12 - Youre My Best Brother
"Bertahanlah, bukan sebatas untuk menyapa orang-orang terkasihmu.
Buktikanlah, bahwa kamu lebih tangguh dari yang mereka pikirkan!"
***
Tubuh tegapnya itu merosot dibalik pintu sesaat setelah sempurna masuk ke dalam bilik kecil dekat dapur, tangannya bergerak liar menekan perut bagian atas yang yang sudah tidak karuan lagi rasanya, jangankan untuk bergerak, bernafas dengan benar saja susahnya setengah mati.
Meski bergetar, dia memaksakan satu tangan lain yang bebas bertumpu pada dinding guna menahan bobot tubuhnya yang kepayahan, segala kesakitan yang ditahannya sejak berada di meja makan mulai menunjukkan wujud aslinya.
Wajah piasnya memerah, giginya bergemeletuk cepat menghalau ringisan yang nyaris keluar, setidaknya dia harus menahannya sekarang, dia sedang tidak ingin menimbulkan keributan apalagi di rumahnya sedang ada tamu spesial.
Tokk...
Tokk...
Tokk...
"Yo, lo masih di dalem?" Gabriel mengetuk pintu kamar mandi tak sabar, sudah hampir 30 menit adiknya itu ada di dalam dan belum juga keluar. apa saja yang dia lakukan sebenarnya? kenapa begitu lama?
"Lo masih lama? Gue juga kebelet nih"
Rio meringis mendengar celoteh Gabriel di depan pintu, sungguh alibi yang sangat bodoh.
Arggh...
Rio menggigit bibir dalamnya menahan erangan, lagi-lagi perutnya terasa seperti dikuliti, sakit, panas, seperti di remas tangan raksasa yang memaksa isi lambungnya keluar. Susah payah dia berdiri, menyeret tubuh bertumpu pada ujung wastafel bersamaan dengan semakin brutal rasa sakit itu melumpuhkan tenaga yang tersisa.
Hueeek...
Hueeek...
Hueekk...
Pertahanannya roboh sudah, mual yang tertahan sejak tadi tidak bisa diajak kompromi.
"Yo... Buka pintunya, kek!" Teriak Gabriel lagi
Rio menyalakan kran air keras-keras untuk menyamarkan suara, kali ini Ia benar - benar muntah hebat. Hanya dalam hitungan menit, tubuhnya meluruh di dinding ruang dengan berpegangan pada ujung wastafel.
"Semedi dulu ya lo di dalem?"
Ah, rupanya Gabriel belum pergi, Ia masih menggebrak pintu seakan benda itu tidak bisa rusak meski ada badai sekalipun. Rio tidak menyahut, dia harus menghemat tenaganya yang bahkan belum pulih.
"Yo! Lo buka atau gue dobrak nih pintu!"
"Ah kelamaan lo!"
BRAAK...
Gabriel mendobrak pintu kamar mandi sekuat tenaga, cepat saja dia memburu tubuh Rio yang bertumpu ujung wastafel, berdiri membelakanginya. "Yo, Lo nggak apa-apa kan? Ngapain aja sih, lama banget!" Serunya kesal.
Rio memutar badan perlahan, menegakkan punggungnya di ujung wastafel demi terliat baik-baik saja di depan sang kakak. "Gue... gue nggak apa-apa kok, mules doang"
"Ahh, syukurlah..." Gabriel menghela nafas lega, dia sudah parno lantaran adiknya terlalu lama di kamar mandi.
Rio tersenyum, setidaknya untuk beberapa menit kedepan dia berharap ketenangan ini tidak berubah karena masih ada yang harus dia lakukan.
"Yaudah, keluar yuk! Ify udah nunggu tuh, Lo nggak nganterin dia balik?"
Rio mengangguk, baru saja dia hendak mengikuti langkah sang kakak untuk keluar saat lambungnya kembali berulah, rasa sakitnya berkali-kali lipat lebih parah.
"Sssssshhh...." Rio memejamkan matanya kuat-kuat, tangannya meremas lengan kokoh disebelahnya tanpa sadar.
Gabriel memekik pelan atas gerakan reflek Rio yang kini membelakanginya. Cepat dia berbalik dan mendekati Rio yang menunduk dalam tanpa berani menatapnya "Yo? kenapa? mana yang sakit?" tanyanya cemas masih dengan satu tangan yang masih di cengkeram erat oleh sang adik.
"Sssh... sa... sakit, ssh... sakit banget, Yel!" Rio menyandarkan tubuhnya begitu saja, beruntung Gabriel menahannya agar tidak jatuh.
Uhuk...
Uhhhukk...
Rio refleks berbalik, Ia terbatuk berat, tenggorokannya tercekat, dadanya sakit, rasanya seperti habis menelan pasir. dalam hitungan detik, telapak tangan yang semula putih mulai dipenuhi bercak darah, pakaiannya juga demikian.
Ya Tuhan... Sepertinya bukan hanya lambungnya yang terluka parah, tapi paru-parunya juga.
Uhhhuuuk...
Uhhhuuuk...
"Yo! Kenapa?" Gabriel memutar paksa tubuh itu agar menghadap kearahnya, seketika dirinya menegang.
"D... da... darah" suaranya bergetar.
"Ken... kenapa darah? Ini kenapa?"
"Mario, Lo denger gue, kan?"
"Woy, jawab! Lo bisa denger gue?!"
"Yo!"
"RIO!"
Gabriel mengguncang badan yang mulai kehilangan suara, memanggil namanya seperti orang kesetanan. Ini tidak masuk akal, beberapa menit lalu mereka masih saling bicara, bagaimana mungkin orang itu mengacuhkannya seperti orang bodoh!
Uhhhukk...
Uhhhukk...
Rio meringis sakit setiap kali suara batuknya menggema, dadanya seperti di hujam belati panas, sesak. jantungnya seolah berhenti memompa darah di dalam sana, kepalanya sakit luar biasa. Suara Gabriel berdengung seperti radio rusak. lagi, Ia membiarkan badannya tertumpu penuh pada pundak Gabriel.
"Ma... ma... ma... af"
"Rio!" Gabriel memekik sekali lagi, Gabriel yang tidak siap menahan badan Rio yang kini bertumpu penuh padanya membuat keduanya terduduk di lantai. Blank, dia beranjak bangun sembari memangku Rio yang sudah setengah sadar dengan wajah tak terbaca. Waktu seakan berhenti untuk mereka, Gabriel mendadak diam seperti anak kecil, memandangi wajah pias adiknya tanpa kepanikan apapun seolah lelaki yang kini bahkan lebih tinggi darinya itu sedang tidur karena lelah bermain basket.
Hening...
"Yo, Lo nggak mau bangun? Lo berat tahu, manja banget timbang tiduran doang!" ujarnya ringan setelah beberapa menit terdiam.
"Udah ah ngerjain guenya! nggak lucu tahu, Yo!" gertaknya.
"Yo, Lo lagi caper ya, mumpung Ify disini, iyakan? Udahlah! pasaran banget tahu nggak sih cara Lo!" Gabriel mengguncang pundak Rio lagi, namun badan itu tetap diam, tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
"Yo..."
"Rio..."
"Dek, bangun dong, gue mohon!" Gabriel mulai panik, law attractionnya mulai bekerja saat badan tangguh itu tak jua membalas sepatah katapun, tidak tersenyum, tidak bergerak, dia menajamkan matanya, meyakinkan diri jika laki-laki didepannya ini tidak sedang bercanda hingga Ia menemukan sesuatu. Lengan pemuda disampingnya terasa dingin, wajahnya memutih, netranya tertutup rapat, bercak darah disekitar bibir dan pakaian yang mulai mengering itu membuatnya menyadari sesuatu. "MAMAAAAA.... PAPAAAAAAA..." Teriaknya kalut
Rio masih bisa mendengar teriakan itu, meski kepekatan begitu anarkis mengambil alih fungsi matanya, dia masih bisa mendengar kepanikan Gabriel yang tidak berhenti mengguncang badannya, hanya sebatas itu karena detik berikutnya tubuhnya kembali dihujam rasa sakit. sungguh, meski bukan pertama kalinya serangan ini seringkali membuatnya lemah, kali ini tubuhnya tidak sanggup melawan banyak.
"MAMAAAAAA....!!!"
"PAAAPAAAA....!!!" Gabriel tidak mau berhenti mengguncang bahu tubuh Rio, seolah hal itu mampu membuatnya sadar.
"Yo! Bangun, gu... gue... gue mohon bangun, i... ini sama sekali nggak lucu! Gue ta... tahu lo kuat, gue tahu lo bisa, Yo!" Ujarnya bergetar.
"Dek... bangun..." lirih Gabriel lagi, bibirnya bergetar ketakutan.
---
Bu manda menunggu dengan doa yang tidak pernah putus, Tim medis masih memberikan pertolongan pada putranya di dalam ruang UGD. Sementara itu di mobil keluarga Haling diisi dengan kebungkaman semua orang, tatapan mereka seolah menjadi saksi betapa terpukulnya mereka atas kejadian tadi.
Terlebih Gabriel yang terlebih dulu tina di lokasi, genggaman Rio saat badannya nyaris meluruh di dinding tidak bisa di hapus dari fikirannya, suara Rio, kata-katanya yang terputus, permintaan maafnya, gaya sok kuat adiknya, semua terekam jelas dalam ingatan. Lagi, lagi dan lagi Rio berhasil menamparnya dengan pelajaran paling berharga bahwa waktu tidak akan pernah bertolerir pada siapapun di dunia ini, termasuk adiknya.
Ify menunduk di jok belakang, memeluk Ray yang belum berhenti menangis.
"Udah dong Ray, nangisnya, kalau Rio liat pasti dia udah ngamuk-ngamuk sama gue karena kegantengan dia nggak nurun karena lo cengeng. Kan nggak lucu!" Hibur Ify sebisanya.
Pak Tama menatap keduanya dari spion mobil, tertegun dalam hati. "Kak Ify benar, Ray! Ada baiknya kita berdoa supaya kakak kamu baik-baik saja" sambung beliau.
❇❇❇
Tim Medis mendorong brankar Rio ke UGD, Dokter Andrean sudah standby di lobi setelah mendapat mendapat telepon dari Pak Tama setengah jam yang lalu.
"Dokter, Tolong anak saya, Dok! Saya mohon tolong anak saya!" Bu manda histeris
"Ibu, tunggu disini dulu ya, kami akan mengusahakan yang terbaik untuk anak ibu" balas salah satu perawat sebelum menutup pintu.
Blamm...
---
Pertolongan utama dilakukan, perawat yang masuk bersamaan dengan Dokter mulai memasangkan infus tambahan, masker oksigen, menyalakan monitor EKG untuk merekam kinerja jantung pasien.
Dokter Andrean menempelkan stetoskop di dada Rio, memeriksa pupil mata, bibir dan bagian tubuh lain sesuai prosedur. Presepsinya tidak salah, kondisi Rio cukup menghawatirkan mengingat tingkat kesadarannya juga sangat rendah, beliau memberikan beberapa tindakan stimulus untuk merangsang kesadaran pasien kembali namun tidak banyak membantu, Rio tidak menunjukkan tanda-tanda akan sadar meski dosis obat dinaikkan.
Tit...
Tit...
Tit...
Tit...
Tit...
Tit...
"Dokter, tekanan darahnya menurun!" lapor salah satu perawat setelah mengamati grafik EKG yang menunjukkan garis berombak kecil nyaris lurus. Alarm di dalamnya berbunyi agak cepat menandakan kinerja jantung melemah, masker oksigen yang dipasang pada pasien mulai berembun.
"Siapkan defiblillator!" Perintah Dokter Andrean setelah melepas paksa masker oksigen teesebut, beliau meraih alat canggih lain yang berada tidak jauh dari posisinya, perawat membantu mengoleskan gel bening di setiap sisi alat itu.
"Isi 150 Joule, clear!"
"Clear, shoot!" Dokter Andrean menempelkan alat kejut jantung di dada bidang pasiennya.
Deg...
Tubuh itu tersentak beberapa detik saat alat logam menyentuh kulit lalu kembali jatuh. Grafik di monitor masih menunjukkan garis berombak yang sama.
Dokter menggesekkan tiap sisi alat setelah diberi gel bening untuk kedua kalinya.q
"Naikkan! 250 joule, clear!" perintah beliau lagi, kemungkinan jantung terlalu cepat memompa darah sehingga menimbulkan getaran berlebih dan menolak stimulus bisa saja terjadi.
"Clear, Shoot!"
"360 Joule, shoot"
Tubuh itu menaik lalu jatuh kembali, reaksi yang sama berulang beberapa kali.
❇❇❇
Pak Tama, Gabriel, Ify dan Ray mendekati Bu Manda yang masih berada di depan Ruang Unit Gawat Darurat. Beliau duduk di sebelah istrinya, menggenggam tangannya memberi kekuatan.
"Bagaimana, Ma...?"
Bu Manda menggeleng, airmatanya belum mau berhenti. Sejak mereka sekeluarga kembali tinggal satu atap, Rio yang sejak kecil memiliki tabiat sekeras batu koral selalu punya cara untuk menebarkan rona bahagia didalam rumah, Hari-harinya menjadi lebih menyenangkan dengan gerutuan khas putranya yang tak pernah sama. Rio senang mengajaknya bercerita tentang banyak hal, mengembalikan masa-masa kecil yang hilang karena keegoisan dan ketakutan sewaktu dulu.
"Dokternya dari tadi belum keluar , Pa... Mama takut, hiks... hiks..." beliau kembali terisak. Keheningan yang menyelimuti sekitar rumah sakit malam itu berubah mencekam setibanya mereka disini.
Sementara di kursi lain, Ify menatap cemas Gabriel yang masih betah diam tanpa sepatah katapun sejak mereka keluar dari mobil, dia hanya berpesan agar Ify tidak memberitahu berita ini kepada siapapun dulu, termasuk para sahabatnya. Katanya, dia tidak ingin mengirim mimpi buruk untuk mereka semua, Ify menyanggupi meski berat.
Diusapnya bahu Gabriel pelan, mencoba menyalurkan energi positif agar lelaki di sampingnya ini tetap kuat, tegar. Seperti apa yang sering Rio bicarakan, sedang Ray memeluk dari sisi yang lain.
"Rio bakal baik-baik aja kan, Fy...?"
Hening...
Tidak ada jawaban yang keluar, hanya rangkulan ketenangan yang tersalurkan semakin erat disela doa-doa yang terpanjat dalam hati pemiliknya.
"Kenapa diem aja? Lo tinggal bilang kalau tebakan gue benar apa susahnya, sih!" Gabriel meninggikan suaranya, Keheningan ini membuatnya takut, iya. dia sangat ketakutan sekarang.
Ify menggigit bibir nyaris menangis, kerapuhan Gabriel saat ini selaksa sama dengan gumaman sok kuat yang sering di tunjukkan kekasihnya di depan banyak orang, mendengarnya saja hatinya perih.
"Waktu dulu gue masuk rumah sakit, Kata Papa Rio nggak berani masuk pas dia tahu kenyataan sebenernya, mungkin banget hari itu dia mikir kalau dia nggak pantes buat jenguk gue, buat ngeliat gue, bahkan mungkin dia mikir, dia nggak pantes jadi adik gue karena dia nggak tahu apa-apa selama ini" Gabriel menatap kosong koridor rumah sakit yang sunyi senyap tanpa celoteh, tanpa suara siapapun.
"Sekarang, gue kayak ngerasain hal yang sama, Fy. Gue ngerasa nggak pantes jadi kakaknya Rio. Lo liat sendiri gue nggak bisa ngelindungin dia, gue nggak bisa ngelakuin apa-apa buat dia. situasi ini sama kayak waktu itu pas gue tahu kalau ternyata Rio juga sakit, bahkan sakitnya lebih parah dari gue..." Gabriel menunduk dalam. Hatinya berdenyut sakit mengingat hari itu, apalagi saat Alvin menceritakan apa yang terjadi dengan Rio di rumah pohon satu tahun lalu.
"Gue takut, Fy! Gue takut dia macem-macem didalem sana. Lo tahu kan, dia sebandel apa? gue nggak mau dia ngambek terus ninggalin gue lagi" Lanjutnya tertahan.
"Udahlah, kak! Udah, Lo tenang ya... Gue yakin kok Rio nggak bakal berani macem-macem, gue tahu dia bandel, tapi gue juga tahu sebatu apa dia! nggak mungkinlah dia nyerah gitu aja, orang gengsian gitu mana mau kalah!" Ify akhirnya bersuara, mati-matian dia berusaha menjaga janjinya untuk menjadi lebih kuat dan tidak cengeng. sebab, jika sampai dia ketahuan melanggar, Rio pasti akan meledeknya dan mengatainya sepanjang sungai Han, ah. Menyebalkan sekali memang orang itu.
"Tapi... Fy, kalo sampai ada ses-"
"Positif thinking Kak, Rio sering bilang sama gue, kalau sugesti baik seringkali berhasil" sanggah Ify sebelum Gabriel mulai berpikir yang tidak-tidak, dia tidak mau terperangkap pada suasana yang lebih menakutkan jika benar sampai terjadi hal buruk pada kekasihnya.
'bisa-bisa gue ngelanggar janji gue sendiri, dan itu artinya gue nggak percaya sama cinta si kapten somplak itu. Hah! nggak, nggak boleh! itu nggak boleh terjadi!'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top