10 - Demi Kebaikan, Katanya

Seperti kebanyakan quotes populer yang berkata bahwa kebahagiaan itu tidak kekal, seperti itu juga Tuhan membawa cerita manusia pada jalan berkelok yang tidak pernah sama. Tuhan begitu mulia, Ia begitu adil menempatkan jalan bagi hamba-hambanya sehingga semua mahluknya mendapatkan jatah bahagia dan duka sesuai dengan tingkatan, Semakin tinggi keimanannya, maka semakin besar pula Tuhan mengujinya sebagai upaya pemantasan diri sebelum Ia benar-benar menaikkan derajat orang itu satu tingkat lebih tinggi.

Satu minggu kemudian...

Langit masih gelap diluar sana, rembulan tampak benderang di tengah kesunyian dan desir angin malam. Semua keindahan alam itu tengah menjalankan tugas mulia dari Tuhan, merengkuh jiwa-jiwa kelelahan dalam istirahat mereka agar setiap mata yang terpejam mendapatkan kenyamanan dan harapan yang utuh agar dunia tetap berputar sebagaimana biasa dihari esok, lusa, lusa lagi dan seterusnya.

Meski demikian, seperti halnya kedamaian yang tidak selalu datang bersamaan. Ditengah hening ini, keadaan berbalik mungkin datang pada mereka yang Dzat maha indah kehendakkan. Sebagaimana apa yang Tuhan hadiahkan pada salah satu ciptaannya yang kisahnya dinantikan banyak orang.

Nuansa putih yang mendominasi hampir di semua sudut ruang menunjukkan kesederhanaan pemiliknya. Ia membaringkan tubuh, menatap langit - langit kamar yang memantulkan cahaya kotak-kotak dari lampu tidur di samping nakas, mengamati bayangan dirinya disana. Tubuhnya tampak tidak berisi, apalagi sexy. sweater putih pemberian Ify tahun lalu tampak sangat longgar di tubuhnya.

Sejak sakitnya mulai naik level beberapa bulan yang lalu, diakui atau tidak intensitas serangan yang diterimanya juga ikut naik level, dalam satu minggu bisa tiga sampai empat kali Ia collaps dengan titik sakit yang berbeda, kerap kali serangan itu muncul disaat yang tidak tepat sehingga dia harus memutar otak lebih keras untuk menemukan alibi yang tepat untuk menghindar, bersembunyi sejenak, atau menghilang dari pengawasan teman-teman dan itu amat sangat susah sekali.

Pesan panjang Dokter Andrean saat dirinya check up terakhir kali masih teringat jelas di kepalanya, meski tidak terang-terangan menyalahkan aktifitasnya yang banyak, Om Dokter itu jelas mendoktrinnya untuk berhenti dan fokus pada pengobatan dalam jangka waktu yang lama, membuatnya frustasi saja.

'Bakteri ini ibarat setan kecil, Yo! dia bisa masuk dari celah-manapun dan sekecil apapun dalam darah kamu, apalagi kalau ada pergerakan hebat yang menyertainya, mau nggak mau molekul darah dibadan kamu ikut bergerak dan itu mempermudah dia nyebar kemanapun. Dalam kasus kamu, sekarang dia udah mulai nyerang otak belakang, pusat pergerakan manusia. Jadi kalau kamu terus-terusan bandel dan nggak mau istirahat kayak gini, jangan kaget kalau hanya dalam hitungan bulan saya bisa saja menjadikan kamu tahanan rumah sakit agar kamu fokus sama pengobatan yang kamu jalani sekarang, kita harus cepat karena bla...bla...bla...'

Petuah panjang Beliau berhasil memenuhi setiap jengkal fikirannya hingga kepalanya serasa mau pecah, berbagai macam pengobatan serta kemungkinan efek samping yang beliau jelaskan sama - sama berat dan beresiko. Hati mana yang tidak hancur menerima vonis semengerikan itu? Dia tidak ingin menyerah tapi sakit ini seringkali memaksanya untuk kalah.

Andai dia tidak punya siapa-siapa untuk di perjuangkan tentu dia tidak akan bertahan sejauh ini. kini, masih banyak senyum yang harus dijaganya agar senantiasa mendamaikan dunia, masih banyak tanggung jawab yang harus Ia selesaikan sebaik mungkin, setidaknya sampai dia benar-benar tidak bisa melakukannya. Salah satunya, memimpin latihan junior hari ini.

"Yo gue masuk ya?"

Ah ayolah, ini masih pagi.

"Hmmm" sahutnya malas. Rio menarik selimutnya kembali, tapi belum apa-apa benda itu lebih dulu ditarik dengan kuat oleh seseorang yang diyakininya adalah sang kakak.

"Bangun, boy! udah pagi"

"5 menit lagi lah..."

"Ya... oke, tapi gue nggak nanggung kalau lo telat, Cakka udah otw katanya" Gabriel berujar lagi, nadanya kaku, otoriter keras berat.

Rio mendesis kesal, kalau Gabriel sudah menggunakan nada seperti itu artinya dia harus segera bangun atau sang kakak akan mengomelinya hingga Ia bosan. "Lo mah gitu, nggak sayang sama gue" gerutunya tidak ikhlas seraya bangun dan melangkah malas ke kamar mandi.

Gabriel tertawa penuh kemenangan lalu mengambil alih kasur Rio dari sang empunya ruangan dan menggulung badannya disana, tiduran bebek sambil menunggu Rio selesai bersiap.

❇❇❇

Sementara di balik gedung besar yang sama fungsinya memandangi ponselnya gusar, hari ini dia gabut parah. Ketiga sahabatnya kompak ada acara, Shilla mau menemani mamanya ke salon, Sivia jalan sama Gabriel, sedangkan Agni kerumah tantenya untuk belajar masak. Deva sudah pergi sejak pagi karena ada misi penting sama Ray, dan parahnya disaat yang sama lelakinya juga tengah mengemban tugas khusus dari pak Joe untuk melatih junior yang artinya seharian ini Rio akan lebih jatuh cinta pada si Oren bundar daripada dirinya.

finnaly, sepagian ini Ify hanya guling-guling dikasur, bermain ponsel, menonton televisi dan beberapa aktifitas membosankan lainnya demi menyenangkan diri sendiri.

"Huaaah, melas banget sih Lo, Fy... udah di tinggal sohib, punya pacar sok sibuk, diselingkuhin si Oren pula" gerutunya pelan

Tidak ada kegiatan berarti yang dilakukannya sampai tiba-tiba obsidian gelapnya menoleh pada pigura hitam besar yang menggantung tidak jauh dari meja belajar, dipandanginya foto dalam frame itu agak lama, tidak ada yang aneh dengan potret itu sebenarnya, hanya jepretan biasa yang menampakkan dirinya terduduk di tengah hutan dengan gaun dan rambut berantakan serta wajah basah yang polesannya sudah hilang hingga membuatnya terlihat sangat kuyu, kusut, pucat, sembab dan banyak lagi istilah kurang cantik lainnya.

"HAHAHAHAHA...."

Dia tertawa dalam hati mengingat detik-detik yang memungkinkan paparazzi itu memotretnya, mengingatkannya pada malam tak terlupakan satu tahun yang lalu, malam luar biasa disaat ketulusan dan keteguhan menjawab mimpinya bersama takdir baik tuhan.

"Seandainya malam itu Debo nggak nyulik gue, seandainya dia nggak nahan gue, terus dia nggak bongkar obrolan kalian, gue yakin muka ancur gue yang yaa walaupun masih cantik ini nggak bakal mejeng disini, hahaha... Sumpah Yo, Gue nggak habis pikir kenapa setiap sama Lo hidup gue jadi kayak roallercoaster yang nggak jelas putarannya kemana, dan anehnya gue nggak pernah bosen diposisi itu. Kayaknya, si Darwis bener deh waktu dia bilang kalau cinta itu setia dengan indahnya ngerasa cukup, seperti cinta Lo yang selalu lebih dari apa yang gue harepin" gumamnya sambil memandangi foto itu sampai sebuah ide terbesit di kepalanya.

"Aha! dari pada gabut mending gue masak, kan? lumayan buat temu kangen sama bunda, udah lama ini nggak kesana" pikirnya senang, segera saja dia melompat dari kasur saat ide itu muncul, melesat ke dapur untuk melihat isi kulkas, mengambil beberapa bahan yang sekiranya dibutuhkan. di second berikutnya Ia disibukkan berbagai alat dapur dan bahan makanan.

❇❇❇

Bangunan megah kebanggaan siswa-siswi Cakrawala kembali menunjukkan pesonanya dari berbagai sudut hari ini, salah satunya dari lapangan outdoor.

Siluet sejuk mentari yang mulai menaik seiring bergantinya waktu, perlahan teriknya langit mulai mengambil alih kala siang menjalankan tugasnya. Meski begitu, dua pemain inti Cakrawala masih tangguh berada di tingkat awal permainan mereka. Semangat menggebu terlihat jelas di wajah keduanya. Si oren bundar selalu bisa memanjakan mereka dengan aksi menggelinding indah yang membuat Cakka dan Rio tidak lelah memainkannya.

"Oke! Berikutnya, show off. Alias center main penuh dalam tim, model begini bisa aja dilakuin dalam pertandingan. tapi sama sekali nggak dianjurin, ya? Soalnya, Nggak semua pemain sanggup ngelakuinnya, kalau dipaksain sama aja bunuh diri! So, kalian lihat dulu, cermatin baik-baik" intruksi Rio pada beberapa junior yang berdiri tidak jauh darinya dan Cakka yang kini berada ditengah lapangan.

Mereka tampak bersemangat mengikuti latihan ekstra yang di agendakan sekolah, begitu juga dirinya yang belum tampak lelah meski lebih dari dua quarter mereka bermain, sepertinya antusiasme junior secara tidak langsung membuat tenaganya dua kali lebih kuat.

"Lanjut, Cakk..." Intruksinya lagi.

"Pass..." Cakka melempar bola yang ditangkapnya dengan cepat.

Dalam hitungan detik setelahnya, Rio tampak lincah ditengah lapangan. Memainkan si oren bulat layaknya pemain basket profesional. Caranya melempar, menggiring bola, shoot kearah ring, gerakan mengecoh lawan, strategi pivot dan masih banyak lagi jenis gerak serang dan pertahanan yang dimainkannya begitu apik seorang diri.

Cakka tertegun, meski bukan pertama kali melihat sahabatnya melakukan aksi ini, tidak bisa dipungkiri kalau dia selalu suka cara Rio membawa bola. Aksi individu kapten Cakrawala ini selalu memukau dalam penilaiannya, ah! Bahkan dia yakin si oren mungkin akan mengatakan hal yang sama jika benda mati itu tiba-tiba hidup dan bisa bicara seperti di film horor yang sering mereka tonton.

'Aduh Cakka lo ngomong apa sih!'

Duk...

Dukk...

Dukk...

Rio memulai aksinya, menggunakan beberapa strategi untuk mencetak angka sebanyak mungkin. Disekelilingnya sudah ada pemain pembantu yang disiapkan Pak Joe untuk mereka latihan. Beliau sengaja tidak meminta pemain inti yang lain meski Gabriel dan Alvin menawarkan diri sebelumnya.

Cakka mengamati permainan di tengah lapangan sambil sesekali menjelaskan pada adik kelas tentang berbagai posisi yang tengah Rio perlihatkan.

"Itu, ambil alih starter"

"Kalo itu, forward. ngejagain si oren, alias pertahanan"

"Nah, yang ini power center, alias main penuh dalam tim, resiko strategi ini bakal bikin kalian kehabisan tenaga, cidera, dan otomatis jadi prioritas lawan dilapangan, kayak gitu..." jelas Cakka saat melihat Rio dikepung lawan mainnya.

Namun, mengingat kemampuan individual kaptennya memang di atas rata-rata dia berani memastikan hanya butuh beberapa menit untuk membuat permainan tim lawan berantakkan.

"Loh? kok bolanya dilepas?" komentar Bagas, junior yang berdiri paling ujung dari barisan.

"Iya, ya..."

"Center harus terus ngedapetin bola kan, ya?" Sambung rekannya yang lain, Difa.

Cakka mengarahkan atensinya mengikuti arah yang ditunjuk Difa, para pemain di lapangan tampak kebingungan dan membiarkan si oren menggelinding di bawah kaki mereka.
Permainan macam apa ini?

Netranya bergerilya cepat mencari siluet sahabatnya yang tengah terduduk sambil memegangi kepalanya. Cepat Ia menerobos kerumunan, memposisikan diri di depan Rio yang masih menunduk dan mengajaknya menepi.

Rio linglung, dia bisa merasakan cengkraman erat Cakka dipundaknya lengkap dengan gerutuan malas orang itu saat memapahnya menepi. Dia ingin bicara tapi suaranya seakan tercekat di pangkal lidah, enggan keluar, dia ingin membalas sentuhan Cakka tapi badannya tidak bisa diajak kompromi, tangannya lemas, kakinya apalagi.

Cakka mendudukkan Rio di rerumputan, menyandarkannya pada dinding pembatas tribun, di tepuknya wajah itu pelan, berharap akan ada respon balik.

"Yo..."

"Lo nggak apa-apa kan?"

"Lo baik-baik aja, kan?"

Rio hanya diam, tidak berbicara dan bahkan tidak melakukan pergerakan apapun.

"Yo, nggak lucu bercandanya!"

Cakka panik, tidak biasanya Rio bersikap seperti ini, terlebih saat tanpa sengaja dia menyentuh lengan Rio, merasakan hawa panas yang menguar dari tubuh itu membuatnya menyadari sesuatu.

"Woy, minta minum dong!"

---

Rio menahan senyum saat merasakan sentuhan dingin dikulitnya, dia tahu Cakka sengaja membasahi tangan bahkan wajahnya, mengusapnya dengan omelan yang tidak pernah putus.

Jelas, dia tahu Cakka pasti panik mengingat mereka hanya berdua saja disini. meski tidak secara lansung, si biang rese yang hobby bertingkah konyol ini selalu punya cara untuk menujukkan respectifitas tingkat tinggi padanya. Lihat saja sekarang, si Cakka yang doyan banget nebeng alias nggak mau repot, bersedia melakukan hal yang sama sekali bukan kebiasaannya.

"U... Udah, nduuut, udaaaaah..." serahnya setelah beberapa waktu memilih diam, setelah bersusah payah, akhirnya suara itu berhasil keluar. "Gue udah nggak apa-apa, kok" lanjutnya.

Perlahan tenaganya berangsur pulih, tangan dan kaki yang tadinya lemas bukan main mulai mendapatkan fungsinya kembali, ya... meski sudah gagal menutupi keadaan sebenarnya di depan Cakka, setidaknya dia tidak sampai membubarkan latihan.

Cakka menghela nafas lega mendengar suara itu, diambilnya botol minum yang tergeletak tidak jauh dari tempat mereka duduk kemudian menyerahkannya pada Rio.

"Minum biar segeran dikit" suruhnya

"Thank's"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top