12: the day before

(bagian ini ditulis oleh yeolbaeby )

//

Lingkaran hitam di bawah mata Dira terlihat cukup jelas, membuat beberapa temannya menaikkan alis heran saat bertemu pandang dengannya di kelas. Terutama Bayu, teman sebangkunya yang kebetulan berisik dan suka ingin tahu urusan orang, meskipun baik.

"Lo kenapa, Dir? Kek masalah hidup lo berat bener."

"Emang."

Dira menggerutu pelan, meletakkan tasnya di meja sebelum merebahkan kepala di atasnya. Mata pemuda itu terpejam, sama sekali abai pada lingkungan sekitarnya. Ia jadi kurang tidur karena mimpi tersebut. Hingga pukul empat pagi Dira bahkan tidak bisa memejamkan mata karena terus membayangkan mimpi yang bisa dikatakan tak senonoh itu. Memikirkannya kembali hanya membuat Dira merasa bejat, apalagi jika Fajar sampai tahu.

Dira yakin bahwa ia sama sekali tidak menonton atau membaca hal yang aneh sebelum beranjak tidur. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia hanya melanjutkan permainan Final Fantasy sampai matanya mengantuk. Dira bahkan tidak tahu pukul berapa tepatnya ia jatuh tertidur hingga dirinya melihat Fajar di dalam mimpi, yang membiarkan Dira membuka pakaiannya selapis demi selapis sebelum mencumbunya.

Begitu imaji itu muncul kembali dalam ingatan, Dira tersentak bangun. Mengagetkan Bayu dan beberapa teman lain yang ternyata sudah duduk rapi di bangku masing-masing, memperhatikan guru Sosiologi yang ternyata sedang membelakangi mereka untuk menulis judul topik hari ini di whiteboard.

"Kapan Bu Endah masuk, Bay?" tanya Dira bingung sembari mengelap sudut bibirnya yang basah. Ah, sampai ngeces segala. Ia pasti benar-benar tertidur sekejap tadi. Bayu, yang memperhatikan noda basah di ransel Dira yang ia gunakan sebagai bantal, hanya tersenyum geli.

"Lo ganteng-ganteng jorok."

"Kampret," desis Dira sambil menonjok lengan Bayu, "gue ketiduran."

"Bayu! Diraditya! Udah selesai ngobrolnya?"

Kedua pemuda itu sontak berhenti berbicara begitu melihat Bu Endah sudah berkacak pinggang di depan kelas, meminta atensi. Seisi kelas hanya menatap mereka dengan ekspresi geli. Sementara Dira serta Bayu hanya bisa menunduk sembari pura-pura membuka catatan masing-masing. Padahal di balik meja, mereka sedang saling menginjak kaki.

"Awas lu, kutu kupret," gerutu Dira yang hanya dibalas cengiran nakal dari Bayu.

.

.

.

Ada satu hal yang mulai berubah dari Dira sejak berada di kelas 11 IPS, tempat yang semula ia pikir akan membuat jiwanya terasa asing. Tidak seperti anak IPA kebanyakan, penghuni kelas IPS ternyata memiliki selera humor tersendiri. Ikatan pertemanan mereka pun bisa dikatakan berbeda. Sepanjang pengamatan Dira, ia tidak pernah menemukan teman-teman yang selalu ingin melakukan apapun bersama-sama, tidak peduli baik atau buruk. Belajar? Oke, beberapa anak yang memang tergolong pintar memang senang mengajak Dira belajar bersama. Selebihnya? Mereka bahkan mengakui bahwa motivasi utama mereka datang ke sekolah hanya untuk menikmati masa-masa SMA.

Dira tidak tahu apakah ia harus merasa sedih atau justru bersyukur memasuki kelas IPS. Tentu saja tidak semua kelas IPS memiliki stereotip yang seperti itu. Mungkin karena Dira mulai berteman dekat dengan Bayu, yang punya banyak teman dan lebih mementingkan nge-band alih-alih belajar, ia pun jadi terbawa arus. Dira belajar banyak hal tentang musik dan band dari Bayu, begitu pula dengan lingkungan pergaulan yang sangat 'Jingga'. Dira tidak tahu kalau anak band itu akan banyak memiliki agenda keluar malam lalu nongkrong di kafe atau tempat-tempat hiburan yang menyediakan musik live.

Selama nongkrong, Dira ditawari bermacam hal. Mulai dari rokok tembakau sampai rokok ganja, bir kalengan sampai vodka dengan kadar alkohol cukup tinggi, bahkan ada yang menawarkan 'gadis penghibur' yang membuat Dira merinding. Beruntung Bayu tahu bahwa Dira masih belum terbiasa dengan hal itu sehingga ia tidak tersinggung saat Dira bilang tidak merokok.

Hanya saja,

"Temen lo cemen banget sih, Bay. Jaman sekarang cowok nggak ngerokok?" Angga, salah seorang teman Bayu, sengaja menyindir Dira terang-terangan. Ia tidak akrab dengan Angga karena mereka berbeda kelas, tetapi Dira tidak mengerti dengan sikap yang tidak bersahabat itu. Padahal Dira tidak melakukan hal yang merugikan buatnya.

Dira memperhatikan Bayu yang menyikut Angga dari sudut mata. Untuk ukuran seseorang yang tidak suka dengan orang yang hanya bisa menyindir tanpa berani mengatakan langsung padanya, Dira termasuk tenang. Ia hanya memberi Angga senyum kecil sebelum mengambil lintingan tembakau dari kotak biru gelap di tengah meja.

Sejak saat itu, Dira tahu ia sudah terseret dalam arus pergaulan yang tidak seharusnya ia masuki.

Dira masih menolak untuk akrab dengan semua teman-teman dalam lingkungan pergaulan Bayu selain teman sekelasnya itu. Bahkan ketika ditawari sebuah posisi di band mereka, Dira tidak menyetujuinya. Ia sudah berjanji untuk mempertanggungjawabkan pilihannya untuk masuk ke jurusan IPS pada kedua orangtuanya. Dira tidak ingin salah jalan bahkan sebelum adaptasinya terhadap lingkungan yang benar-benar baru ini berhasil.

Namun sepertinya sudah terlambat bagi Dira untuk menghentikan satu hal yang telah dimulainya sejak berteman dengan Bayu.

"Lah? Lo nyebat?!"

Adalah Jingga, orang di luar geng Bayu, yang pertama kali mengetahuinya merokok diam-diam. Dira tahu kalau Jingga sudah merokok sejak kelas 10. Pengaruh lingkungan, Dira pikir. Namun ia juga tidak merasa senang karena Jingga mengetahui bahwa Dira pun sudah mulai menyeberang ke pergaulan semacam itu.

"Jangan bilang Fajar," Dira mengetuk lintingan tembakaunya untuk membuang abu rokok ke dalam kotak rokok kosong. "Ntar dia nangis liat gue gini."

"Hm." Jingga terdiam sejenak ketika ia memantik api untuk membakar lintingan di antara jemarinya, "Lo tau nggak? Dia bolos buat pertama kalinya kemaren, habis ditembak cewek."

Asap putih mengepul keluar dari mulut Jingga, melayang di udara sekitar mereka. Dira ikut menghembuskan asap serupa dari hidungnya.

"Lo sih, Dir. Ngajarin adek gue bolos."

"Lah, lo abangnya tapi kok nggak sadar diri?" Dira membalas perkataan Jingga dengan ekspresi santai. Jingga menonjoknya pelan.

"Bacot."

"Lo yang bacot."

Jingga memberinya jari tengah, yang hanya dibalas dengan tawa terbahak oleh Dira. Selama beberapa menit, mereka sibuk mengisap rokok masing-masing hingga Jingga mengangsurkan sekotak susu pisang pada Dira. Yang bersangkutan tentu saja mengerutkan kening tidak mengerti.

"Apaan, nih?" Dira meraih kotak susu tersebut sebelum memeriksa kemasannya. "Nggak kadaluarsa kan?"

"Sialan," Jingga hendak merampas kembali kotak susu yang diberikannya pada Dira, tetapi pemuda itu lebih cepat menjauhkannya dari tangan Jingga, "Kalo masih ngebacot gue ambil lagi nih susunya."

"Idih, nggak ikhlas," Dira mencibir.

"Ogah gue ikhlas sama lo," Jingga balas mencibir. Namun setelah itu Dira hanya tertawa sembari menusukkan sedotan ke kotak susunya. "Keracunan beneran baru tau rasa lo belut Amazon."

"'Cot," Dira menempelkan jemarinya ke bibir Jingga, membuat temannya refleks menjauh.

"Jijik gue anjir. Punya pacar gue nih bibir. Kampret," Jingga menggerutu sambil mengusap bibirnya keras-keras dengan punggung tangan. Kali ini Dira tertawa lebih keras melihat kepanikan Jingga.

"Iya, iya, yang lagi kasmaran."

Keheningan yang menyelimuti kini ditingkahi dengan suara Dira dan Jingga yang sedang sibuk menyeruput minuman masing-masing. Pada suatu kesempatan, Dira mendengar Jingga bertanya, "Lo lagi deket ama siapa sih sekarang? Kayaknya makin banyak yang deketin lo dibanding dulu."

"Nggak ada," Dira mengguncang kotak susunya untuk memastikan cairan yang tersisa.

"Lho? Kata Yulia, lo banyak yang deketin. Kok lo bilang nggak ada? Bohong, ya?"

"Itu mah temen doang, Jing. Nggak ada yang spesial."

Dira menghindari tatapan Jingga yang saat itu seolah berusaha untuk melihat apa yang tersembunyi di balik sinar matanya yang berkilat cemas. Ia tidak bercerita pada siapapun mengenai mimpinya tentang Fajar, tentang kegundahan hatinya sejak menyadari bahwa perasaannya pada sang sahabat ternyata sedalam itu. Tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran Dira bahwa persahabatannya dengan Fajar bisa menuntunnya pada perasaan semacam ini.

(Ia belum berani memberi nama pada perasaannya, just because.)

"Temen tapi rangkulan?" Jingga mendengus pelan, membuat Dira mengerjap kaget mendengarnya, "Ada juga yang liat lo nyium cewek, Dir. Di kafe."

"Itu bukan--gue nggak maksud...itu mereka yang minta..."

"Gue tau lo nggak sebrengsek itu, Dir. Tapi tetep aja...apa yang lo lakuin itu nggak bener," nada suara Jingga terdengar serius meskipun tidak ada nada marah di dalamnya. Justru ia terdengar lelah. "Buat apa lo ngikutin keinginan orang cuma karena dia nafsuan sama lo? Bisa-bisa lo dianggap cowok murahan."

Kata terakhir yang diutarakan Jingga benar-benar menghujam dadanya. Dira terdiam sangat lama hingga rokoknya berubah sepenuhnya menjadi abu. Hingga ia tidak menyadari kalau Jingga sudah beranjak dari sana, meninggalkannya sendiri untuk merenungkan kembali kesalahan demi kesalahan bodoh yang dilakukannya demi bersikap baik pada orang lain.

Apakah seharusnya ia berhenti bersikap baik pada siapapun agar tidak ada lagi yang memanfaatkannya?

Dira butuh waktu untuk merenungkannya kembali.

.

.

.

"Bang, ada bang Fajar."

Sayup-sayup Dira bisa mendengarkan seruan Darius dari balik headset yang ia kenakan. Namun perhatiannya yang tersita oleh permainan komputer membuat Dira terlambat menyadari ucapan sang adik. Ia terus bermain tanpa peduli, dengan tubuh yang hanya terbalut celana pendek tanpa pakaian atas. Kebetulan saat itu pendingin ruangan di kamar Dira mati sehingga ia harus bertahan dengan kipas angin yang tak sedikitpun membuat gerahnya hilang.

"Ya ampun! Dira!"

Seruan yang berasal dari Fajar yang berdiri di ambang pintu membuat Dira tersentak kaget. Saat ia menoleh, Fajar sudah berbalik memunggunginya. Dira tidak bisa menahan tawa ketika melihat Fajar panik seperti itu. Padahal ia memang selalu begini di rumah, apalagi saat cuaca panas.

"Buruan pakai bajunya...," rengek Fajar dengan nada memelas. Dira memperhatikan telinga Fajar yang memerah, merasa geli melihat reaksi sahabatnya.

"Kamu sih dateng nggak bilang-bilang," Dira beralasan. Ia mengambil kaos dari dalam lemari tetapi sama hanya menyampirkannya di pundak. Terbersit keinginan untuk mengisengi Fajar sehingga ia pun berdiri cukup dekat di belakang pemuda itu tanpa melakukan apa yang dipinta sahabatnya. "Udah nih, Jar."

Begitu Fajar berbalik, pemuda itu refleks menjerit dan kembali menutup mata. Dira terbahak, yang segera dibalas dengan pukulan bertubi-tubi dari Fajar. "Udah dibilang pake bajunya! Nakal, ih."

"Abis...Jar...kamu lucu banget lagi panik gitu," mati-matian Dira berusaha menghentikan tawanya, tetapi tidak bisa. Fajar akhirnya cemberut hingga Dira terpaksa bungkam, menahan tawa.

"Aku malu, Dira."

"Badanku bagus, ya? Sampe bikin malu gitu?" Dira menaikkan alis, masih belum puas menggoda Fajar. Namun ketika pemuda itu mengangguk, giliran Dira yang merasa malu dengan pengakuan Fajar. Pujian memang selalu membuatnya senang hingga jantungnya berdebar cepat, tetapi entah kenapa kali ini terasa berbeda.

Ada dorongan dalam dirinya untuk menarik tangan Fajar untuk menyentuh otot perutnya yang mulai terbentuk, lalu memastikan rona kemerahan di wajah sahabatnya menjadi semakin gelap. Sesuatu dalam diri Dira bergelenyar aneh hingga ia harus menampar dirinya sendiri karena mulai berpikir terlalu jauh.

"Dir?! Ngapain nampar-nampar pipi sendiri? Kamu sakit?" Fajar yang menyadari keanehan tingkah Dira segera menghentikannya.

"Nggak. Tadi kayak ada nyamuk," dengan tergesa Dira menjawab, lalu memakai kaosnya. "Tadi kamu mau ngapain ke sini, Jar?"

.

.

.

Dua jam penuh Dira habiskan bersama Fajar untuk mendengarkan pemuda itu membacakan buku yang baru saja ia beli. Bukan hanya itu, sebenarnya Fajar juga bercerita tentang Jingga yang sudah memiliki kekasih dan perasaannya terhadap berita itu. Dira senang karena Fajar masih mau menghampirinya ke rumah meskipun Dira sudah berbuat terlalu banyak kesalahan pada pemuda itu. Meskipun Dira merasa kesulitan untuk bersikap biasa di depan Fajar setelah apa yang dilaluinya, ia berjanji untuk tidak meninggalkan Fajar.

Entah karena kelelahan bercerita atau memang pengaruh cuaca, dua sahabat itu akhirnya tertidur di ranjang Dira. Meskipun begitu, tidur Dira tidak nyenyak hingga ia terbangun saat baru memejamkan mata sekitar setengah jam. Dalam keadaan linglung, ia memperhatikan Fajar yang tertidur di sebelahnya dengan bibir sedikit terbuka.

Lucu, pikir Dira pada awalnya. Namun matanya tak bisa lepas memperhatikan bibir Fajar yang terlihat lembut. Tanpa sadar, Dira mendekat. Alarm di dalam kepalanya berbunyi nyaring, tetapi Dira tak bisa menghentikan dirinya. Ia terus memikirkan selembut apa bibir Fajar saat disentuh bibirnya. Apakah sama seperti pipi Fajar yang lembut? Atau bahkan lebih lembut dari itu?

Dira tidak dapat membendung rasa penasarannya.

Butuh waktu sepersekian detik bagi Dira untuk menyadari bahwa ia baru saja mencuri ciuman dari sahabatnya tanpa izin. Memanfaatkan kondisi Fajar yang terlelap lalu mengecup ranumnya, Dira baru saja membuat dirinya berubah menjadi pemuda brengsek. Hanya saja, kelembutan bibir Fajar terasa begitu menggoda hingga Dira kembali menyapukan bibirnya perlahan. Memerangkap bibir atas pemuda itu di antara kedua ranumnya dalam diam. Fajar memang masih belum bergerak, tetapi Dira bisa merasakan napas sahabatnya yang tercekat. Bergegas ia melepaskan diri dan berbalik memunggungi Fajar, berusaha menenangkan debar jantung yang terasa seperti hendak menghancurkan rusuknya.

Apa...yang baru saja Dira lakukan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top