05: you frustrate me with this love i've been trying to understand.

bagian ini ditulis oleh mamanya dira-darius yeolbaeby :"D

"Eh, Nyet."

"Paan, Nyuk?"

"Ah, gue tau gue emang unyuk."

"Kampret. Maksud gue kunyuk!"

Dira melempar botol bekas air mineral yang berada di genggaman tangannya ke arah Jingga. Sayangnya alih-alih mengenai tubuh Jingga, botol itu malah menghantam tembok dan menggelinding ke lantai. Dira berdecak sebelum menyeret langkah untuk mengambil botol itu dan membuangnya ke tong sampah.

"Tiati lo mulutnya dicabein sama Fajar," Jingga kembali berseloroh. Dira mendelik kesal pada temannya sebelum merogoh saku celana dan mengeluarkan lolipop.

"Kirain mau ngerokok," bawelan Jingga masih belum berhenti, "bagi satu Chupa Chupsnya."

"Beli sendiri," meskipun Dira menggerutu, tetapi pemuda itu merogoh kembali kantong celana abu-abunya untuk mengeluarkan setangkai permen lagi sebelum diberikan pada Jingga, "Modal dikit dong kalo mau nongkrong."

"Thanks, Dir."

"Lo mau apaan ke sini? Ganggu ketenangan orang aja."

"Eh?" Jingga hampir lupa tujuan utamanya menghampiri Dira di sela-sela jam kosong. Kebetulan kelasnya dan Dira sama-sama belum dimasuki guru dan Jingga kebetulan melihat Dira beranjak ke tempat nongkrong murid laki-laki yang biasa di belakang kantin. Kebetulan bungkusan permennya sudah terbuka, jadi Jingga mengulum permennya sambil berkata, "Gue mau ngomong sama lo."

Alis Dira mengerut sejenak. "Tentang?"

"Elo sama Nanat."

"Emangnya kenapa gue sama Nanat?"

Dira berpura-pura tidak mengerti, tetapi sebenarnya dalam hati jantungnya mulai berdetak tidak karuan. Jingga barangkali sudah tahu dengan kabar yang beredar tentang dirinya yang berpacaran dengan gadis itu. Namun Dira khawatir akan arah percakapan mereka nantinya. Jingga tidak mungkin menghampirinya tiba-tiba seperti ini jika bukan untuk membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan adik kembarnya.

Selama beberapa menit, Jingga hanya sibuk mengulum permennya tanpa menjawab pertanyaan Dira. Ini membuatnya refleks melirik pemuda itu, yang sepertinya terlihat sedang berpikir keras.

"Emangnya lo beneran naksir si dedemit itu?" tanya Jingga ingin tahu.

Mendengar pertanyaan itu, Dira hampir tertawa. Sudah dua orang yang menanyakannya hal serupa dalam rentang waktu seminggu ini. Beruntung Darius tidak ikut-ikutan bertanya mengingat adiknya sangat observan terhadap segala sesuatu yang terjadi pada hidup Dira.

"Ngatain orang lo," Dira berseloroh sebelum menggaruk kepala sejenak ketika hendak menjawab pertanyaan Jingga, "Gue suka-suka aja, sih."

"Apa?" Mendengar jawabannya, Jingga langsung menegakkan punggung, "Suka-suka aja gimana nih? Lo cuma coba-coba?"

"Lo kira minyak kayu putih dicoba-coba. Ya enggaklah," Dira menjawab cepat sebelum Jingga salah mengartikan maksud kalimatnya. Meskipun ia masih bingung dengan perasaannya pada Natasha, tetapi ia tidak bisa menceritakannya pada Jingga. "Gue suka kok sama dia. Tapi karena dia naksir gue duluan. Sekitar dua minggu lalu dia ngaku sama gue dan agak kepikiran juga, sih."

Oke, Dira sepertinya mulai mengarang alasan hanya agar Jingga berhenti untuk mengorek isi hatinya.

"Najis, sok ganteng banget lo," Jingga menoyor kening Dira, yang dibalas dengan perlakuan yang sama oleh pemuda itu, "Kalo suka ya suka ajalah, gak ada yang peduli juga siapa yang naksir duluan."

Sebenarnya Dira sedikit terkejut mendengar balasan Jingga atas perkataannya itu. Benarkah ia semenyebalkan itu? Dira tidak menyangka bahwa penjelasannya justru menimbulkan reaksi yang semacam itu dari Jingga.

"Sori, nggak maksud," wajah Dira sedikit tertekuk, "Lo lebih ganteng dari gue lah, Jing. Anak band lagi."

"Woi, apaan sih?!" Kali ini Jingga memukul lengan Dira keras-keras hingga pemuda itu mengaduh kesakitan. "Geli gue, anjir. Lu diem aja dah gak usah manis-manis ke gue kayak sama Fajar. Merinding."

Memanyunkan bibirnya, Dira lantas mengusap lengannya yang baru saja dipukul tanpa berniat untuk membalas Jingga. Beberapa saat kemudian mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dira masih menunggu hal yang menjadi inti pembicaraan Jingga sebenarnya, tetapi pemuda itu masih terdiam lama sembari menghabiskan lolipopnya.

"Gue cuma mau ngasih tau nih, Dir," ketika Jingga akhirnya kembali buka suara, Dira memperhatikannya, "Natasha tuh nggak semanis yang lo kira. Mantannya, beuh, banyak. Lo tau kan pas SMP dia kayak gimana. Lo yang bego gini mudah banget kejerat ama pesona dedemit kayak dia."

"Mulut tuh dijaga, Jing," tetapi Dira malah terkekeh mendengar perkataannya.

"Eh, serius gue. Pas awal sekelas sama dia sih gue kira dia udah berubah soalnya dia baik dan ramah gitu ke semua orang, kan. Tapi pas gue denger cerita temen gue yang mantanan ama dia, gue jadi nyesel bilang dia baik. Nggak tau sih kalo sama lo dia jadi berubah apa gimana," Jingga mengedikkan bahu, "tapi dia ular betina."

Dira terdiam, berusaha mencerna setiap informasi yang baru saja dibagikan Jingga padanya tanpa diminta. Pemuda itu sedikit bingung mengingat Jingga tidak akan melakukan ini jika ia tidak peduli padanya. Ada rasa hangat yang merambati dadanya ketika menyadari hal ini, membuat Dira tanpa sadar mengulurkan tangan untuk memeluk Jingga erat. Yang dipeluk tentu saja kaget dan berusaha melepaskan diri dari Dira.

"Woi, nyet. Lepasin gue!"

"Bentar, gue mau bilang makasih," Dira menyembunyikan wajahnya di balik pundak Jingga hanya selama dua detik karena temannya itu tiba-tiba memukul punggungnya agar pelukan mereka terlepas. "Brengsek. Sakit woi."

Jingga menendang main-main tulang kering Dira, yang untungnya bisa dielakkan oleh pemuda itu. "Lagian ngapain lo peluk gue, dih. Gak usah sok manis sama gue, anjir. Gak mau gue ditaksir ama cowok kayak lo."

"Kampret. Ya kali gue naksir lo."

"Lo mah naksirnya ama dedemit, ya," celetuk Jingga yang dibalas dengusan oleh Dira. "Eh, tapi beneran gue masih nggak ngerti. Gue kira malah lo naksir Fajar lho, Dir."

Mendengar perkataan temannya, Dira sontak membeku. Tatapannya terpaku pada permukaan tanah di bawahnya seolah semut-semut yang berbaris di bawah sana terlihat lebih menarik. Mau tidak mau Dira pun terpikirkan akan hal itu. Memangnya apa yang membuat Jingga sampai menebak hal yang menurut Dira bahkan tidak mungkin itu?

Ya. Tidak mungkin rasanya Dira menyukai sahabatnya sendiri. Rasa sayangnya pada Fajar memang hampir setara dengan rasa sayang terhadap Darius. Tetapi itu hanya karena ia ingin melindungi mereka, kan? Fajar...bukankah sudah seperti saudaranya sendiri?

"Nggak lah. Fajar sahabat gue, udah kayak sodara sendiri juga. Lo juga, Jing," tawa pelan tercetus dari bibir Dira, "Nggak mungkin gue naksir Fajar."

Namun di balik tawa itu, Dira harap Jingga tidak memperhatikan tangannya diam-diam mencengkeram jantung yang seakan mencelos dalam rongga dada.

.

.

.

Pembicaraannya dengan Jingga berhasil membuat Diraditya berpikir ulang tentang banyak hal. Tentang keputusannya untuk menyetujui ajakan Natasha, tentang masa lalu gadis itu, dan tentang Fajar. Sejujurnya Dira memang tidak terlalu mengenal Natasha meskipun mereka sudah satu sekolah sejak SMP. Dunianya memang hanya terfokus pada persahabatannya dengan Fajar--dan Jingga--serta hal-hal lain di luar percintaan. Anak lelaki itu bahkan masih belum dapat membedakan rasa suka terhadap teman dan rasa suka terhadap seseorang yang spesial seperti kata ibunya.

Setiap kali ia memikirkan kata spesial, yang terbayang di benak Dira adalah keluarga dan orang-orang terdekat yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Kembar Yudhistira dan keluarganya misalnya. Bahkan adik Fajar dan Jingga, Erina, sudah dianggap Dira seperti adiknya sendiri. Setiap kali bertandang ke rumah mereka, Dira tidak pernah absen memberi Erina pelukan singkat. Dira tidak bisa menyamakan keluarga Yudhistira dengan teman-temannya yang lain karena mereka spesial.

Malam itu, Dira tidak bisa tidur nyenyak.

Itulah yang menjadi alasan keterlambatan Dira hari ini. Ia bahkan tidak sempat untuk menjemput Natasha ke rumahnya, yang membuat gadis itu cemberut seharian di sekolah. Dira sudah meminta maaf, tetapi Natasha sepertinya masih marah sehingga tidak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkan suasana hati gadis itu membaik sendiri.

Sejak berpacaran dengan Natasha, memang ada beberapa hal yang berubah dari kebiasaan Dira sehingga waktu yang dihabiskannya dengan Fajar jadi jauh berkurang. Meskipun Dira sudah mencoba mengajak Natasha untuk bergabung dengannya dan Fajar (serta Adelia, teman sekelas mereka yang akhir-akhir ini sering mengobrol dengan sahabatnya), tetapi Natasha menolaknya. Maka Dira harus membagi waktu untuk Natasha dan teman-temannya.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hubungan Dira dan Natasha masih bertahan dan hampir sudah melewati bulan ke dua. Meskipun tidak jarang dihiasi dengan perdebatan, tetapi sejauh ini Dira merasa baik-baik saja. Perasaannya pada gadis itu masih sama seperti sebelumnya; rasa sukanya tidak bertambah dalam. Mungkin karena ia sudah mulai melihat tabiat asli Natasha yang ternyata seperti yang Jingga katakan. Hanya saja, Natasha tidak pernah melakukan sesuatu yang fatal atau menyakiti siapapun. Dira masih bisa menolerir sikapnya.

Tentu saja ia sudah mendengar cerita lengkap tentang masa lalu Natasha dari Jingga. Setelah pembicaraan mereka hari itu, Jingga cukup sering mengingatkan Dira sebagai bentuk kepeduliannya. Namun selama menjalin hubungan dengan Dira, semuanya berjalan cukup baik sehingga ia pikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Satu-satunya kekhawatiran Dira hanya bagaimana ia bisa membujuk Natasha untuk menerima Fajar sebagai sahabat pacarnya dan mulai mencoba untuk dekat dengannya.

"Aku masih bingung kenapa kamu nggak mau main sama Fajar, Nat."

Dira mengunyah kentang goreng sembari memfokuskan pandangan pada layar komputer di depannya. Kubikel sempit itu terasa makin sempit karena kehadiran Natasha yang bersikeras mengikuti Dira yang memang sudah berjanji akan bermain game online ke warnet dengan teman sesama gamer-nya. Pemuda itu sebenarnya keberatan untuk diganggu, tetapi Natasha bisa lebih menyebalkan lagi jika ia tidak menuruti permintaannya. Dira menyayangkan ketidakhadiran Jingga dalam jadwal main game mereka karena ada latihan band. Kalau tidak, Natasha pasti tidak akan berani merecoki Dira sampai seperti ini.

"Kenapa sih, Dir? Bahasnya Fajar mulu tiap kali sama aku," Natasha memanyunkan bibirnya, tetapi Dira terlalu fokus pada permainan. Seruan yang terdengar dari balik headphone nyatanya terdengar lebih menarik daripada perbincangan dengan Natasha. Pertanyaan tadi hanya sebagai basa-basi saja supaya Natasha tidak merasa terlalu diabaikan oleh Dira.

"Ntar. Aku main dulu, musuhnya mendadak ngepung nih."

Akhirnya Natasha memilih untuk diam dan memperhatikan Dira yang sibuk menggerakkan karakter game-nya. Sesekali terdengar seruan frustrasi dan umpatan, dibarengi istilah yang sama sekali tidak dimengerti Natasha yang membuatnya semakin bosan. Dira tidak menyalahkannya, sih. Namun ia juga tidak berusaha untuk mengajak Natasha bicara mengingat permainannya belum selesai.

Barangkali karena sudah merasa bosan menunggu, Natasha mulai menempel pada Dira. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke pundak Dira, jemarinya bermain-main dengan gelang di pergelangan tangan kiri Dira. Pemuda itu berusaha untuk tidak merasa terganggu. Namun di suatu kesempatan, ketika Dira akhirnya melepaskan headphone-nya sejenak untuk beristirahat setelah permainannya selesai satu stage, Natasha tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat mata Dira membelalak.

"Ciuman yuk, Dir."

.

.

.

"Belut Amazon. Disini lo rupanya."

Dira terkejut ketika mendengar suara familiar yang tiba-tiba terdengar dari pintu kubikelnya. Jingga Pratama Yudhistira muncul bagaikan pahlawan, menyelamatkan Dira dari cengkeraman Natasha yang sejak tadi membuatnya khawatir. Dira benar-benar pusing, tidak mengerti dengan Natasha yang tiba-tiba meminta banyak hal padanya di tempat tertutup ini. Saking kebingungannya, Dira sampai tidak bisa berkutik ketika Natasha beberapa saat lalu tiba-tiba mengecup bibirnya. Beruntung ada Jingga yang memecah atmosfer tegang di antara Dira dan Natasha sehingga gadis itu pun mengurungkan niat untuk memeluk tubuh Dira.

"Lo juga, Demit," pandangan tajam Jingga berpindah pada Natasha yang menggembungkan pipi ke arah Jingga. "Ngapain lo ngikutin Dira ke sini? Kegatelan amat sih jadi cewek."

"Bukan urusan lo, Jingga," gerutu Natasha. Dira yang masih berusaha memahami situasi akhirnya melemparkan tatapan memelas pada Jingga. Mengerti dengan isyarat yang diberikan pemuda itu, Jingga akhirnya menarik tangan Dira begitu saja, melepaskannya dari jeratan Natasha.

"Emak lo nyariin. Udah mau malem gini masih aja main. Sadar diri lo, Nyet. Besok ada ulangan."

"Eh? Terus aku gimana, Dir?" Natasha mengerjap bingung, terlihat kesal pada Jingga dan juga Dira yang kini sudah keluar dari kubikel.

"Pulang sendiri sono. Nih, gue kasih ongkos ojek," Jingga menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan pada Natasha. "Dir, siniin kunci motor lo. Gue yang nyetir."

"Jing, bentar," Dira jadi merasa tidak enak pada Natasha karena gadis itu kelihatannya hampir menangis. Namun sebelum Dira sempat menghampiri gadis itu, Jingga sudah terlebih dahulu mendaratkan pukulan ke kepala temannya.

"Lo denger gue nggak?! Dia pulang sama ojek, gue sama elo! Udah jangan protes!" suara Jingga mulai meninggi sehingga membuat pengunjung warnet yang lain menatap heran ke arah mereka. Daripada menjadi perhatian seperti ini, Dira akhirnya menuruti perkataan Jingga dan meninggalkan Natasha pulang sendirian. Ia tidak bisa membantah saat Jingga membentaknya agar naik ke jok motor Dira. Padahal saat itu ia melihat motor Jingga diparkir di salah satu minimarket yang berada di dekat warnet, tetapi pemuda itu tidak mengatakan apapun.

"Lo diapain sama si kuntilanak?" tanya Jingga saat mereka menyusuri jalan menuju rumah Dira, "lo kayak abis dicekokin narkoba."

"Kagak, woi. Tadi dia cuma nempel-nempel doang, gue bingung." Dira berusaha untuk tidak menyebutkan adegan ciuman yang sempat terjadi antara dirinya dan Natasha tadi.

Jingga kedengaran tidak percaya.

"Serius, Jing."

"Ya udah, gue percaya. Tapi kenapa harus di warnet banget sih mojoknya? Mesum bener."

"Dia yang ngikut, gue nggak tega ngusirnya," gumam Dira. Jingga lantas menghela napas berat, lalu membelokkan motornya ke jalur yang tidak menuju rumah Dira.

"Lo mau nyulik gue ke mana lagi, Jing?"

"Ke tempat gue. Biar lo liat adek gue lagi sakit gara-gara elo."

"Hah?"

Jantung Dira nyaris berhenti berdetak. Fajar...kenapa? Apa yang sudah dilakukannya?

"Pacar brengsek lo nipu adek gue terus sekarang dia demam tinggi gegara kehujanan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top