17: be right back
//
chapter ini dikerjakan keroyokan dengan yeolbaeby
//
Dira menggeram, kesal. Jingga tidak mengindahkan peringatannya. Ditambah lagi ia baru saja merutuk Fajar, membuat darah Dira semakin mendidih. Mereka ke sini hendak menolong, tetapi Jingga justru memperlakukan mereka seolah mereka orang yang tidak tahu terima kasih.
Dira tidak pernah minta dilindungi. Catat itu.
Jika Jingga pikir dengan mengusir mereka akan menghentikan Dira, pemuda itu salah besar. Justru ia semakin ingin menghajar begundal ini satu persatu sebelum menuntaskan urusannya dengan Jingga. Sementara Fajarㅡia tahu pemuda itu harus dilindungi. Namun Dira harap Fajar masih memiliki akal sehat untuk pergi dari medan perang ini secepatnya.
Selagi ia berpikir, dua orang cecunguk tiba-tiba menghadang Dira dan menendangnya hingga terjerembab ke tanah. Dira meraung kesakitan sembari memegangi perutnya. Beruntung ia punya refleks yang bagus sehingga serangan berikutnya bisa ditepis dengan cepat. Ia memang tidak terlalu mahir bela diri, tetapi dengan segala emosi dan kenekatan Dira bisa mendapat kekuatan untuk melawan berandalan ini.
Seluruh tubuhnya dipengaruhi adrenalin yang meletup-letup sehingga ia gelap mata akan hal yang terjadi pada Jingga dan Fajar. Ia hanya menangkap sekilas bayangan Jingga yang menghadang sesuatu dan pisau yang tertancap di tubuhnya.
Pisau...di tubuh Jingga...
Sejenak otak Dira berhenti berpikir hingga ia tidak menyadari ada kepalan tangan yang dilayangkan ke arahnya. Tonjokan itu mengenai sisi kepalanya. Membuatnya limbung dan sejenak kehilangan kesadaran. Saat ia membuka mata, seseorang menduduki tubuhnya dan terus menghajarnya tanpa ampun. Dan semua itu baru berhenti ketika suara sirine familiar terdengar dari kejauhan yang membuat orang yang menghajar Dira lari terbirit-birit.
Pemuda itu tidak bisa menggerakkan tubuh saat kepalanya terasa seperti hendak lepas dari leher. Namun yang ia tahu setelahnya ada orang lain yang menariknya paksa hingga bangun dan menekuk tangannya ke belakang punggung. Dari sudut mata yang bersimbah darah Dira melihat Fajar yang menangis pilu. Lalu tubuh Jingga yang bersimbah darah yang digotong memasuki ambulans. Dira memalingkan pandangan.
"Masuk!"
Pria berseragam polisi yang menyeret Dira menjejalkannya di antara para begundal yang berhasil tertangkap. Ia hanya menghela napas pasrah sembari menyandarkan kepala ke dinding truk polisi, berharap denyutan di kepalanya sedikit berkurang dengan memejamkan mata.
"Jingga...you piece of shit," Dira mendesis, "don't die on him."
.
.
.
Fajar seakan berada di sebuah adegan film—dengan dirinya sebagai penonton alih-alih sang pelakon. Karena inilah yang terjadi—napas seakan berhenti, sekujur otot tubuhnya beku bersamaan dengan dingin yang merayap cepat dari tengkuk, perutnya seakan diaduk-aduk karena—merah, merah dari luka Jingga yang terbuka, merah yang menggenang hingga tanah tempat mereka berpijak, rintihan pelan Jingga sebelum sang kakak kehilangan kesadaran.
Tanpa bisa ia cegah, air matanya mengalir tanpa jeda.
Seharusnya ia bergerak, setidaknya mengamankan kakaknya dari bahaya terlebih dahulu. Atau menelpon polisi dan rumah sakit. Atau bahkan nekat menghajar banyak orang yang menyerang Dira sekalipun tahu apa Fajar soal bela diri? Membiarkan buku-buku tangannya menghantam daging seseorang pun ia tak pernah, seumur-umur. Terlalu banyak yang berkecamuk di kepalanya dan tubuhnya masih menolak untuk bergerak barang sejengkal. Tetapi—ayolah—Jingga harus diselamatkan! Bergeraklah, bodoh! Bibir bawahnya digigit. Fajar berusaha keras untuk berani biar hanya beberapa detik—berani untuk melawan perutnya yang diaduk, ketakutannya, dan juga sekujur tubuh yang membeku.
Lengannya akhirnya bergerak beberapa senti melawan rasa takut.
Akhirnya Fajar berhasil bergerak. Dan langkah pertamanya adalah memeriksa pendarahan kakaknya, serta memindahkan tubuh Jingga beberapa puluh senti ke tempat yang aman. Dilihatnya napas Jingga yang lemah. Dirasakannya nadi sang kakak, denyutnya melemah tiap detiknya. Luka itu tampak lebih dalam dari pada yang terlihat, bahkan sapu tangan yang diletakkan Fajar untuk menahan pendarahan Jingga tidak membantu sama sekali. Perutnya semakin diaduk oleh rasa bersalah yang kentara.
Andai waktu itu ia dapat bergerak—andai waktu itu ia dapat mendorong Jingga menjauh dari melindunginya—
Tidak perlu menunggu lama hingga ambulans dan polisi tiba (entah siapa yang menelpon, mungkin saja saksi mata yang kebetulan melintas dan cemas). Matanya menatap para petugas medik yang menolong Jingga dengan sigap. Salah satu dari mereka menghampirinya, menyodorinya segelas air mineral dan bertanya apakah ia baik-baik saja. Fajar tetap mematung. Matanya bergulir sebelum membulat terkesiap, menyaksikan salah satu sosok yang dibawa oleh polisi.
"Dira—"
Tercekat, ia. Hal yang pertama dilakukannya adalah berlari, mendekati Dira yang dibawa oleh polisi, tanpa peduli bahwa Fajar terlihat menyedihkan dengan pipi berlinang air mata, tangan menggapai udara, dan bibir menggumam, "Jangan—Dira enggak salah—Dira cuma mau nolong—". Tidak ada yang mendengarnya. Beberapa polisi menghadangnya. Beberapa petugas kesehatan pun menuntunnya masuk ke dalam ambulans, dengan dalih bahwa ia perlu perhatian khusus.
Fajar tidak akan baik-baik saja. Tidak selagi kakaknya sekarat dan Dira di sana, berdarah dan terancam.
.
.
.
Kabar mengenai Dira yang ditangkap polisi karena tawuran dan Jingga yang kritis membuat warga di sekitar lingkungan tempat tinggal keluarga Yudhistira dan Ardhan gempar. Di rumah keluarga Ardhan, Mama Dira sedang menangis sambil mengabari suaminya di telepon. Sementara si bungsu Darius mempersiapkan barang-barang Mamanya untuk dibawa ke kantor polisi. Darius tidak suka tempat itu. Ia benci suasana yang mencekam di kantor polisi. Ia juga tidak suka membayangkan jeruji besi tempat Dira sementara ditahan.
"Aku ke rumah sakit aja, Ma. Aku nggak ikut ke kantor polisi," putus Darius setelahnya.
Wanita itu menoleh ke arah putranya sebelum mengangguk. Barangkali terlalu lelah untuk membantah keinginan sang anak. "Oke. Sampaikan permintaan maaf Mama ke tante dan om Yudhistira ya."
Darius mengangguk. Setelah menyiapkan barang Mama, ia pun bergegas menyiapkan ransel dan peralatan lain yang perlu dibawa. Ditambah dengan pakaian cadangan yang mungkin diperlukan jika ia harus menginap di rumah keluarga Yudhistira untuk menemani Erina. Darius hanya berjaga-jaga.
Setelah berbenah, ia berpamitan pada Mama dan Papa, yang ternyata sudah sampai di rumah. Kedua orangtuanya bersiap-siap menuju kantor polisi, sementara Darius bergegas menuju kediaman Yudhistira. Ia disambut oleh Erina yang menangis dan refleks memeluknya sehingga Darius pun harus menenangkan anak perempuan itu.
"Bang Jingga...Bang Jingga katanya nggak bangun-bangun," isak Erina. Darius menelan ludah, merasa hampir limbung jika tangannya tidak segera menumpu pada tembok.
"Udah, jangan nangis lagi. Berdoa aja semoga Bang Jingga nggak apa-apa," ujar anak lelaki itu datar, tanpa emosi. "Bang Fajar nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya pada Erina.
Sambil sesugukan, gadis kecil itu menggelengkan kepala. Setidaknya Darius merasa sedikit lebih tenang karena Fajar tidak terluka. Fajar tidak sebodoh itu. Kalau dua kakaknya yang lain memang bodoh, tidak heran mereka terjerat masalah dan merugikan diri sendiri.
"Yuk kita tunggu Bundamu menjemput. Aku ikut ke rumah sakit buat ngewakilin orangtuaku," Darius berkata sembari menggenggam tangan Erina erat.
.
.
.
Rasanya seperti berada di dunia yang tidak ia kenal saat berada di balik jeruji besi ini. Memang ini hanya tahanan sementara, tetapi Dira merasa seperti orang paling berdosa. Ia tak berhenti menggigiti kukunya sejak tadi, menunggu giliran untuk diinterogasi. Dari ruangan lain Dira bisa mendengar bentakan dan makian yang diucapkan petugas saat tersangka tidak menjawab. Pemuda itu bergegas menutup telinga dengan kedua tangan. Ia menekuk lutut hingga tubuhnya terlipat sempurna, meringkuk seperti hewan terluka di salah satu sudut.
Pintu ruang tahanan tiba-tiba terbuka, memunculkan sesosok polisi berbadan tegap dengan wajah sangar. Dira yang terkejut hanya mengangkat wajah sekilas sebelum kembali bersembunyi. Namun pria itu tiba-tiba berkata, "Diraditya Ardhan! Ke ruang interogasi sekarang!" dengan suaranya yang menggelegar. Dira mengerjapkan kelopak matanya yang bengkak sebelum bangkit perlahan, menyeret langkah menuju ruang interogasi.
Ia menundukkan wajah semakin dalam ketika menyadari bahwa di dalam sana ada ayah Fajar dan Jingga yang ternyata sedang berbicara dengan salah seorang polisi. Dira digiring duduk ke kursi yang berseberangan dengan polisi yang sedang mengetikkan sesuatu di komputer, bersiap untuk menginterogasinya. Baru saja polisi itu berdiri, Dira melihat polisi yang sebelumnya berbicara dengan ayah Fajar dan Jingga membisikkan sesuatu pada rekannya. Sekejap, raut wajah sang polisi melunak.
Interogasi dimulai. Dan berbeda dengan yang ia curi dengar sebelumnya di ruang tahanan, tidak ada bentakan. Tidak ada paksaan. Tidak ada makian. Tidak ada apapun. Seakan yang dilakukannya hanya tanya jawab dengan teman sejawat alih-alih seorang tersangka dengan aparat penegak hukum. Diberikannya informasi terbatas yang ia punya, bahwa yang ia lakukan hanya mencoba menyelamatkan Jingga yang dikepung banyak orang. Tidak ada yang ia kenal selain Jingga dan Fajar, semuanya asing. Setelah itu, dilihatnya sang polisi tersenyum tipis.
"Kau boleh pergi."
Keningnya berkerut dalam tatkala mendengarnya. Menyangka bahwa ini hanya halusinasi akibat terbentur.
"Apa?"
Polisi itu kembali mengulangi perkataannya, kali ini lebih lamat. "Diraditya Ardhan, kau boleh pergi."
.
.
.
Beberapa menit setelah interogasi Dira selesai, Papa menelpon Bunda.
"Halo, Sayang? Udah di rumah sakit?"
"Udah. Jingga koma. Butuh operasi." Suara istrinya terdengar begitu panik di sana. Membuatnya cemas. Wajar saja, buah hati mereka tengah berada di dalam fase kritis. Anggoro sebagai ayah Jingga dan Fajar pun khawatir, tetapi khawatir terus-terusan tidak akan mengubah apapun, bukan? "Aku lagi ngusahain transfusi darah. Enggak banyak stok di PMI dan aku—enggak bisa transfusi."
"Makan yang bener makanya." Ia mencoba melucu sedikit, sekalipun itu tidak mengurangi rasa takut mereka sebagai orang tua. "Seingatku, Kakak golongan darahnya sama kayak Jingga. Coba minta aja?"
"... oh iya. Makasih banyak. Gimana di sana?"
"Dira udah bebas. Sekarang lagi diobatin dulu. Orang tuanya juga di sini, masih ada beberapa yang harus diurus tapi habis itu kami bakal ke sana secepatnya."
"Dan?"
"Seperti katamu, Sayang." Anggoro Yudhistira tersenyum, "Aku melakukan hal yang kuanggap benar."
.
.
.
"Om enggak harus—kayak gini."
Dira menggumam dari kursi penumpang, memegang erat beberapa kotak paket McDonalds untuk semua orang di rumah sakit. Setelah ia dinyatakan bebas, lukanya diobati perlahan dan ibunya telah menanti dengan air mata berlinang. Sempat disaksikannya ayah Fajar dan Jingga menyerahkan sejumlah uang kepada polisi, juga beliau yang berbicara pada ayah dan ibunya bahwa Dira hanya diperiksa sebagai saksi demi menangkap pelaku yang sebenarnya. Padahal yang terjadi sebaliknya—dia nyaris menjadi tersangka, ia ditahan di balik jeruji besi, ia hampir diinterograsi dengan cara yang kasar sebelum ayah Fajar dan Jingga datang, memutarbalikkan semuanya.
Terlalu jelas dan Dira tidak dapat mengenyahkannya dari kepala.
"Kamu juga anak Om, Dira. Udah sewajarnya." Ayah Fajar dan Jingga menjawab dengan mata tetap fokus pada jalanan. Mereka berdua pergi sejenak dengan dalih membelikan makanan, sebelum menyusul ke rumah sakit. "Semua orang cemas sama kamu, apalagi Fajar. Banyak hal yang terjadi hari ini buat kalian bertiga."
Hening kemudian merayap. Dirasakannya tatap mata Dira tidak lekat darinya. Anggoro—ayah Fajar dan Jingga—tahu bahwa anak itu masih tidak bisa percaya. Selama ini ia selalu menunjukkan diri sebagai sosok ayah yang selalu melucu di tiap kesempatan, sosok ayah yang tidak pernah serius. Tetapi tiap kali ia berhadapan dengan suatu perkara, sosok itu berganti menjadi sosok yang tegas. Tegas dalam melakukan apapun yang ia anggap benar.
"Kenapa?"
Dira menggeleng pelan, "Enggak. Selama ini Fajar cuma cerita kalau Om itu kayak pahlawan film."
"Kalau kamu udah besar, kamu bakal tahu kalau dunia ini cuma kumpulan gradiasi abu-abu. Enggak pernah ada yang namanya hitam dan putih." Ia tertawa kecil, mengingat betapa naifnya ia dulu kala. Motivasi Anggoro Yudhistira memasuki Fakultas Hukum dulunya adalah untuk membela mereka yang benar. Seiring waktu berlalu, idealismenya membengkok perlahan. Beradaptasi dengan dunia yang kelabu. "Bundanya Fajar pernah bilang kalau pahlawan itu orang yang berusaha untuk melakukan hal yang benar, sekalipun itu sulit. Buat Om, Om sudah melakukan hal yang benar dengan ini."
Pada akhirnya, benar atau salah itu bergantung pada perspektif tiap orang. Dan bagi Anggoro, inilah hal yang benar. Melindungi keluarganya, melindungi orang-orang yang berarti bagi keluarganya adalah hal yang benar. Dira masih anak SMA, masih panjang perjalanannya dan masa depannya. Yang ia lakukan adalah mengulurkan tangan demi melindungi masa depan itu. Ia tahu bahwa terkadang penegak hukum dapat bertindak kotor untuk mencari kambing hitam, dan tidak menutup kemungkinan status Dira akan berubah menjadi tersangka dan anak itu akan menghabiskan hidupnya di balik jeruji besi, juga dengan cambukan sanksi sosial. Dari apa yang dikatakan Fajar melalui chat, dapat ditarik kesimpulan bahwa Dira memang tidak bersalah. Entah bagaimana dengan putra sulungnya, yang masih berjuang melawan maut, yang masih belum dapat didengar kisahnya.
Yang ia lakukan hanyalah melakukan sedikit kekotoran untuk menyelamatkan seseorang.
Sebuah pertanyaan lain menghantam benaknya. Andaikan Jingga bersalah secara hukum berkat dosa apapun yang tidak ia ketahui—dapatkah ia mengulurkan tangan untuk melindungi masa depannya sebagai seorang Ayah?
Dan pikiran itu lenyap dengan satu keyakinan. Jingga dan Fajar tidak pernah diajarkan untuk melakukan hal yang salah.
"Satu hal lagi, jangan beritahu Fajar dan yang lainnya soal ini. Ini rahasia kita, Dira. Oke?"
Dira tampak terkejut mendengarnya, tetapi beberapa menit kemudian, anak itu akhirnya mengerti dan mengangguk pelan, "Oke, Om."
Setidaknya mereka masih bisa melindungi beberapa orang.
.
.
.
Fajar tidak bisa tidur. Pun tidak mampu untuk tidur. Makan pun membuat perutnya bergolak hendak muntah. Petugas medis kebingungan dan mereka menarik kesimpulan bahwa Fajar hanya syok dan butuh waktu untuk pemulihan. Ia dibiarkan sendirian di ruang tunggu, menjauh dari yang lainnya. Berada di sekitar Bunda, Darius, dan yang lainnya membuat dadanya sesak. Setidaknya ia mendengar kabar kalau Dira hanya diperiksa sebagai saksi dan sudah dibebaskan karena tidak bersalah. Fajar lega, sekalipun perutnya tetap bergelut tak nyaman berkat rasa bersalah. Pun begitu banyak pertanyaan yang berdengung di kepalanya.
Ada berapa banyak hal yang disembunyikan kakaknya darinya?
Sesungguhnya hal terberat bagi Fajar saat ini adalah saat menyadari bahwa kakaknya pun, menyimpan begitu banyak rahasia. Bukan berarti Fajar ingin mencampuri semua urusan Jingga, tetapi rasanya seperti orang terbodoh di dunia saat kakakmu tengah sekarat dan kau tidak tahu pasti apa yang membuatnya sekarat. Kakaknya telah tumbuh, menjadi sebuah labirin yang asing di mata Fajar. Mungkin bukan hanya Dira yang berubah menuju jalan yang salah, Jingga pun demikian dengan tingkat destruksi yang lebih mengerikan.
Ia teringat Eurus Holmes kecil yang selalu ingin bermain dengan Sherlock dan Redbeard, sekalipun kakaknya menganggapnya tidak ada karena terlalu bahagia bersama Redbeard. Ia teringat Eurus yang kesepian dan keluarganya pun tidak memahaminya, Eurus yang berubah menjadi psikopat sempurna. Hal yang Eurus inginkan hanyalah diajak bermain oleh kakak-kakaknya. Ia tidak mendapatkannya dan pada akhirnya, labirin di kepalanya berkembang pesat, menjadi dunia baru yang begitu asing di mata saudara-saudaranya. Pun Eurus tidak mengerti labirin di dalam kepala saudaranya. Mereka yang berjarak enam kaki kini berubah menjadi orang asing yang terpisah puluhan ribu mil. Apa yang sudah dibangun tidak dapat dirobohkan dengan mudah, termasuk jarak.
Dan yang diinginkan pun hanyalah berbagi apapun dengan saudara kembarnya, kalau bisa berbagi bersama Dira juga, sekalipun Jingga punya duninya sendiri dengan musik. Saat Fajar menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Jurang itu terlalu dalam untuk dijahit dalam satu malam dan ia berada jauh di atas angkasa untuk memperbaiki jarak di antara kakaknya. Harus ada yang mengalah. Fajar tidak keberatan turun dari angkasa dan memperbaiki jarak dengan kakaknya, tetapi apa kakaknya bersedia?
Matanya mengerjap tatkala ia melihat sosok yang ia khawatirkan sejak beberapa jam silam. Dira berdiri seraya tersenyum. Tangannya memegang sebungkus paket McDonalds seraya melangkah mendekat. Kelegaan itu merayap, diganggu oleh rasa bersalah yang masih setia menggerayang.
"Dira—"
Dira meletakkan bungkus makanan di atas bangku sebelum didekapnya Fajar dalam sebuah pelukan erat. Rindu, ia rindu sekaligus khawatir. Setidaknya Fajar tampak tidak terluka, setidaknya para begundal itu tidak menyentuh Fajar barang seujung jari. Dan sesungguhnya itu sudah cukup untuk Dira. Fajar balas peluk itu dengan tak kalah hangat serta hangat. Ia lega, lega luar biasa, karena ini Dira sungguhan dan dengan peluk itu, Fajar tahu bahwa Dira tidak mengalami luka yang fatal.
"Kamu enggak luka, Jar?"
"Enggak sama sekali." Ia melihat Dira, melihat bekas luka yang belum kering di dekat mata Dira. Bibir bawahnya digigit tak enak hati, "Dira—maafin aku—ini gara-gara ak—"
Perkataan Fajar buru-buru dihentikan Dira dengan telunjuknya mendarat di bibir Fajar. Isyarat bahwa Fajar tak perlu mengatakan apapun, "Yang penting kamu enggak luka." Buru-buru ia menambahkan. "Polisi enggak ngapa-ngapain aku, kok. Tadi aku cuma dijadiin saksi buat nemuin pelakunya."
Bohong. Bohong besar. Ia masuk ke sel tahanan. Ia nyaris menjadi tersangka sebelum diselamatkan. Namun, lihat wajah sahabatnya tersayang itu? Kecemasan di dalam wajah Fajar perlahan berkurang dan bagi Dira, itulah hal yang paling krusial saat ini.
"Syukurlah."
Dira tersenyum kemudian. Perlahan, tangannya menggenggam tangan Fajar yang beku sebelum jemarinya mencari celah di antara jemari-jemari Fajar. Erat, pegangan itu, demi meyakinkan Fajar bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa Jingga akan segera sadar dan semua ini akan berakhir. Satu tangannya yang bebas membawa kepala Fajar bersandar di bahunya, membiarkan sobat kecilnya menenangkan diri.
Terkadang berbohong itu benar, demi kebaikan semua orang, demi kebaikan seseorang.
//
anyway: the truth of jingga will be revealed in the next update of book one—soon, since i got some plans, makasih buat movie venom atas inspirasinya (and thanks for giving me another reason to live: i don't want to miss carnage in the upcoming movie!!). while i am gaining my muse in writing dark things (and also, i am in mood of overworking myself because dude, the world and my life is getting uglier), i'm also trying to finish my old works that need dark feelings (like: post-mortem, red riding hood, siren, snow white king) so please be patient :"D
and another anyway: ada dua lagi buku buat yudhistiraverse. satu judulnya prism yang dibuat oleh _nebulashine (tentang akbar/yunita alias seungmin/yuri, side-pair dari genderbendverse). satunya lagi judulnya into 25 lives yang dibuat bareng halocinated, tentang ditya/jingga alias binsung dalam berbagai universe dan wujud, formatnya bankbook btw. stardust sendiri bakal mulai kutulis setelah konflik jingga ini kelar so please ancipate it!!
ps: i love eurus holmes since i can relate to her :"D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top