13 - Ayo Bangun, Bocah Nakal!
Usaha pertama belum berhasil, Dokter Andrean tidak mau menyerah, bagi beliau selama masih ada yang bisa diupayakan, mu'jizat tuhan bisa saja terjadi.
Setelah memanjatkan doa dalam hati, Beliau bergerak mengarahkan kedua tangannya bertumpu di dada Rio, menekannya kuat dan teratur dibagian itu, sambil sesekali memberikan nafas buatan manual, sesekali memukul pelan dadanya sesuai siklus CPR - Cardiopulmonary resuscitation.
"Satu... Dua... Tiga..."
"Satu... Dua... Tiga..."
"AYO BANGUN, MARIO! BANGUN!!"
"Satu... Dua... Tiga..."
"Kamu sudah janji buat nurut sama saya, saya mohon buktikan itu sekarang!"
"Satu... Dua... Tiga..."
"Saya nggak peduli bagaimana caranya, Rio!"
"Satu... Dua... Tiga..."
"Satu... Dua... Tiga..."
"BANGUN ANAK NAKAL, SAYA MOHON BANGUN!!"
"Kamu tidak bisa ngelawan perintah saya seenaknya seperti ini, kamu sangat tahu itu!"
"Satu... Dua... Tiga..."
"Saya mohon kembali, Rio!"
"Satu... Dua... Tiga..."
"Bangun anak nakal! Jangan sampai saya benar-benar mengurung kamu nantinya!"
"Satu... Dua... Tiga..."
Dilakukannya hal itu berulang kali hingga tak terhitung lagi, sungguh besar harapan beliau melihat pasiennya kembali membuka matanya, besar sekali.
Baginya, Rio bukan sekedar pasien biasa. Mereka bertemu 3 tahun yang lalu, waktu Rio datang untuk periksa karena demam dan sakit kepala. Sebagaimana pasien lain, beliau menyarankan pada anak itu untuk melakukan tes darah, Rio menyanggupi dengan catatan tes itu tidak sakit.
Sejak pertemuan itu, mengalirlah pertemuan kedua, ketiga, keempat sampai kesekian kalinya seperti hari ini, Rio bahkan datang tidak hanya untuk berobat melainkan berupaya agar hidupnya tidak melulu sama.
Bahkan, pernah suatu hari Rio tinggal dengannya dan Debo selama satu minggu penuh demi tidak ingin membuat Alvin panik karena dia sedang kambuh, dia bertekad kuat dan bersedia melakukan pengobatan apapun selama itu mampu untuk menyempurnakan kebahagiaan yang baru diraihnya. Sampai perlahan, Tuhan menjawab usahanya, harapan demi harapan yang pernah dia ijabkan dalam doa terjawab. Rio berhasil bertahan dan menunjukkan arti harapan dengan cara yang begitu besar. Untuk itu beliau yakin Rio tidak mungkin menyerah dengan cara seperti ini.
"MARIIO!"
"Bangun, jagoan!"
"Bangun, Kamu nggak bisa menyerah sekarang, Mario!"
"MARIO!"
"Kembalilah, Nak!"
"KEMBALILAH ANAK NAKAL!"
"SAYA MOHON BANGUN RIO! BANGUN BOCAH EDAN, SAYA MOHON BANGUN!"
Tiiiitt...
Deg...
Deg...
Deg...
"Tekanan darahnya kembali normal, Dok!"
Huft...
Dokter Andrean menghela nafas lega, Grafik di monitor menunjukkan garis berbeda daripada beberapa saat yang lalu, kini keadaan pasien berangsur membaik meski kesadarannya bekum kembali.
Perawat bergerak mengganti masker oksigen yang tadi digunakan pasien dengan canula nasal karena keadaan tidak lagi seburuk beberapa jam yang lalu.
"Sus, segera siapkan biopsi, saya butuh diagnosa terbaru pasien ini,"
"Baik, Dokter!"
Tidak lama, perawat tadi kembali dengan peralatan sesuai permintaan. setelah menentukan titik yang tepat, beliau memulai tindakan awal biopsi dengan memberikan bius ringan. beliau memutuskan untuk mengambil sampel tulang dada dengan membuat sayatan kecil agar jarum berongga yang sudah disiapkannya bisa masuk. Setelah jarum itu menembus tulang, beliau segera mengambil sampel berbentuk silinder lalu meletakkannya pada tabung yang tersedia kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut. Setelah semua proses selesai, barulah perawat menutup sayatan kecil tadi dengan kain.
"Kita sudah bisa memindahkan pasien ke ruang rawat..."
"Baik, Dok!"
---
Cklek!
Pintu UGD terbuka menampakkan Rio yang berbaring diatas brankar dengan mata terpejam disusul Dokter Andrean dibelakangnya.
Pak Tama melangkah cepat mendekati Dokter, "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Beliau menatap sendu putranya yang masih terpejam.
"Alhamdulillah, Kondisi pasien sudah stabil meski belum mau bangun, Kami akan memindahkannya ke ruang rawat dengan tetap memantau perkembangannya," Jelas Dokter Andrean mengulas senyum tulus, bukan hanya mereka yang berbahagia dengan kabar ini, dirinya pun demikian.
"Syukurlah, Terima kasih banyak, Dokter"
"Kalau begitu, saya permisi dulu"
Pak Tama, dan Bu Manda mengangguk. Detik berikutnya, mereka mengikuti perawat keruang rawat dimana Rio di pindahkan. setibanya disana, keheningan kembali menyelimuti ruangan, Tanpa kata, tanpa suara, hanya desahan nafas yang tersisa.
---
Rio terbaring tenang di atas ranjang dengan selang infus dan canula nasal yang membantunya bernafas.
Gabriel menghela nafas berat, lihatlah! Adiknya tampak begitu payah sekarang, wajahnya pucat dan berantakkan. Dalam hati dia menjerit sakit, marah, juga kecewa karena sakit itu tega merenggut rona cerah dari wajah adiknya, jahat sekali!
Bu Manda duduk di samping ranjang bersama Pak Tama yang berdiri dibelakangnya.
"Sayaaaang..." Bu Manda mengusap lembut surai hitam putranya, meraih tangan yang bebas infus lalu menciumnya, "Bangun ya... Jagoan mama harus kuat, jagoan harus bangun! dia nggak boleh lama-lama keriput seperti jeruk!" Ujar beliau lirih.
Gabriel menatap sendu wanita dihadapannya, wanita yang selalu cantik, wanita tercinta yang senantiasa merangkulnya tanpa ragu kini tengah kehilangan setengah sinar cerah di wajahnya terhempas kesedihan. Wajahnya berganti perih, senyumnya berubah pedih membuatnya tak tega memandang wajah itu terlalu lama.
"Ma, Pa, sebaiknya kalian pulang dulu, kasihan Ray udah ngantuk gitu, biar Iyel aja yang jagain Iyo" pintanya melangkah mendekati bundanya, mencium pipi beliau singkat seperti yang biasa Rio lakukan.
Bu Manda menggeleng, "Nggak, Yel! Mama mau di sini nemenin adik kamu."
"Ma, Iyel ngerti mama khawatir, tapi mama juga butuh istirahat! gimana jadinya kalau tiba-tiba Rio bangun terus ngeliat Mama kurang tidur gara-gara jagain dia. Wah, yang ada dia bakalan ngambek. Mama tahu sendiri kan, dia kalo ngambek tuh nakutin banget, ihhh"
Bu Manda mendesah pasrah, "Yaudah, iyaa iyaa... Mama pulang deh" pasrah Bu Manda, netranya mengarah pada Ify yang menunduk di sofa, duduk di samping Ray yang terlelap.
"Eehmm... Nak Ify mau bareng? Biar nanti Om yang antar pulang. Maaf ya, Sayaang... makan malamnya jadi begini" tawar beliau kemudian.
Ify tersenyum simpul, "Nggak apa-apa kok, Tante... Ify ngerti, Ify juga udah telepon rumah kok, kalau mau nginep dirumah sakit"
"Yaudah kalau gitu. kalian hati-hati ya! jangan lupa makan, kalau ada apa-apa telepon Papa..." pesan Pak Tama, Gabriel dan Ify mengangguk mantap.
Akhirnya, Pak Tama menggendong Ray yang sudah tertidur untuk pulang bersama Bu manda. Setelah sebelumnya memberikan wejangan panjang pada Gabriel dan Ify yang tinggal di ruangan Rio malam ini.
---
Ify menggantikan posisi Bu Manda duduk di salah satu sisi samping ranjang, Gabriel permisi ke kantin guna mencari minuman segar untuk mereka.
Ify memandangi wajah kekasihnya lekat, merasa beruntung Tuhan menggerakkan hatinya untuk datang kerumah keluarga Haling malam ini. jika tidak, bisa dipastikan dia akan uring-uringan sepanjang malam karena Rio mendadak hilang tanpa kabar, tidak membalas pesan, tidak mengangkat telepon, juga tidak menyanyikan lagu pengantar tidur seperti biasa.
"Rio sayaaaang... Kamu pules banget sih, Bobonya! bangun yuk? Kamu kan, belum nyicipin masakan aku, tadi aku bikinin bolu kukus coklat loh buat kamu..." lirihnya tertahan.
Di ciumnya telapak tangan Rio lembut, meski bukan pertama kali melihat Rio tumbang, namun tetap saja hatinya tidak bisa tenang, hatinya tidak bisa untuk tidak menangis setiap kali melihat pemuda ini terpaksa berbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat, bibirnya pias tanpa rona merah sedikitpun, matanya sayu, telapak tangannya dingin dan kasar, namun semua itu sama sekali tidak membuat kharismanya berkurang.
Bagi Ify, bagaimanapun Rio menampakkan diri, dia selalu tampan, meski tubuh itu tidak sekuat dulu, baginya Rio selalu gagah, meski lingkar matanya jelas terlihat, wajahnya tampak lebih tirus hingga tulang pipinya begitu kentara, Ify tidak peduli.
Baginya, Rio tetaplah laki-laki tangguh dan menawan yang telah mendapatkan hatinya sejak lama, dia tidak peduli sekeras apa sakit itu mengikis tubuh kekasihnya, sekuat apa sakit itu memberontak didalam sana, dia tidak takut, dia yakin cintanya tidak akan beranjak sedikitpun. Percaya atau tidak, bisa mengenal dan mencintai lelaki ini adalah jawaban dari Tuhan atas rasa yang diperjuangkannya sejak lama, jelas saja dia tidak akan menyerah dengan mudah seberapapun waktu tersisa untuk mereka berdua.
"Yo... bangun dong... kalo kamu bangun, aku buatin omelette lagi deh kayak waktu itu, kamu masih suka, kan?" Monolognya disela kegiatan mengusap wajah kekasihnya lembut, menghapus peluh disekitar dahinya.
"Ih, kamu mimpi apa sih, sampe keringetan gini, jangan bilang disana kamu lagi main basket. Terus, saking asyiknya berduaan sama si Oren kamu jadi males bangun..." Rancaunya. Susah payah dia menahan diri untuk tidak menangis demi menepati janji. Namun, tetap saja sesak yang ditahannya kali ini tidak semudah biasanya.
Dia gagal menepati janji itu, lagi.
Tangisnya tumpah begitu saja, Dia menyembunyikan wajah di lipatan tangan, menunduk dalam di samping ranjang.
Hiks...
Hiks...
Kamu jahat, yo! Kamu egois! Gimana bisa sih kamu minta aku buat nggak nangis, apalagi pas ngeliat kamu kayak gini.
Aku tahu kamu nggak suka liat aku nangis, aku tahu.
Makanya, kamu bangun dooong. Kamu harus bangun, yo! Bangun buat aku, buka mata kamu, bilang sama aku kalau kamu baik-baik aja.
Aku mohon bangun, sayang...
Yakinin aku sekali lagi, Ulangin apa yang biasa kamu lakuin pas aku kayak gini, peluk aku, rangkul aku, hapus airmata sialan ini, yo! cuma kamu yang bisa ngelakuin itu, cuma kamu yang aku mau buat ngelakuin itu, cuma kamu, cuma kamu yang aku mau.
Hiks... hiks...
Bangun sayang... Aku mohon kamu harus bangun, buktiin sama aku kalau si jahat itu bukan apa-apa buat kamu.
Bangun ya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top