67. Sebuah Permintaan

"Mungkin dianya keenakan, kali, dirawat di rumah sakit mahal kayak gini. Dia nggak tau, kali, berapa biaya buat dirawat di sini untuk semalam. Kamar VVIP, pula."

Kalimat panjang yang dikatakan oleh Oma Jung kemarin, masih terngiang-ngiang di kepala Jungwon hingga sekarang. Bahkan saat tertidur, pun, wajah wanita tua itu muncul dengan galaknya sambil terus mengatakan betapa tidak berguna ya ia hidup di dunia ini. Duh, kalau seperti ini, Jungwon semakin merasa tak enak hati jadinya.

Karena perkataan Oma Jung pulalah, sekarang ponsel miliknya sudah berada di tangan. Semalam, ia berkata jika merasa bosan di rumah sakit, berharap salah satu anggota keluarganya peka dan akan segera memperbolehkannya untuk pulang. Akan tetapi, kenyataannya malah berbeda. Sang kakak dengan senyumnya malah berujar, "Besok Abang bawain hp Adek, biar nggak gabut-gabut amat. Hari ini main pake hp Abang aja."

Alhasil keesokan harinya, Jay benar-benar membawakan ponsel milik sang adik sebelum pergi ke sekolah. Seperti rutinitas biasanya, putra sulung Park itu akan menjenguk adiknya sebelum berangkat menimba ilmu. Padahal menurut Jungwon, bukankah hal itu melelahkan? Padahal akan lebih baik jika ia sudah pulang dari rumah pesakitan ini. Akan tetapi, ya sudahlah, pikir Jungwon. Toh, kalau semisal ia pulang, pun, pasti akan bertemu lagi dengan Oma Jung. Jujur saja, ia merasa takut.

"Kemarin caranya buka aplikasi pencarian itu gimana, ya? Apa namanya kemarin?" Jungwon bergumam seraya menggigit bibir bagian bawahnya. Dahi remaja 14 tahun itu berkerut tanda sedang berpikir keras. "Waktu itu pas diajarin Bang Jay gue ngapain, sih? Kok jadi kayak bodoh banget sekarang?"

Omong-omong, hanya ada dirinya di ruangan. Ah, tidak juga, sih. Ada sang ayah yang sedang menelepon di balkon kamar rumah sakit tempatnya dirawat, sementara ibunya sedang pergi ke kafetaria untuk memesan makan siang.

"Gugel, ya, namanya?" monolog remaja lelaki itu, saat melihat aplikasi Google yang berada di layar ponsel miliknya.

Beruntungnya, ia masih mengingat step-step yang kakaknya ajarkan untuk menggunakan aplikasi pencari di internet itu. Makanya dengan gerakan mengetik yang cukup lambat karena harus menyentuh hurufnya satu persatu, Jungwon akhirnya mencari tahu berapa kiranya biaya rumah sakit untuk semalam.

Jawaban yang didapatnya beragam dan menurut Jungwon harganya juga lumayan mahal. Seperti seratus hingga dua ratus ribu permalam, tetapi kembali lagi, semua tergantung rumah sakitnya karena tidak semua sama biayanya. Akan tetapi, remaja itu butuh jawaban yang lebih pasti. Sayangnya, Jungwon tidak tahu nama rumah sakit tempatnya dirawat ini.

"Adek ngapain? Kok mukanya kayak serius banget gitu?"

Agak tersentak hingga ponsel di tangannya jatuh-yang beruntungnya jatuh di atas kakinya sendiri-remaja 14 tahun itu menoleh dan mendapati sang ayah telah kembali dari balkon. Mungkin acara meneleponnya sudah selesai, terbukti saat ini ayah dua anak itu sedang duduk di atas sofa sembari mengambil buah jeruk di keranjangnya.

"U-um, nggak ngapa-ngapain, Pa." Jungwon menjawab gugup. "Jungwon boleh nanya nggak, Pa?"

Papa Jun yang semula fokus dengan kegiatan mengupas jeruk di tangannya, terlihat mengangkat kepala. "Mau nanya apa, Nak?" tanyanya. "Jangan sungkan gitu, ah. Tanya aja."

"Itu ... um, rumah sakit ini namanya apa?" Remaja lelaki itu bertanya dengan ragu-ragu. Dari posisinya, ia dapat melihat jika sang ayah mengernyitkan dahi atas pertanyaannya barusan.

Ayah dua anak itu kemudian menyebutkan nama rumah sakit, sesuai dengan yang ditanyakan oleh sang putra, sementara Jungwon diam-diam mengingat namanya dan perlahan mulai mengetikkannya di pencarian Google.

"Memangnya kenapa Adek tiba-tiba nanya nama rumah sakitnya, hum? Ada yang mau jenguk Adek?"

Jungwon mengangkat wajahnya saat sang ayah memberikan pertanyaan itu. "E-enggak, kok, Pa. Cuma penasaran aja, hehe," jawabnya kemudian. Dalam hati, remaja lelaki itu rasanya ingin tertawa. Tepatnya menertawai dirinya sendiri. Lagi pula, siapa memangnya yang mau datang melihat dirinya?

Papa Jun mengangguk saja saat mendengar jawaban dari sang putra. Kemudian memutuskan untuk menawari putra bungsunya itu sesuatu. Apa pun, yang terpenting tidak membuat Jungwon merasa bosan. "Adek mau buah, nggak? Biar Papa siapkan."

"Nggak usah, Pa. Tadi udah sama Mama." Jungwon menolak secara halus. "Papa nggak ikut Mama makan siang?"

"Nanti, kan, makanannya dibawa ke sini, Nak." Papa Jun menjawab pertanyaan sang putra dengan tawa kecil.

"Oh iya, hehe."

Setelahnya hening. Papa Jun yang kembali sibuk dengan ponsel, seraya menyuap jeruk yang dikupasnya tadi perlahan dan Jungwon yang ikut-ikutan sibuk dengan ponsel di tangannya sekarang. Tadi ia hanya sempat mengetikan nama rumah sakitnya saja, belum sempat mengetikan apa yang ia cari, maka dengan cepat, remaja itu menambahkan kata-kata yang ada di kepala pada kolom pencarian.

Saat mendapati hasilnya, kedua mata remaja 14 tahun itu otomatis membulat sempurna melihat angka yang tertera. G-gila .... Jungwon memegang dada pertanda jika dirinya sedang merasa syok. L-lima juta perhari? Ini rumah sakit apa hotel!?

Pantas saja jika Oma Jung sampai berkata jika dirinya menyusahkan.

Jungwon tahu betul bagaimana sulitnya mencari uang. Makanya, ketika melihat jumlah yang harus dibayarkan hanya untuk menginap di ruang VVIP milik rumah sakit ini, membuat Jungwon sekatika merasa takut. Bagaimana jika suatu saat nanti ia harus membayar semuanya?

Kata orang, tidak ada yang namanya gratis di dunia ini, bukan?

Semua pemikiran itu mendadak membuat Jungwon hanya diam seharian dengan sejuta rasa bersalah yang bercokol dalam benak. Apalagi saat melihat bagaimana sang ayah yang rela tidak pergi bekerja dan juga ibunya yang merelakan waktunya hanya untuk menemani dirinya di rumah sakit.

Jungwon merasa bersalah. Sangat. Akan tetapi, di satu sisi ia juga tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.

Keterdiaman Jungwon sepanjang hari, membuat Jay yang baru saja datang setelah berganti pakaian sepulang sekolah, dibuat kebingungan. Adiknya yang biasa selalu meladeni seluruh omongannya mendadak seolah tidak berniat menyahut. Hanya senyum, mengangguk atau bahkan menggeleng saja. Paling-paling kalau bersuara pun, jawabannya hanya iya, belum, tidak.

"Adek kenapa, sih? Kok diem terus dari tadi?" Karena gemas, Jay akhirnya bertanya. Cowok itu mendudukkan diri di kursi samping brankar milik sang adik, sementara Jungwon sendiri duduk diam sembari memperhatikan jari-jarinya.

Soal Papa Jun dan Mama Eunha, keduanya sedang keluar untuk mencari makan malam dan membiarkan Jay yang menjaga Jungwon sebentar.

Atas pertanyaan yang Jay lontarkan tadi, bukannya menjawab, Jungwon malah membicarakan hal lain. Cowok berlesung pipi itu cemberut. "Bang," panggilnya, membuat Jay berdeham sembari mengangkat kedua alis dengan raut wajah yang terlihat begitu khas andalannya. "Mau pulaaang."

Jay menghela napas pendek, kemudian mengacak pucuk kepala sang adik dengan lembut. "Kenapa? Bosen, ya?"

Jungwon mengangguk. "Lagian, cuma demam doang. Masa dirawatnya lama banget!?"

Demam, katanya. Jay yang jelas mengetahui apa yang terjadi kepada sang adik hanya bisa diam. Artinya, baik ayah maupun ibunya tidak ada yang memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi kepada Jungwon. Mungkin semua dilakukan demi kebaikan Jungwon sendiri agar lebih fokus pada proses penyembuhannya.

"Nanti bilang Papa, ya," ujar Jay dengan lembut. "Emangnya Adek udah enakan?"

Lagi-lagi, Jungwon mengangguk sebagai jawaban. "Tapi Abang aja ya, nanti yang bilang?"

"Loh, kok, Abang? Kan, yang mau pulang Adek." Sebenarnya, Jay hanya ingin menggoda adiknya itu saja, sih. Ia juga ingin tahu, kenapa Jungwon tidak mau mengatakannya sendiri kepada sang ayah. Apakah Jungwon masih segan kenapa ayahnya sendiri?

Selain itu, Jay juga tidak suka kalau keduanya hanya diam-diam saja. Membuat suasana jadi semakin membosankan. Ia ingin mengajak adiknya bermain game bersama, tetapi Jungwon masih belum boleh menatap dan memainkan ponsel terlalu lama. Tahu sendiri, lah, peraturan itu berasal dari mana? Siapa lagi pelakunya kalau bukan Papa Jun yang terhormat?

"Kan, Abang anaknya Papa." Begitu alasan yang Jungwon katakan.

Jay tertawa mendengarnya. Adiknya memiliki sisi polos juga, ternyata. "Tapi, kan, Adek juga anaknya Papa."

Jungwon cemberut sambil memalingkan wajah ke sisi mana pun, asal tidak melihat Jay. Hal itu membuat Jay tertawa karenanya, kemudian mengacak rambut sang adik dengan gemas. "Nanti Abang bantu bilang, ya? Tapi kalau misalnya Papa nanya-nanya, Adek jawab sendiri."

Si yang lebih kecil berniat protes, tetapi tergagalkan saat kedua orang tuanya kembali dengan beberapa paper bag kertas di tangan yang kemungkinan isinya adalah makanan. Setelahnya, mereka memutuskan untuk makan malam bersama sebab Jungwon juga sudah boleh memakan makanan dari luar walaupun harus yang benar-benar terjaga kebersihan serta kesehatannya dan tidak boleh aneh-aneh. Paling-paling hanya nasi, sop dan ayam goreng.

"Pa, tadi Adek bilang katanya dia pengin pulang." Tiba-tiba saja Jay menyeletuk saat tengah makan. Wajahnya cowok itu tampak tidak bersalah sama sekali, sementara Jungwon di tempatnya hampir tersedak.

Papa Jun yang baru saja menyelesaikan makanannya dibuat menatap kedua putranya bergantian. "Kok tiba-tiba?"

"Nggak tau, tuh, Adek. Kenapa, Dek?"

Sumpah, demi Tuhan. Jungwon menyesal karena sang kakak bukannya membantu, malah menjerumuskannya seperti ini. Remaja berlesung pipi itu otomatis merasa takut karena saat ini, tatapan ayah dan ibunya menjurus kepadanya. "Um ... itu ...." Tuh, kan. Jungwon sampai bingung harus menjawab apa.

"Adek bosen, ya, di rumah sakit terus?" tanya Mama Eunha yang seolah paham dengan apa yang putranya rasakan.

"I-iya, Ma." Jungwon menjawab ragu. "Boleh, kan, kalau misalnya Jungwon pulang aja?"

"Tapi-"

"Nanti Papa tanya ke dokternya dulu, ya?" ujar Papa Jun, seraya menyunggingkan senyum lembut. Jawabannya tersebut jelas mendapatkan tatapan bertanya dari sang istri, juga Jay yang tidak mengerti, kenapa sang ayah dengan mudahnya menjawab seperti itu. Padahal, biasanya Papa Jun akan mencari seribu cara untuk berkata tidak boleh, sebelum kondisi anaknya benar-benar pulih dan dokter mengizinkan.

"Beneran ya, Pa?" Kedua mata Jungwon seketika berbinar mendengarnya, terlebih saat melihat sang ayah mengangguk sebagai jawaban.

Papa Jun mengangguk. "Iya, tapi harus janji kalau misalnya boleh pulang, Adek nggak boleh banyak gerak dulu. Harus istirahat biar makin sehat, ya?"

"Makasih, Pa!" Jungwon mengangguk semangat, bahkan senyum lebar remaja 14 tahun itu terlihat begitu menggemaskan.

"Peluk Papa dulu, tapi. Mau nggak?" Lagi-lagi, Jungwon mengangguk. Saat sang ayah berjalan mendekat, ia langsung melebarkan kedua tangannya dan bersiap masuk ke pelukan hangat ayahnya itu.

Sambil mengecupi pucuk kepala sang putra, diam-diam Papa Jun meneteskan air matanya tanpa ada seorang pun di sana yang menyadari.

JAYWON
Senin, 18 April 2022

#KekuranganMomenJayWon

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top