24 - Ketika Sepi Mengusik Rindu

Hening mendominasi ruangan kedap suara bernuansa pastel yang berada diujung lorong sebelah kiri kediaman keluarga haling. Sekilas ruangan ini tampak seperti tempat bersantai biasa namun jika diperhatikan lagi, banyak benda yang sepertinya sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya entah dengan alasan apa. Oleh karena itu, tidak heran jika ruangan ini menjadi tempat terfavorit bagi Rio dan kawan - kawan untuk menghabiskan waktu luang mereka. Oke, kamar Rio dan Gabriel memang luas, ruang tamupun tidak kalah nyamannya. tapi tetap saja, movie room berada diperingkat paling wahid dalam urusan yang satu ini.

Layar hitam besar lengkap dengan soundsystem canggih menjadi objek utama yang selalu berhasil menyita perhatian setiap mata yang berkunjung, Sofa besar yang melingkar tidak jauh dari layar tidak pernah luput menyita perhatian, kalau kata Cakka sih nyaman banget buat tiduran bebek ala-ala anak jaman now. Karpet bulu tebal yang dipasang menyeluruh hingga daun pintu tentu membuat para kaum rebahan jika sempat seperti mereka akan betah, seperti yang Rio lakukan sekarang.

Sendiri...

Rio berusaha menikmati setiap adegan yang ditampilkan oleh layar besar dihadapannya, senyumnya terus terbit meski tidak secerah biasanya.
Wajah cerah Cakka terpeta dalam cuplikan wawancara yang pernah dilakukannya hari itu, tepatnya setelah pertandingan melawan khatulistiwa di jogja, sebelum Ia akhirnya mengacaukan kemenangan tim.

🌿🌿🌿

"Cakka, Cakk... cakk... madep sini dong?" Intruksinya dalam video itu.

"Apaan sih, Iyoooo..." Cakka menoleh dengan wajah diimut-imutkan karena ada kamera yang mengarah padanya, dasar narsis wannabe.

"Emmm, Menurut Lo kapan nih enaknya gue nembak si Ify? Mana dia sukanya sama Iyel lagi." Suaranya kembali menginterupsi di depan wajah Cakka yang masih saja sok lucu.

"Yaaah, secepatnya lah, bego! Semakin lama Lo nunggu, semakin besar kesempatan lo bakal ditolak, nggak usah banyak mikir deh, ketikung beneran aja mewek Lo!"

"Ahh, Sue! Jadi sohib bukannya nyemangayin malah jatohin lagi lo! Tau ah" Rio merenggut, buru - buru menutup rekamannya.

Sohib maha kejam, memang.

🌿🌿🌿

Tawa renyah Cakka di akhir video itu membuatnya meringis pedih. Tapi ya, mau bagaiaman lagi. Memang begitulah Cakka, sahabatnya yang paling heboh dan paling susah diajak serius, sekalinya dia serius pasti ada hal penting yang urgent yang sedang terjadi. Pertengkaran dengan Agni, misalnya.

Berikutnya, siluet Alvin kecil tampak mengisi penuh layar yang merubah ruangan seketika memantulkan warna cerah

Rio menatap sendu potret Alvin kecil yang tampak sangat menggemaskan dengan pose seperti itu meskipun kalau dipikir lagi ekspresi itu tidak jauh beda dengan Alvin yang sekarang, flat face.

Dan yang paling penting, Kalau Alvin tahu dia diam - diam menyimpan foto kecilnya sudah pasti anak itu akan ngambek parah, marah, mogok makan dan bisa saja mogok bicara seperti hari ini.

Tapi ya, nggak apa - apa sih. Lagipula Rio sudah menyiapkan alibi yang tepat dengan menyebut nama Cakka jika dia ketahuan nanti.

Iya, Cakka.

Cakka yang waktu itu mengerjai Alvin sambil berbisik ria dengan Oma Lani untuk mendapatkan foto itu dari album lama yang beliau simpan. Bilangnya sih, untuk kenang - kenangan saja dan janji tidak akan dipajang meski alasan sebenarnya tidak lain adalah untuk menambah koleksi aib si muka tembol itu untuk kesekian kalinya.

Rio setuju-setuju saja hari itu, lagipula dia yakin Alvin juga pasti punya catatan aib dirinya atau Cakka yang entah disembunyikan dimana, jadi mereka impas dong ya?

Memandangi wajah polos Alvin kecil ternyata cukup menyenangkan juga ya, Alvin memang tidak berubah, wajah datarnya itu seolah memiliki kharisma tersendiri hingga mampu menyita perhatian para gadis dan ternyata hal itu sudah tampak sejak dia masih bayi.

Memikirkan Alvin tiba - tiba sekelebat bayangan masa kecil singgah di kepalanya, mereka berdua memang tidak dipertemukan sejak balita, tapi pertemuannya dengan Alvin di acara ulang tahun teman bisnis Papanya beberapa tahun silam adalah kenangan yang sangat berkesan untuknya.


Hari itu, Dia diajak Pak Marcel untuk menghadiri pesta ulang tahun anak rekan kerjanya di sebuah rumah makan besar. Tentu saja disana banyak makanan, minuman, es cream hingga kue, dan mainan.

Banyak anak-anak seumuran dengannya yang juga diajak oleh orang tua mereka. Rio kecil tentu tidak ingin kehilangan kesempatan untuk ikut bermain, setelah meminta izin dari Pak Marcel yang mewantinya untuk berhati - hati Ia beranjak ke ujung ruangan dimana bermacam-macam mainan dan makanan sudah disediakan disana.

Ramai sekali, anak - anak tampak berceloteh ria, bermain sambil sesekali menikmati kue dan minuman seakan acara ini akan berlansung lama.

Rio memperhatikan mereka yang tampak asyik dengan mainan - mainan itu sampai pandangnya tertuju pada anak laki-laki yang tengah menikmati es cream ditangannya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari seseorang, mukanya cemong, kaos putih yang dipakainya tidak jauh berbeda.

Rio menahan tawa, karena penasaran dengan anak itu Ia memilih untuk mendekat, menepuk pundaknya ingin berkenalan.

Anak itu melihatnya sebentar, menghentikan lumatan pada es creamnya, dan berlari begitu saja.

Rio binggung, dia mengejar anak itu seraya memegang tangannya begitu mereka dekat, bertanya kenapa dia malah lari padahal Rio bukan orang jahat.

Dia kembali mengajak anak itu berkenalan dengan hati - hati, sesuai pesan Bu Manda sebelum pergi ke paris, Rio tidak boleh nakal apalagi mengganggu teman. Lama sekali dia menunggu sampai anak itu mau bicara, mengucapkan dua kata sambil meletakkan telapak tangannya di atas tangan Rio - A... Aku Alvin, akunya.

Mereka bersalaman, kemudian bermain bersama sampai Pak Marcel memanggilnya, bersamaan dengan sosok lain seumuran ayahnya yang juga memangil Alvin, mereka berpisah disana.

Pertemuan pertamanya dengan Alvin memang sangat biasa jika dikenang sekarang, tapi untuk seorang Mario yang saat itu berusia 10 tahun, mengenal teman baru dengan cara yang begitu aneh tentu sukar dilupakan.

Apalagi setelah hari itu mereka sering bertemu, beberapa kali bermain bersama, mengobrol, saling menelepon kerumah, dan lain sebagainya.

Alvin si polos dan jarang tertawa menemaninya sejak saat itu, mengisi kekosongan harinya menggantikan sang kakak yang berobat diluar negeri dan bahkan sudah memiliki adik lain disana.

Bagaimanapun Rio bersyukur hubungannya dengan Alvin berjalan sangat baik hingga hari ini. Alvinnya memang menyebalkan, datar, cuek bebek dan tidak perhatian. Tapi dibalik itu semua, pada akhirnya Alvin bisa menjadi satu-satunya orang yang tidak pernah beranjak saat dia tidak punya siapa-siapa untuk bertahan.

"Gue terima kalau sekarang Lo marah, Vin. Gue bisa terima apapun yang lo lakuin, mumpung gue masih sanggup kan? mumpung masih ada kesempatan"

Pandangannya kembali menatap nanar sofa besar yang lagi-lagi menjadi titik pandangnya. Alvin sering sekali duduk dilantai dengan kepala bersandar pada pinggiran sofa itu, sementara Gabriel memilih untuk tiduran di atas sofa sambil menunggu Cakka melancarkan aksi hariannya disaat mereka kumpul begini yaitu merusuh.

Entah kenapa, setiap mereka berkumpul, Gabriel kerap kehilangan sifat kalemnya dengan lebih memilih mengikuti kekonyolan Cakka untuk menjahili Alvin yang serius menonton meski sahabatnya itu tidak banyak merespon.

Alvin gemar memasang wajah datar setiap kali Cakka menggodanya, tapi bagaimanapun Alvin juga bisa kesal, dia bisa marah sampai mencak-mencak saat kesabarannya habis akibat tingkah ajaib Cakka yang selalu punya cara untuk membuat siapapun murka, termasuk si muka tembok.

Jika sudah demikian, Alvin akan memasang puppy eyes kearahnya, meminta pertolongan dadakan yang tidak pernah bisa dia tolak dan seketika membuatnya kehilangan kata untuk menerjemahkan seperti apa kerusuhan mereka selanjutnya.

Rasanya ...

Ah, sudahlah.

Hatinya teriris pedih mengingat semua kebiasaan itu. Pasti akan sangat menyenangkan jika tadi dia berhasil mengajak Alvin, Cakka dan Gabriel untuk ikut menonton video dokumenter yang sudah disiapkannya sejak lama ini, bersenang-senang, tertawa mengingat masa kecil yang luar biasa menyenangkan disela masa kini yang tidak lagi sama dengan sebelumnya.

Jujur, jika bisa dia ingin kembali pada masa dimana tawa bahagia terasa lebih hidup tanpa ada rasa takut didalamnya, Rio kecil bermain sepanjang hari, berlarian, menghabiskan berapapun waktu tersisa dengan leluasa tanpa cemas berlebihan.

Tapi malam ini, segalanya terasa lenyap tanpa jejak, ruangan besar yang biasanya penuh huru hara juga gumaman sebal penonton hari ini sunyi senyap, layar besar itu seakan berbicara sendirian, lagu - lagu yang sendu mengalun mengisi kekosongan seseorang yang tengah kehilangan raga bersamaan dengan munculnya potret kebersamaan mereka dimasa lalu, juga video - video pendek yang menyertainya.

Detik berikutnya, bayangan wajah panik Gabriel muncul begitu saja. Suara sopran Gabriel saat memimpin rapat Osis hari itu mengisi keheningan yang semakin membuatnya nyaris terpuruk, Dia ingat betul, hari itu dia membuat dua sahabatnya panik dengan cara tumbang ditengah presentasi.

Dia menutup mata rapat - rapat, berusaha menahan sesak yang menghimpit sampai ke tulang, dia sudah berusaha untuk kuat, namun nyatanya menahan pedih sendirian bukan hal yang mudah, apalagi untuk kaumnya yang dikenal tegas dan gagah.

Dia tidak bisa seperti kaum hawa yang bisa dengan mudah menunjukkan perasaan dengan airmata. Sedih bisa menangis, bahkan bahagiapun mereka menangis.

"Gue emang bisanya ngerepotin lo doang, yel! Gue nggak bisa bikin lo seneng, Maafin gue, harusnya hari itu gue nggak nyamperin lo ke paris, harusnya hari itu kita nggak usah ketemu!" gumamnya pelan.

Tidak ingin terlarut dalam kesedihan, dia memilih untuk beranjak dari posisinya, dengan tenaga seadanya dia mencoba untuk berdiri. Menatap jam digital yang berada tidak jauh dari pintu masuk ruangan yang menunjukkan pukul 3 pagi.

Ya Tuhan... ternyata sudah pagi dan dia sama sekali belum tidur. Kuat juga ya, dia?

Perlahan, Rio memilih untuk bangkit dan berjalan keluar ruangan, langit tampaknya masih bergelung dengan awan hitam, pekat, belum lagi sunyi mengelilingi sekitarnya. Jelas saja, masih terlampau pagi bagi orang-orang untuk bangun dan kembali beraktifitas, memangnya apa yang bisa mereka lakukan pagi-pagi begini? Bersekolah? Bekerja? yang benar saja!

Dia melanjutkan langkah, perlahan agar tidak menimbulkan suara, ada sesuatu yang ingin dia lakukan mumpung penghuni rumah masih pada tidur. Sasaran wahid jelas si bungsu, Raynald. Karena Kamar Ray berada paling dekat dengan posisinya sekarang, lumayan buat hemat tenaga daripada tumbang di tengah jalan.

Tanpa disadari, ada sepasang mata lain disana, bersembunyi dibalik dinding yang tidak terkena pantulan cahaya agar dirinya tak terlihat. Dia terbangun karena lapar tadi, dia ingin mengambil makanan saat tiba-tiba silau lampu didalam ruang paling pojok mengantarkannya pada situasi ini, memaksanya menjadi penyusup demi tidak membuat sahabatnya semakin merasa bersalah. Dia diam sampai dari kejauhan tampak orang yang tadi diintainya memasuki sebuah kamar.

Cklek.

Rio melangkah pelan sekali lagi setelah berhasil membuka pintu tanpa menimbulkan suara berarti, mengamati seisi kamar Ray yang tidak ubahnya seperti kapal pecah, barang-barang di taruh asal lempar, kaos dan baju-baju di gantung sembarangan, sepatu dan mainan ada dimana-mana, stick drum, buku pelajaran, alat tulis, rubik, dan masih banyak lagi barang-barang entah berantah diletakkan begitu saja diatas meja belajar, berantakkan sekali.

Puas melihat-lihat, Dia bergerilya pada ranjang tunggal disudut ruang tempat dimana sang empunya kamar terlelap. Lihat, sedang tidur saja adiknya ini tetap banyak tingkah. Baru saja dia ingin memotret pose tidak karuan sang adik saat ada ide lain yang terbesit diotaknya, sebuah rencana brilliant yang mungkin bisa membuat Ray menjadi lebih disiplin.

"Sorry ya, Ray! Sekali ini aja kok gue coret-coretnya, anggep aja kenang-kenangan dari gue, pfftt..." Rio menjalakan ide dadakannya sambil menahan tawa, harapanya tidak banyak, selama Ray bisa hidup lebih baik, teratur, membanggakan dan menjaga Mama Papa, itu sudah lebih dari cukup.

"Pokoknya, Gue selalu bangga dan sayang sama lo ya, ndrong!"

---

Sepeninggalnya dari kamar Ray, Tiba-tiba dia kepikiran Cakka, sudah bangun belum ya si gembul kepedean satu itu? Secara, semalam Cakka lansung tepar begitu saja setelah meledeknya sebagai putra mahkota, Cakka bahkan tidak tahu dia keluar saking pulasnya. Ah, sepertinya tidak apa-apa jika dia mampir sebentar, belum terlalu pagi juga.

Pemandangan pertama yang dilihatnya saat membuka pintu adalah Alvin yang tengah bergelung dengan selimut tebal di bawah kasur bersama Gabriel sementara Cakka masih berada diposisi yang sama seperti saat dia meninggalkan kamar semalam. Astaga... betah sekali tuh anak tidur.

Rio memilih untuk duduk di sofa hijau dekat balkon, diam di waktu yang lama, sekali lagi saja dia ingin memandangi wajah polos Cakka tanpa harus takut dibilang mupeng karena kalah ganteng atau kalah keren dari si gembul dengan tingkat emosi diatas rata-rata itu. Cakka memang bukan temannya sejak lama seperti Alvin dan Gabriel. Tapi, sebagian waktu yang telah mereka habiskan bersama tentu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tidak ingin melepaskan Cakka. Kalau dia sudah tidak ada, siapa yang akan menjadi samsak tinju saat si gembul marah? Ah, sebaiknya dia tidak berfikir demikian. Jelas, Cakka banyak berubah sekarang, meski masih emosian, setidaknya Cakka tidak lagi mudah bertindak gegabah seperti dulu.

Wajah oriental Alvin yang saat ini tertutup nyaris seluruh bagian menjadi titik temu berikutnya, tidak ada kalimat yang bisa dia tuturkan untuk mengungkap betapa beruntungnya dia dipertemukan, bahkan diperkenalkan dengan seorang Alvin yang dinginnya setengah mati. Mungkin benar, Alvin lebih bersahaja sekarang, tapi tetap saja, baginya Alvin masih sangat dingin, pendiam dan rapuh.

Sejatinya dia tidak takut mati, dia sadar kematian bukan hal yang bisa ditawar dengan logika apapun. Dia hanya berusaha untuk tidak menyakiti siapapun agar kematian juga tidak menyakitinya bila saatnya tiba. Dia hanya berusaha tidak membuka luka basah yang baru saja mongering dihati orang-orang terkasihnya, termasuk Alvin. 'Gue nggak bisa bayangin apa yang terjadi kalau waktu itu gue nggak ketemu lo, Vin! Gue nggak tahu gimana jadinya kalau hari itu gue nggak ikut Papa datang ke pesta itu, Gu—Gue—

Ugh!
Dia menggeliat kentara, badannya ngilu luar biasa, nyeri yang tadi sempat berkurang kembali menghantam kepala, rasanya seperti dihantam palu godam, sakit sekali. Dia menyeret badannya guna bersandar di ujung sofa, meringkukkan tubuh disana, satu tangannya digunakan untuk membekap bibir yang bergetar menahan erangan agar tidak membangunkan yang lain, sementara satunya lagi meremas kuat pinggiran sofa guna menyalurkan sakitnya.

Huuh...

Huuuuuh...

Huuh...

Dia mengatur nafas perlahan, mensugesti badannya untuk menjadi lebih kuat. Masih ada beberapa hal yang harus dia selesaikan hari ini tanpa bisa menyisakan ruang sedikitpun untuk memanjakan sakit ini.

'Pokoknya, jaga diri baik-baik. kesempatan emang nggak datang dua kali, tapi bukan berarti kamu harus ngedapetin semuanya, inget kondisi kamu, saya nggak bisa jamin apa-apa kalau sampai kamu ngedrop lagi, terlalu beresiko, Yo!' Pesan Dokter Andrean sebelum mengizinkannya pulang terngiang seperti kaset rusak, satu lagi kenyataan seakan menghantam perasaannya.

Dia tahu dia lemah, dia tahu harapannya tidak banyak, tapi bagaimanapun juga masih terlalu berat baginya untuk pergi. Dia menghela nafas panjang, sekali lagi. menghalau sesak yang masih saja menyulitkannya bernafas setiap kali mengingat hal itu.

Teng...

Teng...

Jam besar diruang tamu berdenting empat kali, awan kemerahan mulai tampak menyembul dari jendela balkon yang tidak tertutup gorden. Dia bisa melihat itu dengan jelas keran posisinya kini meringkuk membelakangi tempat tidur. Ah, rupanya sang surya akan segera tiba untuk menunaikan tugas. Itu artinya, dia tidak bisa berada disini lebih lama lagi. Dia harus segera keluar sebelum ada yang bangun dan membuatnya tertangkap basah.

'Ayok, Yo! lo bisa bangun kok, Lo pasti bisa! Ayo bangun, gerak Yo! Gerakin kaki lo!' sugestinya dalam hati.

Dia menumpukan seluruh badan pada kedua kaki yang sudah menyentuh lantai, beranjak pelan dari sofa yang sejak tadi menjadi tumpuan kedua. Badannya benar-benar lemas, seperti tanpa tenaga, beberapa kali dia menahan nafas demi mengumpulkan tenaga tapi berkali-kali juga dia harus menggigit bibir karena badannya kembali terduduk di tempat yang sama.

Ya tuhan...Dia memejamkan matanya pasrah, mentari mulai menaik bersamaan dengan semakin tingginya silau cahaya yang memantul hingga ke atas ranjang. Lelah, dia kembali menyandarkan tubuh di pinggiran sofa.
Kali ini, dia tidak ingin melawan, tenaganya habis sudah. Sakit ini benar-benar menyiksa, rasanya berkali-kali lipat lebih parah setiap dia bergerak, nafasnya sesak, udaranya disekitarnya terasa panas.

Dia menggigit bibirnya yang terus bergetar, wajahnya basah dipenuhi keringat yang entah berasal darimana. Dia hanya bisa pasrah sekarang.

Ya Tuhan...

Ia melirih dalam hati, lidahnya terasa tercekat, suaranya tidak bisa keluar. wajahnya seperti disorot lampu pijar, pandangannya pudar seolah terhalang warna putih di semua bagian. Dan tiba-tiba semuanya gelap.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top