13.5: sharing is caring.

taraa! ini adalah chapter bonus yang dibuat keroyokan oleh saya dan @yeolbaeby dalam rangka day by day udah mau 4k reads. makasih banyak ya atas dukungannyaa, semua vote commentnya, semua supportnya, semua promonya. i wish i can give you all all the stars in the sky to reply it all :") dan masih dalam momen syukuran, tunggu kejutan lain di akhir chapter ini ya :"D

//

  you fell down, it's alright, i'll pick you up 

(stray kids)

(silahkan putar multimedia di atas selama membaca)

//  


Kala itu Dira menunggu Fajar selesai latihan basket di tempat ia biasa nongkrong setiap kali ada yang mengajaknya bolos atau hanya ingin menyendiri sembari menyulut sebatang rokok. Kali ini pun begitu. Akhir-akhir ini Dira cukup sering mengisap nikotin karena butuh. Pelajarannya semakin sulit dipahami dan Dira butuh waktu untuk memasukkan semua ke otaknya tanpa ia perlu menenggak bercangkir-cangkir kopi. Lagipula sejak ia mulai mencoba mengisap rokok, ia mulai bisa melupakan banyak hal tak penting yang mengganggu benaknya. Seperti siluet Adelia dan Fajar yang mulai sering terlihat berlalu lalang bersama dan membuat dadanya sesak setiap kali melihat mereka.

Meskipun Jingga bilang Fajar tidak lagi sering terlihat bersama Adel sekarang, tetapi Dira tetap dihantui bayangan kebersamaan mereka. Dihantui rasa bersalahnya terhadap Adel.

Dira tahu Fajar tidak akan suka melihatnya merusak diri seperti ini. Mungkin kalau ia tahu Jingga juga begini, Fajar akan semakin kecewa. Dira tidak pernah bertanya pada Jingga mengenai hal itu. Hanya saja, ia sama sekali tidak siap ketika mendengar nada kaget Fajar saat pemuda itu tanpa sengaja memergokinya sedang merokok di salah satu sudut sekolah ketika menunggunya.

"Dira?! Apa-apaan?!"

Pemuda itu hampir saja menjatuhkan lintingan tembakau yang masih menyala itu ke celana abu-abunya. Ia segera menarik lepas rokok tersebut dari bibirnya, sebelah tangannya bersembunyi di belakang punggung. Pekerjaan yang sia-sia; Fajar tentu saja tidak buta. Meskipun Dira sudah menyembunyikan rokoknya, tetapi asap putih yang lolos dari mulutnya saat menghembuskan napas sudah barang tentu terlihat oleh Fajar.

"Udah selesai latihannya, Jar?"

Fajar tidak menggubris tanyanya. Pemuda itu menghampirinya dengan cepat, berusaha menarik tangan Dira yang menyembunyikan rokok menyala di belakang punggung.

"Kesiniin buruan rokoknya!" Fajar merintih pelan, membuat Dira menyesali keteledorannya. Suara Fajar dipenuhi kesedihan, kekecewaan. Dira pikir ia tidak bisa merahasiakan hal ini lebih lama lagi hingga ia menyerah pada Fajar yang menarik pergelangan tangannya.

Napas Fajar terdengar tercekat. Dira semakin dirundung rasa bersalah karena membuat Fajar seperti ini. Dijatuhkannya puntung rokok itu ke tanah sebelum menginjaknya dengan ujung sepatu. Begitu bara apinya mati, Dira memungut puntungnya untuk melemparkannya ke tong sampah. "Maaf, Jar. Aku...tadi aku butuh."

"Butuh?" Fajar mencicit, "Sejak kapan Dira butuh rokok? Buat apa? Dira yang biasanya nggak butuh racun kayak begitu."

"Ajar..."

"Dira kenapa berubah? Aku nggak tahu kenapa...kenapa rasanya Dira kayak beda dari yang dulu. Sejak...sejak kenaikan kelas, Dira jadi beda. Abang Jingga juga begitu. Kalian berdua udah punya jalan sendiri-sendiri, ninggalin aku. Kalian berdua nggak pernah peduliin aku lagi. Aku...aku...rasanya aku kayak nggak punya siapa-siapa lagi."

Dira menelan ludah, merasa bersalah mendengar ucapan Fajar.

"Bukan begitu, Jar..."

"Terus apa, Dira?" Fajar terdengar putus asa, seperti hampir menangis. Sorot mata pemuda itu terlihat begitu terluka hingga jantung Dira seperti ditusuk dari dalam saat bertatapan dengannya. Fajar terlihat rapuh, sangat rapuh, hingga Dira bahkan tidak berani menyentuhnya untuk sekedar menenangkan. Ia takut Fajar akan pecah berkeping-keping. Ia takut Fajar akan pergi meninggalkannya.

"Sini."

Terkejut, Dira sama sekali tidak menyangka bahwa Fajar tiba-tiba saja sudah merogoh sakunya untuk mengeluarkan kotak putih berisi beberapa batang rokok milik Dira. Tangan Fajar gemetar saat ia memantik api sembari memegang rokok dengan tangannya yang lain. Pemandangan di depannya sungguh sulit dipercaya hingga Dira tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Kamu mau ngapain, Jar?" ia berusaha mengambil rokok itu dari Fajar, tetapi pemuda itu dengan cepat menepisnya.

"Aku mau ngerokok juga kayak Dira sama Abang Jingga," suara Fajar masih bergetar, kekecewaan dan kesedihan begitu kental terdengar dalam setiap ucapnya, "Aku bisa kok jadi kayak kalian."

Sejenak Dira hanya menatap Fajar yang masih berusaha menyalakan rokoknya dengan kaku. Lalu ketika Dira rasa ia sudah cukup melihat Fajar yang kesusahan, pemuda itu menyambar rokok dan pemantik api yang ada di tangan Fajar tanpa permisi.

"Dira--!" Fajar hampir protes, kedua alisnya bertaut tidak suka menerima perlakuan temannya. Namun ekspresi Dira yang berubah serius membuat Fajar bungkam hingga ia tidak lagi mengatakan apapun saat tatapan mereka bertemu.

"Bukan gitu caranya."

Kelopak mata Fajar melebar otomatis ketika Dira menyodorkan ujung gabus rokok tersebut ke bibirnya, sebuah isyarat agar Fajar menahan benda itu di antara kedua bibirnya. Senyum yang terulas di bibir Dira setelahnya membuat Fajar tidak lagi bertanya meskipun matanya masih memperlihatkan keraguan. Sebelah tangan Dira mendarat di pundak Fajar sementara tangan yang lain memantik api hingga menyala. Ketika ujung rokok terbakar dan membara, Dira mengangguk untuk mempersilakan Fajar mengisapnya.

Baranya menyala semakin terang, lalu—

"Uhuk...uhuk...uhuk..."

Dira bergegas menyelamatkan lintingan tembakau itu sebelum Fajar menjatuhkannya. Lintingan yang semula diisap Fajar berpindah ke mulutnya yang mengulas senyum kecil penuh arti. "Lihat kan? Makanya aku nggak bisa ajak kamu ngerokok, Jar." Jemari Dira mengusap rambut Fajar yang masih membungkuk sembari terbatuk, berusaha untuk mengeluarkan asap yang membakar tenggorokannya.

"Tapi...Dira juga...nggak boleh...," Fajar terbata-bata memberitahunya. Namun Dira tidak mengatakan apapun saat ia mematikan rokok tersebut dan menyimpan sisanya di dalam kotaknya kembali. Menolehkan wajah, ia meniupkan asap putih yang tersisa ke arah yang berlawanan dari Fajar sehingga temannya tidak harus menghirup senyawa karbon perusak tubuh itu.

"Nggak perlu maksain diri, Jar," Dira bergumam, "Aku sama Jingga mungkin emang udah rusak. Tapi kami nggak bakal berhenti jagain kamu, oke? Kamu harus percaya itu, karena kami berdua sayang sama Fajar."

Diusapnya puncak kepala Fajar pelan, lalu tersenyum. Fajar masih menunduk, bibir bawahnya digigit frustrasi. Kata demi kata menggeliat keluar dari kerongkongan bagai anak laron yang keluar dari sarangnya, terbang berhamburan tanpa bisa ia cegah.

"Enggak adil."

Alis Dira terangkat, kebingungan. Meminta penjelasan lebih dari sang teman. Fajar menarik napas, berusaha menenangkan emosinya yang hendak meledak.

"Dira sama Abang selalu bilang bakal jagain aku. Kalian kira, aku enggak mau jagain kalian?" Mati-matian Fajar berusaha menahan tangisnya. Suaranya telah terlanjur mengingkarinya dengan menjadi serak. "Kayak—kayak jagain kalian dari jalan enggak bener. Dira kira—Dira kira aku enggak sayang Dira sama Abang? Aku juga cowok, Dira. Sama kayak Abang dan Dira."

Tanpa ia dapat cegah, air mata pun lolos begitu saja. Fajar jatuh terisak, bersamaan dengan perasaannya yang meluap-luap. Rasanya menyebalkan memang ditinggal sendirian. Tetapi lebih menyebalkan lagi saat kau menyadari bahwa kau tidak bisa menolong orang-orang yang kau sayang. Andaikan Fajar lebih berani, andaikan Fajar lebih nekat untuk merajut kembali jarak yang terbentang, ia dapat menyelamatkan Dira dari racun berkedok nikmat lintingan tembakau. Frustrasi, merasa bahwa ia tidak dapat melakukan apapun demi temannya.

"... karena aku enggak bisa apa-apa, ya, makanya kalian gini? Atau karena kelasku beda sendiri? Atau karena aku gay?" Sesenggukan, Fajar berkata. Kesusahan ia menarik napas. "Kalau—kalau kayak gitu, kalian enggak usah jagain aku lagi. Aku enggak mau dapet ranking atau nilai bagus kalau cuma bikin kalian ngejauh. Pengawal emang jagain Pangeran dari bahaya, tapi apa pengawal mau ngehibur Pangeran yang sedih karena kekuasaannya? Enggak, Dira. Kalian udah kayak gitu ke aku—aku cuma punya kalian—aku enggak mau—"

Kata-kata itu terputus saat Dira menariknya ke dalam dekap hangat. Tangis Fajar kembali pecah, kembali menuntaskan hatinya yang nyeri sangat. Semua ini menyiksanya. Ketidakberdayaannya, terutama. Pada akhirnya, ia kembali menjadi Fajar yang hanya bisa bergantung pada dua orang tersayangnya. Mengapa ia sepengecut ini? Bukankah Dira adalah orang yang ia sayang dan karena itulah ia harus turut menjaganya, bukan? Mengapa ia tanpa sadar tidak berdaya seperti ini?

Karena Fajar, karena kelemahan Fajar, Dira harus berkenalan dengan linting tembakau. Karena kealpaannya. Karena ketakutannya.

Salahnya.

"Maafin aku, Ajar."

Dira berkata lembut,, berusaha menenangkan sahabat kecilnya. Dibiarkannya Fajar menuntaskan tangisnya, membiarkan air matanya berhenti dengan sendirinya. Setelah itu pelukan pun dilepas. Mata mereka berhadap-hadapan. Jemari Fajar menyapu pelan sisa bulir-bulir air mata yang tertinggal, sampai tangan Dira memegang tangannya, membantu Fajar menyapu air matanya. Tangan mereka bertautan. Tangan Dira hangat—sehangat ini. Tangan yang baru saja memegang rokok itu. Tangan yang tampak betah melingkupi tangan mungil Fajar itu.

"Janji kalau Dira nggak akan berubah lagi?" Fajar menyodorkan kelingkingnya pada Dira, menunggu jawaban temannya dengan sorot penuh harap. Senyum Dira terulas semakin lebar saat ia mengaitkan kelingking Fajar dengan miliknya.

"Aku janji."

.

.

.

Jika kau tanyakan apa saja yang disukai Dira, kau akan menemukan memotret di dalam salah satunya.

Awalnya hanya sekedar foto-foto iseng dengan kamera ponsel. Perlahan dalam prosesnya, Dira mengetahui bagaimana caranya mendapatkan sudut potret yang tepat, apa yang harus ia lakukan agar ia mendapatkan pencahayaan yang bagus, dan seterusnya. Memotret seperti tindakan eskapis dari sekolah dan pelajaran-pelajaran yang semakin sulit. Masuk IPS bukan berarti pelajarannya mudah, pada dasarnya, setiap jurusan memiliki kehebatan dan kesulitan sendiri.

Sudah begitu banyak yang Dira abadikan di dalam ponselnya. Ayah Ibu yang berangkat ke kantor. Darius dengan seragam sekolahnya. Jingga yang tengah sibuk dengan gitarnya hingga melupakan keberadaan Dira. Pelangi setelah hujan. Lorong sekolah tatkala lengang. Orang-orang tersayangnya dan hal-hal yang sayang untuk dilewatkan, semua diabadikan di dalam lensa kamera. Memento pribadi Diraditya.

"Laper nih, Bintik?"

Dira bertanya ringan. Adalah suatu senja, langkah Fajar dan Dira memutar dari rumah mereka menuju minimarket terdekat. Ada begitu banyak jajanan di halaman minimarket. Fajar memegang erat botol Ichitan Thai Tea favoritnya, mengikuti langkah Dira. Masih ada waktu sebelum mereka harus pulang dan Dira pikir, Fajar pasti kelelahan setelah menyelesaikan kegiatan klubnya,

"Pengen telor gulung sama cilok. Bosen McD mulu." Tangan Fajar yang bebas menunjuk ke arah deretan gerobak, lima petak ruko dari minimarket. "Di sana ada deh kayaknya. Yuk, Dir?"

"Hati-hati, nanti kekenyangan terus enggak makan malam lagi."

Dilihatnya bibir sahabatnya mengerucut lucu tanda protes. Dira tertawa kecil. "Kata Bunda, kalau enggak diikutin nanti kepunan. Nanti kubeliin buat Dira juga, tapi temenin, ya?"

Angguk tanda iya. Dan kedua sahabat itu telah sepakat. Mungkin karena kelaparan dan tak sabar, langkah sahabatnya lebih cepat-cepat antusias. Detik berikutnya, Fajar tersenyum ke arah Dira. Senyum kekanakan antusias.

Di saat itulah, Dira tertegun akan apa yang ia lihat.

Fajar yang tubuhnya dibasuh mentari senja. Bintik-bintik di wajahnya yang tersapu semburat jingga, senyum di wajahnya, matanya yang menyipit saat tertawa kecil. Tercenung, Dira, dengan jantung yang berdentum-dentum kencang. Sahabat kecilnya seindah ini—lebih indah dari apapun yang pernah Dira lihat di dunia ini. Tanpa sempat ia merespon, Fajar keburu berbalik. Kedua tangan menggantung di tali ransel, langkahnya pun cepat-cepat di depan Dira karena tidak ingin kehabisan telur gulung. Lekat mata Dira memperhatikan Fajar dan punggungnya. Mungkin karena proses pendewasaan seorang lelaki, punggung Fajar berubah menjadi lebih tegap dan lebih lebar. Tergelitik, Dira mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Tanpa sepengetahuan sahabatnya, dibukanya kamera ponsel dan diabadikannya Fajar yang berjalan di depan.

Fajar, punggungnya, dan lembayung senja yang membasuhnya bagai gores-gores halus kuas di dalam lukisan. Abadi dalam gambar. Abadi dalam ingatan masa kecilnya.

(foto punggung Fajar dengan ransel dan seragam putih abu-abunya abadi di dalam layar kunci ponsel Dira—tidak pernah ia ganti tanpa peduli berapa tahun telah berlalu.)

//

halo semuanya! siap dengan hadiah tambahan?

dalam rangka day by day 4k, kami menggelar sesi tanya jawab dengan para karakter! harap diingat kalau yang bisa ditanya cuma jingga, fajar, erina, dira, dan darius. silahkan tanya mereka di kolom komentar chapter ini (dan jangan lupa tulis ya kalian nanyanya ke siapa), saya dan mamanya dira bakal ngejawab pertanyaan kalian sesuai in-character mereka. misalnya nih, kalian nanya ke fajar tentang cara bernapas, nanti saya bakal jawab as fajar dengan cara menjabarkan proses bernapas dari udara masuk ke dalam paru-paru sampai keluar. simpelnya, kami rp-in mereka buat jawab pertanyaan kalian :"D

pertanyaannya bebaaas. kalo mereka gak bisa jawab nanti saya yang jawab---kalo enggak ada spoileran di jawaban :"D btw ini dibuka sampai chapter berikutnya keluar ya. estimasi 1-2 minggu lagi :"Dd

jadi, tunggu apa lagi? silahkan drop pertanyaannya, ya! :"D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top