15: placebo

"cause later when i become addicted to life
even though the medicine i take when i'm sick has no effect
it still comforts me in another way and makes me want to fly"

(3racha)

//

dibuat keroyokan antara saya dengan yeolbaeby

sebelumnya disarankan untuk siap memutar lagu j-rocks – falling in love; sheila on 7 – sahabat sejati, dan one ok rock – c.h.a.o.s.m.y.t.h. karena nanti ada adegan perform band dan lagu-lagu yang ditampilkan adalah lagu lagi itu :"D

//

Tidak terasa kelas XI sudah berada di penghujung semester kedua.

Ujian akhir semester yang berat sudah mereka lalui dengan baik, yang artinya mereka sudah bisa sedikit bersantai menjelang penerimaan raport. Sekolah pun memberikan para murid kesempatan untuk refreshing dengan mengadakan classmeeting. Pokoknya siswa dan siswi SMA tersebut bisa melakukan apapun yang mereka inginkan dalam bentuk kompetisi olahraga antar kelas.

Dira, Fajar, Jingga juga ikut serta dalam kompetisi olahraga yang diadakan. Kelas mereka saling bersaing sehat dalam bidang olahraga yang berbeda. Dira tentu saja membela kelasnya dalam kompetisi sepakbola, mengantarkan kelasnya menjadi satu-satunya kelas IPS ke babak semifinal hingga akhirnya keluar sebagai juara. Dira tidak pernah merasa sebangga ini terhadap dirinya, mengingat ia tidak pernah terlalu diperhitungkan dari segi kemampuan karena (menurut banyak orang) hanya segi fisiknya saja yang menonjol. Setidaknya kemenangan ini membuat orang-orang yang selama ini mengatainya tidak punya kemampuan berhenti untuk menilainya seperti itu.

Mungkin karena kesibukannya membela tim sepakbola, ia jadi sedikit terdistraksi hingga luput memperhatikan Fajar. Namun bukan berarti Dira tidak tahu bahwa tim basket kelas Fajar pun melaju ke babak final kompetisi basket antar kelas. Beruntung ia bisa menonton pertandingan Fajar sebelum pertandingan final sepakbola dimulai, meskipun hanya satu babak.

"Dira!"

Fajar menyerukan namanya dari tribun atas sembari melambaikan tangan. Jerseynya masih melekat di badan, yang artinya ia segera mengikuti pertandingan Dira setelah pertandingan basket selesai. Dira yang masih merayakan kemenangan dengan teman-temannya bergegas menghampiri Fajar. Hampir saja ia terjatuh di anak tangga terakhir saat berusaha melompati dua anak tangga sekaligus sebelum menubruk Fajar dalam sebuah pelukan erat. Masa bodoh dengan tubuh mereka yang lengket karena peluh, Dira hanya ingin meluapkan kesenangannya pada sahabatnya yang satu ini.

"Aku menang, Jar! Gol terakhir! Kamu lihat nggak?!" Dira melepaskan pelukan untuk mengguncang tubuh Fajar saking senangnya. Sahabatnya itu hanya tertawa.

"Iya, aku lihat. Striker kesayanganku emang nggak pernah ngecewain," Fajar mengacak rambut Dira gemas sebelum kembali memeluknya erat. "Aku juga menang, Dir!"

"Uwaah, selamat!" Dira menangkup wajah Fajar dan hampir mencium keningnya, tetapi pemuda itu segera sadar bahwa mereka ada di tempat umum. Pada akhirnya Dira hanya mengusap pipi Fajar dan tersenyum lebar, "Bangga juga sama kamu, Kentang McD-ku."

Mereka tertawa berbarengan tanpa menyadari bahwa Jingga sudah ada di belakang Fajar sembari memutar bola mata.

"Minggir lo, Belut. Gue mau peluk adek gue," Jingga mendorong pundak Dira main-main sebelum melingkarkan lengan di pundak Fajar. "Selamat ya, Ajar. Kamu keren banget tadi! Sumpah! Abang masih merinding nih lihat kamu dunk tadi sampe gelantungan gitu."

"Ajar nge-dunk?! Gilaaaa!" Dira membulatkan kelopak mata tidak percaya, lalu kembali menepuk pundak Fajar bangga. "Aduh, rugi banget aku nggak nonton sampai habis. Lo rekam dia nggak, Jing?"

Fajar yang dipuji hanya menunduk malu sembari menyembunyikan wajahnya, "Kayaknya anak kelasku ada yang rekam, Dir. Nanti coba aku minta salinannya ama dia, ya."

"Thanks. Biar aku bisa belajar nge-dunk juga kapan-kapan. Keren banget kayak di komik."

Fajar kembali tersenyum malu sembari merangkul Jingga, mengangguk pelan. Pada akhirnya mereka harus berpisah karena Dira dipanggil oleh kapten untuk sesi evaluasi sebelum mereka membubarkan diri. Setelah berpamitan dengan kembar Yudhistira, Dira bergegas menunju pinggir lapangan di mana timnya sudah berkumpul untuk mendengarkan wejangan kapten.

Dengan berakhirnya babak final dari seluruh kompetisi olahraga, akhirnya sampailah mereka pada acara utama classmeeting tersebut. Pentas seni sekolah yang dimeriahkan oleh band sekolah yang terpilih untuk mengisi acara sekaligus penyerahan hadiah bagi para pemenang kompetisi.

Jika kompetisi olahraga merupakan tempat Dira dan Fajar untuk bersinar, maka panggung pentas seni sekolah adalah singgasana Jingga. Siapa yang tidak tahu dengan Jingga, vokalis band yang terkenal bukan hanya di seantero sekolah mereka tetapi juga terkenal di sekolah lain itu? Sejak kelas X, pemuda itu selalu mendapatkan tiket emas untuk tampil di acara pentas seni sekolah. Sekarang pun begitu. Band Jingga adalah salah satu penampilan yang ditunggu-tunggu oleh penonton, terutama para siswi.

Hanya saja, penonton pentas seni pada tahun ini tidak seramai tahun lalu. Mungkin karena OSIS tidak lagi memberi izin bagi siswa-siswi sekolah lain untuk ikut menonton pentas seni sekolah mereka. Acaranya memang jadi tidak semeriah tahun sebelumnya, tetapi penonton terlihat lebih tertib sehingga tidak lagi menimbulkan keributan yang tidak penting.

Yang sama sekali di luar dugaan, Dira pun ditarik untuk masuk dalam salah satu band temannya yang ternyata kekurangan anggota. Di saat terakhir, band itu meminta Dira untuk menggantikan bassist yang kebetulan harus diopname karena demam berdarah. Dengan persiapan minimal dan modal nekat, Dira menyanggupi permintaan band tersebut hanya karena temannya memohon sampai menawarkan pemuda itu pinjaman Playstation 4 yang tidak bisa Dira miliki. Mana mungkin Dira nggak tergiur?

"Jadi...aku disuruh manggung nanti, Jar," Dira menjelaskan saat ia meminta Fajar menemaninya ke belakang panggung, tempat para anggota band lain sedang latihan. Dira terlihat gugup dan tidak bisa tenang. "Doain, ya."

Fajar mengangguk sembari menggenggam tangan Dira sedikit lebih erat. "Semangat! Dira pasti bisa."

Pemuda itu menghela napas, "Makasih." Ketika ia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tiba-tiba seseorang menepuk lengannya cukup keras hingga Dira hampir terlonjak karena kaget.

"Ajar bukannya nyemangatin abang sendiri, malah nyemangatin belut tetangga," Jingga yang muncul entah dari mana melayangkan protes sembari bersungut-sungut. Dira mendengus pelan sementara Fajar mengerjap bingung.

"Lho? Kan abang baru keliatan. Ya aku sama Dira dululah soalnya Dira dari tadi sama aku," balas Fajar dengan nada polos. Dira menahan tawa ketika melihat wajah Jingga semakin cemberut. Kemudian pemuda itu menonjok lengannya lagi.

"Sakit, bego!" Dira balas memukul.

"Ya udah, sih. Kagak usah dibales anjir!" Jingga berjinjit untuk menjitak kening Dira. Namun sebelum suasana terlanjur keruh, Fajar segera menyeret Jingga ke arah anggota bandnya yang sedang tertawa geli di sudut ruangan.

"Dadah, Dira. Aku ngurus abang dulu, ya," Fajar berseru sambil melambai, berusaha menahan Jingga yang tak henti mengacungkan tinju ke Dira. Yang bersangkutan hanya menggelengkan kepala sebelum berbalik, kembali pada anggota bandnya.

.

.

.

Sambutan penonton lumayan hangat ketika mereka melihat Dira mulai menyandang bass dan menyetel senarnya dengan raut wajah tenang, sangat bertolak belakang dengan jantungnya yang berisik. Sesekali ia melirik penonton untuk mencari keberadaan Fajar. Namun rasanya sulit sekali mengedarkan pandangan lebih dari lima detik ke arah khalayak saat hampir ratusan pasang mata terarah padanya. Dira menarik napas, lalu berusaha mencari wajah familiar di antara sekelompok anak band lain yang berada di samping kiri panggung. Tatapannya bersirobok dengan Jingga yang balas menatap ke arahnya dengan serius sambil melipat tangan di depan dada. Refleks Dira melemparkan cengiran gugup yang mengubah ekspresi Jingga menjadi lebih lunak, sebelum pemuda itu mencibir ke arahnya.

"Break a leg!"

Di antara sorakan penonton, Dira bisa mendengar Jingga memberinya semangat. Dira mengangguk sebelum menghembuskan napas untuk kesekian kalinya, bersiap untuk penampilannya.

Suara gebukan drum dan melodi yang mengalun dari dentingan gitar setelahnya membuat penonton mulai bersorak. Dira pun memetik senar bass dengan raut tenang, mengikuti alunan lagu yang lambat. Tatapannya masih sering diarahkan pada penonton, berusaha untuk mencari sosok Fajar di antara ratusan wajah lainnya. Tidak mudah memang, tetapi ketika ia berhasil menemukan pemuda itu di tengah lautan manusia, Dira akhirnya bisa bernapas lega.

Kau yang kuinginkan, meski tak kuungkapkan

Bibir Dira bergerak, menggumamkan setiap bait lagu sembari memetik senar bass. Sorot matanya masih belum lepas dari Fajar, yang juga tak sedikitpun mengalihkan perhatian dari Dira. Sesekali sudut mulutnya terangkat otomatis saat melihat kelopak mata sahabatnya mengerjap penuh antisipasi bercampur kekaguman. Reaksi sekecil apapun dari Fajar entah bagaimana bisa membuat jantungnya berdetak semakin kencang, seolah hendak meruntuhkan dinding dadanya. Riuh suara penonton tidak lagi terasa mengganggu karena perhatian Dira sepenuhnya terarah pada sosok Fajar di seberang sana. Hanya Fajar satu-satunya yang Dira inginkan untuk melihatnya, memperhatikannya.

Kau yang kubayangkan

Kuimpikan

Kuinginkan

Dira mendongak menatap langit-langit panggung sembari memutar sedikit tubuhnya sebelum menghentak ke depan sembari terus memainkan bass, mengikuti aksi panggung gitaris yang berada di sampingnya. Rambut pemuda itu jatuh menutupi kening dan hampir sebagian matanya, membuat penonton perempuan di bagian depan panggung menjerit. Dari sudut mata, ia berusaha mengarahkan tatapan ke arah Fajar. Namun ternyata rambut depannya yang terlalu panjang terasa menusuk mata hingga Dira harus menggelengkan kepalanya untuk mengusir rambut yang mengganggu.

"Shit."

Pemuda itu merutuk frustrasi ketika rambutnya yang mulai basah karena keringat tidak bisa disingkirkan dengan mudah. Sayang sekali kedua tangannya masih harus digunakan untuk memetik bass sehingga Dira hanya bisa membuka setengah mata sepanjang empat puluh menit terakhir penampilan. Ketika akhirnya lagu yang dibawakan selesai, Dira segera menyisir poninya ke belakang sehingga ia bisa melihat dengan jelas Fajar yang masih berada di posisinya, tersenyum sumringah.

"Sekian penampilan band kami! Makasih banyak buat perhatiannya!" sang vokalis berseru dengan semangat sembari memberi bungkukan terakhir bersama anggota band lainnya, termasuk Dira, sebelum meninggalkan panggung. Di backstage, mereka bertemu dengan band Jingga sudah menunggu giliran tepat dua urutan setelahnya.

Tanpa basa-basi Dira langsung menghambur ke pelukan Jingga, yang refleks mengerang protes sembari mendorong dada temannya.

"Jinggaaaaa gue udah tampil! Gila! Sesak napas gue!" rengek Dira, memancing tawa dari teman-teman bandnya sendiri.

"Dira matanya kelilipan tuh di panggung, kasian banget," ledek sang drummer yang ternyata memperhatikan Dira sejak tadi. Pemuda itu mencebikkan bibir sebelum pipinya ditampar main-main oleh Jingga.

"Sukurin lo. Makanya jangan sok ganteng," Jingga mendengus. "Sana lo cari Fajar, adek gue sendirian aja dari tadi."

"Elo sih yang ninggalin," balas Dira sengit sebelum kemudian mengarahkan tatapan pada teman-teman bandnya, "Gue duluan ya, guys. Ntar gue balik pas mau foto-foto."

"Yoi. Sana urusin homoan lo, Dir," salah satu teman band Dira bergurau, tetapi Dira sudah terlanjur berlari ke arah penonton tanpa benar-benar mendengarkan perkataan temannya.

Menemukan keberadaan Fajar saat berada di tengah barisan penonton secara langsung nyatanya lebih mudah daripada mencari sosok temannya dari atas panggung. Ketika Fajar melihatnya, pemuda itu pun bergegas menghampirinya meskipun ia harus berdesak-desakan dengan penonton lain. Dira hampir memeluknya di tengah kerumunan jika saja ia tidak melihat tatapan gerombolan siswi kelas X yang tak lepas darinya.

"Ikut aku, Jar," Dira menarik tangan temannya dengan sedikit tergesa menuju ke sisi panggung di mana para anggota band yang sudah tampil sebelumnya berkumpul.

"Dir? Kok aku diajak ke sini?" Fajar terdengar bingung. "Ini kan bukan tempat penonton?"

"Biarin aja. Kan ada aku," jawab Dira cuek sembari menuntun Fajar untuk duduk di salah satu bangku yang disediakan. Setelah ikut duduk, Dira bertanya hati-hati pada temannya sembari mengibaskan baju yang sudah basah karena peluh. "Gimana penampilanku tadi? Oke nggak?" Nada bicaranya dibuat sekasual mungkin meskipun dalam hati Dira benar-benar mengantisipasi respons dari sahabatnya.

"Bagus! Bagus banget. Aku nggak tahu kamu bisa main bass sekeren itu," Fajar memujinya dengan sungguh-sungguh, kedua matanya berbinar. Dira mengerjap pelan, nyaris tidak percaya saat menatap ke arah temannya.

"Masa?"

"Aku serius! Dira beneran keren, kok!" Fajar memajukan wajahnya. "Hampir kayak Bang Jingga."

"Uh...kalo Jingga mah...aku nggak ada apa-apanya sama Jingga," Dira lantas menunjuk segerombolan penonton perempuan di barisan depan panggung, "Tuh, yang disana semuanya fans fanatik Jingga. Serem tau mereka suka jejeritan sampai bikin kuping sakit. Heran deh, kok Jingga suka ya diteriakin sama banshee begitu."

"Hush!" Fajar memukul pelan pundak Dira sembari tertawa pelan, "Nggak boleh ngatain orang, Dir."

"Serius, aku sebel banget denger fans Jingga teriak," Dira menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir, "coba aja liat, pas Jingga manggung--"

"JINGGAAAAAAAAAAAAAAAA! KYAAAAAAAAAA! CHRISTIAAAAAAAAN! KYAAAAAAAAAAAAA!"

Dira memutar bola mata saat suara jeritan terdengar semakin nyaring sering dengan kemunculan band Jingga di panggung. Ia membisikkan "apa kubilang" tanpa suara ke arah Fajar yang hanya tertawa melihat ekspresi Dira. Dari tempat mereka duduk, dua sahabat itu bisa melihat Jingga yang tersenyum dan melambaikan tangan pada penonton. Bang Chris yang berada di samping Jingga mengambil mikrofon yang disodorkan oleh pembawa acara sebelum memberikan kata sambutan.

"Sebelumnya kita mau ngucapin makasih buat jajaran OSIS dan panitia pensi yang udah bikin event keren ini. Makasih juga buat semua yang udah datang hari ini buat nonton. Berkat teman-teman semua, gue dan temen-temen, juga band lain, jadi semangat buat memeriahkan suasana. Semoga kalian terhibur sama penampilan kita, ya. Leggo!"

Para penonton bersorak senang, bertepuk tangan menyambut penampilan yang paling dinanti seantero sekolah. Dira pikir akan rugi rasanya kalau mereka hanya duduk saja di sini tanpa ikut serta dalam gelombang euforia yang mulai terasa di antara barisan penonton. Maka Dira pun kembali mengajak Fajar untuk menyelip di antara penonton yang berjejal di tengah auditorium sekolah, berusaha mencari tempat yang paling memungkinkan untuk melihat Jingga lebih jelas.

"Dir! Sini woi!" salah seorang teman sekelasnya di IPS, Edo, tiba-tiba memanggil. Dira lantas mengajak Fajar mendekati teman-temannya, membiarkan sahabatnya itu menggenggam ujung bajunya saat ia berusaha mengikuti.

"Ngilang mulu lo. Tadi kan udah diculik bandnya si Agung, sekarang lo gabung sama kita-kita," ujar Bayu yang ternyata berdiri tak jauh dari Edo. Dira hanya nyengir sembari ber-high five dengan teman-teman sekelasnya yang ternyata bergerombol di sudut sana.

"Gue ajak Fajar gabung ya, bro. Abangnya nitip ke gue."

"Santai. Asal Fajar gak masalah aja kalo kita aneh-aneh," ujar Edo lagi sambil menatap Bayu penuh arti. Sekilas Dira memperhatikan raut bingung di wajah Fajar, tetapi Dira hanya tersenyum sambil mengedikkan bahu.

"Arman! Mana lightstick kita?!" tiba-tiba Edo berseru ke belakang pundaknya, tepat ke arah seorang pemuda kurus yang memeluk kantong plastik hitam besar yang terlihat mencurigakan. Dira tertawa ketika Fajar menatap teman-temannya yang ajaib dengan ekspresi tidak mengerti.

"Nih, lightstick buat lo lo pada. Gue minta bu kantin ngasih gincu warna warni biar kayak es pelangi," anak lelaki bernama Arman itu membagikan satu persatu botol air mineral bekas yang ternyata disembunyikan di balik kantong plastik tadi. Ketika pemuda itu menyodorkan botolnya ke arah Fajar, pemuda itu hanya memandang teman sekelas Dira dengan sorot semakin heran. Dira tertawa makin keras.

"Maaf, Jar. Mereka kadang suka mimpi ketinggian. Mau nonton konser girlband Korea nggak kesampean," Dira berseloroh. Ketika ia hendak memberitahu Fajar sesuatu, tiba-tiba suara kerisikan mikrofon dan seruan dari suara familiar membuat perhatian mereka teralih.

"ARE YOU READY?!"

Jingga terlihat antusias meskipun wajahnya sudah mulai basah oleh peluh. Dira dan teman-teman sekelasnya refleks berseru lantang, tidak mau kalah dengan jerit nyaring cewek-cewek yang begitu menggilai Jingga di depan sana. Ketika suara gitar elektrik menggema di seantero auditorium, suara teriakan semakin keras. Saat itulah Jingga membuka mulutnya, melantunkan lirik pembuka Sahabat Sejati dari Sheila on 7 dengan nada sempurna.

Sahabat sejatiku, hilangkah dari ingatanmu

Di hari kita saling berbagi

Gerombolan pemuda dari kelas IPS mulai berloncatan sembari memegang botol plastik warna-warni, terlihat menggila tanpa peduli dengan tawa dan kekehan geli yang terarah pada mereka. Yang penting mereka bersenang-senang bersama, begitulah prinsip yang tertanam dalam kepala mereka masing-masing. Tidak peduli jika mereka harus menanggung malu karena bertingkah konyol, yang penting bagi mereka adalah menghibur diri mereka sendiri dan orang lain. Untuk sekedar seru-seruan, begitulah tujuan mereka.

Seiring dengan lirik lagu yang mulai merasuki jiwa-jiwa muda itu, satu persatu mereka mulai berangkulan. Dira menarik Fajar dan melingkarkan lengan di pundaknya, tersenyum begitu lebar hingga ia merasa pipinya kebas. Namun Dira tidak peduli. Lagu yang dinyanyikan Jingga, bagi Dira, adalah lagu mereka--lagu Dira, Fajar, dan Jingga. Dan ia pun percaya Jingga bisa menyanyikan lagu ini dengan sempurna karena memikirkan mereka.

Dan saat Dira menatap pemuda itu di panggung, senyum Jingga menjawab seluruh tanyanya.

Pegang pundakku jangan pernah lepaskan

Bila ku mulai lelah, lelah dan tak bersinar

Remas sayapku jangan pernah lepaskan

Bila ku ingin terbang, terbang meninggalkanmu

Tubuh mereka bergerak seirama, sesekali berloncatan sembari tertawa. Kini beberapa anak lelaki dari kelas lain pun mulai ikut bergabung, menambah rantai pemuda-pemuda yang saling berangkulan. Tidak peduli bahwa mereka berasal dari kelas yang berbeda, lagu yang dibawakan Jingga dan bandnya sanggup membuat ikatan persahabatan yang semula tak kasat mata terlihat semakin jelas. Dari tempatnya berdiri, Dira bisa melihat senyum Jingga semakin lebar saat ia melambai pada teman-temannya yang juga ikut serta dalam rangkulan massal itu.

Ku slalu membanggakanmu, kau pun slalu menyanjungku

Aku dan kamu darah abadi

Namun ia hampir tidak percaya ketika Jingga tiba-tiba menunjuk ke arahnya--ke arah mereka--saat menyanyikan lirik tersebut. Sekilas ia menoleh ke arah Fajar, yang ternyata ikut menatapnya dengan sorot yang begitu mirip dengan Jingga.

Demi bermain bersama, kita duakan sgalanya

Merdeka kita, kita merdeka

Saat itulah Dira sadar, sejak awal Jingga memang menyanyikan lagu ini untuk mereka. Untuknya dan untuk Fajar. Untuk persahabatan mereka.

Jika Dira bisa naik ke atas panggung sekarang, ia akan mengajak Fajar bersamanya untuk memberi Jingga pelukan paling erat hingga mereka bisa tenggelam bersama dalam rasa haru yang membuncah tanpa bisa dibendung lagi.

"JINGGA I LOVE YOU!"

Fajar serta gerombolan anak lelaki yang mendengar teriakan Dira tertawa keras sebelum memutuskan untuk mengikuti sang pemuda meneriakkan kata cinta untuk temannya yang begitu bersinar di panggung sana, yang sedang menatap mereka dengan wajah sedikit kesal dan memerah karena malu. Tawa Fajar terbahak melihat sang kakak, dilambaikannya tangan seraya melonjak-lonjak demi memberi salam.

(tidak ada yang tahu bahwa di dalam hati pun, Jingga ingin turun dari atas panggung demi memeluk erat sahabatnya dan adik kembarnya, memberi mereka pelukan tererat yang dapat ia berikan.)

.

.

.

"Yuk, Jar! Sini!"

Fajar baru saja menghabiskan roti di tangannya saat Dira menarik tangannya. Dan belum sempat Fajar mengatakan apapun, Dira sudah mengajaknya ke belakang panggung. Kakinya tidak dapat melakukan apapun selain mengikuti langkah sang sahabat. Saat itu istirahat makan siang. Banyak penonton yang membubarkan diri dari depan panggung, mengisi perut seraya menunggu pengumuman pemenang lomba-lomba olahraga dan pertunjukkan terakhir. Tidak ada yang menghalangi langkah mereka. Dira, Jingga, dan kawan-kawannya mendapatkan makanan khusus dari panitia (Fajar sempat ditawari nasi bungkus Jingga sebelum pemuda itu menolak, kasihan Jingga yang sudah tampil sampai berkeringat, bukan?). Masih ada beberapa orang yang melahap nasi bungkus, tanda bahwa jam istirahat belum berakhir.

"... kenapa, Dir?"

"Panggung udah kosong. Main, yuk? Lagu biasa aja, gimana?"

Langkah Fajar kemudian berhenti. Matanya ragu menatap mata Dira yang berkilat. Ketakutan itu kembali menerpa. Tidak dapat hilang dari ingatannya apa yang terjadi terakhir kali Fajar berada di atas panggung. Tubuhnya lumpuh total. Musik menghentak, tangannya tidak bisa turut bergerak. Sorak sorai menyuruhnya turun terasa berdengung di kepala, kalah dengan jantungnya yang berdetak-detak ketakutan. Mungkin karena pertunjukkan terakhirnya membuat Fajar tertekan. Mungkin karena saat itu ada terlalu banyak orang. Mungkin karena sejak awal ia ketakutan. Atau mungkin karena hal-hal lain yang tidak Fajar mengerti. Pengalaman itu membekas, menimbulkan efek yang lebih besar dibandingkan yang ia bayangkan.

Sejak itulah, ia tidak lagi naik ke atas panggung. Berbeda dengan sang kakak. Tetapi tawaran dari Dira saat ini membuatnya meragu sejenak. Ia takut, tapi—harus bagaimana?

"Tapi—"

Dilihatnya Dira tersenyum. Dirasakannya bahunya ditepuk-tepuk lembut.

"Ada aku juga, kok. Tuh, lihat."

Tangan Dira menuntun Fajar menuju atas panggung, dan terkejutlah ia saat menyadari bahwa Jingga sudah di sana dengan mikrofon di tangan. Peluh masih membanjiri tubuh sang kakak kembar, dan senyum yang disajikan Jingga begitu hangat dan bertenaga. Tidak lupa pula Chris yang tengah mengutak-atik gitar elektrik, juga salah satu teman Jingga (entah siapa namanya, kakaknya hanya mengenalkan Chris pada dirinya) yang sudah siap di hadapan drum. Mereka semua sudah siap tampil. Kakaknya memeluknya erat, menguatkannya sebelum menuntunnya menuju keyboard yang tidak punya empunya.

Keyboard—yang dulu adalah bagian dari hidupnya. Keyboard yang akrab ia cumbui sebelum ia lepaskan.

"Ada Abang, oke? Ada Abang Chris juga. Abang Chris mau banget lihat kamu main keyboard lagi, minggu depan dia udah enggak di sini lagi." Mendengar perkataan Jingga membuat mata Fajar membulat. Ah, iya. Untuk persiapan ospek universitas. Christian sudah lulus, lagipula. "Orang-orang juga pada makan. Enggak bakal banyak yang merhatiin. Yuk? Kapan lagi, kan?"

Tatapnya awalnya ragu, tetapi kemudian Fajar mengangguk. Christian sempat melangkah mendekat, menepuk bahu Fajar berulang-ulang menenangkan sebelum pemuda itu kembali ke posisinya. Kakaknya memberikan sebuah sinyal dan Fajar segera bersiap. Gugup, jelas. Rasakanlah bahwa jemarinya seperti terkurung di dalam balok es. Tidak bisa mundur. Fajar terpaksa menghadapinya dengan jantum berdentum-dentum.

Aikawarazu ano koro ni hanashita

Yume wo boku wa oitsuzuketeru yo

Suara Jingga melantun lembut, bersamaan dengan jemari Fajar yang bergerak menyelaraskan. Ada satu dua saat di mana jarinya tergelincir sebelum melakukan improvisasi. Dira sibuk dengan bass di tangan. Chris pun menjadi backing vocal seraya memainkan gitar. Pun kakaknya, nyanyian kakaknya mengundang begitu banyak perhatian penonton. Mereka yang tengah makan siang kemudian berlari kembali ke depan panggung. Wajah Fajar perlahan pias, ketakutan.

So everybody ever be buddies

Days we grew up are days we will treasure

Everybody show is beginning

Curtain has risen, make your own storyline

Dream as if you will live forever

And live as if you'll die today

Kembali ia mendengar sorak sorai. Kembali tangannya semakin dingin. Kembali Fajar panik. Cepat-cepat ia melihat sekeliling. Cepat-cepat ia memperhatikan punggung Dira yang menghentak-hentak seiring lagu berjalan, dan rasa panik itu perlahan-lahan memudar. Fajar tidak harus menatap penonton. Pun tidak harus mendengarkan teriakan-teriakan mereka. Ia hanya perlu terus menatap punggung Dira, meyakinkannya bahwa Dira pun turut bersamanya dan jika terjadi apapun, selalu ada Dira yang akan bertindak duluan.

Dan teringat kata Dira sebelum mereka bernyanyi.

Mereka di sini untuk bersenang-senang. Hanya bersenang-senang. Tidak ada tuntutan apapun, mereka hanya bersenang-senang.

Semua akan baik-baik saja.

Rasanya seperti menenggak obat plasebo. Tidak ada efek secara sistemik, namun memperkuat sugesti. Bahwa kali ini, di panggung ini, Fajar akan baik-baik saja. Tidak akan ada hal-hal yang terjadi seperti dulu kala. Bahwa ia baik-baik saja dengan semua tatapan dan perhatian yang ditujukan pada mereka. Saat kakaknya mencapai nada tinggi, jeritan-jeritan di bangku penonton pun juga turut meninggi (jangkauan suara kakaknya memang mengagumkan, pantas saja penggemar kakaknya banyak). Kagum. Tangan Fajar semakin dingin, napasnya tercekat berulang kali. Kelegaan itu terhela begitu lagu berakhir, dan yang pertama dilakukan Fajar adalah memeluk erat Dira dan Jingga bergantian tanpa peduli mereka di atas panggung.

Dalam peluknya, Fajar mengucapkan terima kasih yang teramat dalam.

Ada Jingga dan Dira di sisinya, dan itu hal terpenting, bukan?

.

.

.

Keseluruhan kegiatan classmeeting dan pensi akhir semester berakhir saat senja menyapa. Selagi Jingga dan Dira sibuk dengan rekan band masing-masing (dilihatnya Jingga bertemu dengan Yulia, bertukar cium di belakang panggung sampai Dira bersorak dan Fajar terpaksa menyeret sahabatnya menjauh), Fajar dan anak-anak klub basket mengadakan perayaan kecil-kecilan. Teringat bahwa waktu Fajar di klub ini hanya tinggal beberapa bulan. Setelah itu akan ada pergantian pemain inti. Adik-adik kelasnya memeluknya erat seakan ia tidak akan terlihat lagi, membuat Fajar tertawa geli.

Padahal masih ada satu pertandingan lagi untuknya semester depan. Pertandingan terakhir.

Lapangan sudah mulai sepi. Hanya tersisa perlengkapan klub band yang tengah digotong satu persatu kembali ke ruangan. Sampah-sampah para penonton yang berserakan di lapangan membuat Fajar meringis. Tanpa peduli berapa banyak kotak sampah yang disediakan para panitia, kesadaran mayoritas orang nyatanya masih minim. Senyumnya merekah saat ia melihat Dira yang melambai ke arahnya. Cepat, ia mendekat dan merangkul sang sahabat seraya tertawa kecil. Jingga datang beberapa detik kemudian dengan wajah gugup dan panik, membuat kening Fajar berkerut kebingungan.

"Jar, pulang duluan aja ya? Abang kayaknya masih lama."

Fajar mencebik, "Yah, Bang. Katanya tadi mau nyobain rute-rute Bandersnatch pakai wifi klinik Bunda?"

"Sori, Dek. Biasalah, perpisahan Abang Chris dan Abang Dimas." Tatap Jingga berubah memelas, merasa bersalah. Fajar tidak tega. Sebelum ia sempat mengatakan apapun, Jingga sudah keburu menyikut pelan lengan Dira seraya berkata, "Dir, lo ajakin Ajar pulang bareng, oke? Langsung pulang. Jangan ke mana-mana lagi. Awas kalo adek gue baret."

Setelahnya Jingga tertawa kecil. Tawa yang terdengar dipaksakan. Tawa yang tidak sampai membuat mata sang kakak menyipit. Sebelum Fajar sempat mengatakan apapun, tangan Dira mendarat di bahunya, menuntunnya berbalik dan melangkah menjauh. Mata Fajar menemukan mata Dira. Mata yang sama kebingungan dan merasa tidak enak.

Jingga yang mereka berdua tahu paling tidak bisa jika disuruh menyembunyikan kegelisahan atas sesuatu.

Dan dari perlakuan sebelumnya terlihat jelas. Jingga terlihat tidak tenang. Entah mengapa. Fajar tahu ia seharusnya bertanya sebelum Dira menggandengnya menuju parkiran motor, tetapi mengapa tidak ada satupun tanya yang berhasil keluar?

//

fun fact: jingga seneng banget sheila on 7, one ok rock, dan day6 =))

//

jadi sesuai twit di atas, aku pause dulu ya book yang ini buat kejer apdet timeline jingga dan fajar. hehe. chapter berikutnya itu badai jadi prepare yourself . see you soon! :"D

(merayap ngutak atik rute bandersnatch)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top