64. Sepupu

Sudah beberapa hari terakhir, terutama selama dirinya berada di rumah sakit, Jungwon selalu merasakan pusing dan mual tak tertahankan saat membuka mata. Hal itu membuatnya terpaksa harus menutup mata lebih lama, walau hanya sekadar untuk mengumpulkan nyawanya yang bertaburan---dalam artian, belum terkumpul semuanya.

Biasanya saat bangun, ia akan disambut oleh ayah atau ibunya. Atau kalau di saat-saat tertentu, ada sang kakak yang duduk menemaninya yang asyik tertidur seperti tidak memiliki sopan santun---menurutnya. Ya, benar begitu bukan? Disaat keluarganya sibuk menunggui dirinya yang sakit, ia malah tertidur pulas seolah-olah waktunya hanya dipakai untuk tidur, tidur dan tidur saja.

Padahal kalau diingat-ingat, dulu ia tidak seperti ini. Bahkan saat sakit saja, ia masih memaksakan diri untuk mencari pekerjaan. Karena kalau Jungwon tidak melakukannya, memangnya dari mana ia bisa mendapat uang untuk membeli obat dan makanan?

Ah, benar juga. Dulu rutinitasnya hanyalah 'mencari pekerjaan'. Jarang-jarang ia bisa mendapatkan pekerjaan tetap. Rata-rata hanya menerimanya sebagai pekerja harian yang belum tentu besok masih diterima bekerja lagi di tempat yang sama. Tak jarang, ia harus mencari hingga ke kota sebelah---dengan berjalan kaki tentu saja---hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, dulu semuanya tak begitu terasa jauhnya. Karena ya, di pikirannya saat itu hanya bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan.

Melupakan masa lalu yang begitu pahit kalau diingat, Jungwon bisa menebak saat bangun, ia pasti akan mendapati ibunya yang duduk sambil mengusap pucuk kepalanya penuh kasih sayang dan kesabaran yang tiada dua. Jungwon kadang berpikir, apa ibunya itu tidak merasa lelah, ya, harus menungguinya setiap hari?

Akan tetapi, bukannya keberadaan sang ibu atau ayahnya, Jungwon malah mendapati seorang gadis muda yang entah usianya berapa dan siapa dia, Jungwon tak begitu tahu. Baru saja membuka mata, dahinya otomatis berkerut sambil mengingat-ingat. Apakah ia pernah melihat gadis ini atau tidak?

Gadis itu sendiri kini terdiam menatapnya dengan mata berbinar cerah. Entah apa yang ada di pikirannya, Jungwon tidak mengerti. Namun, tiba-tiba saja gadis itu menyunggingkan senyum senang, sembari berujar semangat, "Hai sepupu!"

Kaget? Jelas. Suara gadis yang dipikirnya akan terdengar lembut itu, ternyata begitu cempreng. Tidak tahu juga, sih. Mungkin telinganya saja yang sensitif, ditambah kepalanya yang masih terasa berdenyut sakit. Jungwon bahkan sampai bereaksi---lumayan---berlebihan, matanya berkedip refleks beberapa kali, sementara tubuhnya sedikit tersentak.

"Eh, aduh! Kaget, ya?" Si gadis yang menyebutnya sebagai 'sepupu' itu, menunjukkan wajah bersalah. Kemudian tangannya bergerak, mencoba menyentuh lengan Jungwon, lantas mengusapnya pelan. "Maaf-maaf, nggak sengaja. Gue---ah, sorry. Aku nggak sengaja, tadi."

Jungwon masih diam, tidak tahu harus merespons dengan apa. Kerongkongannya kering, tetapi masa iya harus meminta tolong diambilkan minum oleh gadis asing yang memanggilnya sepupu ini? Jungwon juga tak ingat, apakah ia melupakan sesuatu?

"Nggak apa-apa, kan?" tanya gadis itu dengan wajah paniknya yang begitu kentara. "Ada yang sakit? Aduh, apa napasnya masih sesak, ya? Gu---aku panggilkan dokter, gimana? Atau-atau, panggil Tante Eunha? Om Jun? Atau---"

"Ng-gak u-sah." Susah payah, Jungwon coba mengeluarkan suaranya. Kala si gadis menyebutkan nama ayah dan ibunya sebagai om dan tante, seketika Jungwon teringat sesuatu. Ah, apakah ini Jihan yang dimaksud ibunya waktu itu?

"Beneran?" tanya si gadis. "Atau, kamu mau minum?"

Tanpa menunggu respons dari si lawan bicara, gadis muda yang tak lain adalah Jihan, anak dari Daesoo dan Hyunbin itu segera meraih gelas berisi air mineral yang berada di nakas samping ranjang. Ia juga mengambil sedotan baru yang masih terbungkus kertas untuk memudahkan sang sepupu meminum airnya. Namun, karena kesulitan merobek kertas pembungkus sambil memegangi gelas, membuat Jihan kembali meletakkan gelas kaca tinggi itu ke nakas.

"Sorry, ya," ujarnya. "Kalau sama aku emang agak ribet gini, aduh!"

Setelah urusan merobek pembungkus sedotan selesai, Jihan langsung mengulurkan gelas berisi air mineral itu ke hadapan sang sepupu, tetapi saat melihat sepupunya itu terlihat payah untuk sekadar mengangkat kepalanya, Jihan jadi kelabakan sendiri.

"Maaf, maaf!" pekiknya tertahan. "Bentar aku bingung harus ngapain!"

Jungwon pusing sendiri. Cowok itu hanya bisa menghela napas, sambil menutup kedua matanya rapat-rapat.

"Ah iya! Gue---astaga, aku! Aku naikin ranjang, eh, apa sih? Brankar ya? Iya, brankar. Aku naikin kepala brankarnya dulu!" Jihan ribut sendiri. Gadis itu sekarang terlihat heboh mengatur posisi brankar, kemudian bertanya kepada sepupunya apakah posisinya sudah pas atau belum. "Gimana? Udah enak?"

Sementara yang ditanya, sudah tidak memiliki tenaga bahkan sekadar untuk memberikan respons kecil berupa anggukan. Beruntungnya, Jihan tak terlalu mempermasalahkan itu. Ia menganut kepercayaan, 'diam berarti iya'. Makanya, gadis itu langsung meraih---kembali---gelas air mineral tadi, lalu diulurkannya kepada sang sepupu.

"Minum yang banyak!" ujarnya semangat. Akan tetapi, semangatnya otomatis menghilang saat dilihatnya sang sepupu hanya berhasil meminum seteguk air. "Yah, kok minumnya dikit? Nanti dehidrasi, loh!"

Namun, gadis itu segera meralat kata-katanya saat melihat botol infus yang masih tersisa setengah dalam keadaan masih terus menetes. "Oh iya, lupa. Masih diinfus, ya. Nggak apa-apa, deh. Minumnya lagi, nggak?"

Jungwon menggeleng kecil. Untuk kali ini, ia berhasil memberikan respons. Matanya yang sayu, terlihat mengedar ke sekitar. Memastikan apakah benar dirinya hanya ditinggal berdua dengan gadis yang diyakininya sebagai Jihan ini atau tidak.

"Cari Tante Eunha, ya?" Jihan yang sadar jika sepupunya tengah mencari-cari sesuatu lewat sudut matanya, segera menebak.

"Tante lagi mandi," jawabnya. "Terus kalau cari Om Jun, Nenek, Mama dan Papa lagi makan di kafetaria. Ah, Mama-Papa yang kumaksud itu, Om sama Tantenya kamu, sepupu."

Setelahnya, Jungwon biarkan gadis itu menceritakan ini dan itu. Mulai dari keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, dua kakak laki-laki dan dirinya hingga di mana ia dan kakak-kakaknya bersekolah pun diceritakan. Bukannya tidak sopan, tetapi Jungwon memilih tidak meladeni sepupunya itu dan berharap jika sang sepupu memakluminya.

"Sebenernya Mas Beomgyu juga mau ikut sekolah ke Amerika kayak Mas Yeonjun. Tapi sama Papa nggak dibolehin. Jadi ya udah, deh. Mas Beomgyu nurut-nurut aja anaknya, padahal paling bandel, tuh!" cerita Jihan, penuh semangat.

Berarti benar, pikir Jungwon. Jihan ini yang diceritakan oleh ibunya pagi tadi.

"Oh iya. Kita seumuran, loh! Tapi kamu lahirnya duluan. Februari, kan? Kata Mamaku, kamu lahirnya Februari, terus aku lahirnya Juli. Di tahun yang sama!" tambah Jihan lagi. Walaupun Jungwon sudah tahu kalau mereka seumuran---menurut yang dikatakan Mama Eunha---ia tetap diam, mendengarkan. Berusaha menghargai cerita sepupunya yang penuh semangat itu.

"Tapi, kamu tau nggak?" Jihan bertanya, tetapi ia tidak memberikan kesempatan untuk Jungwon memberikan respons. "Walaupun kamu lahirnya lebih dulu dari aku, tapi kamu tetap harus panggil aku 'Mbak', loh!"

Dahi Jungwon berkerut tak mengerti. Ia memang tidak paham perkara panggilan dalam keluarga seperti ini. Setahunya, yang lebih tua yang seharusnya dipanggil kakak, bukan sebaliknya.

Melihat respons sepupunya yang terlihat bingung, Jihan kembali menambahkan, "Iya, kamu harus panggil aku 'Mbak', kayak Bang Jay, tuh! Dia juga panggil aku 'Mbak Jihan', padahal tuaan dia dari aku. Tapi karena Mamaku itu kakaknya Papa kamu, makanya aku harus dipanggil 'Mbak'! Makanya aku tetap panggil dia 'Bang Jay', sementara dia panggil aku Mbak Jihan, deh."

Penjelasan Jihan memang terkesan berbelit. Jujur, Jungwon pusing. Namun, setidaknya ia masih bisa menangkap inti dari cerita gadis itu. Artinya, ia harus memanggil sepupunya itu dengan sebutan 'Mbak' karena Jihan adalah anak Tante Daesoo yang merupakan kakak dari ayahnya, begitu, 'kan?

Setelahnya, Jihan masih asyik menceritakan ini dan itu, seperti tidak ada capeknya sama sekali. Jungwon yang masih lemas hanya bisa diam, sesekali ia akan memberikan respons kecil berupa gelengan atau anggukan ketika ditanya. Terkadang, ia juga akan merespons dengan senyum tipis.

Napasnya masih terasa berat, padahal Jungwon sendiri sadar jika sejak tadi ada selang oksigen yang melintang di antara hidungnya. Entah jika alat itu dilepas, mungkin ia akan merasa sesak napas nantinya.

"Adek! Kok bengong?"

Jungwon tersentak saat Jihan memanggilnya dengan sebutan 'adik'. Masih kaget karena belum terlalu terbiasa dipanggil seperti itu oleh orang baru. Saat kakaknya, Jay, yang memanggilnya seperti itu saja, ia harus membiasakan diri selama dua hari penuh. Namun, saat mengingat jika memang seperti itulah seharusnya Jihan memanggilnya, membuat cowok yang masih mengenakan pakaian khas rumah sakit itu menggeleng, seraya tersenyum tipis.

"Nggak apa-apa," balasnya dengan suara lirih.

"Masih pusing, ya?" Jihan bertanya dengan wajah cemas. "Kalau masih pusing, tidur lagi aja, ya? Aduh, aku lupa. Harusnya nggak banyak ngomong kayak gini, kamu kan masih sakit! Maaf, ya?"

Entah sudah berapa kali sepupunya itu menyebut kata 'maaf', Jungwon sampai lupa. Intinya sangat banyak. Padahal, gadis itu tidak bersalah menurut Jungwon. Mungkin memang pembawaannya yang banyak bicara dan ia bisa memaklumi itu.

Akhirnya, Jihan malah diam. Namun, gadis itu tak henti-hentinya menatap wajahnya membuat Jungwon merasa tak nyaman. Lagi pula, ia sudah tidak mandi selama beberapa hari. Pasti wajahnya ini sudah terlihat sangat kusam dan tubuhnya mungkin saja menguarkan aroma asam karena keringat. Ah, rasanya ia ingin meminta izin untuk mandi setelah Mama Eunha kembali nanti.

"Kamu lucu," ujar Jihan tiba-tiba setelah cukup lama diam. "Mata kamu mirip banget sama Tante Eunha, tapi kalau dilihat-lihat lagi juga mirip sama Bang Jay."

Akan tetapi, tak lama setelahnya, Jungwon mendapati sepupunya itu memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Tangannya bergerak mengusap pipi, saat itu juga Jungwon menyadari jika sepupunya itu meneteskan air mata, entah karena apa.

"M-Mbak J-Jihan?" Jungwon mencoba memanggil sepupunya dengan ragu, suaranya masih terdengar lirih omong-omong. "K-kenapa nangis?"

Jihan kembali mengusap kasar air matanya, kemudian menatap Jungwon dengan tatapan tak terbaca. "Aku boleh peluk kamu, kan?" tanyanya.

Belum sempat Jungwon memberikan jawaban, Jihan langsung menubruk tubuh lemasnya yang masih berbaring di atas brankar. Jungwon bingung, tetapi saat merasakan jika tubuh yang sepupu bergetar, sementara lengan pakaiannya terasa basah, remaja 14 tahun itu sadar jika sepupunya kembali menangis.

JAYWON
280222
_______________________________
Saudara sepupu Park-Han 😎



________________________________

Btw, Jihan nangis kenapa tuh, gengs? 😥
Jihan: Karena gue yang paling cantik sendiri di sini, Bundadari 😣

Me: 😊🔪

Udah kejawab, ya? Jihan anak baik, kok, di sini (kayaknya) 🌚🌝
Bercanda, Jihan beneran baik, kok!

Just info aja, aku nggak berani pakai cast idol jadi orang jahat:') aku bikin yang jahatnya pake OC/Original Character aja, ya!

Tapi, kok, kamu bikin Sunoo sama Sunghoon jahat, sih?!

Ehehehe, kalau itu, aku kan pernah bilang, jangan benci mereka dulu. Karena, semua masalah pasti ada alasannya, kan? Jadi, tungguin aja! Masih lama soalnya:)

Atau mau di-skip aja waktunya, gengs? Biar jadi setahun kemudian gitu misalnya? Atau sepuluh tahun kemudian? Wkwkwk. Auto cepet kelar dah tuh:v

Enggak, deng. Aku nggak segabut tv ikan terbang buat nge-skip tahun sejauh itu:)

Oh iya, mau tanya dong!
Kalian domisili mana aja, nih?
Kalau aku dari Pontianak, Kalimantan Barat. Kalian?
See u, gengs!
0

10322

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top