21 - Pesona Kapten Basket Cakrawala

Cakka memanfaatkan waktu istirahat sebelum permainan terakhir untuk beristirahat, permainan hari ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Debo berjalan mendekati Cakka yang bersandar pada tiang ring, menyodorkan minum yang diterima cakka dengan senang hati. "Thanks"

Debo berdehem singkat, "Lo masih bisa main, kan?"

Cakka mengangguk mantap, sikutan pemain tadi memang masih terasa tapi tidak seberapa, setidaknya masih bisa ditahan hingga permainan selesai.

Debo memandang Cakka dengan sebelah alis terangkat, bagaimana bisa tuh orang berkelit sedang matanya tidak membenarkan itu.

"Ngapain lo ngeliatin gue kayak git... akhh!" Kalimat Cakka terputus pekikannya sendiri saat Debo sengaja menekan pinggangnya yang tadi sempat mendapat sikutan. Kurang asem memang!

Gabriel, Alvin dan Lintar seketika memutar arah mendekat mendengar Pekikan Cakka yang lumayan keras.

"Kenapa, Cakk?"

"Nggak, nggak apa-apa, Debo tuh yel, nakal. main pukul main cubit, kan sakit!" Ujarnya ditemani gelengan pelan.

Debo terkekeh sumbang, "Lo nggak usah turun abis ini!" putus Debo tegas.

Cakka reflek berdiri meski gerakan itu sama dengan menarik paksa tubuhnya yang mulai kram sana-sini. Aduuh... sakit banget anjir! Keluhnya dalam hati. "Nggak! nggak bisa, kita nggak ada cadangan, De! Bisa kena pinalti" sanggahnya.

"Pinalti, pinalti amat. Gue jabanin dah tuh maunya si wasit, jangan maksain diri lah, bahaya!"

"Tetep aja nggak bisa, Gue harus main, gue nggak bisa diem aja, Udah cukup mereka ngejugde gue pembohong, De! gue harus balikin nama baik Rio dan tim."

"Tapi kondisi Lo lagi nggak bagus, Cakk!" Sela Alvin "udahlah, serahin aja sama kita. Pasti beres ini semuanya."

"Nggak, nggak bisa! pokoknya gue ikut!" Putus Cakka bersamaan dengan ditiupnya peluit wasit pertanda kuarter akhir akan segera dimulai.

Alvin, Debo, dan Gabriel saling pandang sementara Lintar menghadap Pak Joe untuk memberitahu perihal serangan yang dialami Cakka, berjaga-jaga jika sampai ada cedera serius.

"Buruan, nggak ada waktu!" Cakka melenggang ringan memasuki lapangan menuju tempat dimasa wasit meminta mereka mengambil posisi.

Prriiiiiiiit...

Priiit...

Permainan berjalan sangat serius, tidak ada waktu untuk bersantai. Semua fokus memainkan si Oren, berusaha mencetak angka sebanyak-banyaknya, saling mengejar, saling mempertahankan keunggulan.

Kini, bola berada ditangan Gabriel. Dia bergerak lincah membawa bola mendekati ring, dihadang Bagas. Cepat saja dia melempar bola pada Alvin yang posisinya paling dekat. karena tidak bisa mencetak angka dari jarak kelewat jauh, Alvin melihat sekeliling mencari tumpuan terdekat, ada Cakka disana.

"Cakk, pivot!" Kode Alvin seraya melempar bola pada rekan mainnya.

Huup...
Cakka mendriblenya cepat dengan tetap menjaga keseimbangan bola, menggiringnya sesekali mengecoh lawan. Cakka masih menguasai bola dengan perjagaan ofensif dari rekan-rekan sesama timnya, begitu berada di dekat ring dia segera melakukan putaran 180 derajat.

Lay up. shoot...

Masuuuuuk...

Sorak-sorai suporter kembali menggema bersamaan dengan berubahnya papan score. Riuh dan ramainya penonton membuat semua pemain terasa seperti mendapat nyawa kedua yang membuat mereka berkali-kali lipat lebih semangat.

Permainan dilanjutkan, serangan demi serangan datang silih berganti. Pertandingan tersisa tiga menit saat Alvin lagi-lagi berhasil mencetak angka dengan lay-up ketiganya, Alvin mendesah lega, memilih mempertahankan keunggulan hingga peluit panjang berbunyi dengan score akhir 67 - 64 untuk kemenangan Tim Inti.

"Yeeeey! Akhirnya man!" Obiet berseru senang berlari mendekati anggota tim yang lain. saling berpelukan, mengucap selamat, mengekspresikan kelegaan dan kebanggaan atas keberhasilan permainan mereka hari ini. Meskipun hanya pada demo sekolah, paling tidak mereka sudah berhasil menunjukkan kemampuan bermain yang bagus dan sportif.

***

Podium tunggal di ujung lapangan bagian tengah sudah dipenuhi pemain basket dari dua belah pihak, tim inti dan junior berbaris lurus memanjang dengan kostum basket yang tadi mereka gunakan, lengkap dengan topengnya.

Seperti biasa, setelah pertandingan selesai. Kapten tim harus membacakan janji pemain sebagai ikrar keberhasilan secara lisan. Suasana riuh dan sorak-sorai penonton perlahan meredup kentara saat Pak Duta mengetuk ringan microfon dua kali, pertanda janji pemain akan segera dibacakan.

Cakka menatap banyaknya suporter sambil senyum-senyum sendiri, ini kedua kalinya dia berdiri di podium sebagai pimpinan tim menggantikan Rio membaca janji pemain, jika di Jogja dulu dia harus sanggup karena Rio mendadak pergi dan tidak ada pilihan lain, maka hari ini dia juga harus sanggup karena ketidakberhasilannya membawa serta Kapten Cakrawala yang asli.

Dia menghela nafas kentara, Bagas memandangnya dengan tatapan tidak suka, terlihat sangat jelas sekali jika juniornya itu tidak nyaman harus berdiri berdampingan seperti ini, sedekat ini. Tapi bagaimana lagi? tidak ada pilihan lain. Cakka mengeluarkan kertas kecil yang disimpannya di saku celana sejak tadi, memberikannya pada Bagas meski agak ragu "Buka, kita baca janji pemain bareng-bareng, gantian aja." putusnya.

"T—ta—tapi..."

"Janji Pemain..." Cakka memulai ikrarnya tanpa menanggapi sanggahan Bagas, suasana sedang hikmat dan tidak memungkinkan untuk berdebat.

"Ka—mi, Putra sejati. Ber—janji, a—kan bermain de—ngan sportifitas penuh." Cakka menutup mata sejenak, kacau. Suaranya bergetar parah hingga dia tidak mampu mengontrolnya, padahal baru bait pertama. Dia memiringkan stand microfon menjadi lebih dekat dengan posisi Bagas berdiri, berbicara dengan mata agar orang disampingnya bersedia membaca bait kedua.

Bagas menggeleng tak kentara, melalui gerakan pelan dia menjauhkan stand mic itu dari posisinya.

Cakka memasang wajah terbaiknya, meminta sekali lagi dengan bahasa tubuh lain agar Bagas turut serta menyempurnakan permainan hari ini, tapi lagi-lagi Bagas menggeleng enggan. Sejatinya, dia bisa saja dia meminta Debo atau Alvin untuk mengcovernya, Tapi hal itu tidak diperkenankan dalam situasi sesederhana hari ini.

Bisik-bisik tetangga mulai terdengar dari barisan penonton dan juga anggota tim yang berbaris menyamping di belakangnya. Semakin lama, semakin banyak, sekitarnya mulai terasa bising, seperti ada sekumpulan lebah sedang rapat tepat di depan mata.

Cakka menggenggam erat microfon di depannya, tangannya bergetar. Entah kenapa dia menjadi sangat tidak siap, akan tetapi dia tetap harus menyelesaikan mandat ini bagaimanapun caranya. kenapa dia mendadak gugup begini "Kami, putra se—ja—ti. Ber—janji mengi-kuti per—aturan yang di tetap—kan o—oleh wasit tanpa terke—cuali." Tangannya mengepal kuat setelah berhasil menyelesaikam bait kedua meski hasilnya tidak lebih baik dari bait pertama, suaranya putus-putus, nafasnya naik turun seperti habis lari berkilo-kilo jauhnya.

Wajahnya pias, rona-rona merah dan keringat yang mengalir deras terasa berhenti meski dia tahu waktu tidak bisa mentolerir deguban cepat yang serasa membombardir jantung melihat suporter Cakrawala ramai-ramai menatap kearahnya. Dia menggenggam kembali microfon itu masih dengan tangan bergetar, masih tiga bait lagi sebelum pembacaan janji pemain selesai dan permainan hari ini berakhir. Dia menarik nafas dalam, dia harus melakukannya, dia tidak boleh menghancurkan suasana bahagia ini dua kali.

"K—Ka—Kami-"

"Kami, Putra sejati. Berjanji, tidak akan melakukan protes kepada wasit dan rekan bermain secara berlebihan."

Deg!
Cakka merasakan genggaman yang tidak asing di lengannya bersamaan dengan suara berat yang membungkam tiba-tiba. Dia menoleh pada sisi itu tapi pandangannyq tidak bisa membaca dengan jelas siapa yang kini bersembunyi dibalik kostum basket dan topeng yang sama dengan timnya. Terlalu sulit mengenali siapa yang berdiri disana dalam situasi yang masih luar biasa menegangkan, tidak ada keberanian untuk sekedar bertanya apalagi memintanya membuka topeng yang mana benda itu adalah icon permainan hari ini.

"Kami, Putra sejati. Berjanji tidak akan melakukan tindakan yang bisa membahayakan pemain lain, untuk tujuan tertentu."

Lagi-lagi Cakka dibuat terkejut dengan kepiawaian orang ini mengikrar janji, setiap gerakan yang dia buat, penekanan pada suaranya membuat suasana khidmat terasa lebih luar biasa daripada saat Cakka membacakannya tadi, berbeda sekali.

"Dan Kami, Putra sejati. Berjanji, jika kami melanggar janji tersebut, kami akan keluar dari pertandingan dengan sukarela tanpa keberatan apapun."

"Terima Kasih!"

Prooook...

Prooook...

Prooook...

Tepukan meriah menggema memenuhi seluruh sudut lapangan besar Cakrawala, wajah-wajah cerah penuh kelegaan tergambar di setiap mata dari berbagai penjuru.

Cakka menghela nafas lega merekahkan senyuman terbaiknya, diseberang sana gadis-gadis kembali riuh meneriakkan namanya, memuja ketampanannya, astaga! kalau tidak ingat Agni sedang menonton di bawah, ingin sekali dia sengaja melambaikan tangan agar mereka berteriak semakin heboh, lagi. Tapi sudahlah, hal itu mustahil dilakukan jika dia tidak ingin rumah tangganya kembali goyah. Cukup baginya, bisa tertawa dalam hati melihat mereka begitu antusias mengelukan namanya dengan alasan yang sebenarnya, emmm... tidak begitu penting, mungkin.

Penonton dan sederet supporter yang tadi turut meramaikan pertandingan perlahan mulai membubarkan diri kembali pada kesibukannya masing-masing karena pertandingan sudah selesai, deretan pemain turut merapikan barisan, menunggu perintah bubar.

Pak Joe berjalan menghampiri mereka, berdiri tepat dihadapan para pemain dalam posisi siap. "Bubarkan formasi!" intruksi beliau.

"Siap, Laksanakan!"

Lagi, Cakka dibuat terkejut saat Pak Duta menatap penuh pada sosok terlampau tinggi yang masih berdiri disamping kanan tubuhnya seraya memberi instruksi yang dibalas cepat oleh sosok itu.

Dia tidak habis pikir, bisa-bisanya orang itu menyahut dengan begitu mudah sementara Cakka yang tadinya diberi mandat untuk memimpin demo susulan berada disana tanpa kurang suatu apapun. Siapa sebenarnya orang ini? Bagaimana bisa dia begitu berani mengambil alih pimpinan yang sejak tadi di pertahankannya susah payah? Tidakkah dia tahu sportifitas itu penting?

Demi tidak membuat acara yang hikmat ini kacau, Cakka memutuskan diam, menunggu, melihat, mencoba menerka lebih dalam siapa gerangan sebenarnya yang kini berjalan tampak melangkah maju, menggantikan posisi Pak Joe yang baru saja undur diri.

Dipandanginya sosok itu tanpa jeda demi tidak ingin kehilangan satu dan lain hal yang mungkin bisa menjadi petunjuk.

"Pertama, Lepas dulu topeng kalian!" Katanya tegas.

Kali ini, tidak hanya Cakka yang dibuat terkejut melainkan semua pemain tersisa, meski samar Cakka bisa melihat mereka mulai saling pandang, sepertinya kali ini mereka memiliki pemikiran yang sama, penasaran siapa yang tengah memberi perintah.

Disaat bersamaan, tanpa mereka sadari orang yang sejak tadi menjadi titik pembicaraan tersenyum dibalik suara beratnya, kemudian dalam satu gerakan dia mulai menarik ujung tali agar topeng itu terlepas.

"Sepertinya, gue emang harus jujur dulu ya biar pada nurut," Ujarnya sambil terkekeh yang seketika membuat semua pemain tersisa mematung ditempat.

Tik...

Tikk...

Tikk...

"Sekeren itu kah gue sampai kalian mupeng banget, gitu?"

Hening....

Masih saja hening...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top