15 - Sebut Saja ini, Ikatan Batin

Gabriel keluar dari kelasnya dengan wajah cerah, baru saja dia mendapat kabar dari Bu Manda kalau Rio sudah sadar, dia juga sudah memberi tahu Ify kabar bahagia itu.

Dengan langkah setengah berlari dia berjalabmenuju parkiran kemudian masuk ke dalam mobilnya, hendak menjemput Ray sebelum kerumah sakit untuk melihat keadaannya.

Dia sudah tidak sabar ingin menghadiahkan omelan panjang pada adiknya yang sudah seenaknya tidur selama itu, berlibur sendirian tanpa masalah mengajaknya barang sebentar. Tidakkah dia tahu sepanik apa dia malam itu? Ah, dasar adik kecil yang nakal!

Bruuummmm...

Begitu mobil Gabriel keluar dari gerbang sekolah, empat mata yang sejak tadi mengamati gerak-gerik sang pemilik mobil keluar dari persembunyiannya seraya saling tatap.

"Buruan, Kka... Keburu jauh si Iyel" instruksi Alvin, mereka segera menaiki motor masing-masing kemudian memacunya cepat keluar gerbang untuk rencana kedua, pengintaian.

Bertahun-tahun bersahabat dengan hati tentu mudah bagi mereka membedakan kapan salah satu dari mereka sedang sedih, senang, jujur, dan berbohong meski untuk alasan yang baik sekalipun.

Bohong, kalau Cakka bilang dia tidak merasakan keganjilan sikap Gabriel dua hari ini, namun apa arti semua itu jika kemarahan justru mengacaukan semuanya.

Begitu juga Alvin, dusta besar namanya jika dia tidak tahu kaalphaan Rio jelas bukan karena sedang keluar kota seperti yang Gabriel jelaskan kemarin, dia kenal kebiasaan para sahabatnya, terlebih Rio yang sangat tidak mungkin menghilang tanpa jejak seperti sekarang hanya dengan alasan keluar kota, ah... Itu sama sekali bukan dirinya.

Untuk itu, Dia dan Cakka memutuskan untuk mengikuti Gabriel hari ini, bukan karena mereka tidak bisa menanyakan secara langsung, tapi lebih karena mereka menghargai usaha Gabriel untuk tidak berkata yang sebenarnya.

Alvin dan Cakka masih tetap mengintai sampai mobil Vios putih yang sangat mereka kenal memasuki halaman rumah sakit dan berhenti di barisan parkir paling ujung.

Cakka menghentikan motornya agak jauh dari pintu masuk, disusul Alvin dibelakangnya. Mereka saling tatap sampai Alvin mengisyaratkan untuk ikut masuk saja, Matanya mengikuti pergerakan Gabriel dan Ray yang kini berjalan cepat di salah satu lorong panjang gedung super besar itu.

"Buruan kka!" Katanya tak sabar.

Mereka mengikuti setiap langkah Gabriel dan Ray dari jarak yang tidak sebegitu jauh tapi cukup untuk membuat dua orang itu tidak menyadari pergerakannya. Jangan lupakan suasana rumah sakit yang penuh hiruk pikuk setiap harinya, berisik dan penuh dengan orang-orang berwajah tak menentu menunggu dan melihat bagaimana rasa sakit datang dari pergi seenaknya tanpa salam selamat datang juga perpisahan yang benar.

Mereka betah diam sepanjang jalan pengintaian sampai target tampak berhenti di depan sebuah ruangan yang cukup besar di ujung lorong sebelah kiri, ada Pak Putra dan Bu Manda juga disana.

"Intensif Care Unit"

Jdegh...
Alvin dan Cakka yang saat itu berada di ujung pertengahan lorong seketika menghentikan langkah mereka, menyandarkan tubuh yang mendadak lemas di dinding terdekat, beruntung suasana disekitarnya sangat ramai sehingga besar kemungkinan target pengintaian tidak sadar akan kehadiran mereka saat ini.

Alvin tergugu agak lama, memandangi ruangan yang diyakininya tengah menyimpan jawaban penting atas alasan tidak masuk akal yang Gabriel paparkan dalam beberapa hari terakhir.
Hatinya mencelos parah memikirkan jika seseorang yang kini mereka jaga adalah sahabatnya yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, Rio. Sesak mulai mendominasi paru-parunya membayangkan jika seseorang di dalam sana sedang tidak baik-baik saja.

'Jika tidak demikian, untuk apa Gabriel berbohong? Bukankah mereka sudah sama tahu Rio memang sedang sakit? Hahaha! Sial,' batinnya berteriak marah.

"Anjir!! hahaha..." disampingnya Cakka tertawa sumbang, "Sialan banget sih Iyel, gue nggak nyangka dia masih nganggep kita bodoh, Vin!"

Tangannya mengepal kuat menahan diri untuk tidak membogem mentah laki-laki yang kini tampak berbincang dengan Dokter di depan ruang rawat itu.

Segala ketakutan dan kemungkinan buruk yang sejak tadi mengisi kepalanya terasa lebih berat seperti akan meledak, Dia tidak percaya kejadian seperti ini kembali terulang dan dia kembali menjadi salah satu orang yang bahkan tidak tahu apa-apa.

"Gabriel sialan!"

"Gabriel gila!"

"Gue nggak nyangka Lo setega ini sama gue, Yel!"

"Sumpah! Gue bakal bikin perhitungan sama Lo! Gue bakal minta penjelasan sejelas-jelasnya sama lo!"

"Dasar sohib gila, kurang ajar, durhaka! Ah tahu deh! Kesel!"

Alvin tidak menanggapi sedikitpun sumpah serapah yang Cakka lontarkan, dia cukup tahu semua itu bukan ekspresi kesal yang sebenarnya melainkan sebatas alibi atas rasa takut yang kini menguasai benak si biang rese, sama sepertinya.

"Udahlah, nggak ada gunanya Lo uring-uringan gini, malu sama umur" sanggahnya.

Dari kejauhan, tampak Bu Manda, Pak Tama dan Ray pergi meninggalkan ruang tunggu bersama Dokter, menyisakan Gabriel yang baru saja membuka pintu dan menghilang dibaliknya.

Cakka tersenyum sinis memandangi pintu yang perlahan tertutup itu. "Cabut, Vin! Kita bakar petasan di dalem!" Ujarnya mantap.

Segera saja dia menarik lengan Alvin erat, melanjutkan langkah mendekati ruangan yang diyakininya sebagai kamar rawat Rio tanpa sepatah kata yang keluar, dia masih sangat takut untuk mendapati kenyataan yah akan mereka ketahui setelah ini, tapi mau bagaimana lagi.

Kebohongan tidak bisa di abaikan hanya karena niat baik yang ada didalamnya, bukan?

Tidak ingin berlama-lama memendam rasa ingin tahu yang sudah sejak tadi menyeruak ingin keluar, Cakka mengayunkan tangannya meraih handle pintu kemudian membukanya perlahan.

Cklekkk...

"K-- kk-- Kalian...."

Bertahanlah!
Saat kekuatan melemah,
Saat kenyataan tidak sesuai harapan.
Saat cinta dan kesetiaan diragukan, bertahanlah!

---

Dia melangkah pelan mendekati ranjang dimana adiknya berada, memperhatikan si tengil sok tangguh yang kini tampak berbeda dari biasanya. Ruangan putih bersih dengan aroma obat - obatan yang menusuk indera tak membuatnya jengah.

Gabriel betah diam, memandangi adiknya yang masih betah terpejam dengan infusion set melekat di lengan kiri.

Wajah adiknya kuyu, bibirnya kering, tulang pipnya tampak menonjol seolah memperjelas jika anak itu tidak beristirahat dengan baik belakangan ini karena terlalu banyak rasa sakit.

Garis naik turun berwarna kuning yang tampak pada monitor elektrokardio berjalan selaras dihadapannya, Gabriel terhenyak melihat itu seraya menyentuh bagian dadanya yang katanya lemah dari kecil.

Airmatanya lolos tanpa perintah, canula nasal yang bertengger diwajah adiknya membuatnya ikut sesak. Biasanya, saat jantungnya kambuh, dia bahkan tidak sanggup menjelaskan seperti apa susahnya bertahan barang satu menit lamanya, lantas bagaimana dengan adiknya saat ini? Sesakit apa badannya sampai dokter memasangkan alat bantu yang begitu banyak?

"Woy, bangun kek. Kebo banget sih! itu pipi ngalahin Sivia aja mewek Lo!" gerutunya tidak ikhlas sambil memijat pelan lengan adiknya yang bebas infus. Wajah tanpa rona itu tampak begitu tenang saat tidur seperti ini.

"Oiya, demo ekskul udah mulai tuh, Cakka uring-uringan formasi basket belum Lo kirim, mana bolos latihan." masa bodoh dengan keheningan yang mengepung Gabriel melanjutkan monolognya, menceritakan kegiatan di sekolah hari ini hingga beberapa menit kemudian jemari dalam genggamannya tampak bergerak, perlahan kelopak matanya mulai mengerjap hingga terbuka sempurna.

Gabriel menarik kedua sudut bibirnya senang, wajahnya berubah cerah. "Demi tuhan, gue pikir Lo bakal biarin gue ngomong sendiri kayak orang gila tahu nggak? Peka banget sih dikodein!"

Sosok itu tersenyum di sela usahanya menyesuaikan cahaya yang menyeruak di sekeliling ruangan. pandangannya masih kabur, kepalanya berdenyut nyeri begitu netranya terbuka. Meski demikian Ia bisa mengenali wajah lelaki muda di dekatnya ini.

"Yel... K... Kak Iyel"

"Iya, Yo! Ini gue, Gabriel. Akhirnya lo bangun, gimana keadaan lo? gue panggilin Dokter ya?"

Rio menggeleng sebagai jawaban. baru saja dia hendak beranjak saat tiba-tiba bantingan cukup keras terdengar tanpa perintah hingga membuatnya terlonjak dan reflek mencari sumber suara.

Braaakkk!

"Huaah, enak banget nih kayaknya, curhatan nggak ngajakin kita, berasa damai banget pasti nggak ada yang ngerecokin!" suara berat seseorang terdengar bersamaan dengan masuknya dua penghuni baru di balik pintu.

"K.... Ka... Kalian..." Gabriel tercekat, mamatung tidak percaya, suaranya seolah terhenti di kerongkongan. Butuh waktu untuknya mencerna kalau apa yang dilihatnya kini adalah nyata adanya.

Ya Tuhan...

Bagaimana mungkin hal sefatal ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin dua sahabat yang mati-matian dijaganya untuk tetap tidak tahu bisa menemukannya semudah ini?

Dia menunuduk pasrah, tidak ada sanggahan yang tepat untuk menyelamatkan diri saat ini. Ia sudah kalah, tertangkap basah pula.

"Kenapa, Yel? Akting gue nggak keren, ya? Atau dialog gue kurang meyakinkan? Kok muka Lo nggak enak banget sih!" Intrupsi Cakka manatap nyalang sahabatnya yang kini berpegangan di tepi ranjang.

"S... sorry— gu— gue..." Gabriel meruntuki badannya yang tidak bisa di ajak kerjasama dalam suasana seperti ini. Pertanyaannya memang terdengar biasa, namun nada bicara yang berubah jelas menunjukkan semuanya. Rasanya dia ingin berlari sekarang, mengambil bola basket, membeli minum, balon, atau apapun yang bisa dijadikan alibi dan meredakan amarah mereka, tapi tidak bisa. Situasi ini seolah mengikat kedua kakinya untuk tetap tinggal. "Ca... Cakka, so... Sorry. gu... gue nggak bermaksud i... itu..."

"Udahlah! Nggak usah sok ngerasa bersalah gitu, basi tahu nggak!" Cakka memalingkan wajah setelah menampik kalimat Gabriel yang belum ada setengahnya, tatapannya berubah sendu begitu netranya beralih menatap sahabat lain yang berbaring di ranjang pesakitan.

Cakka menyunggingkan senyum yang tampak seperti ejekan tak terbaca. rasanya Ia ingin berteriak, menghadiahkan kemarahan pada sang empunya ruang. Ia ingin mengumpat, memaksa, meminta pertanggungjawaban atas hatinya yang kini diliputi kekecewaan mendalam.

Tapi, melihatnya berbaring seperti itu membuat hatinya trenyuh, Ia rasa diamnya akan lebih baik daripada mengintimidasi seseorang yang masih menjadi tahanan rumah sakit.

"So, Lo bisa jelasin sekarang kenapa kita harus tahu dengan cara kayak gini? Ini kedua kalinya lo bohongin kita! Gue nggak paham lagi mau lo apa!" Cakka berujar seraya melangkah mendekati ranjang dimana sahabatnya berada.

Rio mengulas senyum dari posisinya sekarang, Ia mengisyaratkan pada Cakka untuk mendekat sampai di depan tubuhnya. "To... tolong, ba— bantuin gu— gue bangun, Kka."

Cakka tertegun agak lama sampai kemudian satu lengannya beralih menahan punggung Rio untuk membantunya bangun, "pelan-pelan aja" ujarnya mengingatkan saat badan itu sudah setengah bersandar.

Alvin membantu merapikan bantal, menumpuknya sebelum mengkode Cakka untuk menyandarkan Rio disana.

Setelah selesai, Cakka memilih duduk di sisi yang kosong sementara Alvin berdiri dibelakangnya.

"Perlu gue naikin nggak sandarannya?" lanjut Alvin memastikan.

Rio menggeleng pelan. Atensinya beralih pada Gabriel yang memandang kearahnya tanpa suara, memintanya untuk mendekat juga. "Lo... udah bisa je... jelasin, yel." titahnya

Gabriel memandang ketiga manusia itu bergantian kemudian menggeleng, "Sorry, gue nggak yakin, Yo! secara Cakka udah nolak penjelasan itu bahkan sebelum gue mulai"

Cakka mendecih, dia hendak menghampiri Gabriel di seberang ranjang tapi ditahan Alvin "Lo jangan gila dong! gimana caranya gue bisa menerima penjelasan dari tukang ngibul kayak lo hah! Jelas-jelas Lo udah bohongin kita, teori darimana Lo minta kita buat percaya sama Lo sekarang, hah!"

"Tapi gue bisa jelasin semuanya Cakk, Lo nggak bisa ngejugde gue sembarangan kayak gini"

"Sembarangan darimana? Kita berinisiatif buat ngikutin Lo itu bukan ide sembarangan, Yel!" Cakka melepas kasar genggaman Alvin demi memangkas jarak dengan Gabriel yang tampak melangkah mundur.

"Kalau tadi kita nggak ngikutin Lo, berapa lama lagi Lo bakal bohongin kita? Lagian apa salahnya sih kalau kita tahu Rio lagi sakit? Emang kita selemah itu apa!" Seketika atmosfer ruangan berubah muram.

Alvin berpegangan erat di sisi ranjang menahan diri agar tidak ikut tersulut. Sama dengan Cakka, tentu dirinya juga kecewa, bahkan lebih parah mengingat Rio bukan teman sembarangan yang bisa dia sepelekan seperti halnya pelajaran sejarah. Namun Ia memilih untuk diam, lagipula kemarahan Cakka telah mewakili sebagian kecil dari kekecewaannya saat ini.

"Ta... tapi Gue nggak bermaksud kayak gitu. Gue ngelakuin ini buat Lo, buat kalian!" Gabriel mendorong Cakka yang kini berada sangat dekat dengannya, menambah jarak diantara mereka berdua.

"Buat gue apanya? Ngibul ya, ngibul aja. Nggak usah muter-muter!"

"Enggak gitu, Cakk! Gue cuma nggak mau konsentrasi Lo buyar! Sorry to say, gue nggak bilang kondisi Rio dari awal karena gue nggak mau bikin lo panik disaat lo harus fokus ngelatih junior. Lo pikir gue nggak tahu apa gimana repotnya lo ngurusin mereka sendirian? Hah?" Sanggah Gabriel cepat, dia sibuk mengatur nafas setelah berujar demikian, oksigen disekitarnya terasa menipis sekarang.

"Dan lo, Vin. Gue nggak mau ngerusak acara lo sama Om Nathan kalau seandainya gue bilang kalau masuk rumah sakit dan kondisinya kritis. Demi apa? Gue tahu sedekatnya apa kalian berdua"

Gabriel menghela nafas berat, "Iya. Gue emang salah. gue tahu kalian marah, gua cuma bisa seneng akhirnya gue nggak nanggung semua ini sendirian yaa... meskipun cara gue nggak bener menurut kalian, setidaknya gue udah berusaha buat jelasin semuanya" Gabriel menutup penjelasannya kemudian melangkah keluar, meninggalkan Cakka dan Alvin yang mematung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top