya. Ini sekian kalinya dia mendapati situasi yang sama. Tapi sayang, tidak setiap masa mampu mengantarkan pemikiran yang sama atas peristiwa yang sama.

Kalau dulu dia biasa saja melihat Rio tidur lebih lama tanpa berniat mengusik atau apapun itu, maka kini segala rasa biasa yang dulu mendominasi runtuh sudah. Dia selalu ketakutan setiap kali Rio sedang tidak sadar, entah itu tidur atau pingsan. Kekhawatirannya begitu besar setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, dia takut waktu tiba-tiba merenggut kebersamaan itu tanpa seizinnya, kesehatan Rio yang menurun belakangan ini tentu tidak bisa dianggap sepele.

Sekarang, Gabriel tidak boleh lengah, dia harus memastikan Rio baik-baik saja, selalu baik-baik saja. Rio adalah kapten yang tangguh, permainannya yang keren selalu ditunggu anak-anak tim inti, para supporter, belum lagi juniornya. Dia masih kandidat terkuat pilihan dewan guru untuk menggantikan posisinya sebagai Ketua Osis Cakrawala di kepemimpinan mendatang, Gayanya yang khas serasa sanggup menyihir banyak khalayak untuk memilihnya tahun depan, dan lagi masih banyak hal yang ingin mereka lakukan bersama di dunia ini.

"Yel... bilang sama gue kalau Rio emang lagi capek doang, bilang sama gue kalau dia cuma tidur aja, iya kan? gue bener kan?"

Gabriel mengangguk tanpa suara, hatinya gamang, tapi harapannya jauh lebih besar daripada itu, sama seperti Alvin dia sangat berharap Rio benar-benar hanya sedang tidur saat ini.

"Ahhh, gue siram juga lo!" gerutu Alvin sebal bersamaan dengan masuknya Cakka kedalam kamar yang dengan enaknya duduk di ujung sofa yang kosong. "Pada ngapain sih, berisik bener" komentarnya

"Tuh..." Alvin menunjuk Rio dengan dagunya.

"Yo..." Cakka mengamati sosok yang tengah tertidur itu, menepuk pipinya pelan, "bangun keles, udah pagi"

"Percuma Cakk, gue udah nyoba bangunin tapi nihil"

Cakka memandangi Rio sekali lagi, menepuk wajahnya, menggoyang pundak sahabatnya sekali lagi, tidak bangun juga. "Wah, jangan-jangan doi pingsan lagi, minyak angin coba, Yel!" suruhnya setelah beberapa menit terdiam. Dia ingat, semalam waktu dia bangun karena lapar dan jadi detektif dadakan dia sempat melihat Rio seperti kepayahan di ujung lorong, jalannya tertatih sambil sesekali bersandar pada dinding seakan tubuh itu bisa saja roboh jika tidak demikian.

Gabriel bergerak cepat memburu nakas kecil disamping ranjang, mencari minyak angin seperti perintah Cakka. Astaga! Bagaimana bisa dia tidak memikirkan kemungkinan ini sebelumnya, saking paniknya dia bahkan lupa kalau Rio bukan tipikal orang yang susah dibangunkan tanpa sebab yang jelas. Setelah dapat, Dia mengusapkan minyak angin itu di bawah hidung Rio sesekali menepuk-nepuk pipinya.

"Yo, lo beneran pingsan ya, sadar dooong"

"Bangun nggak Lo!"

"Kipasin coba, Vin!" suruh Cakka lagi

Alvin bergegas mencari sesuatu, kertas, sampul buku, atau apapun yang bisa menghantarkan udara dan mengarahkannya pada tubuh yang masih berbaring di sofa.

Cakka ikut beranjak, bergerak mencari handuk lalu membasahinya dengan air, mengusapkannya pada lengan dan wajah yang basah keringat. 'Dasar bocah, harus banget apa, ngasih tahu guenya dengan cara kayak gini? gila kok nggak kira-kira' masih dengan kegiatannya membasahi wajah Rio dengan kain, gerutuannya tidak pernah putus.

"Yo... sadar dong..."

"Jangan bikin panik deh lo!"

"Yo, ini nggak lucu asal lo tahu!"

"Yo, ba—

Eunghhh...
Lenguhan pelan yang keluar seperti alarm otomatis yang seketika membuat ketiganya kompak diam, melirik tubuh diatas sofa dengan hati-hati.

Alvin mendekat saat dirasa tubuh itu mulai bergerak, "Yo— lo bangun, lo udah sadar?"

Gabriel melakukan hal yang sama, mendekati tubuh itu sembari menggenggam tangan adiknya yang mulai bergerak. "Yo, Lo nggak apa-apa kan? mana yang sakit? kenapa lo tiba-tiba pingsan gi—

"K—Kena deh ka-kalian, g—gue kerjain," potong Rio ditemani kekehan pelan, jangan lupakan wajah tanpa dosa yang tengah ia tunjukkan, sedikit menyerngit ia memaksa bangun dan bersandar di sisi sofa. "Panik beneran ya?"

"Hah!"

Alvin terperanjat, butuh beberapa saat baginya untuk mencerna ulang kata demi kata yang baru saja Rio hadiahkan pada mereka. Apa tadi katanya? Apa iya pendengarannya benar? Ah, tidak mungkinlah. Pasti dia salah dengar, tidak mungkin Rio bisa sejahat itu. Alvin diam cukup lama di posisinya, mematung tidak percaya sampai pekikan keras Cakka membuatnya sadar akan sesuatu yang ingin dia anggap tidak ada.

"Ja—Jadi lo ngerjain kita? E— lo cuma pura-pura doang? Astaga!" Cakka tertawa sumbang, melempar kain yang ada digenggamnya begitu saja. Sumpah, demi kegantengannya yang setara dengan Justin bieber dia tidak percaya Rio bisa melakukan itu. Rio memang jail sama seperti dirinya, bahkan lebih parah. tapi tetap saja, dia tidak menyangka Rio bisa dengan mudah menjadikan situasi genting sebagai bahan candaan.

Alvin mundur teratur, dadanya mendadak sesak, pikirannya kacau, kepalanya seperti ditanami bom yang siap meledak. Dia marah, kesal, kecewa, hingga tidak tahu harus melampiaskannya seperti apa. "Lo— g— gila, lo— argggh! Sial!" Umpatnya sebelum berlari meninggalkan kamar dengan bantingan pintu yang cukup keras.

"Vin— Vin, tunggu, Vin..." Cakka buru-buru lari mengejar sebelum jauh.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top