19 - Menjadi Egois

Cakka melangkah seorang diri melewati koridor kelas sepuluh yang terasa lebih sunyi dari biasanya, anggota Osis dan Calon Tim basket junior yang sejak pagi membantu persiapan demo estrakulikuler sudah pulang. Sebenarnya Ia gamang, sepanjang jalan ka parkiran Ia sibuk memikirkan strategi apa yang harus mereka mainkan agar demo besok tidak berakhir sama seperti sebelumnya.

Tadi setelah istirahat jam pelajaran terakhir. Bu Ira memintanya untuk menghadap Pak Duta guna membicarakan persiapan demo, sesampainya disana sudah ada beberapa anggota tim dan junior yang juga tengah berkumpul. Cakka tersenyum kecut melihat itu semua, tanpa banyak komentar dia duduk di dekat Irsyad dan menunggu Pak Duta menyampaikan keputusan final.

Tidak ada hal baru yang beliau perintahkan selain mempersiapkan demo sebaik mungkin, dan memintanya menjadi kapten sementara sekaligus penanggung jawab lantaran Rio belum bisa bergabung dengan tim.

Huft,

Cakka mendesah pasrah, rencana spektakuler yang disusunnya bersama anak - anak gagal total.

Malam itu, setelah mengungkapkan ide perihal demo ulang pada Alvin dkk, mereka dikejutkan dengan teriakan panik Bu Manda yang tergopoh-gopoh keluar dari ruang rawat, tidak lama setelah itu Dokter dan perawat datang lalu memburu badan Rio dengan brutal.

Tidak ada suara di detik berikutnya, suasana disekitar cepat sekali berubah namun tak ada yang benar-benar peduli. mereka semua menunggu tanpa berniat hengkang sedetikpun

Malam semakin larut saat Pak Tama datang membawa makanan sekaligus menyampaikan kabar jika Rio kembali mendapat serangan namun kata dokter hal itu wajar dan tidak berbahaya, Rio hanya membutuhkan waktu lebih untuk memulihkan kondisinya.

Shit!
Ia menggigit bibirnya kuat, mengingat kejadian itu kembali membuatnya takut, sangat takut. meski pertemanannya dengan Rio tidak lebih dekat daripada Alvin atau Gabriel yang mengenal si somplak itu lebih dulu. Cakka tetaplah manusia biasa yang tidak ingin ditinggalkan oleh orang-orang yang dia sayang. Dia tidak ingin kisah persahabatan mereka berakhir begitu saja, dia tidak pernah berfikir akan di acuhkan di anggap hilang kemudian ditinggalkan dengan cara murahan seperti di film - film.

Ugh...
Cakka reflek menutup bibir dengan telapak tangan saat tiba-tiba tenggorokannya terasa panas bersamaan dengan rasa tidak nyaman yang kembali menyerang perutnya, Ia menyerngit tak kentara, belakangan ini lambungnya memang payah apalagi dibarengi aktivitas yang luar biasa padatnya.

Dengan tenaga seadanya, dia menyeret langkah mendekati besi bermesin yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berhenti tadi, membuka pintu lalu bersandar di kursi kemudi seorang diri.

'Duuuuh, kok tambah sakit sih, plis baikan dong, bentar lagi lo mau main, Justin! nggak lucu banget kalau nih sakit jadi manja nggak mau ilang, pan Lo kaptennya!'

Cakka berusaha mengatur nafas seraya mensugesti diri untuk tidak tumbang disini, bertahan dalam posisi membungkuk sampai perih itu berangsur hilang. baru saja dia hendak menyalakan mesin mobil saat ponsel di saku seragamnya tiba-tiba bergetar, panggilan dari Agni. Cakka menyentuh layar handphone ke kanan.

Klik.

"Hallo, Ag"

"Hallo, lo dimana, Kka? Jemput gue buru! kita semua disuruh kerumah sakit"

Ssshhh...

Seketika nyeri yang tadinya membaik kembali menggila sesaat setelah Agni selesai bicara, Cakka meringis dengan satu tangan mencengkram perutnya, sekuat mungkin dia berusaha mengatur nafas menahan suaranya agar tidak bergetar.

Ada apa lagi ini?

"Cakk! Cakka, lo denger gue, kan?"

"Cakka! Jawab kali. Malah diem lagi Lo!"

"Eh, I... Iya Ag, tung... tunggu. Gue jemput lo sekarang ya?" pungkas Cakka cepat sebelum memutuskan sambungan secara sepihak.

Dia meletakkan ponselnya begitu saja di atas dashboard setelah memastikan Agni tidak lagi sedang terhubung dengannya. Kedua tangannya mencengkram erat setir mobil menguarkan rasa sakit, menyalakan mesin kemudian mulai menjalankannya keluar dari gerbang utama Cakrawala.

❇❇❇

Alvin melajukan motornya seperti orang kesetanan setelah mendapat panggilan dari Gabriel yang memintanya kerumah sakit, meski suara cowok itu tampaknya biasa saja, namun berita dadakan itu tetap membuatnya cemas, kenapa tiba-tiba Gabriel menelponnya? Jangan bilang terjadi sesuatu disana, jangan bilang Rio mendapat serangan lagi, kritis lagi, ah! Sialan. Lama-lama dia bisa gila memikirkan kemungkinan sesat yang bersarang di kepalanya.

Kekhawatirannya begitu besar, jelas. dua hari ini Rio terus mendapatkan serangan dan harus menjalankan perawatan terisolasi hingga tidak sembarang orang biasa masuk, kondisinya juga belum bisa dikatakan baik selama itu.

Shilla memandangi kekasihnya yang menampakkan wajah datar meski tidak sedingin biasanya.
Sebenarnya, dia takut melihat Alvin menatap jalanan didepannya tanpa ekspresi seperti ini, tampak jelas sekali jika kekasihnya tengah berusaha menyembunyikan kepanikan yang justru terasa semakin jelas dalam sudut pandangnya.

Alvin banyak berubah sejak mereka pacaran, sikap dinginnya sudah berkurang meski masih sirit bicara. Shilla senang Alvin berubah menjadi lebih manis tentu saja, tapi disaat yang sama sikap ini justru membuatnya binggung. Ia dibuat kuwalahan untuk menebak jalan pikirannya.

Sejatinya, Shilla juga cemas namun Ia tahu perasaan ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan kekhawatiran kekasihnya, tidak seujung kukupun.

Perlahan, Shilla menggerakkan lengannya menyentuh pinggang Alvin hingga kebagian depan tubuhnya, "Kamu harus yakin, Vin. Kamu harus percaya kalau Rio nggak selemah yang kita pikirin"

***

Ify menarik nafas dalam – dalam sebelum melangkah masuk ke ruang rawat Rio. Bu Manda dan Pak Tama sedang menemui dokter sementara Gabriel dan Ray pamit ke kantin untuk makan malam setelah memintanya untuk menemani Rio yang disanggupi dengan senang hati. Ify menarik kursi yang tersedia di sisi ranjang kemudian duduk disana, digenggamnya jemari kanan Rio yang bebas infus dan dielusnya perlahan. Entah perasaannya saja atau memang benar jemari lelakinya terasa lebih kurus sekarang, wajahnya yang rupawan tampak pucat, bibirnya kering seakan sakit itu merenggut segala kekuatannya.

"Gimana bisa aku nggak nangis liat kamu kayak gini, Yo?"

Dikecupnya punggung tangan Rio lembut, dingin. "Aku juga manusia biasa kayak yang lain..."

Ify mengangkat wajahnya begitu merasakan jemari yang di genggamnya bergerak, tersenyum cerah menatap sosok di hadapannya mulai membuka mata. Tidak lama Ify merasakan tangannya digenggam erat, ah rupanya Rio sudah mampu menggerakkan tangannya sekarang.

"Eh, udah bangun. Aku panggilin Dokter ya?"

Ify urung melangkah begitu mendapati Rio tampak menggeleng tanpa menganggalkan senyumnya, Ia beranjak membantu Rio untuk bangun dan bersandar di kepala tempat tidur kemudian mendekatkan gelas dan sedotan di bibir Rio untuk memudahkannya minum.

"Makasih, Fy..."

Ify mengangguk senang, "Iyel sama Ray lagi ke kantin, Bunda sama Om Tama lagi nemuin Dokter diruangannya" papar Ify memberitahu daripada mereka saling diam. Berduaan seperti ini membuat nyalinya ciut seketika, Ia seolah kehilangan kata meski hati begitu ingin bersua.

"Oiya, Alvin sama Cakka udah di jalan tuh paling bentar lagi sampe, aku bantuin cuci muka ya, biar segeran"

Rio tersenyum saja.

Ify melompat dari kursinya dan segera ke kamar mandi, menyiapkan baskom berisi air dan sapu tangan basah sebelum kembali ke sisi ranjang. detik berikutnya Ia mulai mengusap wajah tirus lelakinya perlahan tanpa sepatah kata, dingin seolah turut hinggap dalam dada, seperti ada ribuan kupu-kupu yang menari di depan matanya.

"Boleh minta tolong satu lagi?"

Ify mengangguk semangat.

"Kasih tahu apa aja yang terjadi selama aku sakit."

"T... ta... tapi," Ify menggigit bibirnya seraya menunduk "ke... kenapa?"

"Pengen tahu aja"

"Ta... tapi kan,"

"Aku tahu kamu bisa bantuin aku," Rio mengeratkan gengamannya pada jemari Ify baru turun dari wajahnya, "Iya kan, sayang?"

Ify menghela nafas pasrah seraya mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruang, "Dasar tukang maksa!" tutupnya yang dibalas kekehan pelan dari sang empunya ruangan.

"Jadi, semuanya berjalan normal sebagaimana seharusnya, Demo eskul juga udah selesai dan .. bla... bla... bla...

Ify menceritakan beberapa hal yang dia ketahui perihal kegiatan sekolah, demo eskul juga menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan kekasihnya disela Ia bercerita. satu lagi estimasinya tentang Rio salah besar, rupanya laki-laki itu begitu peduli lebih dari yang Ia pikirkan.

"Woy, pacaran aja sih berdua! gantian dong!"

Ify menghentikan kegiatannya kemudian menoleh kebelakang. Cakka dan Alvin yang semula menunggu di depan pintu mulai melangkah masuk mendekati brangkar tempat Rio berbaring. Ify tersenyum sesaat sebelum melepaskan genggamannya hendak melangkah mundur. namun, remasan dingin Rio di pergelangan tangannya membuatnya urung. Ia kembali menatap Rio dan menunggu apa yang harus dilakukannya kali ini.

"Bisa tolong suruh mereka keluar, Fy..."

Hah?

Ify terperanjat dibuatnya, sepertinya bukan hanya dia melainkan dua rang lainnya yang seketika berubah linglung.

"Apa - apaan sih, Lo!" sela Cakka tidak terima.

Rio membiarkan pandangannya kosong menatap langit - langit kamar, "Please, tolong minta mereka pergi dari sini!"

"T... ta... tapi..."

Cakka menghela nafas panjang, "Lo ngusir kita? Lo gila ya?" bentaknya keras. "Gue lansung cabut begitu iyel ngabarin lo udah stabil. kita sengaja nunggu kondisi lo baik buat bisa ketemu setelah berminggu - minggu cuma nonton di kaca doang. tapi Lo malah nyuruh kita pergi? otak lo dimana hah!"

Alvin menepuk pundak Cakka pelan, mencoba memberikan energi positif meski sebenarnya dia tidak habis fikir dengan omong kosong yang tengah si somplak itu ciptakan. seingatnya, mereka baik - baik saja sampai hari ini, tidak ada masalah atau kesalahpahaman apapun yang mungkin bisa dijadikan alasan Rio bersikap demikian. "Tenang, Cakk... tenang, ada baiknya kita keluar dulu sekarang."

"Nggak bisa, Vin! Dia nggak bisa nyuruh kita keluar gitu aja! dia pikir dia siapa? hah?"

"Gue perlu bicara sama dia dan ini penting, Gue nggak bisa nunggu lebih lama lagi"

"Keluar lo berdua!" lirih Rio seraya menolehkan wajahnya menatap Alvin dan Cakka yang belum beranjak, "Gue minta lo berdua keluar, bisa kan?"

"Tapi, Yo?"

"Keluar! Keluar gue bilang!" Rio meninggikan nada suaranya meski dadanya terasa tercekat, seperti ditarik paksa.

Alvin mengepalkan tangannya kuat, "Udahlah, Cakk! kayaknya kita khawatirin orang yang salah. nggak ada gunannya!" tutup Alvin kemudian, detik berikutnya Ia Alvin meraih pundak Gabriel mengajaknya keluar, Cakka mengikuti meski dengan hati terkoyak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top