04: when did we get so bad at being honest?
bagian ini ditulis oleh mamanya dira-darius yeolbaeby :"D
"Bang, jadinya udah bilang atau belum?"
Kedatangan Darius ke kamarnya membuat Dira terkejut hingga nyaris melempar joystick ke lantai. Jantungnya nyaris copot hingga Dira harus mengelus dada untuk menenangkan diri. Dia memang sengaja bersembunyi di kamar agar bisa bermain playstation tanpa ketahuan Mama. Habisnya Dira bosan mengulang pelajaran, apalagi matematika. Ia sudah sejak beberapa minggu lalu menyelesaikan seluruh soal yang ada di buku teks tersebut.
"Kalau masuk ketok pintu dulu, Dek," Dira menggerutu, lalu kembali melanjutkan permainannya. Kepalanya kembali menyembul dari balik selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh yang berbaring telungkup di atas ranjang, menghadap ke televisi. "Ngomong apaan tadi? Abang nggak denger," ucap Dira sambil lalu. Darius kecil hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kakaknya.
"Udah bilang belum ke Bang Fajar kalau abang udah jadian sama Kak Nanat?"
Pertanyaan adiknya membuat Dira buru-buru menekan tombol pause sebelum membekap mulut Darius dengan sebelah tangannya. Sayangnya Darius punya refleks yang bagus hingga ia berhasil memblokir pergerakan Dira.
"Apaan sih?! Nanti Mama denger tau!" Dira berbisik panik. Darius yang tidak mengerti apa-apa menatap kakak lelakinya dengan sorot bingung.
"Kenapa emangnya? Kan abang cerita ke Mama kemaren kalau Kak Nanat nembak."
"Eh, anak kecil. Kenapa hobi banget nguping omongan orang?"
Sebuah jitakan mampir di kening Darius, membuatnya terkejut. Tidak terima dengan perlakuan Dira, Darius pun meninju pelan lengan kakaknya. "Sakit tau!"
"Abisnya, lo sih dek," Dira memanyunkan bibir, mendadak tidak jadi kesal kepada Darius mendengar adiknya mengaduh kesakitan setelah ia jitak. Sebagai gantinya, Dira menarik tubuh Darius mendekat sebelum mendaratkan kecupan singkat di kening sang adik, "Jangan nguping, dong. Nanti kamu cepat gede."
"Dih," Darius mendorong dada Dira, "ya masa adek kecil terus, Bang?! Nggak mau."
"Iya, tapi jangan sekarang gedenyaaaa." Dipeluknya sang adik lebih erat, gemas sendiri dengan perkataan Darius. Selama beberapa saat yang lebih muda membiarkan tubuhnya berada dalam kungkungan lengan kokoh sang kakak. Hanya saja, setelah beberapa menit sepertinya Dira masih belum mau melepaskan hingga Darius harus mendorong dada Dira sampai pemuda itu terjerembab ke kasur.
"Jawab pertanyaan adek dong, Bang," Darius mengembalikan percakapan mereka ke jalur yang seharusnya sebelum Dira mengalihkan topik pembicaraan tadi, "jadi udah bilang belum ke Bang Fajar?"
Yang ditanya tidak bisa segera menjawab. Dira hanya berbaring di kasurnya sembari menatap langit-langit kamar yang penuh stiker bintang glow-in-the-dark, mulutnya terkatup rapat. Darius memang terlalu pintar untuk ukuran anak yang sebentar lagi akan lulus SD. Mungkin itu jugalah yang membuatnya diterima untuk masuk kelas akselerasi di antara seratus murid lain yang seangkatan dengannya.
"Belum."
Ada jeda sejenak sebelum Darius kembali membuka suara, "Kenapa belum?"
"Belum tepat aja waktunya."
"Terus kapan tepatnya? Bang Fajar nggak suka dibohongin lho, Bang."
"Iya, gue tau," Dira memukul pelan lengan Darius yang berada cukup dekat dengannya. Kali ini anak lelaki itu tidak protes, tetapi dalam keheningan entah kenapa Dira bisa mendengar isi pikirannya. Darius mungkin sedang menggerutu kesal dalam kepalanya melihat tingkah sang kakak. "Besok deh, besok. Janji. Ingetin besok pas sarapan biar nggak lupa."
"Nggak mau. Inget sendiri, lah. Bang Fajar kan temen 'deket' abang," Darius membuat tanda kutip di samping kepalanya, membuat Dira menyipitkan mata ke arah anak lelaki itu. "Udah sama-sama dari kecil, udah tidur bareng, mandi bareng, berangkat sekolah bareng. Udah nempel bener. Terus sekarang pas abang punya pacar buat pertama kali malah nggak lapor sama dia. Itu tuh yang biasanya bikin persahabatan pecah, Bang."
Meskipun Dira ingin sekali membungkam mulut sang adik yang entah kenapa kali ini terlalu banyak bicara, perkataan anak itu memang sepenuhnya benar. Harusnya Dira tidak ragu untuk memberitahu kabar bahagia itu pada Fajar. Namun di satu sisi, ia merasa aneh. Seolah ada suara yang meminta Dira untuk tetap merahasiakan hubungannya agar Fajar tidak terluka. Kenapa bisa muncul pikiran seperti itu dalam kepala Dira? Apa karena ia takut jika hubungan persahabatannya dengan Fajar merenggang setelah ia berpacaran?
Tidak. Dira tak akan mungkin berbuat seperti itu. Bagaimanapun juga, Fajar dan Natasha akan menjadi prioritas Dira mulai dari sekarang. Dan ia tidak akan meninggalkan salah satunya demi yang lain. Dira pastikan Fajar dan Natasha nantinya akan berteman baik sehingga tidak ada satupun di antara mereka yang akan merasa ditinggalkan.
"Oke," akhirnya Dira memutuskan, "besok gue bilang ke Fajar."
Darius mengangguk sebelum menepuk punggung abangnya perlahan, memberinya semangat.
.
.
.
Dira sudah membulatkan tekad akan memberitahu Fajar secepatnya sebelum pemuda itu mendengar kabar tersebut dari orang lain. Namun pagi itu, ia tidak menyangka akan kedatangan tamu tak terduga yang membuat Dira merasa tidak enak pada keluarganya.
"Pagi, Tante. Om. Adek."
Natasha terlihat berdiri di balik pagar rumah keluarga Ardhan ketika mereka baru saja hendak berangkat menuju tempat tujuan masing-masing. Seragam putih abu-abunya terbalut cardigan pink lantaran cuaca hari itu cukup dingin. Dira refleks mengerutkan kening bingung melihat kehadiran Natasha di depan rumahnya, meskipun pemuda itu tetap berbasa-basi menawarkan gadis itu untuk mampir. Natasha menolak halus tawaran Dira sebelum berkata, "Kebetulan tadi lewat sini terus mau ajak Dira berangkat bareng."
Sejujurnya ia tidak menyangka kalau Natasha akan mengetahui alamat rumahnya secepat ini. Baru kemarin mereka resmi berpacaran, ingat? Dan Dira pikir mereka belum membuat janji untuk berangkat bersama. Namun ia tidak punya waktu untuk berpikir panjang karena kedua orangtuanya mulai menawarkan Dira serta Natasha untuk berangkat bersama.
"Nggak usah, Ma. Natasha bareng Dira aja," ujar pemuda itu.
"Tapi helm kamu cuma satu, Dira. Nanti kalau ditilang gimana?" Kali ini Papa menyanggah ucapannya. Dira berusaha memutar otak agar Papa tidak sampai memaksa mereka untuk berangkat bersama-sama dengan kendaraan orangtuanya. Darius bisa marah kalau sampai terlambat dan Dira tidak mau berurusan dengan Darius yang marah sepagian ini.
"Dira pinjem helm ke rumah Jingga, Pa. Tenang aja, Papa nganterin Darius sama Mama aja. Aman, kok," Dira meyakinkan orangtuanya.
"Bener, ya? Jangan sampai nggak pakai helm kamu. Papa nggak mau ngurusin persidangan kalau sampai ditilang."
"Enggak, kok. Dira nggak bakal kena tilang."
Setelah meyakinkan sang ayah--dan melepas mereka berangkat terlebih dahulu--Dira akhirnya bisa menghela napas lega.
"Dira nggak bilang sih kalau nggak punya helm. Tau gitu tadi aku bawa sendiri dari rumah," untuk pertama kalinya Natasha kembali membuka suara. Dira hanya memberi gadis itu tatapan singkat sebelum bergumam, "Ya, mana aku tau. Kamunya aja yang main datang ke rumah orang tanpa bilang."
Mungkin karena rencananya untuk bicara pada Fajar gagal, Dira tidak berhasil menyembunyikan nada kesal dalam suaranya. Barangkali Natasha menyadari hal itu sehingga ia pun merasa tidak enak. "Maaf. Dira jangan marah."
Menghela napas, Dira lantas mengalihkan tatapannya lagi pada Natasha. Sebenarnya tidak ada gunanya juga ia marah kepada Natasha. Gadis itu mungkin hanya terlalu bersemangat untuk menemui Dira setelah mereka resmi berpacaran tempo hari. Ia hanya bisa maklum. Mungkin karena baru jadian kurang dari 24 jam, barangkali Natasha sudah merindukan kebersamaan mereka. Meskipun Dira belum merasakan hal yang sama karena ia masih punya urusan lain yang harus diselesaikan agar hatinya tenang.
"Aku nggak marah. Tapi lain kali chat dulu sebelum mampir. Kan bisa kujemput."
Gadis itu refleks mendongakkan wajah menatap Dira, matanya berbinar. "Dira mau berangkat bareng mulai besok?"
"Boleh aja."
Mendengar jawaban Dira, gadis itu tersenyum. "Oke. Kalau gitu mulai besok kita berangkat bareng, ya."
"Tapi nggak boleh telat. Kalau telat kutinggal," Dira menjulurkan lidah main-main, membuat Natasha mendaratkan pukulan ringan di lengannya. Kali ini giliran pemuda itu yang tertawa.
" Ya udah. Yuk."
Natasha mengerjap pelan, "Helmnya...gimana?"
"Kamu pake helmku aja. Tenang, aku tau jalur aman biar kita nggak ditilang polisi," Dira tersenyum penuh misteri sebelum menyalakan motornya dan menunggu Natasha naik ke boncengan.
"Let's go!"
.
.
.
Sejak mulai dari pelataran parkir sampai Dira menyusuri koridor menuju kelas, semua mata terlihat menatapnya dengan sorot ingin tahu. Padahal saat itu Dira sedang berjalan sendirian karena Natasha sudah masuk kelas terlebih dahulu. Namun perhatian orang-orang terlihat begitu fokus padanya hingga membuat Dira risih sendiri. Ia tidak sempat bertanya pada siapapun karena bel masuk sudah berbunyi. Kebetulan jam pertama hingga ketiga diisi dengan ulangan matematika sehingga tidak ada satupun yang sempat membombardir Dira dengan pertanyaan setelah melihatnya membonceng Natasha ke sekolah.
Ketika jam istirahat pertama tiba, Dira berniat untuk menghampiri Fajar yang duduk cukup jauh darinya. Dira ingat bahwa ia belum sempat membicarakan apapun dengan Fajar karena mereka sudah disibukkan dengan pelajaran sejak pagi. Ia hanya sesekali melirik Fajar yang serius mengerjakan ulangan, memastikan bahwa pemuda itu tidak keluar terlebih dahulu ketika bel berbunyi. Namun lagi-lagi Natasha lebih cepat mencegatnya sehingga Dira tidak bisa begitu saja meninggalkan gadis itu di tengah keramaian seperti ini.
"Nat, bentar aku mau ngomong sama Fajar. Kamu duluan aja ke kantin," gumam Dira.
"Fajar? Kayaknya dia udah pergi ke kantin duluan, tuh," ujar sang gadis sembari mengintip di balik tubuh Dira. Benar saja. Ketika ia berbalik, bangku Fajar sudah kosong. Dira menghembuskan napas frustrasi. Perasaannya semakin tidak enak.
"Yuk, ke kantin aja. Nanti kamu samperin dia di sana."
"Nggak bisa di kantin, Nat. Aku perlu ngomong berdua aja sama dia," Dira berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar kesal. Namun gadis itu sepertinya tidak mendengarkan Dira ketika ia berusaha menggamit lengan sang pemuda dan menuntunnya ke luar kelas. Sepanjang jalan, Dira bisa merasakan tatapan orang-orang yang menyadari lengan mereka yang bertaut. Ia hanya memberi mereka senyum sopan sembari berharap dalam hati agar mereka berhenti menatapnya. Dira tidak mau membayangkan kalau berita bahwa ia bergandengan tangan dengan Natasha sampai ke telinga Fajar sebelum ia sempat menceritakannya langsung.
"Fajar Dwika!"
Adalah seruan Natasha yang membuat lebih banyak mata mengarahkan tatapan pada mereka. Dira hampir saja menarik tangannya yang digenggam Natasha jika saja ia tidak punya kesabaran lebih. Dengan jadian seperti ini bukan berarti mereka bebas mengumbar kemesraan di seantero sekolah, kan? Sepertinya Dira harus meluruskan beberapa hal dengan Natasha jika gadis itu ingin hubungan mereka baik-baik saja.
"Fajar!"
Panggilan kedua dari Natasha membuat sosok Fajar akhirnya menolehkan wajah menatap mereka. Dira berusaha untuk melepaskan diri dari Natasha, tetapi gerakan gadis itu lebih cepat mengeratkan genggamannya. Dira tidak melepaskan tatapannya dari wajah Fajar sedikitpun. Tatapan pemuda itu berpindah cepat dari wajah Natasha ke wajah Dira, lalu ke tangan Natasha yang menggamit lengannya. Dalam diam Dira menelan ludah, berharap lantai di bawahnya berubah menjadi lumpur sehingga bumi bisa menelannya saat itu juga.
"Kirain Dira udah ke kantin duluan. Sama Natasha ternyata," Fajar yang baik menyambut mereka dengan senyum lebar di wajah, menepuk tempat di sebelahnya untuk mengajak Dira duduk. "Sini, Dir. Deket Adel masih ada satu bangku kosong lagi, Nat." Fajar kemudian mengarahkan dagu pada bangku kosong lainnya yang berada tepat di samping Adel, anak perempuan yang duduk di seberang meja.
"Aku mau duduk sebelah Dira. Adel aja yang duduk deket Fajar gimana?" bujuk Natasha. Dira mengerutkan kening bingung, begitu pula dengan Fajar dan Adel yang saling bertatapan tidak mengerti.
"Kenapa gitu, Nat?" Fajar kembali bertanya.
"Soalnya aku mau deket pacarku."
Dira memejamkan mata sebelum menghela napas berat. Seketika suasana kantin terasa lebih lengang dan mencekam, meskipun saat itu masih dipadati oleh murid-murid yang sedang mengisi perut mereka. Ia tidak berani menatap ekspresi Fajar sehingga pemuda itu memilih untuk mengalihkan tatapan pada penjual nasi goreng yang berada di sana.
"Kamu mau pesen apa? Biar aku pesenin," celetuknya, memecah kekakuan di antara mereka. Fajar dan Adel sepertinya sudah mendapatkan pesanan mereka sehingga Dira tidak perlu repot-repot bertanya. Ia ingin segera pergi dari sini dan mencari distraksi sebelum suasana hatinya terlanjur rusak.
"Aku nggak makan, Dir. Mau jus mangga aja tapi nggak pake gula, ya."
"Aku juga mau pesen jus, deh."
Sebelum ada yang sempat bertanya, Fajar sudah merangkul Dira dan menyeret lengan pemuda itu agar mengikutinya menuju tempat penjual jus. Dira yang tidak mengerti situasinya hanya bisa pasrah mengikuti Fajar, yang tiba-tiba berkata, "Temenin ke toilet bentar."
Namun bukan toilet yang menjadi tempat tujuan mereka. Fajar menyeret Dira kembali ke kelas mereka yang saat itu sedang kosong, menutup pintunya hingga ia bisa berbicara empat mata dengan Dira tanpa ada yang mengganggu.
"Jar, please. Jangan marah. Aku tadi mau ngomong sama kamu soal Natasha tapi dia tuh...selalu muncul di saat nggak terduga."
"Aku nggak marah, Dira. Rileks," Fajar menepuk pelan lengan Dira, berusaha menenangkannya. Mungkin ekspresi wajah Diraditya yang tidak biasanya terlihat frustrasi membuat Fajar menjadi khawatir. Padahal seharusnya Fajar yang butuh ditenangkan, bukan sebaliknya.
"Kapan jadian?"
"Kemaren," pemuda itu bergumam.
"Kemaren...kapan? Kan kemaren kamu sama aku."
"Sebelum itu," Dira mengulurkan tangan agar ia bisa menggenggam pundak temannya, "makanya aku telat."
Fajar terdiam, kemudian berkata, "Oh." Dira menatapnya putus asa.
"Aku nggak bermaksud nyembunyiin ini, serius," ia berusaha menjelaskan. Fajar tidak boleh salah paham padanya karena Dira melakukan ini demi sahabatnya. Ia ingin Fajar berada dalam kondisi yang baik ketika ia menceritakan semuanya. "Seminggu lalu Natasha ngomong, dia bilang suka sama aku dan mau jadi pacarku. Aku kira bercanda doang. Kemaren dia nanya lagi dan aku...aku jawab iya. Padahal aku udah bilang ada janji sama kamu tapi dia minta waktu bentar dan nanya itu. Makanya kemaren aku telat...karena nganter dia dulu ke halte."
Dira menunggu reaksi Fajar, tetapi yang bersangkutan hanya menatapnya dalam diam.
Ia baru saja hendak membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu ketika Fajar bertanya, "Kamu suka sama Natasha?"
Selama beberapa saat, Dira bisa merasakan jantungnya mencelos. Tangannya yang memegang bahu Fajar terasa lemas hingga tanpa sadar ia melepaskan genggaman itu. Pertanyaan Fajar menghantamnya telak hingga Dira tak berkata sedikitpun saat ini.
"Suka."
Seandainya Fajar tahu bahwa sejujurnya ia sama sekali tidak pernah merasa sebingung ini sebelumnya. Dira memang menyukai semua orang tanpa terkecuali. Harusnya Dira tidak perlu merasa berat ketika menjawab pertanyaan Fajar.
Kenapa?
Kenapa ia khawatir Fajar akan salah paham bahwa rasa sukanya terhadap Natasha bukanlah rasa suka yang semacam itu? Sebelum Fajar mengatakan sesuatu, Dira bergegas menarik Fajar ke dalam pelukannya sehingga sahabatnya bisa mendengar jelas apa yang akan diucapkan Dira setelahnya.
"Tapi kamu masih tetap sahabatku yang paling aku sayang, oke? Aku nggak akan berubah, Jar. Kita bakalan tetap baik-baik aja kayak sebelumnya. Jadi nggak usah cemas." Apapun yang terjadi, meskipun sekarang Dira sudah memiliki kekasih, ia berjanji akan selalu menjaga persahabatan mereka dan tidak akan meninggalkan Fajar seorang diri.
Karena siapa lagi orang selain Jingga yang akan melindungi Fajar jika bukan Dira?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top