68. Jadi Ini Namanya

Tanpa terasa, sekarang sudah memasuki tahun ajaran baru dan sesuai yang dijanjikan oleh sang ayah beberapa waktu lalu, Jungwon akhirnya didaftarkan di sekolah formal. Ia juga telah menjalani ujian kelulusan kira-kira seminggu yang lalu dan kini tinggal menentukan saja sekolah mana yang remaja laki-laki itu inginkan.

Mulanya, Mama Eunha berkata jika ia ingin kedua putranya bersekolah di tempat yang sama saja, terlebih saat ini Jay sudah berada di tahun akhir sekolah menengah atasnya. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir lagi, agaknya terlalu egois jika mereka memaksakan kehendak hingga akhirnya Jungwon diminta memilih sendiri sekolah mana yang diinginkannya.

Jungwon sendiri agak ragu ketika ditawari untuk memilih seperti itu, sebab ia tidak tahu banyak mengenai sekolah-sekolah yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggalnya yang sekarang. Namun, sejak dulu ia selalu ingin bersekolah di sekolah Negeri. Tidak tahu jugalah, ia hanya ingin merasakannya saja.

Saat ia mengenyam sekolah dasar, sekolahnya itu merupakan yayasan swasta, satu-satunya tempat yang menyediakan pendidikan gratis di sekitar lingkungan tempat tinggalnya itu. Lalu saat memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, ia juga mengalami hal serupa.

Bukan tanpa alasan Jungwon ingin merasakan bagaimana rasanya bersekolah di sekolah Negeri, sebab jujur saja dirinya merasa sedikit trauma bersekolah di tempat orang-orang yang biasanya bisa membayar apa pun untuk pendidikannya seperti itu.

Pengalaman yang kurang baik ketika bersekolah di SMP Sukmajaya, membuatnya selalu membuang jauh-jauh opsi untuk sekolah swasta. Hanya itu saja sejatinya alasan yang ia miliki.

"Sekolah di tempat Abang aja, Dek. Nanti kamu satu angkatan sama Ni-Ki." Begitu yang Jay katakan kepada sang adik, saat keduanya tengah bermain game bersama di kamar.

Sekadar info, Jungwon mulai membiasakan diri untuk turut serta dalam semua yang dilakukan oleh sang kakak ketika diajak. Iya, kapan pun Jay mengajaknya untuk melakukan sesuatu, ia pasti akan menurutinya. Tidak enak juga kalau terus-terusan menolak.

Mendengar yang dikatakan oleh sang kakak tadi, membuat Jungwon menggigit bibir bagian bawahnya. "Tapi sekolah Abang mahal," ujarnya kemudian.

Jelas saja Jay otomatis berkedip berkali-kali, sebelum kemudian mengehentikan sementara permainan yang tengah ia lakukan. Menoleh sang adik yang kini ikut-ikutan memperhatikannya. "Y-ya, kan ... nggak apa-apa, mahal. Yang penting, kan, pendidikannya, Dek."

Jungwon menghela napas pendek, kemudian menggeleng. "Kalo cari yang gratis aja nggak boleh, kah?"

Pertanyaan yang adiknya lontarkan barusan, jelas membuat Jay tertawa. "Boleh, sih," ujarnya. "Tapi baru mau daftar aja pasti langsung nggak diizinin sama pihak sekolahnya."

"Kenapa?" Jungwon bertanya dengan wajah polos.

"Ya, kan, sekolah gratis biasanya untuk anak-anak yang kurang mampu, Adek. Kalo semisal kamu daftar buat itu, terus pihak sekolah minta bukti keterangan tidak mampu, kamu mau ngasih apa?"

Jungwon tidak menjawab. Benar juga yang kakaknya itu katakan, pikirnya. Karena menurut yang ia tahu, bukti keterangan tidak mampu itu mencakup beberapa hal yang salah satunya adalah menyerahkan foto rumah tempat tinggal dan mengisi berapa jumlah pendapatan orang tua perbulan. Kalau semisal ia tetap kukuh mendaftar, lalu menyertakan besaran gaji bulanan sang ayah ... sepertinya ia akan langsung ditolak masuk.

Walaupun sebenarnya ia tidak tahu juga, sih, berapa besaran gaji pokok sang ayah. Tidak sopan juga, bukan, kalau bertanya?

"Udahlah, Dek. Sekolah di Baper aja. Papa nggak bakal langsung bangkrut kok, dengan nyekolahin kita berdua di tempat yang sama."

Bukan itu yang menjadi fokus Jungwon kali ini, tetapi kata yang diucapkan sang kakak sebelumbya. "Baper? Kok sekolah di baper? Emangnya ada sekolah yang namanya baper?"

Meledaklah tawa Jay saat itu juga. Padahal, sudah lebih dari satu tahun Jungwon tinggal bersama dengannya, tetapi ternyata sang adik belum mengetahui perihal sekolah tempatnya mengenyam pendidikan selama ini.

"Baper itu singkatan dari Bakti Pertiwi, Dek," jawab Jay kemudian, menjawab kebingungan sang adik yang langsung memberikan respons berupa 'oh' yang lumayan panjang. "Jadi, mau kan, sekolah di tempatnya Abang?"

Jungwon menggeleng. "Nggak tau," jawabnya. "Nanti pikir-pikir lagi, deh."

"Ya udah." Jay hanya bisa pasrah, tidak bisa memaksakan keinginan sang adik karena hal itu tidak baik, bukan? "Tapi tetap harus siapin dua sampai tiga kandidat sekolahnya ya, Dek. Biar kalo semisal nggak keterima di salah satu, bisa ke yang lain. Kamu mau sekolah negeri, kan?"

Atas semua yang dikatakan sang kakak, Jungwon memilih menjawabnya dengan anggukan. "Penginnya gitu, tapi katanya kalau daftar di sekolah negeri agak susah, ya?"

"Abang nggak tau juga, sih," jawab Jay kemudian. "Tapi menurut teman-teman Abang emang gitu, lumayan susah pas seleksi."

Alhasil, keduanya malah asyik mengobrolkan perihal pengalaman di sekolah---yang kebanyakan diisi oleh cerita dari Jay---dan melupakan game yang sejak tadi mereka mainkan.

Sampai Mama Eunha datang untuk mengajak keduanya makan siang, mereka masih terlihat asyik mengobrol. Perempuan dengan rambut hitam sebahu itu tertawa kecil saat melihat kedua anaknya. Walaupun keduanya sudah remaja, tetapi cara mereka bercerita membuat Mama Eunha merasakan jika anak-anaknya itu masih kecil.

Di libur panjang seperti ini, Jay memang lebih senang menghabiskan waktu di rumah, terutama setelah ada Jungwon. Paling kalaupun izin pergi bermain---berkumpul dengan teman-temannya---tidak begitu lama. Seringnya hanya pergi makan malam bersama dan akan kembali ke rumah, tidak lebih dari jam sepuluh malam. Itu pun masih harus diantar jemput oleh sopir.

Papa Jun memang terkadang lumayan berlebihan untuk hal menjaga anaknya, padahal Jay sudah bisa mengendarai mobil sendiri dan memiliki SIM untuk itu. Akan tetapi, namanya juga orang tua, Papa Jun masih takut kalau membiarkan anaknya lepas pengawasan begitu saja.

Beruntungnya, Jay tipe anak yang menurut, walaupun terkadang ia bosan juga kalau harus diantar jemput sopir. Makanya tak jarang, malah ia yang menyopiri sang sopir keluarga dengan syarat, 'ini rahasia' dan sang ayah tidak boleh mengetahuinya.

"Abang, Adek, ayo makan siang dulu." Mama Eunha akhirnya bersuara saat kedua anaknya mulai terlihat hendak berancang-ancang kembali memainkan game yang sempat diabaikan oleh keduanya. "Mainnya udahan, nanti lanjut lagi."

Jay dan Jungwon langsung menurut saja. Kebetulan, mereka juga sudah merasa lapar karena ketika sarapan tadi hanya memakan sereal dengan susu. "Papa pulang, Ma?" tanya si sulung saat ketiganya berjalan bersama menuju meja makan.

Mama Eunha menggeleng. "Enggak, soalnya mau ada meeting sama klien. Tapi nanti pulangnya nggak sampai sore kayak biasa, kok. Paling jam tiga udah di rumah."

Keadaan rumah memang kembali lagi seperti sedia kala. Tidak ada lagi manusia yang hobi berkomentar seperti Oma Jung karena beliau sudah kembali ke rumahnya, beberapa hari setelah Jungwon keluar dari rumah sakit waktu itu. Sudah lama sekali, memang.

Mengenai kasus keracunan yang sempat Jungwon alami, remaja yang usianya sudah lima belas tahun itu masih belum mengetahuinya. Murni berpikir kalau yang terjadi waktu itu hanya karena demam saja. Keluarganya pun tidak mau menceritakannya, sebab khawatir jika nantinya Jungwon jadi berpikir yang tidak-tidak.

Pelaku yang tak lain adalah Byun Sara, dikabarkan masih tidak mau mengakui siapa dalang di balik rencana busuk tersebut dan ia memilih mendekam di balik jeruji besi setelah semua bukti merujuk ke arahnya. Setelah diselidiki, ternyata dalang di balik semua ini telah membungkam mulut Byun Sara dengan memberikan bayaran yang sangat besar hingga mampu membiayai kehidupan keluarga wanita itu selama ia berada dalam penjara.

"Kalian makan yang banyak. Nanti habis itu, kita siap-siap."

Ucapan Mama Eunha barusan, membuat Jay dan Jungwon kompak mengerutkan dahi mereka tak mengerti. "Siap-siap ke mana, Ma?" Si sulung mewakili sang adik untuk bertanya.

Sementara itu, Mama Eunha malah menyunggingkan senyum penuh arti, sepertinya ibu dari dua anak itu terlihat senang sekali. "Kejutan!" balasnya. "Kita ke rumah Nenek besok pagi."

"Serius, Ma!?" Jay bertanya semangat yang langsung dihadiahi anggukan oleh sang ibu.

Pantas saja kedua orang tuanya ini sama sekali tidak menyinggung akan pergi berlibur ke mana saat liburan panjang seperti sekarang. Jay pikir, tak apalah, sebab ia juga mengerti bahwa sang ayah memang memiliki kesibukan tersendiri. Akan tetapi, ternyata ini yang direncanakan oleh kedua orang tuanya.

Kalau Jay merasa senang, maka ada Jungwon yang bingung.

Jadi, ini yang namanya liburan sekolah, ya? Begitu yang ia tanyakan dalam benak.

JAYWON
Minggu, 22 Mei 2022

"Tanggalnya cakep, ayo nikah!" ajakku kepada Kim Mingyu wkwkwk.

Btw, sekali lagi, maaf karena aku updatenya ngaret ya gengs, maaf udah bikin kalian menunggu lama. Aku nulis kalo ada yang nyariin, wkwkwk. Kalo nggak ada yaaa, begitulah :) aku malesan anaknya.

Oh iya, ini agak dicepetin yaa, biar Jungwon bisa ngerasain sekolah di book ini wkwkwk.
Walaupun ujung-ujungnya tetap rada lambat juga alurnya :)

Seperti biasa, kalau bosan menunggu tinggalin aja ya, gengs. See u!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top