23 - Pedih yang Tak Terucap

Tidak ada akhir yang sempurna, apalagi sengaja disempurnakan, Tuhan maha adil. Jika Ia memberi luka maka jelas Ia juga telah menciptakan obat penawarnya. Yakinlah, suatu hari nanti lukamu akan sembuh dan tidak sakit lagi— Rio.


Setelah makan malam selesai, para gadis diantar pulang oleh Pak Dedi dan beberapa pengawalnya atas perintah Rio sementara cowok - cowok dilarang keras untuk pulang meski rumah Alvin ada di depan mata. Alvin dan Cakka menurut saja lagipula mereka juga lelah, ingin beristirahat.

Beres mandi dan bersih-bersih, Cakka menidurkan dirinya di ranjang bigsize milik Rio yang sepertinya cukup untuk 4 orang, memeluk guling sambil memejamkan mata seakan berada dirumah sendiri.

"Huaaaah... tidur nyenyak deh gue, kapan lagi dong ya jadi putra mahkota" Serunya senang.

Ctakk!

"Lo bisa tidur disini kapanpun lo mau. silahkan banget, daripada kamar gue kosong ini..." balas Rio puas setelah berhasil melempar bolpoin diatas meja keatas ranjang, tepat di kening Cakka.

"Sakit, nyet! Baru juga gue merem"

"Ya, abis Lo ngaco sih"

Rio menyandarkan punggungnya di kursi meja belajar, memutar benda itu hingga dari posisinya sekarang dia bisa melihat Gabriel yang duduk di singgasana favoritnya dalam kamar ini, sebuah sofa bulat hijau di dekat balkon kamar sementara Alvin yang baru keluar dari kamar mandi tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk hasil jarahan tentu saja.

"Sumpah ya, Vin. Komuk lo kocak banget abis mandi kayak gitu, nggak ada macho-machonya!" Ujarnya berkomentar yang kembali dimentahkan oleh sang lawan bicara. Rio meremas lengannya tak kentara, rasanya percuma saja Ia berusaha sekarang, satu-satunya teman yang bisa diajaknya bicara untuk saat ini hanyalah Cakka seorang, hanya dia yang sepertinya tidak sedang menjaga jarak dan tentu saja Rio harus bersyukur dengan yang satu ini.

Drrrt... Drrt...

Rio mengalihkan atensinya begitu ponselnya bergetar, sibukanya pesan yang baru saja masuk.

Tuan, segala persiapan sudah selesai.

Rio menghela nafas pasrah, jemarinya sibuk mengetik balasan sementara netranya kembali memandangi tiga sahabatnya yang kali ini terasa jauh untuk bisa digapai. Rencana nonton bareng film dokumenter yang disiapkannya dari jauh-jauh hari tidak bisa direalisasikan malam ini karena keadaan sedang tidak berbaik hati, mungkin nanti, esok, lusa, atau lusa lagi.

Bosan terkurung dalam diam begitu lama, Rio memilih beranjak dan melangkah pelan menuju balkon kamar, berharap angin malam diluar sana mampu menghilangkan sesak yang membelenggu dadanya. Dia memegang erat pinggiran balkon yang terasa lebih dingin dari biasanya, menikmati suara binatang malam yang mungkin singgah disekitar kediaman mereka, saling bersahutan, membicarakan sesuatu yang hanya dimengerti oleh sesamanya.

Rio merasa tersindir, bahkan kini dia kalah dengan burung-burung yang bisa dengan lantang berteriak memanggil rekannya saat menemukan santapan untuk dimakan, burung bersedia memanggil sebangsanya, meski tahu jika mereka datang berkelompok, bisa saja mereka menghabiskan tawanan yang ditemukannya hingga tak bersisa.

Sedangkan dia? Segala usahanya mengajak mereka bicara dimentahkan begitu saja. diacuhkan secara terang - terangan tentu bukan sesuatu yang mudah, Gabriel dan Alvin yang tengah mendudukkan diri di atas ranjang tampak sibuk dengan kegiatan mereka tanpa mau repot - repot mengajaknya bergabung. lantas, darimana Rio bisa memiliki keberanian untuk mengajak mereka ke movie room? Bagaimana cara mengambil alih perhatian mereka dari kesibukan itu?

Sementara Cakka? Anak itu bahkan sudah pulas diatas ranjang.

Ah, sudahlah, Rio.

Menyerah saja, percuma.

Mereka tidak akan mendengarkanmu!

Ugghh!
Dia menyerngit seraya menggigit bagian dalam bibirnya begitu merasakan tubuhnya mulai kehilangan tenaga, kepalanya tiba - tiba sakit. Sepertinya, Obat dosis tinggi yang dimintanya dengan rayuan panjang semalam menuntutnya untuk kembali beristirahat dengan membuatnya merasakan efek samping yang sama sekali tidak bisa dibilang nyaman.

Lo kuat, Yo!

Lo harus kuat!

Tidak ingin tumbang dan membuat dua orang tersisa semakin marah karena ketahuan memaksakan diri, Rio berusaha menahan badannya agar tetap tegak, dalam diam dia melangkah pelan mendekati pintu kamar tanpa berniat menginterupsi sekedar meminta tolong, lagipula Gabriel dan Alvin terlalu sibuk sekarang tidak ada gunanya juga kalaupun Ia berharap mereka menengok dan mengajaknya bicara.

"Yaudah deh, kalau masih pada puasa ngomong, nggak apa - apa kok. Jangan lupa istirahat lo berdua, gue pergi dulu!"

Blam.

Rio menutup pintu tanpa menunggu persetujuan siapapun. Detik berikutnya Ia mulai melangkah pelan melewati lorong sebelah kiri hendak menuju tempat dimana Pak Dedi berada. Sesampainya disana, Pak Dedi sudah menunggu.

Rio tersenyum menyapa beliau, tinggal beberapa langkah lagi hingga mereka bisa saling berjabat saat Rio merasa tubuhnya seperti tanpa tulang.

"Tuan muda!"

"Anda tidak apa-apa, Tuan?"

Rio menggeleng meski suara itu terasa berdengung, dilepaskannya jemari kekar Pak Dedi yang tengah menopangnya perlahan, berusaha untuk tetap sadar "Bantuin aku duduk, Pak!"

"Baik, Tuan."

Pak Dedi memapah Tuannya masuk ke movie room, membantunya duduk di sofa tunggal yang tertata rapi di depan televisi besar yang belum menampakkan gambar apapun. "Biar saya panggilkan Dokter, Tuan"

"Nggak usah, Pak. Baru juga kemarin Rio say good bye sama Dokter, masa udah ketemu lagi" tolaknya halus.

Rio menyalalakan televisi yang kini menampakkan sketsa wajah empat laki-laki yang tengah berpose dengan gaya mereka yang khas, Ia terdiam sejenak sebelum mengalihkan perhatiannya pada Pak Dedi yang beluk juga beranjak dari tempatnya berdiri. "Rio mau nonton bareng sama mereka, jadi Pak Dedi boleh istitahat sekarang"

"Kalau begitu, saya akan siapkan makanan ringan untuk mer--

"Nggak usah Pak, mereka biasa ambil sendiri kok kalau mau apa-apa"

"Kalau begitu saya permisi, Tuan" Pak Dedi pamit undur diri setelah di rasa kehadirannya tidak di butuhkan.

❇❇❇

Alvin bergerak gelisah diatas karpet tebal yang tergelar di samping ranjang, berkali-kali dia mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. matanya sudah berat untuk dibuka, dia sudah lelah, tapi tetap saja tidurnya tidak bisa pulas.
Kamar Rio yang luas tidak bisa membuatnya tenang.

"Ngapain sih, Vin. Grusak-grusuk, gitu? Udah malem tahu!" Komentar Gabriel yang kini tengah merebahkan tubuh disamping Cakka bersiap untuk tidur.

"Gue nggak bisa tidur, Yel" lapor Alvin.

"Lah, kenapa? Laper lo? biasanya juga mau makan tinggal ambil" Gabriel beranjak bangun untuk melihat Alvin yang ternyata masih guling-guling seperti ulat bulu. "mau pindah kesini apa biar enakan lo tidur? Gue bisa di sofa kok"

Alvin menggeleng, dia tidak sedang lapar, hanya tidak bisa tidur. "Eh tapi ngomong - ngomong si Rio kemana ya, yel? Apa dia marah karena kita diemin? Kok nggak balik tuh anak!" Ujarnya mengalihkan pembicaraan

Gabriel mengangkat bahunya tidak tahu, "Rio mah kalau udah urusan sama Pak Dedi suka lama, bisa sampai nginep di paviliun segala! 'Kan perusahaan Ayah dia juga yang ngurusin. Eh tapi nggak tahu juga sih" Jelas Gabriel seadanya. Tanggung jawab besar yang Rio emban bersama Pak Dedi memang tidak sesederhana yang orang-orang fikirkan.

Pak Dedi yang dulu adalah pengawal pribadi ayahnya secara tidak langsung turut andil dalam perkembangan bisnis beliau sampai hari ini, meski bisnis itu sempat menurun setelah Ayahnya meninggal 8 tahun lalu, kabarnya kini bisnis beliau mulai stabil kembali di bawah pimpinan orang - orang kepercayaan ayahnya dan juga Rio yang merupakan ahli waris utama.

Sehingga wajar bagi Gabriel, Jika Rio sering dan selalu terlibat pekerjaan bersama Pak Dedi dan anak buahnya baik untuk perusahaan atau urusan lainnya.

Alvin mengangguk paham, Ia pernah membahas hal ini juga dengan Papanya sehingga meski sedikit kebingungan, dia mengerti kehidupan seperti apa yang sering orang dewasa perdebatkan perihal masa depan anak-anak mereka.

Satu lagi, fakta besar yang dia tidak tahu tentang Rio bahwa sahabatnya itu tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah menimpa keluarganya 8 tahun lalu, segala luka dan kesakitan yang ditahannya selama ini sepertinya belum cukup untuk mengukur berapa besar kasih sayang yang dimilikinya untuk orang-orang yang dirasa penting.

"Yaudah deh, palingan tuh anak tidur dimana kek, capek gue" pungkas Alvin sambil menelungkupkan kepalanya diatas bantal.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top