02: sorrow song with the optimus prime.

a/n: i'm lifting the rating because it's a bit mature (karena pembahasan sih bukan karena naenanya).just treat it as an opening ;)

"you are an unhappy thing, cursed with legs."

(chen chen)

//

Di mata Fajar kecil, menjadi dewasa seperti menaiki tangga tinggi tanpa berpegang.

Proses menjadi dewasa serupa transformasi dari kepompong menjadi kupu-kupu. Ada begitu banyak hal-hal yang akan berubah, akan hilang dan tumbuh. Sekalipun ia sudah mendengar perkataan Papa dan membaca buku soal pubertas dan perubahannya, Fajar tetap saja terkejut. Masih ada lemak bayi yang menggumpal di pipinya. Namun, garis rahangnya perlahan berubah lebih tegas. Pun mulai tumbuh jakun di lehernya dan bulu-bulu yang lebih tegas di betis dan beberapa bagian tubuhnya. Mata itu mengerjap-ngerjap menatap perubahan fisiknya yang tampak sureal-dalam artian mengagumkan. Baik Jingga dan Dira juga mengalami hal yang sama, ia tidak merasa sendirian.

Dari semua perubahan yang tercipta di tubuh Fajar, ada satu perubahan yang membuatnya terkejut setengah mati.

Suaranya berubah-menjadi jauh, jauh lebih berat dibandingkan suara Jingga dan Dira. Bahkan lebih berat dibandingkan suara ayahnya sendiri. Fajar masih berusia belasan, tetapi suaranya sendiri seberat suara bapak-bapak pemilik warung dekat rumah. Bibirnya terkatup rapat gemetar, ia sempat menolak bersuara beberapa jam sampai menyerah karena Bunda memanggilnya untuk makan malam. Nada suaranya berubah mencicit karena takut. Suaranya jauh berbeda dengan suara Jingga sekarang-suara Jingga bahkan tinggi, agak serak, dan merdu. Sementara suara Fajar?

Suaranya terdengar berat dan tua.

Fajar ketakutan.

.

.

.

Satu hal lain yang Fajar sadari saat ia menaiki tangga kedewasaan adalah, mata Fajar lebih sering mengarah pada lelaki.

Setiap malam, Fajar dan Jingga akan bertukar cerita di balik selimut. Jingga yang sering bercerita, membicarakan gadis yang disukainya di kelas sebelah seraya terkikik. Dilihatnya semu pudar di pipi Jingga dan Fajar mengangguk. Seperti itukah rasanya menyukai seorang gadis? Ia bertanya-tanya dalam hati seraya mengamati tiap ekspresi wajah bahagia sang kakak kembar. Begitu banyak gadis yang mulai tumbuh jelita di kelasnya, di sekolahnya. Tetapi di matanya mereka hanya manusia-manusia yang silih berganti, kontradiksi dengan Jingga yang memandang mereka sebagai permata di dalam lemari kaca. Dan juga berbeda dengan saat matanya memandang laki-laki-seperti Dira yang tampan, atau teman sekelas yang keren. Mata Fajar akan mendarat tanpa kenal lelah.

Fajar tak pernah memikirkannya.

Saat Fajar bermimpi dicumbui seorang lelaki dan terbangun dengan selangkangannya yang basah, ia baru sadar akan jarak antara dirinya dengan Jingga.

Takut, dirinya. Rasa takut akibat tumbuh dewasa, semakin menjadi saat menyaksikan kasurnya basah karena lendir dari kelaminnya sendiri. Matanya menatap kain yang basah nanar, kepalanya seperti benang kusut masai. Sekalipun ia pernah membaca dari buku dan bertanya pada ayahnya soal mimpi basah pertanda kedewasaan, hatinya tidaklah tenang. Ayahnya bermimpi dengan seorang perempuan, Jingga juga, sementara Fajar?

Mulai dari bintik di wajah, suara, dan-ini. Jalur Fajar berbeda dengan Jingga.

Pubertas membuat mereka berbeda dan Fajar ketakutan.

.

.

.

"Dira?"

"Ya?"

Fajar menggigit bibir bawahnya pelan. Mencuri pandang pada pemuda di hadapannya. Ragu masih menguasai benaknya. Haruskah ia mengatakan ini? Rasanya tidak benar jika Fajar menyembunyikan rahasia apapun dari Dira. Dan gagasan mengatakan ini pada Dira terasa tidak begitu menakutkan jika dibandingkan dengan gagasan mengatakan ini pada keluarganya.

Biarpun begitu, jari-jarinya tetap saja dingin.

"Kalau aku suka cowok-gimana?"

Dira mendaratkan pandangan pada Fajar. Mata Fajar berlari, menghindari Dira. Takut. Takut dihakimi. Takut dibenci.

"Aku-mimpi basah. Sama cowok, enggak ingat siapa. Terus aku-takut." Helaan napas. Jantung Fajar berdentum ketakutan. "Abang sering cerita soal cewek di kelas, yang mana yang cantik, yang mana yang cocok dijadiin pacar. Abang bahkan cerita dia naksir anak kelas sebelah. Tapi aku-enggak ngerti apa bagusnya cewek, kenapa Abang seantusias itu, seseneng itu. Oke, aku tahu kalau ada beberapa cewek yang cantik. Tapi yang bikin aku tertarik kayak abang tertarik sama cewek itu-enggak ada."

Matanya tidak berani menatap Dira. Fajar takut. Di luar kakak kembarnya, temannya hanya Dira seorang. Dan Dira itu laki-laki. Apakah Dira tidak akan membencinya saat tahu apa isi kepala Fajar tiap kali melihat laki-laki?

"Sebenernya aku-dari dulu lebih seneng liatin cowok daripada cewek." Kepalanya semakin tertunduk, dalam. "Termasuk liatin Dira. Dira-enggak marah, kan? Enggak jijik? Aku enggak kayak Papa, Bunda, dan Abang so-"

Perkataan Fajar terhenti saat tubuhnya ditarik, terbenam ke dalam dekapan Dira. Dirasakannya tangan sahabatnya yang mengelus punggungnya lembut, menepuk-nepuk punggungnya tanda menenangkan. Dingin di jemarinya perlahan memudar-bersamaan dengan matanya yang mulai panas. Pelukan itu lembut, cukup untuk meluluhlantakkan seluruh kekhawatiran dan ketakutan yang menggumpal. Air matanya mengalir deras, air mata kelegaan.

"Selamat, ya. Ayo, kamu cari pacar."

Dira perlahan melepaskan pelukannya. Kali ini, diberanikannya menatap mata sahabatnya. Mata Dira menyipit, terbit beriring senyum lembut. Tatapan mata itu tulus-tercekatlah ia saat mengetahui bahwa Dira sebaik itu.

"Dira-enggak apa?"

"Iyalah." Tangan Dira mengelus kepala Fajar lembut. "Yang penting Fajar seneng. Kalau Fajar seneng, aku juga seneng."

Fajar tersenyum lepas sebelum mencondongkan tubuhnya. Dikecupnya pipi Dira spontan. Sudah kebiasaan sang pemuda (dan kakak kembarnya) mencium siapapun yang mereka anggap dekat saat mereka sedang senang. Dan Dira adalah salah satu di antaranya. Karena, apalah Fajar tanpa Dira? Reaksi Dira tentu membuatnya memupuk keberanian. Fajar lebih percaya diri untuk keluar dari kandangnya.

"Makasih, Dir. Makasih banyak."

Senyum Dira semakin lebar. Bersamaan dengan kelegaan yang teramat dan sesuatu yang terbit di hati. Mata itu sekali lagi menatap Fajar, senyumnya, dan bintik-bintik di wajahnya. Tatapan itu penuh kekaguman.

.

.

.

Terkadang Fajar bertanya-tanya, apa yang membuat Dira betah berteman dengan segumpal kesedihan sepertinya?

Tetapi saat matanya bertemu dengan mata Dira, saat matanya menyaksikan kelembutan dan kekaguman di mata Dira, tanya itu menguap. Fajar tidak mengerti. Bagaimana bisa Dira begitu mengagumi dirinya sementara menurutnya ia tidak punya aspek apapun untuk dikagumi? Dira selalu memuji bintik-bintik di wajahnya, selalu memuji tiap aspek yang ia benci seperti suaranya yang berat ataupun tubuhnya yang tidak setinggi dan sebesar Dira, atau bulu-bulu halusnya yang mulai tumbuh.

Mungkin karena Dira berani. Mungkin karena anak lelaki itu sejak awal tidak pernah takut menunjukkan betapa sayangnya ia pada dunia. Mungkin karena anak lelaki itu begitu positif-selalu ditemukannya hal-hal menarik untuk dipuji. Dira seperti angin sejuk yang berderai-derai, yang mendekap semua orang dalam jangkauannya seraya mengelus-elus kepala mereka penuh sayang. Anak itu baik, sangat baik.

Dan Fajar, ingin menjadi baik, positif, dan berani seperti Dira.

Kedua tangannya kemudian terkepal. Fajar membulatkan tekad. Akan dicobanya untuk lebih berani. Seperti Dira. Demi Dira.

puisi rekomendasi fajar:

sorrow song with optimus prime (chen chen)

//

a/n:hello, i'm finishing my management reports and it's a treat from me! :"D thanksfor reading, commenting, and voting!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top